Catatan Geourban#39 Cicalengka

Sudah satu minggu, berwara di media sosial mewartakan hujan deras melanda sebagian besar wilayah Bandung. Begitu juga dengan laman berita, prakiraan cuaca akhir bulan Mei akan disergap hujan sepanjang siang hingga sore. Berita tersebut menjadi perhatian, terutama apa saja yang perlu diantisipasi dan dimitasi jelang kegiatan di lapangan.

Seperti layaknya menduga, bisa terjadi atau sebaliknya. Walaupun pagi selepas subuh, langit masih digelayuti awan putih. Menyergap seluas mata memandang ke langit, bayang-bayang hujan akan jatuh kapan saja. Dalam balutan udara pagi, partisipan satu persatu hadir di tempat pertemuan yang telah ditentukan. Jumlah peserta yang hadir lima orang, dari latar belakang berbeda. Diantaranya pegiat wisata, pemilik biro perjalanan pariwisata, profesional, pemandu wisata bumi hingga pegiat budaya.

Geourban ke-29 dilaksanakan pada hari minggu, 25 Mei 2025. Kunjungan melihat kembali linimasa sejarah abad ke-8, hadirnya kerajaan Sunda di sebelah timur Cekungan Bandung. Kemudian menapaki kembali lahirnya kesetaraan perempuan, melalui Sakola Istri Dewi Sartika di Cicalengka. Dilanjutkan mengupas perkembangan perkebunan teh Onderneming Sindangwangi, ditandai dengan sisa Theefabriek di Sindulang. Kegiatan ditutup dengan menikmati mata air di lereng sebelah selatan, G. Kerenceng-Kareumbi.

Seperti kegiatan Geourban sebelumnya, partisipan disarankan menggunakan roda dua atau motor.Jenis transportasi ini mudah dan murah dalam operasional, dan sudah dimiliki peserta. Sehingga mendukung pergerakan, dan daya jangkau ke lokasi yang akan dikunjungi. Total jarak yang ditempuh dalam kegiatan ini, sekitar 27 Kilometer dengan durasi tidak lebih dari 1 jam perjalanan. Dimulai dari titik pemberangkatan di Cileunyi, kemudian mengambil jalur jalan raya Rancaekek-Cicalengka. Jalan utama yang menghubungkan Bandung ke arah timur.

Mengawali kegiatan, Deni Sugandi menyampaikan rencana kegiatan. Menguraikan tujuan kunjungan, mulai dari Candi Bojongmenje kemudian bergerak ke arah timur Cicalengka. Diakhiri kunjungan ke Sindulang. Kegiatan dilakukan menggunakan roda dua, secar berkonvoi. Untuk menjaga keselamatan perjalanan, dipastikan sistem pengaturan pergerakan dan titik koordinat yang dibagikan sebelum berangkat. Sehingga partisipan yang tertinggal dalam perjalanan, bisa memantau titik pertemuan selanjutnya.

Candi Bojongmenje

Jalanan tidak terlalu ramai, karena waktu masih pagi dan jatuh di hari minggu. Lenggang tidak seperti pada jam-jam sibuk. Mengingat jalan raya Rancaekek adalah penghubung dari barat ke timur, dari Bandung ke kota Garut atau Tasikmalaya. Jelang pukul 08.00 WIB, partisipan tiba di halaman pabrik, sekitar Sukadana di tepi jalan Rancaekek. Ruas halaman gerbang cukup luas, sehingga untuk sementara dimanfaatkan menjadi sarana parkir partisipan.

Dilanjutkan berjalan kaki menyusuri jalan raya Rancaekek, kemudian berbelok ke gang sempit. Tidak ada papan informasi petunjuk menuju lokasi, hanya papan keterangan nama situs di batas sungai. Hunian warga yang berhimpitan dengan batas areal pabrik, dicirikan dengan tembok tinggi sekitar 3 meter. Didapati jembatan sebatas orang berjalan kaki, melintasi Ci Mande. Anak sungai Ci Tarik, bagian dari Daerh Aliran Sungai Ci Tarum. Dilaporkan oleh warga, sungai ini beberapa kali meluap menggenangi Desa Cangkuang. Kondisi demikian menandakan lebar sungai menyempit, akibat hunian yang menempati bantaran. Selepas jembatan, kemudian menyusuri gang yang dipagari oleh dinding pabrik. Mengarahkan ke situs Candi Bojongmenje. Dari peta lama lembar Linggar, penerbit Topographisch Inrichting, Batavia 1908. Memberikan gambaran posisi keberadaan candi berupa lingkaran, tanpa ada keterangan lain. Keberadaan situs tersebut berada di tepi sungai. Sedangkan pada kondisi saat ini, berjarak sekitar 100 meter. Dengan demikian diperkirakan terjadi pembelokan arah sungai, sehingga posisinya bergeser ke arah utara. Dalam beberapa keterangan arkeologi, sungai berperan penting dalam penempatan candi. Fungsi candi sebagai pemujaan dewa, bisa juga digunakan sebagai tempat untuk mengenai raja atau penguasa. Ditempatkan mendekati sungai, mencirikan sebagai acuan dalam pembangunan candi, karena air dianggap suci dalam penting dalam kehidupan agama Hindu-Budha saat itu.

Kembali ke lembar peta lama, memperlihatkan adanya jalur setapak menuju situs, disebut Cipareuag. Keberadaan situs tersebut berada dalam lingkar dalam Ci Mande, digambarkan melalui garis pengaliran sungai yang mengalir dari timur ke barat.

Dalam keterangan penelitian Anas Anwar Nasirin, dari Program Studi Sejarah Unpad (2021).  Keberadaan candi ini diketahui sejak abad ke-8 Masehi terkait erat dengan keruntuhan Kerajaan Tarumanegara dan berdirinya Kerajaan Sunda. Candi Bojongmenje berada pada lintasan sejarah keberadaan kerajaan Sunda awal. Sejak pasca runtuhnya Kerajaan Tarumanegara pada abad ke-7 Masehi dan berdirinya Kerajaan Sunda Abad ke-10 Masehi. Keterangan lain disampaikan Djubianto (2002), mendukung pendapat Anas, sedangkan Haryono (2002), menyatakan perkiraan keberadaan peradaban Bojongmenje sekitar abad ke-5 hingga ke-6. Sedangkan dari keterangan hasil radiocarbon yang dipublikasi oleh Balai Arkeologi Bandung, berada di abad ke-8 Masehi.

Candi Bojongmenje berada di Kampung Bojongmenje, Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Berada di elevasi 698 meter dpl., merupakan titik rendah di wilayah Cekungan Bandung. Luas wilayahnya 843 meter persegi, dikelilingi oleh tembok beton milik pabrik. Kemudian sebagian lagi berada di dalam kawasan pabrik.

Keberadaan candi bercorak Hindu-Budha ini, mulai dipublikasi tahun 2002. Pada saat ditemukan, berada di lahan kuburan. Penemuan candi tersebut sudah sejak lama diketahui warga, namun belum dalam bentuk struktur. Menurut keterangan warga, ditemukan beberapa bentuk arca sebesar bayi. Sehingga masyarakat menyebutnya dengan candi orok (bayi). Beberapa tahun kemudian, dilakukan tindakan ekskavasi oleh Balar Arkeologi Bandung pada 2003. Sebagai wujud turunan aturan berupa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, Tentang Cagar Budaya.

Bentuk temuan yang dikerjakan, hanya menemukan bagian pondasi hingga bagian kaki. Sedangkan bagian atasnya tidak diketahui, diperkirakan telah hilang atau belum ditemukan. Candi sisi barat berukuran 7.04 meter, dan sisi selatan nya 6.94 meter. Sedangkan sisi timur tidak dapat diukur, karena batuan penyusun candi tidak diketahui.

Menurut penelitian Balar Bandung, material candi disusun dari batuan tuff atau gunungapi yang telah membatu dan andesit (lava). Sumbernya belum diketahui, tetapi bila merujuk dari batuan penyusunnya berasal dari materi hasil letusan gunugapi. Keberadaan bahan tersebut, sangat memungkinkan karena bahan hasil endapan gunugapi melimpah. Di sebelah utaranya didapati G. Geulis-Jarian, merupakan sisa gunungapi purba. Jaraknya sekitar 4,6 km dari pusat letusan ke areal candi. Produk letusannya adalah aliran lava dan piroklastik, besar kemungkinan material atau bahan penyusun candi diambil dari gunungapi purba ini.

Cicalengka

Perjalanan selanjutnya ke arah timur, menuju Cicalengka. Kota kecamatan, yang bernaung di wilayah Kabupaten Bandung, berada di batas timur Cekungan Bandung. Menapaki jalan raya provinsi, kemudian berbelok ke arah selatan menuju pusat kota. Di sebelah selatannya ditemui stasiun Cicalengka. Merupakan stasiun kereta api kelas I, berada di Cikuya, sebelah barat dari pusat kota Cicalengka.

Saat ini merupakan batas jalur kereta api rel ganda Bandung Raya, sebelum memasuki kawasan Leles, Garut. Pada masa kolonial, rintisan pembangunan jalur ini telah lama diusahakan. Dilakukan oleh perusahaan swasta Staatsspoorwegen disingkat SS. Hingga pada 10 September 1884, dibuka secara resmi. Saat itu merupakan stasiun terminus, atau stasiun diujung jalur kereta api yang menjadi titik akhir perjalanan. Beberapa tahun kemudian, diusahakan pembukaan jalan ke arah timur. Menghubungkan dari Cicalengka ke kota Garut. Dibutuhkan waktu kurang lebih dua tahun, untuk menembus batuan keras sekitar Leles. Menyebabkan pembuatan jalur lintasan kereta apinya harus berkelok-kelok, menunggangi kontur perbukitan. Agar jalur yang dilaluinya landai, sehingga bisa dilalui secara aman oleh lokomotif.

Saat ini bangunannya telah disulap bergaya modern, namun di sisi sebelah baratnya masih bisa disaksikan fasad awal dari stasiun. Walaupun sebagian besar materialnya telah diganti, namun masih mempertahankan bentuk seperti awal berdiri. Dari stasiun Cicalengka, kemudian bergeser ke alun-alun Cicalengka, menuju tempat tinggal Dewi Sartika saat remaja.

Lokasi yang dituju adalah SMP 1 Cicalengka, berada di sebelah selatan alun-alun. Agar leluasa bergerak, rombongan memarkir kendaraan di lapangan parkir pasar. Kemudian dilanjutkan berjalan kaki, menembus jajaran pedagang yang memadati sekitar alun-alun Cicalengka. Pasar melimpah hingga badan jalan, karena jatuh di hari minggu. Pemandangan yang biasa terlihat di jantung kota Cicalengka, menandakan hari libur khususnya minggu merupakan hari bebas berjualan. Sebagian besar warga memanfaatkan untuk berolahraga, memadati pusat kota.

Persis di sebelah pasar alun-alun Cicalengka, berdiri bangunan bertingkat dua.adalah gedung Sekolah Menengah Pertama 1 Cicalengka. Berada di sebelah selatan alun-alun Cicalengka, di jalan Dipati Ukur Nomor 34. Didapati dua bangunan baru, mengapit bangunan lama. Di Bagian barat ditempati lapangan olah raga bola basket, dan lapangan yang biasanya digunakan untuk kegiatan upacara bendera.

Bangunan lama menempati bagian tengah kompleks sekolahan, dicirikan dengan gaya arsitektur kolonial. Bagian depannya berupa pintu utama yang diapit oleh jendela berukuran besar. Bentuk bangunannya berbentuk bujur sangkar, memanjang utara-selatan. Bagian sampingnya berjajar daun jendela berukuran besar, dan bagian pondasinya hingga satu meter dihiasi batu andesit. Ciri fasad khas bangunan kolonial yang belum mengenal teknik pengecoran beton dan tulangan besi. Dengan demikian ketebalan dinding sekitar 30 sentimeter lebih. Agar bangunan kokoh dan mampu menopang atap genting.

Bangunan gaya arsitektur kolonial ini menjadi rumah singgah Raden Ajeng Dewi Sartika. Rumah yang kelak membawa pencerahan bagi kaum perempuan Sunda pada masa kolonial. Dewi Sartika pada saat itu berusia sepuluh tahun, dititipkan kepada pamannya seorang Patih Cicalengka.

Dewi Sartika tumbuh dan besar di rumah tersebut, selama delapan tahun. Antara 1894 hingga 1902 pada usianya 18 tahun. Selama periode tersebut, membentuk cara berpikirnya, hingga mampu memiliki pandangan moderat. Sehingga pada tahun-tahun berikutnya, Dewi Sartika memutuskan untuk kembali ke Bandung. Pada tahun 1904 mendirikan sekolah pertama untuk kaum perempuan, disebut Kautamaan Istri menempati ruangan belakang pendopo Kabupaten Bandung.

Di Sebelah utara alun-alun Cicalengka, didapati rumah tinggal dengan gaya arsitektur kolonial. Masyarakat menyebutnya rumah Destik, atau Dewi Sartika. Rumah dengan halaman luas, masih mempertahankan bentuk awal. Namun beberapa pendapat menyatakan bahwa rumah ini bukan tempat tinggal Dewi Sartika.

Dari rumah ini ke arah timur, didapati patung dada Dewi Sartika. Patung yang diperkirakan dibangun oleh pemerintah daerah, untuk mengenang keberadaan  Dewi Sartika di Cicalengka. Terletak di persimpangan Jalan Kaca-Kaca, dan Dewi Sartika. Disebut Monumen Raden Dewi Sartika, satu-satunya tinggalan fisik yang menegaskan keberadaan tokoh pergerakan perempuan pernah ada di Cicalengka.

Dilanjutkan kembali ke alun-alun, kemudian berbelok ke arah selatan. Menyusuri Jalan Pasar, melewati Kantor Polsek Cicalengka. Kemudian setelah tiba di samping SDN Cicalengka 5, didapati lahan kosong. Keberadaanya tertutup oleh warung dan pos ronda warga. Tetapi bila dilihat secara teliti, terlihat pondasi yang memiliki susunan batuan. Bentuk khas pondasi struktur bangunan, dengan memanfaatkan batu andesit sebagai penguat bangunan.

Merupakan sisa dari struktur bangunan gereja St. Antonius. Gereja Katolik yang pernah didirikan untuk melayani umat katolik di Cicalengka. Diresmikan penggunaanya ada 13 Juni 1931, dibuka dan diberkati oleh Pastor van Asseldonk. Keberadaan gereja Katolik ini hilang dari catatan sejarah, seiring dibongkar. Menyisakan tanah kosong, dan struktur tiang bangunan saja yang bisa dilihat hari ini.

Dari Cicalengka kemudian dilanjutkan menuju Dampit, melihat kembali pabrik teh pada masa kolonial. Merupakan bagian dari Onderneming Sindang Wangi, mengupayakan perkebunan teh dan karet pada 1900-an. Bangunannya kini telah hilang, ditempati SD Dampit 2, di Desa Tanjungwangi, Cicalengka, Kabupaten Bandung. Kegiatan penutup berakhir di Saripati Ecofarm. Wisata berbasis peternakan dan pertanian yang berada di lereng selatan G. Kerenceng-Kareumbi. Di lokasi ini mengunjungi Kampung Awi Baraja, Tegalmanggung, Cimanggung, Kabupaten Sumedang. Berupa kepercayaan masyarakat terhadap pelestarian bambu.

Di depan Statsiun Cicalengka
Di depan monumen Dewi Sartika, Cicalengka
Sisa pondasi gerjeja St. Antonius di Cicalengka
Rel kereta api buatan Carnegie, didatangkan dari Amerika
Di depan SD Dampit 2, sisa bangunan pabrik teh Sindangwangi
Diperkirakan bagia belakang rumah Patih Cicalengka, awal 1900-an.

Catatan Peluncuran Geourban Emagz dan Diskusi Wisata Alternatif

Telah dilaksanakan kegiatan peluncuran Geourban Emagazine, majalah popular yang merangkum informasi wisata bumi. Kemudian kegiatan lanjutkan dengan paparan dan diskusi seputar wisata alternatif. Dilaksanakan di ruang pertemuan, Sekretariat Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Jawa Barat.

Terletak di Jalan Tamblong Nomor 8 Bandung, pada tanggal 19 Mei 2025. Dihadiri oleh 50 orang, berasal dari beberapa latar belakang. Diantaranya dari asosiasi pemandu pariwisata, biro perjalanan wisata, akademisi, pegiat wisata, pengelola desa wisata, dinas pemerintahan daerah kota Bandung, pelaku pariwisata dan media. Berlangsung dari pukul 9.00 wib, hingga berakhir pkl. 13.00 wib.

Kegiatan dibuka oleh Deni Sugandi, selaku pihak penyelenggara acara. Menyampaikan latar belakang penerbitan majalah elektronik ini. Tujuannya adalah menghimpun data pariwisata yang berbasis wisata bumi. Disebut Geourban Emagazine, untuk penerbitan pertama Edisi 1 Nomor 1 Bulan Mei 2025. Di dalamnya memuat rubrik profile, objek wisata bumi, resensi buku, dan tulisan-tulisan tentang wisata bumi. ditulis oleh anggota dewan redaksi dan kontributor. Penulisannya menggunakan gaya bahasa populer. Penerbitan pertama ini merupakan rangkaian penerbitan seri edisi, direncanakan terbit tiga kali dalam satu tahun.

Materi berupa file, bisa diunduh di: https://pgwi.or.id/geourban-emagz/ Majalah ini diperuntukkan bagi praktisi pariwisata, pelaku hingga umum. Memperluas wawasan dan pengetahuan, khususnya tema-tema yang berkaitan dengan pengetahuan dan informasi wisata bumi. Kelahirannya digagas oleh Asosiasi Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI), Dewan Pengurus Nasional. Duduk sebagai Ketua Dewan Redaksi adalah Deni Sugandi. Kemudian Anggota Redaksi diantaranya; T Bachtiar, Malik Ar Rahiem, Diella Dachlan Gangan Jatnika, Jeani Jean, Andi Lala, Andrias Arifin, Ricky Nugraha. Nama-nama tersebut merupakan pegiat, pelaku hingga pelaku wisata khususnya wisata bumi.

Dalam sambutan acara ini, Daniel G. Nugraha selaku Ketua ASITA Jabar menyampaikan beberapa hal. Dalam sambutannya mengatakan pentingnya kolaborasi antara pemandu wisata dan operator usaha perjalanan wisata. Dalam pertemuan ini, Daniel berharap pertemuan ini adalah memperluas jejaring pelaku industri pariwisata. Dengan demikian akan timbul kesepahaman antara pemandu wisata, pengelola objek wisata dengan jaringan usaha perjalanan wisata yang bernaung di bawah ASITA.

Sambutan ke-dua disampaikan oleh Bintang Irawan. Sangat menyambut baik, perlunya jaringan kerjasama yang tidak hanya bersifat formal. Tetapi bisa juga dihadirkan dalam bentuk kunjungan lapangan. Dengan demikian para usaha perjalan wisata bisa melihat langsung produk yang akan dikemas dan dijual. Bintang adalah Ketua HPI DPC Kota Bandung, selalu mendorong anggotanya untuk bisa bersanding dan berdaya jual. Terutama dalam menghadapi industri pariwisata nasional yang semakin kompetitif. Dengan demikian diperlukan kualitas pemandu yang berdaya saing, profesional dan mampu merancang perjalanan wisata. Dengan demikian, Bintang berharap anggotanya memiliki kualitas.

Sambutan berikutnya ditutup oleh perwakilan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, diwakili oleh staf dinas. Menyatakan bahwa pemerintah siap mendukung pengembangan wisata di wilayah Kota Bandung.

Setelah pembukaan, dilanjutkan dengan pemaparan oleh tiga narasumber. Diawali oleh Budi T Assor, menyampaikan pengalamannya menyelenggarakan paket wisata alternatif. Disebut Desa Tour, tema wisata yang berbasis tentang aktivitas warga di desa. Budi menuturkan bahwa paket wisata seperti ini menjadi primadona pada awal tahun 90-an. Sebagai alternatif wisata bagi wisatawan overland (wisata antar kota di pulau Jawa). Ditawarkan kepada wisatawan inbound/asing, sebagai wisata opsional pada saat free progam di Bandung.

Desa Tour dikerjakan oleh Budi Assor, Harry Sukhartono dan Felix Feitsma. Ketiganya merupakan pemandu wisata overland (tour guide), aktif sejak akhir tahun 80-an hingga kini. Destinasinya sekitar Bandung selatan, seperti sekitar Soreang-Ciwidey, atau berkunjung ke padepokan seni Wayang Jelekong, Baleendah, Kabupaten Bandung. Muatan materi yang disampaikan dalam kegiatan pemanduan, seputar perilaku hingga adat masyarakat kampung. Budi menceritakan kemampuan Felix untuk menguraikan cerita, dari objek yang sederhana menjadi menarik. Durasi kunjungannya mulai dari setengah hari (pagi ke siang), hingga satu hari penuh.

Pemaparan ke-dua disampaikan oleh T Bachtiar. Pendiri komunitas Geotrek Matabumi, hadir sejak tahun 2010. Berawal dari kegiatan alumni Jurusan Pendidikan Geografi, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), kemudian berkembang menjadi komunitas populer. Kegiatannya berbasis wisata bumi, berupa jalan-jalan dengan tema dan lokasi kunjungan tertentu.

Bachtiar memaparkan potensi wisata bumi di sekitar perbukitan karst Citatah. Selain bentang alamnya memikat, kawasan ini memiliki sejarah bumi. Membentang dari 25 juta tahun yang lalu, berupa endapan batuan sedimen. Disusun oleh batuan karbonat, dari pengendapan hewan dan tumbuhan laut pada saat sebagian besar pulau Jawa tenggelam di bawah permukaan laut. Diantaranya ditemui bukti berupa fosil hewan laut, tertanam di batuan karbonat. Ditemukan disekitar lokasi pemanjatan di tebing 125, berupa fosil dengan ukuran tidak lebih dari 15 cm. Disebut siput racun (Conus geographus), keberadaanya masih bisa ditemui pada saat ini. Melalui komunitasnya, Bachtiar sudah beberapa kali menyelenggarakan kegiatan geotrek sekitar Citatah. Terakhir menggunakan mobil jenis off-road, dengan tujuan mengenalkan wisata bumi yang dikolaborasikan dengan aktivitas petualangan.

Bachtiar menegaskan, objek wisata bumi tersebut perlu dibunyikan melalui kegiatan interpretasi. Sehingga mampu dijual dalam bentuk paket wisata bumi, berkualitas dan memberikan pengalaman kepada wisatawan. Dalam kesempatan berikutnya, Jenni Jean menyampaikan wisata alternatif Braga Bandros Mistery. Paket wisata seputar kawasan kota Bandung, dengan tema berkaitan dengan cerita tidak biasa. Mengungkap tentang urban legend, mitos yang beredar dimasyarakat hingga misteri kota. Paket wisata ini dilaksanakan pada malam hari, hingga tengah malam. Menurut pengelola, hingga kini jumlah antrian wisatawan selalu meningkat. Mengingat wisata alternatif ini belum pernah ada, sehingga selalu menarik perhatian.

Untuk mengupas kisah misterinya, dalam kegiatan wisata malam ini, didampingi interpreter spesial. Individu yang mampu membaca energi, kemudian direfleksikan melalui ekspresi tubuh. Jenni menjelaskan, perlu alat bantu elektronik, untuk mendeteksi hadirnya energi. Disebut EMF, memiliki indikator melalui lampu LED. Setiap warna yang muncul di EMF tersebut, memberikan informasi lonjakan energi yang hadir.

Selain itu digunakan pula alat bantu, berupa kamera yang mampu menangkap suhu atau temperatur. Disebut thermal imaging, berupa perangkat yang disambungkan ke kamera pintar. Melalui citra yang dihasilkannya, akan memperlihatkan warna bervariasi. Merah menandakan panas, dan sebaliknya warna gelap menandakan dingin.

Penyampaian ketiga narasumber tersebut, ditutup dengan diskusi. Beberapa partisipan menyampaikan pertanyaan, seputar materi yang telah disampaikan. Diantaranya adalah tentang pengembangan wisata alternatif tersebut. Dalam penutupan, Daniel mendorong anggota Asita Jabar untuk menangkap peluang ini. Karena para pengusaha perjalanan wisata memiliki jaringan nasional, hingga luar negeri. Dengan demikian memiliki pasar yang perlu yang luas, dengan memanfaatkan potensi lokal. Dikemas dalam bentuk wisata yang layak jual.

Dengan demikian forum ini diharapkan menjadi sarana silaturahmi, jembatan yang menghubungkan biro perjalanan wisata dengan profesi pemandu wisata. Diharapkan mampu mendorong kunjungan wisatawan inbound maupun domestik.

Penyerahan SK PGWI Kebumen

Seiring dengan kegiatan sertiikasi kompetensi Pemandu Geowisata, di Hotel Mexoline Kebumen. Diserahkan Surat Keputusan pengangkatan Dewan Pengurus Wilayah Kebuben. pada hari Rabu, 7 Mei 2025.

Dihadiri oleh Ketua PGWI Pengurus Nasional Deni Sugandi, dan Bidang Kerjasama Reza Permadi. Pendirian organisasi dilakukan melalui Musyawarah Wilayah pada tanggal 4 Oktober 2024, di Gedung Sapta Pesona Kantor Dinas Pariwisata Kab. Kebumen.

Penyerahan SK Kepengurusan PGWI Kebumen, di Hotel Mexolie Kebumen.

Catatah Ubarsebel dan Bukber PGWI

Upaya organisasi adalah menjalin silaturahmi, baik didalam hingga di luar organisasi. Tujuaanya adalah penguatan jejaring dan kolaborasi dalam pengembangan wisata bumi. Terutama di kawasan Cekungan Bandung, dilaksanakan dalam dua rangkaian kegiatan. Berupa Ubarsebel, konsep jalan-jalan pengenalan bentang alam hingga sejarah bumi sekitar Bandung bagian utara.

Dibungkus dalam kegiatan ekskursi lapangan singkat, dinamai Ulin Bareng Sambil Belaja disingkat Ubarsebel. Dalam makna bahasa Sunda, berarti adalah obat untuk menuntaskan segala penyakit. Berupa sakit kurangnnya pengetahuan sejarah bumi, hingga budaya yang lahir diatasnya.

Kegiatan dibuka di Curug Dago, Bandung. Air terjun yang mengalir di Ci Kapundung, segmen Dago, kemudian di Ciburial. Diikuti oleh para pegiat wisata, mahasiswa, pengajar sekolah tinggi pariwisata, organisasi profesi, pengelola wisata hingga pemandu wisata. Berkisar sekitar 24 orang, hadir mengikuti kegiatan ini hingga tuntas. Hadir diataranya mewakili organisasi profesi dari APGI DP Provisni Jawa Barat, Komunitas Rumah Geopark Indonesia (RGI) yang langsung dihadiri oleh pa Yunus. Kemudian dari organisasi usaha aktivitas luar ruang Sangkuriang Outdoor Service (SOS), ketua HPI DPC Kota bandung, Kaprodi Usaha Perjalana Wisata Stiepar Yapari Bandung, Hadi Mulyana. Kemudian perwakilan operator  dan pengelola, diantaranya Geowana, Angin Photoschool dan Tahura Ir. H. Djuanda Bandung.

Kegiatan dilaksanakan pada hari Minggu, 16 Maret 2025. Berupa kegaitan kunjungan singkat ke Curug Dago, Bandung. Mengupas Ci Kapundung yang mengalir di atas aliran lava G. Tangkubanparahu. Disajikan dalam bentuk pemanduan wisata bumi, oleh Deni Sugandi dan Zarindra Arya Dimas. Selaku pemandu wisata bumi, mengetengahkan perjalanan (sungai) Ci Kapundung, hasil kegiatan gunungapi dan bentang alam Cekungan Bandung.

Deni meyampaikan materi yang berkaitan dengan sejarah produk G. Sunda-Tangkubanparahu. Berupa endapan lava hasil kegiatan letusan efusif, G. Tangkubanparahu sekitar 40-39 ribu tahun yang lalu (Kartadinata, 2005). Berupa hasil aliran lava basal, mengisi lembah Maribaya. Ci Kapundung, mengalir dari utara ke selatan. Menunggangi alira lava G. Tangkubanparahu. Di Curug Dago melihat kembali hasil kegiatan letusan gunungapi, berupa aliran lava basal, dicirikan dengan warnanya gelap. Pelepasan gas yang terlalut dalam aliran lava, menghasilkan lubang-lubang gas pada batuan. Mengalir dari pusat letusan kemudian mengikuti lembah, Pasir Cikole, Cikareumbi, Cicukang (Maribaya), Sekejolang hingga Dago.

Pemaparan dilengkapi oleh Zarindra, menyampaikan liran lava berhenti di Curug Dago, membentuk ceruk akibat hasil kegiatan erosi ke hulu. Dibagian tebingnya tersingkap susunan perlapisan berselang-seling, menandakan sejarah pengengendapan batuan vulaknik di masa lalu. Panorama Curug Dago memikat komunitas pariwisata Bandung pada masa Kolonial. Sehingga menjadi wisata unggulan, diterbitkan dalam buku paduan pariwisata. Disusun oleh S.A.Reitsma (1923), “Bandoeng, The Mountain City of Netherlands Indies”. Julukan wisata bumi yang diusahakan sejak masa kolonial.

Lokasi ke-dua adalah mengunjungi dataran tinggi Bandung utara. Mengupas sejarah bumi, melalui interaksi diskusi. Bahwa Kawan Bandung Utara (KBU) adalah zona penyangga sekaligus sebaga wilayah serapan air. Keberadaanya kini telah beralih fungsi menjadi hunian rumah, hingga pertanian. Perubahan tata guna lahan tersebut turut menyumbang hilangnya beberapa mata air (Nofrianti, 2012. DPKLTS di Apakabarnews, 2020). Dampak susulannnya adalah banjir di kota Bandung, akibat fungsi KBU tidak bisa lagi menyerap air hujan secara optimal.

Dari titik tinggi ini terlihat bentang alam Cekungan Badung. SemulaKabupaten Bandung beribukota di Krapyak (sekarang Dayeuhkolot) sekitar11 kilometer ke arah Selatan dari pusat kota Bandung Setelah kekuasaankolonial berakhir, Jawa diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda denganGubernur Jendralnya yang pertama yaitu Herman Willem Daendels (1808-1811) (Voskuil, 2007). Merujuk kepada naskah Sajarah Bandung, pada tahun1809 Bupati Bandung Wiranatakusumah II beserta sejumlah rakyatnya pindahdari Karapyak (Dayeuh Kolot) ke daerah sebelah utara Kota Bandung. Salahsatu alasan kepindahannya yaitu wilayah Karapyak sering dilanda banjir darisungai Citarum, dan hal itu masih terjadi hingga sekarang (Prasetyo, 2019).

Pemindahan tersebut merujuk karena kondisi geografis dan geologi. Sehingga Daendels memerintahkan untuk membuat jalur baru, memotong kota Bandung saat ini.

Jelang sore hari, partisipan diarahkan berkumpul di Travel Tech, Ciburial Bandung. Berupa silaturahmi dan urun rembug seputar pengembangan wisata bumi, khususnya di Cekungan Bandung. Dilaksanakan dalam ruangan, berupa diskusi santai jelang berbuka puasa. Deni menyampaikan tema diskusi seputar pengembangan wisata berbasis sumber daya alam yang dimiliki oleh Bandung dan sekitarnya.

Diskusi dimulai pada pukul 16.00 WIB, berakhir di pukul 17.40 WIB. Dalam diskusi singkat ini, mengupas dari perhal umum. Seperti yang disampaikan oleh Nirwan Hararap selaku Pembina PGWI Dewan Pengurus Nasional. Dalam pemaparannya menjelaskan sisi teknologi, berkaitan dengan pemanfaatan citra satelit. Nirwan melihat potensi besar yang belum dikembangkan oleh sektor pariwisata. Diantaranya pemanfaatan jaringan penyiaran televisi yang berbasis teknologi satelit. Kemudian Nirwan menambahkan, perlunya pengembangan diri seorang pemandu yang melek pada pemanfaatan teknologi.

Kesempatan beriktunya disampaikan oleh Bintang Irawan S. menyampaikan usaha-usaha yang telah dilakukan oleh organisasi. Diataranya pengelolaan Bandros Braga Night Story. Progam unggulan tour singkat kota, mengupas sejarah arsitektur hingga cerita dibaliknya. Semuga kegiatan diusahakan secara mandiri, bersaing dengan pengelolaan Bandros yang dikelola oleh pihak pemerintah daerah. Dengan demikian membuktikan, kegiatan aktivasi pariwisata kota bisa diusahakan secara mandiri oleh organisasi.

Bintang menandaskan bahwa saat ini kurangnnya perhatian kepala daerah, khususnya Gubernur Jawa Barat terhadap pengembangan pariwisata. Sehingga memberikan tanda bahwa kegiatan penguatan pariwisata, tidak harus berpangku tangan kepada pemerintah daerah. Dengan demikian Bintan mendorong agar segenap pelaku usaha pariwisata untuk bisa bekerja secara mandiri. “nanti juga pemerintah datang, walaupun sudah terlambat” tandasnya. Dalam kesempatan selanjutnya, Gangan Jatnika menyampaikan usaha wisata yang telah dilaksanakan beberapa kali. Terlaksana dalam kegiatan aktivitas hiking, dibalut interpretasi bumi. Aktivitas wisata bumi ini sudah berjalan beberapa tahun terakhir, dibeberapa tempat sekitar Bandung.

Hadi mewakili perguruan tinggi pariwisata, perlunya kerjasama antara akademisi dan praktisi. Bisa diwujudkan dalam bentuk kerjasama, seperti yang telah diupayakan dengan pihak pengelola Tahura Ir. Djuanda. Kemudian disambut oleh Ganjar, Tahura sebagai laboratorium herbarium. Kawasan konservasi yang bisa dimanfaatkan menjadi sarana wisata edukasi, berkaitan degan koleksi tananan yang dimiliknya.

Diskusi dipungkas melalui pandangan Yunus, menyampaikan perlunya langkah aksi. Berupa kelompok kerja yang mampu mengukur pengembangan wisata yang sudah berjalan. Kemudian diperlukannya variasi wisata serta pelibatan warga lokal, pemangku wilayah setempat. Kegiatan ditutup dengan acara buka bersama, foto bersama dan diskusi ringan. Kegiatan ditutup pukul 19.30 WIB.

Penamatan lapangan di Ciburial Dago.
Berbuka bersama di Travel Tech, Ciburial, Dago
Partisipan di Travel Tech Ciburial Dago

Catatan Geourban#36 Tenjolaut

Dalam kegiatan penelusuran sejarah Sumedang Larang, dibagi ke dalam beberapa kali perjalanan. Dibungkus dalam wisata bumi, menapaki kembali hubungan antara dinamika bumi, sejarah manusia yang hadir di atasnya dan ekologi yang berkembang. Dalam kesemapatan wisata bumi kali ini, mendatangi tempat yang pernah menjadi puseur dayeuh atau ibukota Sumedang Larang. Pusat pemerintahan kabupaten, saat berada di bawah kekuasaan Mataram Islam. Lokasi yang dikunjungi adalah sekitar Tenjolaut, Desa Padaasih, Kecamatan Conggeang.

Tenjo adalah melihat atau memandang,  sehingga menarik makna tenjolaut adalah satu tempat yang bisa melihat laut. Seperti yang diterapkan pada Dusun Tenjolaut, Desa Padaasih, Sumedang.

Dari beberapa keterangan, makna tersebut bisa diartikan dalam dua pengertian. Makna toponiimi yang pertama seperti yang diuraikan di atas, sedangkan arti kedua bisa disejajarkan dengan genang lkaut dimasa lalu. Lautan yang luas yang terbentuk dimasa lalu, saat sebagian besar Sumedang berada di bawah permukaan laut.

Bukti Tenjolaut di Desa Padaasih perah di bawah laut gambarkan dalam Peta Lembar Geologi Arjawinangun (Djuri, 2011). Menuliskan bahwa sebagian besar Padaasih, disusun oleh Anggota Batulempung Formasi Subang. Diendapkan pada saat kondisi laut dangkal, dengan kemungkinan adanya napal yang ikut teredapkan. Pengendapannya menghasilkan batulempung berlapis, dengan tebal 2900 meter. Selaian memiliki narasi sejarah lahirnya wilayah, Pasir Tenjolaut merupakan bukti bahwa sebagian besar Sumedang masih tenggelam di bawah laut. Seiring waktu, akibat kegiatan tektonik akhirnya terangkat ke permukaan, hingga setinggi 326 meter dpl.

Masyarakat menyebutnya Bukit Pasir Putih. Bukit yang biasa disebut pasir dalam bahasa Sunda, tetapi dalam makna disini berarti butir pasir. Sehinga diartikan bukit yang disusun pasir dan berwarna cenderung putih karena kontras dibandingkan lingkungan sekitarnya.

Berupa perbukitan, bagian dari lereng G. Tampomas di arah baratnya. Sehingga perbukitan ini posisinya lebih tinggi dan landai ke arah timur. Kondisi topografi demikian, menjadi tinggian yang terbuka ke arah timur dan utara. Sehingga pendiri dusun Tenjolaut masih bisa menyaksikan garis pantai utara, sekitar Indramayu. Sedangkan Cirebon tertutup oleh kerucut G. Cereme.

Bukit Pasir Putih Tenjolaut atau Pasir Tenjolaut (pasir adalah bukit), seiring waktu tererosi oleh air. Diaantaranya mengali sungai-sungai yang mengalir dari barat ke timur. Seperti Ci Bodas yang berada di sebelah selatan Tenjolaut. Kemudian Ci Pelang yang bergabung dengan Ci Paray di Batukarut. Sungai-sungai tersebut mengerosi batuan yang sifatnya mudah lapuk, sehingga terbentuk lembah-lembah dan jurang yang dalam. Dampak erosi yang terus terjadi hingga kini, diantaranya perubahan bentuk lahan, air cenderung keruh dan pendangkalan sungai. Longsor terjadi di dusun Batukarut, Desa Padaasih. Terjadi pada 22 November 2022 melalui laman sosial media desa https://www.instagram.com/p/ClQZnvPytm8/?utm_source=ig_web_copy_link&igsh=MzRlODBiNWFlZA== Dampaknya adalah hampir 30 hektar sawah tidak mendapatkan pengairan.

Akibat batuan penyusunnya dalah batulempung berlapis, menyebabkan sering terjadinya gerakan tanah. Seperti yang terlihat di Pasir Tenjolaut, membentuk bidang longsor setengah lingkaran. Mekanisme gerakan tanahnya adalah nendatan, bergerak lambat akibat kenaikan muka air tanah. Selain itu sifat batuan ini memiliki permeabilitas yang buruk, tidak mampu meloloskan air. Sehingga beberapa sungai akan meluap, bila terjadi hujan besar dihulu.

Keterdapatan sumber mata air diwilayah ini, berasal dari daerah imbuhan di sebelah barat. Merupakan dataran tinggi dan perbukitan, lereng G. Tampomas. Batuannya disusun oleh endapan vulkanik, sehingga memiliki sifat batuan pembawa air. Syarata inilah salah satu alatan pemindahan kerjaan Sumedang Larang abad ke-17.

Tenjolaut merupakan dataran rendah, dikelilingi oleh pesawahan. Pada abad ke-17 akhir, menjadi ibu kota Kabupaten Sumedang, pada saat pemerintahan Raden Bagus Weruh. Dinobatkan menjadi bupati Sumedang 1633 – 1656, dengan gelar Rangga Gempol II. Ibu kota pemerintahannya dialihkan dari Timbangante ibu kotanya di Tegalluar (saat ini Kabupaten Bandung) ke Tenjolaut, Conggeang, Sumedang.

Pengalihan pusat pemerintahan tersebut, merupakan kelanjutan penangkapan Dipati Ukur pada 1633 di Gunung Lumbung Cililin. Dari wilayah inilah Rangga Gempol II memerintah, melanjutkan kekuasaan Kabupaten Sumedang yang dipimpin Rangga Gede.

Dampak lainya dari pemberontakan Dipati Ukur, 1633 Agung dan penerusnya Amangkurat I, mereorganisasi wilayah priangan. Dengan mempersempit wilayah Sumedang dengan membagi wilayahnya menjadi kabupaten pemekaran. Diantaranya Kabupaten Bandung, Sukapura dan Parakanmuncang.

Selain itu, melalui kebijaksanaan Amangkurat I pada 1641 (suksesi dari Sultan Agung) menghapus fungsi Bupati Wedana. Sehingga Rangga Gempol II, memiliki jabatan yang sama dengan bupati lainya. Kondisi demikian yang menyebabkan Rangga Gempol II kecewa, hingga 1656 mengundurkan diri. Dilanjutkan oleh puteranya bergelar Pangeran Panembahan, diangkat menjadi Rangga Gempol III. Tokoh kontroversial yang ingin mengembalikan Sumedang sebagai kerajaan berdaulat.

Dari informasi kepercayan masyarakat, penamaan Tenjolaut berhubungan dengan kondisi bentang alam. Menurut cerita orang tua, kawasan ini sebelumnya pernah ditempati laut dalam. Sedangkan pendapat lainya, dari lokasi ini bisa melihat patai utara, di balik G. Ciremai. Keberadaan bukti laut dalam, bisa ditemui di bukit Pasir Putih Tenjolaut di Blok Jukut. Berupa perbukitan yang disusun oleh Anggota Batulempung Formasi Subang (Tms). Berupa batulempung mengandung lapisan batugamping napalan abu-abu tua, batugamping. Setempat ditemukan sisipan batupasir glukonit hijau (Djuri, 2011).

Selain itu, sekitar wilayah ini ditempati pesawahan yang luas. Menempati hampir semua bagian Conggeang. Total luas wilayah Conggeang sekitar 65,36 km2 (BPS Sumedang, 2016). Pembukaan sawah sudah dilakukan, saat Sumedang berada di bawah kekuasaan Mataram (1620). Dengan cara alih teknologi orang-orang Banyumas ke Conggeang, dan perluasan sawah disertai pembangunan sistem irigasi, seiring dengan pembukaan lahan. Mengkonversi hutan menjadi sistem sawah. Ekstensi sawah tersebut sebagai strategi penguatan pangan, dilakukan Mataram dalam mendukung ekspansi wilayah ke Jawa bagian barat.

Situs Patilasan Bupati Sumedang, Rangga Gempol II di Tenjolaya, Padaasih.
Bongkah lava di jalan menuju Pasir Tenjolaut.
Pasir Tenjolaut, disusun batulempung.
(sungai) Ci Pelang yang mengerosi batulempung Formasi Subang.

Catatan Geourban#35 Cibugel

Masih dalam suasana musim hujan, peserta menembus jalan desa. Berpayung semangat untuk menangkis hujan, dengan tujuan menapaki kembali sejarah bumi di Sumedang Selatan.

Dikegiatan ke-35, mengunjungi jembatan gantung yang melintasi dua desa di Sumedang Selatan. Disebut jembantan gantung Panyindangan, menghubungkan Desa Baginda disebelah barat, dengan Desa Gunasari dibagian timur. Jembatan tersebut dibangun oleh anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pada tahun 2018. Menggantikan jembatan rintisan yang dibut oleh tim Vertical Rescue Indonesia, tahun 2017. Jenis jembatannya menggunakan teknologi Jembantan Gantung untu Pedesaan Asimeteris (Judesa). Menggunakran struktur kabel baja, dan tiang pancang sebagai struktur utamanya.

Panjang jembatan sekitar 120 meter, membentang barat ke timur di atas Ci Honje. Dengan lebar 1.65 meter, sehingga hanya bisa dilalui pejalan kaki dan roda dua. Bermanfaat sebagai penghubung dua desa, menggerakan ekonomi lokal. Dibangun di dataran rendah yang ditempati sawah, kemudian dipotong Ci Honje. Sungai yang berhulu di G. Calangcang. Sistem gunungapi purba, diperbatasan Sumedang dan Garut.

Aliran sungainya bertemu dengan Ci Peles, di Situraja kemudian bergabung dengan Ci Manuk. Disekitar Gunasari, dikatergorikan ordo sungai muda, dicirikan dengan arus sungai deras. Mengendapkan bahan sedimen yang diangkut dari hulu, diantaranya bongkah batuan hingga pasir. Sedimen dari hulu yang dibawa arus sungai, kemudian membentuk dataran-dataran aluvial yang luas. Dataran banjir tersebut ditempati oleh sawah yang memerlukan pengairan.

Lokasi berikutnya adalah lembah Citengah. Lembah yang diapit dua perbukitan, kemudian dipotong oleh Ci Tengah. Sungai yang berhulu di Cimanggung. Lereng G. Calangcang-Pasirhonje. Pada 4 Mei 2022 dilanda banjir bandang, meluap hingga menerjang rumah dan sarana warga di Citengah, Gunasari.

Dipicu oleh curah hujan tinggi, kemudian kemampuan penyerapan air yang berkurang. Terjadi akibat perubahan tata guna lahan di hulu, sehingga limpasan air (run off) mengalir semuanya ke Ci tengah dan Ci Tundun (sebelah barat). Dua sungai tersebut bergabung dengan Ci Honje, kemudian dialirkan ke utara.

Luapan air tersebut bukan saja terjadi satu kali, namun pernah dilaporkan sebelumnya. Walaupun dalam skala kecil, menandakan pengelolaan sungai dihulu terganggu. Seperti halnya diutarakan oleh Walhi Jawa Barat, bahwa banjir terjadi akibat perubahan penggunaan lahan di hulu.

Bagian hulunya adalah wilayah perkebunan teh Margawindu-Cisoka. Dalam penelusuran dikegiatan ini, mengunjungi tinggian Cisoka. Saat ini ditempati oleh lokasi wisata, tumbuh menjamur di atas lahan bekas perkebunan teh Margawindo. Penggunaan lahan tersebut saat ini masih dalam status abu-abu, karena selepas penguasaan masa kolonial dinasionalisasi. Kemudian disewakan kepada swasta, melalui Hak Guna Usaha.

Sebelum mendekati Cisoka, didapati air terjun Cigorobog, Citengah. Berupa air terjun bertingkat, mengalir dibatuan breksi gunungapi. Mengalir dari hulu G. Munjul dan G. Bedil. Air terjun bertingkat empat, terbentuk hasil erosi sungai. Akibat batuan yang lebih resisten, membentuk ceruk berupa air terjun bertanga. Aliran sungainya kemudian mengalir ke arah selatan, menuju Ci Honje.

Melintasi puncak pass Cisoka, jalanan menurun ke arah utara. Jalannya telah diaspal, hingga menjadi alternatif menuju Garut melalui Cibugel. Di desa yang masih menjadi wilayah Sumedang, berbatasn denga Garut. Sehingga kawasan ini menjadi jalur penghubung pergerakan pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indones (DI/TII). Terjadi pada kurun waktu antara tahun 1950-an hingga tertangkapnya Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo di G. Beber-Rakutak.

Serangan terjadi DI/TII pada 23 November 1959. Berupa aksi pembantaian yang terjadi di Desa Cibugel, mengakibatkan 120 orang tewas. Pada masa tersebut, desa ini menjadi basis pertahanan pro republik. Penolakan warganya terhadap kehadiran DI/TII. Sehingga pasukan bentukan SM Kartosuwiryo, mengkategorikan Cibugel sebagai desa Darul Harbi atau kawasan musuh. Pembantaian terjadi jelang tengah malam, melalui pengepungan. Dalam kondisi tidak menentu, sebagian bersar warga bersembunti di Legok Cibiru atau sekitar 100 meter dari kantor desa. Dilokasi inilah pasukan DI/TII melakukan pembunuhan masal, mengakibatkan tewasnya ratusan rakyat.

Pasca peristiwa tersebut, sebagian besar warganya mengungsi ke daerah lain di Sumedang. Kemudian kembali ke Cibugel, setelah ditangkapnya SM Kartosuwiryo pada 1962. Kunjungan ke Cibugel, menutup perjalan Geourban ke-35.

Puncak perkebunan teh Margawindu.
Air terjun Gorobog, hulu Ci Honje.
Kabut menyergap puncak Cisoka.
Penanda makam korban pembantaian DI/TII di Cibugel

Catatan Geourban#34 Buahdua

Jalan mulai menurun dan menyempit, hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Atap rumah berlomba menjulur ke badan jalan, sehingga perlu kehatian-hatian melewatinya. Tidak ada tanda dan arah, hanya bisa dilakukan dengan berkomunikasi dengan warga.

Seorang ibu menyambut pertanyaan kami, kemudian melemparkan telunjuk tangannya ke arah utara. Disitulah posisi Gua Angsana, ucapnya. Hati-hati karena jalannya terjal dan licin, tandasnya. Benar saja, tidak lebih dari dua kali oper gigi motor, jalanya menurun tajam. Berupa jalan yang ditembok, kemudian dihiasi lumut hijau. Tumbuh subur karena lembab, dan jarang dilalui.

Keberadaanya saat ini sudah tidak terawat, berbeda dengan konsisi dua tahun yang lalau. Jalan masih terbuka, bisa diakses mudah. Namun saat ini telah diambil alih vegetasi, sehingga perlu waktu untuk mencari lokasi gua.

Masyarakatat menyebutnya Gua Angsana, nama pohon kayu disebut juga Sonokembang (Pterocarpus indicus), atau rosewood. Pohon kayu yang berkualitas tinggi, dengan ciri kayunya keras, berwarna kemerah-merahan, dan cukup berat. Keberadaan pohon tersebut, menjadi cara penamaan bukit yang berada di Kampung Cipadung Cigarukgak, Desa Baros, Tanjungkerta, Sumedang.

Bentuk perbukitannya berupa punggungan, membujur dari utara-selatan. Panjangnya sekitar 370 meter, dengan titik tertinggi sekitar 610 mdpl. Disusun oleh batuan beku, ditafsirkan sebagai magma yang membeku di dekat permukaan, menerobos batuan gunungapi muda Tampomas. Bila di cek di Peta Geologi Lembar Bandung (Silitonga, 1973), disusun oleh batuan gunungapi tak teruraikan. Berasal dari G. Tampomas, berupa eflata dan aliran lava. Dindingnya tegak, dan memanjang yang diperkirakan merupakan sill. Berupa intrusi magma dengan struktur tabular yang sejajar dengan bidang datar permukaan (seperti lapisan) pada batuan di sekitarnya. Kemudian tersingkap ke permukaan, akibat batua penutupnya tererosi, karena resistensinya berbeda. Membentuk bidang kerucutu dan memanjang.

Pada dinding sebelah timur, terlihat bagian tubuh intrusi tersebut. Berupa struktur kekar dan terdeformasi yang membentuk bidang-bidang rekaha. Terbentuk karena tekanan (stress), temperatur cuaca (pendinginan-pemanasan), hingga pelapukan. Didapati gua yang dibuat oleh masyarakat, dengan tujuan mencari mineralisasi emas.

Keterdapatan mineral emas diantaranya diakibatkan oleh alterasi hidrotermal (hydrothermal alteration). Berkaitan dengan kehadiran perbukitan intrusi batuan beku, membentuk bidang kontak yang menhasilkan proses tersebut. Namun menurut laporan warga, hasilnya nihil sehingga ditinggalkan begitu saja.

Intrusi batuan beku tersebut bisa disaksikan dalam bentuk lain. Berupa kekar kolom yang tersebar memanjang utara-selatan, di Pasirlandak, Nagrak. Lokasi ini disebut juga Batu Sanghiang, atau versi lain Batu Sangkuriang. Lokasinya berada di tanah warga, diakses melalu jalan setapak dari desa. Jalan tersebut melalu perkebunan dan sawah warga, berjalan ke arah utara mengikuti kontur lereng perbukitan.

Berupa blok lava terbentuk dari hasil dari aliran lava, kemudian membeku dalam durasi waktu yang sangat singkat. Mengakibatkan berkontraksi, membentuk kolom-kolom dengan sudut hexagonal. Sumber lavanya diduga berasal dari hasil letusan efusif G. Tampomas. Jaraknya sekitar 6,5 km dari pusat letusan gunungapi.

Merujuk kepada cerita masyarakat, seorang pemuda yang ingin menikahi ibunya. Legenda tersebut menceritakan syarat sangibu, dibuatkan perahu untuk berlayar di talaga Bandung. Dengan demikian Sangkuriang harus mempersiapkan perahu. Batu-batu yang tersebart tersebut ditafsirkan sebagai perahu yang siap digunakan, untuk memnuhi syarat perkawinannya. Karena pembuatan telaga dan perahu melewati batas waktu, akhinrya Sangkurian murka. Perahu tersebut kemudian berwujud menjadi batu. Masyarakat mengenalnya dengan cerita Sangkuriang Kabeurangan.

Batuan kekar kolom yang tersebar di Blok Pasirlandak tersebut, sebelumnya tidak pernah diketahui warga. Seiring kunjungan wisata sejak 2020, lokasi ini menjadi ramai dikunjungi. Pengelola lokal menata lokasi ini dengan cara membersihkan dari vegetasi, sehingga batuan tersebut tersingkap.

Kondisi batuanya berserekan dari selatan dan melandai ke arah utara, sejauh kurang lebih 100 meter. Sejajar dengan arah sebaran batuan tersebut, mengalir sungai kecil ke arah lembah. Lerengnya ditempati sawah dan perkebunan warga. Keberadaan batuan yang menyebar, berbeda dengan singkapan batuan kekar kolom. Biasanya ditemui masif, berupa satuan bukan seperti yang disaksikan dilokasi ini. Kuat dugaan tercerai berai, akibat hasil pelapukan dan erosi. Sehingga sumbernya perlu dicari, sesuai arah aliran dari pusat letusan, dari selatan ke utara.

Ke arah utaranya, didapati danau yang memiliki fitur menarik. Disebut Situ Biru Cilembang, di Desa Hariang, Buahdua. Telaga yang kini menjadi tujuan wisata, dikelola melalui swadaya masyarakat Dusun Curug. Berupa dua telaga yang terbentuk dari mata air, disebelah utara dan selatan. Sebelah utara digunakan sebagai sumber mata air kebutuhan warga, dialirkan ke Ci Kandung disebelah barat. Telaga berikutnya, dicirikan dengan airnya yang berwarna biru gelap. Disebut Sirah Cai Kabuyutan Situ Biru Cilembang.

Warna tersebut diperkirakan hasil dari mineralisasi lempung yang ada di dasar kolam. Dugaan tersebut berdasarkan Peta Geologi Lembar Bandung (Silitonga, 1973), menunjukan batuan penyusunya produk gunungapi, Umur Kuater. Berupa hasil aliran lava letusan G. Tampomas (Qyl). Kemudian di bagian paling bawahnya, adalah Anggota Batupasir Formasi Subang (Mss). Keberadaan batuan lava tersebut hadir dalam bentuk bongkah-bongkah yang telah lapuk, tersebar dilokasi ini. Keberadaan batulempung Formasi Subang, sebagai media bidang gelincir. Seperti yang terjadi pada peristiwa gerakan tanah (longsor) di Desa Hariang, memutus jalan penghubung desa. Terjadi akibat curah hujan tinggi, pada 15 Maret 2022. Akibatnya adalah terputusnya ruas jalan sepanjang 60 meter, di Dusun Curug, Desa Hariang.

Selain sejarah bumi, Sumedang memiliki catatan sejarah berbasis militer. Sejarah yang menuntun arah kedaulatan RI yang terjadi di Lapangan Darongdon, Desa Buahdua. Buahdua menjadi titik konsolidasi bagi pasukan Divisi Siliwangi. Sejak Agresi Militer Belanda ke-dua, pada 19 Desember 1948. Penyerangan terhadap ibu kota negara RI di Yogyakarta oleh NICA, melalui serangan lapangan udara Maguwo. Tindakan selanjutnya dalah menangkap para petinggi negara saat itu, dengan tujuan menghilangkan pemerintahan RI. Sebagai tindakan balasannya, Panglima Besar Jenderal Sudirman menerbitkan Surat Perintah Siasat 1. Surat yang dikeluarkan pada pada hari yang sama dengan penyerangan Belanda. Isi surat tersebut diataranya memerintahkan seluruh angkatan perang RI, kembali ke daerahnya masing-masing. Dengan demikian Divisi Siliwangi harus melakukan perjalan kembali ke Jawa Barat. Perjalanan tersebut dilakukan secara diam-diam, tanpa diketahui oleh Belanda. Dengan demikian disebut Long March, operasi penyusupan ke kantong-kantong pertahanan (Winggate).

Diperlukan waktu hingga hampir satu bulan, dalam proses kembalinya pasukan Divisi Siliwangi ke Buahdua. Dalam rangkaian kembalinya pasukan, Belanda berupaya melakukan penyerangan. Seperti yang terjadi pada 11 April 1949 di Cibubuan, sekitar 7 km dari Desa Buahdua. Dikenal dengan penangkapan dan pembunuhan Komandan Batalyon II/Tarumanagara, Mayor Abdurahman di Desa Cibubuan. Desa ini merupakan koridor pasukan Divisi Siliwangi, sebelum bergabung ke markas besar di Buahdua.

Sebelah utara pusat kota Sumedang, terdapat Situs Baterai. Bunker yang digunakan sebagai sistem pertahanan militer kolonial Belanda. Disiapkan dalam menghadapi pasca Perang Dunia ke-2. Sistem pertahanan ini berupa bunker, digunakan untuk melakukan serangan artileri ke arah batas kota Sumedang. Diperkirakan dibangun antara 1912 hingga 1914, bersamaan dengan rencana pemindahan ibukota Hindia Belanda ke Bandung. Dengan demikian Sumedang merupakan buffer zone pertahanan militer, di sebelah timur Bandung.

Situ Biru Cilembang, disusun batuan gunungapi.
Prasasti mengenang perjuangan long march Divisi Siliwangi 1949
Deformasi batuan beku, perbukitan intrusi Angsana.

Diskusi Wista Bumi: Seribu Gumuk Warisan Bumi

Jember yang Menginspirasi Dunia!
Ikuti diskusi yang mendalami jejak collapse Gunung Raung Purba peristiwa dahsyat yang membentuk gumuk, saksi bisu kekuatan alam puluhan ribu tahun lalu. Pelajari nilai ilmiah, manfaat bagi kesuburan tanah, serta potensi geowisata berkelanjutan yang dapat mengubah wajah Jember.

Mari bersama menjaga dan merawat warisan geologis ini, karena gumuk adalah masa lalu kita yang membimbing masa depan.

Kuota Terbatas hanya untuk 50 pendaftar Dan Gratis .

More info : 08883786736 (Abbec Nade)

#SAHABAT BUMI JEMBER

Catatan Podcast SOS-PGWI

Pada awal kelahirnnya podcast adalah streaming radio, hasil obrolan. Disiarkan dalam media daring (online), dengan tema yang beragam. Dengan tujuan penyampaian pesan, melaui penyiaran. Seperti yang dilakukan oleh Sangkuriang Outdoor Service, disingkat SOS. Menggagas kegiatan penyiaran melalui media daring, dengan tema-tema yang dekat dengan kegiatan aktivitas alam bebas.

Pada tayangan ke-dua, berkolaborasi dengan asosiasi Pemandu Geowisata Indonesia/PGWI. Mengetengahkan tema yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam, melalui aktivitas pariwisata. Dilaksanakan di café SOS di venue Ski Air, Kota Baru Parahyangan, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Dilaksanakan pada tanggal 16 Februrari 2025, pukul 16.00 WIB.

Narasumber yang hadir diantaranya Deden Syarif Hidayat, penggerak Forum Pemuda Peduli Karst Citatah/FP2KC. Kemudian M. Rizky Hardjadinata atau biasa dipanggi Mang Ciko, pegiat wisata bumi di kawasan Saguling. Kemudian Zarindra Arya Dimas, pegiat wisata bumi keahlian geologi. Kemudian dihantarkan oleh Deni Sugandi dan Kang Ogi selaku moderator.

Perbincangan dibuka oleh Ogi, menyampaikan awal mula kegiatan podcast. Merupakan agenda rutin yang dilaksanakan oleh SOS, sebagai sarana silaturahmi dan diskusi dengan topik berkaitan dengan kegaitan alam bebas. Kemudian Deni mengantarkan tema podcast, membatasi pada diskusi yang berkaitan antara sumber daya alam Citatah dan pemanfaatannya melalui pariwisata.

Kondisi Citatah, Padalarang yang terus digempur kegiatan tambang akan berpotensi menghilangkan bentuk alam. Kegiatan ekstraktif ini sudah terjadi dari sejak masa kolonial, terus berlangsung hingga kini. Kawasan yang memiliki luas 10.320 Ha, sebagian besar ditempati oleh perbukitan karst. Sehingga menjadi potensi hasil tambang terbesar di Jawa Barat. Penghilangan bentuk alam dan dampaknya telah terasa, diantaranya adalah beberapa kerucut perbukitan telah hilang. Dampak lainya adalah polusi kegiatan pembakaran kapur, berkurangnnya mata air, hingga dampak bawaan lainya.

Pemanfaatan sumber daya alam ini bisa dilakukan dengan cara lain, tanpa merusak atau menghilangkan bentuk lahan. Seperti yang telah berlangsung saat ini, seperti wisata petualangan pendakian, hammocking, hingga wisata berbasi narasi kebumian. Aktivitas tersebut adalah pilihan yang tersedia, dengan tujuan tanpa penghilangan bentuk bentang alam (non-tambang), edukasi hingga pemamfaatan ekonomi oleh warga lokal.

Tiga pilar tersebut menjadi dasar pengembangan pariwisata berkelanjutan, sehingga menjadi cara terbaik untuk memanfaatakan sumber daya alam tanpa harus menambang. Pilihan tersebut telah diikhtiarkan sejak dahulu, dalam bentuk aktivitas paket wisata.

Dalam kesempatan ini Zarindra menyampaikan sejarah bumi Citatah. Terbentuk sejak 30 hingga 22 juta tahun yang lalu. Berupa pengendapan batuan karbonat dalam kondisi laut dangkal. Pada masa tersebut, sekitar Oligosen hingga Miosen Awal, sebagian besar lingkungan bumi dalam keadaan tenang. Sehingga mendorong pertumbuhan terumbu karang, termasuk diwilayah Citatah saat ini. Kemudian lepas Miosen Akhir, atau sekitar 22 hingga 12 juta tahun yang lalu menandakan berakhirnya pengendapan karbonat. Terjadi karena penenggelaman ulang menjadi lautan dalam, sehingga diendapkanlah batuan sedimen seperti lempung danpasir didasar lautan dalam. Keberadaanya kini bisa dilihat dalam bentuk batuan sedimen berapis, batulempung dan batupasir. Dalam peta geologi lembang Bandung (Sudjatmiko, 1972), disusun oleh perselingan endapan laut dalam. Dikelompokan ke dalam Formasi Citarum, kini bisa dilihat berupa perbukitan terlipat disebelah selatan jajaran perbukitan karts Citatah.

Pada masa berikutnya, terjadi pengangkatan akiba kegiatan tektonik. Menyusupnya lempeng samudera Indo-Australia, di bawah lempen benua Euarsia. Terjadi di tepian benua sepanjang pulau Jawa bagian selatan. Kegiatan tektonik tersebut menyebabkan terjadinya perlipatan, pensesaran perbukitan yang memanjang dari muara Cimandiri, hingga ke Tangkubanparahu. Segmen tersebut menyerong baratdaya-timurlaut, disebut sistem sesar Cimandiri.

Terjadi pada Pliosen hingga Pliostosen. Antaran 5 juta hingga 700 ribu tahun yang lalu. Seiring tumbuhnya gunungapi di bagian selatan Jawa. Jajaran gunungapi aktif, muncul di bawah laut. Kemudian bergeser ke sebelah utara. bagian dari jajaran gunungapi modern.

Narasi tersebut menjadi pengantar dalam membungkus paket wisata. Seperti yang telah dilakukan oleh Mang Ciko, pemandu wisata bumi yang berdomisili di Saguling. Kegiatan wisata yang sudah berjalan dikawasan saguling, diantaranya Sanghyang Kenit, Sanghyang Heuleut dan beberapa tempat lainya. Paket-paket wisata tersebut bukan saja berkaitan dengan bentang alam, tetapi bisa dipadukan dengan aktivitas lainya.

Sekitar spill way Saguling, didapati fosil dari masa lalu. Menandakan sebagian Saguling merupakan rawa-rawa yang dihuni oleh mamalia besar. Penemuannya berupa fosil tungkai kaki kuna nil, gajah hingga mamalia lainya. Fosil tersebut tertanam dibatupasir, endapan danau purba. Wisata minta khusus ini menjadi garapan Mang Ciko, dengan menkoordinir kunjungan, menggunakan perahu milik warga.

Pilihan wisata lainya bisa dipadukan dengan kunjungan ke pasar tradisional Rajamandala. Menyediakan hasil bumi khas sekitar Saguling, hingga kuliner yang hanya bisa dijumpai dilokasi ini. Bergeser ke arah baratnya, terdapat wisata agro perkebunan durian. Kemudian wisata yang berkaitan dengan militer, diantaranya keberadaan sistem pertahanan militer masa kolonial.

Menurut Ciko, akses menuju kawasan Citatah saat ini sudah mudah. Diantarnya sudah tersedianya kereta api cepat, turun di Statsion Padalarang. Kemudian statsiun keretapi reguler di Cipatat. Sehingga aksesibilitas luar kota sudah bisa menjakau kawasan karst Citatah. Selanjunya mang Ciko menambahkan beberap objek wisata yang berbasis wisata bumi yang telah berjalan. Diantarana segmen 7 km Ci Tarum, dari bendungan hingga pintu outlet pipa pesat. Seperti Cikahuripan, kemudian ke arah hilir Cukang Rahong, curug Halimun. Kemudian lanjut hingga Sanghyang Heulit dan Sanghyang Kenit.

Dalam kesempatan berikutnya, Deden menjelaskan peran forum turut mengerakan ekonomi lokal melalui pariwisata. Melibatkan dengan masyarakat, melalui aktivasi perkebunan warga, geraka penanaman hingga pendampingan pengelolaan objek wisata. Seperti yang dilakukan oleh SOS, turut mendampingi kegiatan aktivasi wisata. Saat ini SOS sedang membangun sarana bangunan yang akan digunakan sebagai sarana bersama, meeting point dan cofffe shop. Ditargetkan diselesaikan dibulan Maret, mempersiapkan rencana Festival Panjang nasional di Tebing 125 Citatah. Begitu juga dengan PGWI, wadah silaturahmi para pemandu wisata bumi. Jejaring para pemandu yang siap bekerja dikawasan Citatah-Saguling.

Kegiatan ditutup hingga lepas magrib, dengan menyimpulkan bahwa pariwisata memberikan alternatif pemasukan daerah. Melalui wisata berkelanjutan, dengan memanfaatkn sumber daya alam tanpa merusak atau menghilangkan. Objek geowisata yang memiliki makna, arti dan sejarah kemudian dibungkus dalam narasi dan iterpretasi pemanduan wisata bumi. Para narasumber yang hadir

Dengan harapan lingkungan lestari, bumi dikonservasi sekaligus ekonomi lokal tumbuh. Disebut wisata berkelanjutan dalam bungkusan wisata bumi.

Podcast lengkapnya bisa di cek di sini: https://www.youtube.com/watch?v=KNeQFZiiZdE&t=7417s

Catatan Geourban#32 Ganeas Sumedang

Dalam laporan prakiraan cuaca, sebagian besar langit Sumedang dibawah sergapan hujan ringan. Terbukti saat rombongan Geourban mendekati kota ini, langit sepertinya ditaungi awan tebal. Temperatur sejuk, mengantarkan kegiatan ini dari pagi hingga jelang sore. Untuk mendapatkan reportase dalam bentuk video, bisa dilihat ditautan https://www.youtube.com/watch?v=U9c54fYwE-w

Sesuai dengan pernjajian di grup Whatsaap, memilih lingkar Binokasih sebagai titik perjumapaan. Selain mudah dijangkau dan dipahami, tugu ini menjadi batas terluar sebelah timur sebelum memasuki pusat kota Sumedang. Tugu yang dihiasi oleh mahkota Binokasih, simbol penerus kerajaan Sunda abad ke-16. Pada abad tersebut Kesultanann Banten semakin mendesak kerajaan Sunda yang berkedudukan di Pakuan Pajajaran (Bogor), hingga runtuh.

Jelang keruntuhan kerajaan tersebut, Raja Sunda terakhir mengirim empat utusan disebut Kadaga Lante.Tujuaanya adalah menyerahkan simbol kerajaan Sunda, agar dilanjutkan oleh Kerajaan Sumedanglarang. Diantaranya adalah mahkota Binokasih, sebagai penegas suksesi kerajaan penguasa sebagian besar Tatar Sunda. Momen inilah yang digunakan oleh raja terakhir Sumedang, untuk menyatakan kerajaan Sumedang berdaulat. Hingga kelak, sekitar 41 tahun kemudian takluk di bawah Kesultanan Mataram, sehingga Sumedang berstatus kabupaten.

Binokasih membawa rombongan Geourban ke masa kejayaan kerajaan Sumedanglarang. Dalam kegiatan sebelumnya https://pgwi.or.id/2025/01/30/catatah-geourban31-dayeuhluhur/ mengupas satu penggalan waktu, raja terakhir Sumedanglarang. Dalam kegiatan ini menggunakan kendaraan roda dua, diikuti oleh pegiat wisata, pemandu dan peminat budaya. Kendaraan melesat menembut jalan raya Sumedang, mengarah ke utara dan memotong kota. Terlihat samar-samar satu bentuk perbukitan yang menaungi kota Sumedang, dari G. Kacapi kemudian berbelok ke arah timur.

Melewati Desa Margamukti, Kecamatan Cisarua. Melalui jalanan yang menhubungkan ke Desa Ciuyah. Jalanan kelas kabupaten, membujur dari timur ke barat. Tidak lebih dari sepeminuman teh, melampaui Cirwaru dan perbukitan Pasir Ciwaru. Jalanan menyempit membelah kampung, kemudian tiba di tinggian Ciuyah. Berupa lembah yang dipotong oleh Ci Uyah. Kiri dan kanannya ditempati hamparan sawah, tumbuh subur sepanjang masa. Sebelah barat terlihat jajaran perbukitan, dihuni oleh vegetasi lebat. Hutan tersebut berfungsi sebagai daerah tangkapa air, sehingga kawasan ini tdak pernah kekeringan.

Tujuan pertama adalah fenomena mataair Ciuyah, Ds. Ciuyah. Terletak diantara sawah warga, sebelah utara dari kantor Desa. Jarak dari jalan raya desa menuju lokasi sekitar 500 meter, melaui salura irigasi. Dilakukan dengan berjalan kaki, sejajar dengan anak sungai hingga lokasi yang akan dituju. Dari pertengahan perjalanan, terlihat lembah yang dipotong sungai, memberikan indikasi adanya pola kelurusan yang dilalui sungai. Dalam laporan tim Badan Geologi KESDM (Saputra drr., 2023), survey seismisitas Gempa Sumedang 31 Desember 2023. Menemukan perkiraan sesar melalui survey lapangan dan morfotektonik. Mengintepretasi adanya pola sesar naik berarah relatif barat-timur, terpotong oleh sesar mendatar berarah timurlaut-baratdaya. Buktinya terlihat kehadiran cermin sesar sebagai sesar mendatar pada badan sungai. Kajian tersebut menindaklanjuti survey Pusat Air Tanah dan Geologi Lingkungan, Badan Geologi. Mengkonfirmasi keberadaan sumber mata air asin di tinggian Desa Ciuyah.

Keberadaan mataair ini diduga sebagai air yang terperangkap apda batuan sedimen, muncul kepermukaan karena diberi jalan oleh retakan pada batuan. Akibat adanya tekangan dari bawah, pembukaan celah yang memungkinkan naiknya fluida ke permukaan. Disebut mata air formasi atau mata air yang berasosiasi dengan batuan sedimen (connate water).

Dalam fisografis pulau Jawa, Sumedang merupakan bagian dari Zona Bogor (Martodjojo. 1984). Zona ini meliputi sebagian besar Sumedang, merupakan perbukitan lipatan yang terbentuk dari batuan sedimen laut dalam. Sehingga diperkirakan sebagian besar Sumedang masih berada di dasar laut. Seiring waktu diendapkan batuan sedimen laut dalam, berupa batupasir-batulempung pada Miosen Tengah hingga Miosen Akhir atau sekitar 23-15 juta tahun yang lalu. Seiring dengan pengendapan batuan sedimen, terdapat cekungan yang menjebak air laut pada saat itu. Pada umur Pliosen terjadi pengangkatan, diakibatkan oleh tektonik. Mengakibatkan pendangkalan dan pensesaran, seperti yang diduga hadirnya sesar Ciuyah.

Mata air tersebut muncul ke permukaan, berasosiasi dengan sesar. Air yang berada jauh di kedalaman lebih dari 1000 meter di bawah permukaan, disebut air formasi (connate water). Debitnya tidak terlalu besar, rasanya asin dan tidak mengindikasikan kenaikan temperatur. Merupakan rembesan, dicirikan dengan munculnya gelembung. Tingkat kegararamannya mendekati air laut, dengan pH 6,7 (Survey PAGTL, 2023).

Di lokasi tersebut ditemukan dua sumur, dibuat oleh pemilik lahan dengan tujuan untuk kegiatan ritual atu pengobatan. Dari informasi warga, lokasi ini sering dikunjungi pada waktu tertentu, sebagai sarana penyembuhan dari penyakit. Beberapa pengunjung melaksanakan niat untuk mandi atau sekedar membersihkan diri. Dengan demikian pemilik lahan memasang kain penutup warna putih, disekeliling sumur mata air Ciuyah. Bahkan beberapa pengunjung menyempatkan mengambil air, sebagai sarana penyembuhan.

Perjalanan ke arah timur, menemui situs Batukuya, Ds. Cimara. Blok batuan yang jatuh dari puncak Pasir Pabeasan. mengendap di sawah warga. Akibat pelapukan, membentuk seperit kura kura. Menurut warga, batu tersebut menjadi penghias alam namun ada juga yang mempercayai sebagai situs ritual.

Berada diantara sawah warga, Desa Cimara, Cisarua, Sumedang. Disebut kuya atau kura-kura dalam bahasa nasional, karena mirip dengan binatang reptil tersebut. Dicirikan dengan adanya rumah atau batok seperti kubah, dan kepala yang menjulur keluar.

Dari ukurannya cukup besar, panjang sekitar 2 meter, dan lebar 1 meter. Tingginya tidak lebih dari 90 cm. Dari sekilas pengamatan, disusun oleh batuan beku. Sumbernya diperkirakan dari bukit yang berada di sebelah tenggara dari Pasir Pabeasan. Akibat kegiatna pelapukan tingkat lanjut, mementuk blok batuan yang jatuh kemudian mengendap diantara pesawahan. Sebagian besar telah mengalami pelapukan, membentuk rekahan-rekahan. Batuan penyusunnya bagian dari Pasir Pabeasan, ditaksir sebagai batuan intrusi batuan beku. Warna batuan abu-abu cerah, mengindikasikan jenis andesitik.

Dari keterangan warga, keberadaan batu Kuya ini awalnya ada di atas perbukitan. Kemudian pindah ke arah lereng, diantara sawah warga. Posisinya berada sekitar 50 meter dari jalan Desa Cimara.

Mendaki ke arah barat, mendekati puncak Pasir Pabeasan. Didapati singkapan batuan beku tebal, tegak dan tetutupi oleh hutan bambu. Berupa perbukitan intrusi batuan beku, membentuk gawir terjal setinggi 10 meter. Berupa lava tebal yang telah mengalami pelapukan dan terdeformasi. Membentuk struktur kekar lembar dan bidang-bidang rekahan. Diantaranya didapat ceruk yang dipercayai sebagai sarang macan, atau disebut liang meong. Ukuran lubangnya memiliki lebar sekitar 1 meter dan tinggi 1,5 meter, berupa lorong kecil. Keberadaanya kini ditutup oleh warga, dengan cara ditimbun dengan menggunakan tanah yang diambil dari sekitar gua. Menuju lokasi tersebut, melaui pesawahan warga, kemudian mendaki mengikuti kontur lereng hingga kearah puncak perbukitan.

Di bagian puncak perbukitan tersebut, ditemui situs Pasir Pabeasan. Situs yg kepercayaan/agama nenek moyang. Berupa batu tegak, disusun diantara bongkahan batuan. bentuk demikian bisa ditafsirkan sebagai matu menhir.

Perjalan dilanjutkan ke arah selatan, menyeberangi Ci Peles di daerah Cibangkong. Kemudian dilanjutkan ke arah jalan raya Wado, berbelok ke arah timur dan mengambil jalan desa Cibogo. Pintu masuk berada diobjek wisata Bale Citembong Girang, dilanjutkan berjalan kaki sekitar 15 menit ke arah selatan.

Keberadaa situs Pasir Kabuyutan, masuk ke dalam wilayah Desa Ganeas. Disebut Situs Kabuyutan Citembong Girang. Sistem religi nenek moyang, berupa susunan batuan dengan berbagai ukuran. Ditata menyerupai altar. Menurut warga sudah digunakan oleh raja Sumedang pertama, sekitar abad ke-8. Berada dilereng perbukitan, dicirikan dengan keberadaan pohon beringin Ficus benjamina yang tinggi menjulang. Diperkirakan umurnya ratusan tahun, dengan akar yang menjalar kesegala arah.

Keberadaan pohon beringin selalu dikaitkan dengan tempat sakral. Dibeberapa kebudayaan dipercaya sebai tempat tinggal roh nenek moyang, memiliki keukuatan mistis sehingga sering digunaan sebagai tempat ritual.

Lokasi penutup berkunjung ke Situs Batu Guling. Desa Kaduwulung. Ditemui beberapa blok batuan, berupa breksi lahar hasil kegiatan gunungapi. Dari keterangan warga, batuan tersebut dijatuhkan dari perbukitan Dayeuhluhur. Dengan tujuan untuk menghancurkan pasukan Cirebon yang berusaha menyerang dari arah timur. Terjadi pada saat penyerangan Cirebon ke Dayeuhluhur, pada tahun 1585. Blok batuan tersebut digulingkan, kemudian mengendap disekiar Desa Kaduluwung, menjadi situs disebut Batu Gulung.

Blok batuan beku berbentuk kuya (kura-kura)
Situs Pasir Pabeasan
Situs Kabuyutan Citembong Girang