Kaki gunung sebelah timur Tangkubanparahu, memiliki cerita bumi dan sejarah sistem pertahanan militer perang dunia ke-2. Jalan dari utara ke selatan, penghubung Subang-Bandung. Jalur sempit yang mengikut tekuk lereng G. Tangkubanparahu, dan berkelak-kelok menanjak mengikuti kontur perbukitan.
Lerengnnya disusun piroklastik, dan lava membentuk perbukitan yang melandai ke arah timur. Gunungapi ini mulai membangun dirinya sejak 90 ribu tahun yang lalu, menghasilkan aliran lava ke arah Ciater. Terlihat tiga perbukitan intrusi yang kini menjadi menara pandang perkebunan teh Ciater. Ditafsir gunungapi kerucut sinder, umurnya lebih tua dari yang menjadi saksi pembentukan G. Tangkubanparahu.
Disebelah baratnya, dilalui jalan Raya Subang-Bandung. Tentara Kerajaan Belanda (KNIL), membut sistem pertahanan yang memanfaatkan celah sempit Cingasaahan. Membangun bungker (pilbox), untuk menahan laju pasukan Jepang yang masuk melalui Kalijati Subang. Setelah dua hari pertempuran hebat, 7 Maret 1942 KNIL menyerah dan Jepang mengusai Bandung. Mengakhiri kekuasaaan kolonial di Jawa dan sebagain besar Indonesia.
Mari temui jejak letusan G. Tangkubanparahu, perbukitan intrusi G. Malang-Palasari. Peran kontur tekuk lereng yang digunakan sebagai basis pertahanan militer KNIL Belanda di sekitar Cipangasahan, Ciater.
Hari/Tanggal Sabtu, 3 Agustus 2024
Waktu 07.00 WIB sd. 13.00 WIB
Titik Pertemuan Gerbang Tangkubanparahu https://maps.app.goo.gl/kU5o14fb8dMcvCqv9
Syarat dan ketentuan Kegiatan probono, bersifat mandiri (transport, logistik) dipersiapkan sendiri. Disarankan menggunakan motor/roda dua laik jalan.
Tentang Geourban Diinisiasi oleh PGWI, menjalin jejaring lokal, menggali tafsir tapakbumi dan syiar geowisata.
Telah dilaksanakan kegiatan dengan tema geowisata, di aula ruang publik, kantor Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Jawa Barat (7/6, 2024). Pertemuan ini difasilitasi oleh Bidang Destinasi Pariwisata, melalui kehadiran langsung Kepala Bidang Destinasi Pariwisata, Disparbud Jabar yaitu ibu Ani Widianti. Acara dimulai pukul 16.30 WIB hingga 18.00 WIB. Di tempat yang sama dalam waktu sebelumnya, telah di launching oleh Kadis Parbud Jabar. Pelatihan dan Sertifikasi Pemandu Geowisata di lima Kabupten/Kota Jawa Barat, mulai tanggal 19 Juni di Kab. Pangandaran hingga tutup bulan.
Dalam kesempatan ini hadir para narasumber, mewakili para penulis geowisata. Diantaranya hadir Deni Sugandi, penulis buku Kaldera Sunda: Jejak Plinian di Pringan (2024), Gangan Jatnika penulis buku Lingkung Gunung Bandung#1 (2024). Sebagai penanggap diskusi adalah hadir T Bachtiar, penulis dan pegiat geowisata. Kegiatan ini sebagai upaya sosialisasi geowisata Jawa Barat, yang diinisiasi oleh asosiasi Pemandun Geowisata Indonesia (PGWI), bekerja sama dengan Disparbud Jawa Barat.
Kegiatan dilaksanakan di ruang publik, kantor Disparbud Jawa Barat. Dihadiri oleh lebih dari 50 orang, dari unsur para pegiat, pemandu, pengelola destinasi wisata hingga dari kampus.
Diskusi dibuka oleh Deni Sugandi selaku moderator, memberikan tema atau batasan diskusi tentang geliat geowisata di Jawa Barat. Melalui penerbitan karya intelektual penyusunan buku, tentang geowisata diseputaran Cekungan Bandung. Geowisata adalah aktifitas wisata yang berlandaskan tentang sejarah bumi, fitur bentang alam, hingga proses dinamik bumi yang sedang terjadi kini. Deni menambahkan bahwa saat ini geowisata telah memiliki nilai ekonomi, melalui pemberdayaan lokal sebagai pemilik wilayah.
Deni memberikan gambaran tentang buku Kaldera Sunda, sebagai bukti letusan gunungapi. Melalui buku tersebut, Deni menelusuri kembali jejak-jejak bukti material letusan.
Dalam pemaparan singkat, T Bachtiar menyampaikan bahwa narasi tentang kebumian telah banyak ditulis. Baik melalui penerbitan buku, artikel, hingga aktivitas yang bertemakan tentang geowisata. Narasi-narasi tersebut telah dibunyikan oleh para pegiat, seperti yang dilakukan Bachtiar melalui komunitas Geotrek Matabumi.
Menurut Bachtiar, narasi tersebut sebagai dasar dalam kegiatan geowisata. Digunakan oleh para pemandu, untuk mempresentasikan bentang alam, hingga proses bumi yang terus berlangsung hingga kini. Sehingga Bachtiar menegaskan bahwa pemerintah, melalui dinas pariwisata tidak perlu repot-repot membuat kajian karena data sudah disediakan oleh pegiat dan komunitas geowisata.
Diskusi dilanjutkan oleh paparan singkat dari Kabid Destinasi Pariwisata, yang mengatakan begitu pentingnya pengelolaan sampah di destinasi geowisata. Ibu Ani Widiani tidaklah begitu setuju dengan objek wisata dadakan, seperti pengemasan wisata melalui bentuk platform yang dihiasi oleh tulisan-tulisan ataupun bentuk yang kurang mendukung. Karena menut Ani, alam sudah memberikan keindahannya sehingga di objek wisata tidak perlu lagi dipasang seperti bentuk kupu-kupu atau lain sebagainya. Begitu juga dengan pengelolaan di destinasi taman bumi (Geopark) di Jawa Barat, Nia menegaskan perlunya pengelolaan dan perencanaan pembangunan destinasi yang baik. “Saya dulu bertugas di Bappeda Jabar, sehingga tahu betul pentingnya pengelolaan destinasi” tegasnya.
Penyaji berikutnya mengetengahkan gunung-gunung yang melingkupi Cekungan Bandung. Ganggan Jatnika menguraikan upaya menulis, melalui pengumpulan data, hingga mengkompilasinya menjadi satu buku. Buku ini merupakan edisi pertama yang memuat sebagian gunung yang ada di luar lingkar Cekungan Bandung, sebutannya.
Sebagai penutup dalam diskusi, Deni memberikan catatan bahwa perlu penggalian narasi-narasi yang berkaitan dengan geowisata. Baik dilakukan perorangan, komunitas hingga perlunya dukungan lembaga khususnya pemerintahan. Selebihnya adalah perlunya dukungan pemerintah, agar para pegiat geowisata ini bisa diberikan tempat untuk mendorong pergerakan ekonomi melalui wisata berbasis kebumian.
Buku sebagai sumber informasi, berisi ribuan pinjaman kata-kata dari buku sebelumnnya. Dikumpulkan dan disusun menjadi tafsir baru, seperti yang digarap dalam Kaldera Sunda: Letusan Plinian di Priangan, dan Lingkung Gunung Bandung#1.
Narasi tersebut sebagai bahan “story telling”, mengungkapkan bentukan alam yang tersaji saat ini. Berupa bentang alam, fitur hingga proses dinamika bumi yang terus aktif hingga kini. Dalam bentuk gunungapi meletus, gempa, longsor yang menata wajah Priangan.
Mari bergabung dalam acara Bincang Buku Geowisata, mengupas dua buku penerbitan tahun 2024. Tentang jajaran pegununungan dan perbukitan yang mengepung Cekungan Bandung, serta kisah sejarah pembentukan gunungapi kelas letusan katastropik di utara Kota Bandung.
Hari/Tanggal Jumat, 7 Juni 2024
Waktu Pkl. 15.30 WIB sd. 18.00 WIB
Venue Ruang Publik Seni Kreatif Disparbud Jawa Barat https://maps.app.goo.gl/LuHh7h4JJdfui2An6
Tentang kegiatan Dinisiasi oleh asosiasi Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI). Bekerja sama dengan Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Jawa Barat. Bertujuan syiar geowisata di Jawa Barat dan menjalin silaturahmi pegiat, praktisi, pemandu geowisata.
Pagi hari awan tebal masih menggelayuti Kota Bandung, meneteskan gerimis sejak subuh (27/02, 2022). Perlahan langit terbuka seiring jelang siang, memberikan janji bahwa kemungkinan siang hari cuaca akan cerah. Tepat pukul delapan pagi para partisipan telah berkumpul di monumen lokomotif, persis di depan kantor Pusat PT KAI, sekitar Bababakan Ciamis. Kegiatan ini adalah rangkaian aktivitas perkumpulan Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI), ke-6 bertujuan membuka pola perjalan geowista dalam kota, melalui tema berkaitan dengan informasi sejarah pembentukan alam, hasil budaya dan mitigasi. Bersifat partisipasif, mengajak semua peserta sama-sama memperkaya informasi, dengan cara saling memberikan pengetahuan melalui kegiatan penyampaian informasi selama kegiatan.
Geourban#6 menyasar Ci Kapundung segmen kota, berjalan kaki kurang lebih 1 km. Perjalanan dari Babakan Ciamis, di sekitar viaduct, menyusuri perkampungan padat Gang Afandi, melalui pertemuan sungai dengan Jalan Raya Pos, bukti endapan danau purba, hingga kunjungan ke sumber mataair berupa sumur.
Kegiatan dibuka oleh Deni Sugandi, selaku pemandu geowisata, dihadapan 23 orang peserta. Berasal dari beragam latar belakang, mulai dari pegiat lingkungan, komunitas wisata kota, pemandu wisata, mahasiswa higga profesional. Kegiatan ini dibatasi dan dilaksanakan dalam jarak lintasan yang telah disesuaikan pada kondisi PPKM level 3, berkaitan dengan rekomendasi pemerintah untuk pencegahan dan penyebaran virus Covid di Kota Bandung. Dalam penjelasan awa, Deni menunjukan sungai tersebut berawal di sebelah utara, dari lereng G. Bukittunggul-G. Pangparang. Mengalir mengikuti lembah yang dalam, sejajar dengan Sesar Lembang, kemudian berbelok ke arah selatan. Menerobos lembah Maribaya, di dalam wilayah Taman Hutan Raya H. Juanda. Selanjutnya mengalir dari tinggian utara Bandung, hingga pertemuan dengan Ci Tarum di sebelah selatan. Total perjalanan sungai ini adalah 28 km, mengalir dari utara ke selatan, membelah kota Bandung. Di kegiatan Geourban#6 ini, menyusuri kembali segmen tengah, sekitar Babakan Ciamis, hingga Sumur Bandung atau tepat di jantung kota.
Dalam pembukaanya, Deni menyampaikan brifing awal mengenai tata pelaksanaan kegiatan, termasuk jarak lintasan, titik berhenti untuk kegiatan intepretasi. Aktivitas geowisata kota ini dimulai di titik Viaduct, persis di seberang Masjid Persis. Fajar Lubis selaku pemandu dikegiatan ini, menjelaskan bagaimana Ci Kapundung di segmen yang melewati kota. Viaduct adalah struktur perlintasan jalan dan keretaapi yang melewati sungai. Struktur ini telah ada sejak kereta api mulai masuk ke kota Bandung sekitar 1890-an, diawali denga pembangunan ruas lintasan keretaapi dari Buitenzorg ke dataran tinggi Priangan. Keretaapi masuk ke kota Bandung, diawali denga pembangunan statsiun keretapi di Kebonjukut Bandung, sekitar 1882.
Dari titik ini Fajar menjelaskan fungsi sungai bagi masyarakat Bandung, terutama bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai. Sungai berfungsi sebagai sumber ari baku, saluran drainage hingga sumber energi. Sepertin halnya sungai yang dinamani jenis pohon kerah Bencoy, atau dikenal buah Menteng, memberikan peranan penting terhadap kehidupan kota. Ci Kapundung yang melintasi kota, telah direkayasa dengan pendekatan normalisasi. Dilaksanakan sejak pada pemerintahan kolonial, kemudian ditingkatkan pelebaran dan pengerukan pada masa pascaordebaru. Sungai tersebut saat ini lebar dan dalam, sehingga dikondisikan mengalir cepat.
Perjalanan dilanjutkan menapaki labirin yang seperti tiasa batasnya, di sekitar gang Afandi, Kelurahan Braga. Gang senggol yang dibangun melalui konsep rumah tumbuh, ditempati masyarakat yang mata pencaharian sehari-harinya adalah berniaga di kota. Gang Afandi adalah nama pengusaha lokal yang sukses di kala pemerintahan Belanda, dan dibangun ditepi bantaran Ci Kapundung segmen Braga. Titik berikutnya adalah persis di jembantan yang menghubungkan Gang Afandi dengan Pasar Cikapundung. Jembatan besi yang dibangun sebagai penghubung masyarakat yang tinggal di Gang Afandi, langsung ke pusat kota melalui Pasa Elektronik Cikapundung.
Di atas jembatan penyebrangan orang ini, Felix Feitzma mengupas wajah Bandung tempo dulu. Dikisahkan bahwa sungai ini memiliki peranan penting pada masa-masa kemerdekaan, diantaranya dimanfatkna sebagai basis miiter RI. Mengentahui lokasi persembunyian para pejuang, Belanda memerintahkan untuk membobolkan bendungan Ci Kapundung di sekitar Babakan Ciamis, agar rumah-rumah tempat persembunyian para pejuang habis diterjang banjir. Selain itu Felix mengisahkan pula kehidupan malam, kota Bandung yang tidak pernah tidur. Di sekitar bantaran Ci Kapundung kawasan Braga, ada penjual sate kambing, dengan memanfaatkan sungai ini sebagai sarana mencuci daging domba. Bila mengonsumsi daging sate tersebut dipercaya dapat menguatkan kemampuan seksualitas, mengingat daerah Braga hingga daerah Kebonjati kala itu merupakan daerah perdagangan seks.
Selanjutnya perjalanan menuju ke arah selatan, hingga bantaran Ci Kapundung. Lokasinya persis diantara jembatan Pasar Cikapundung, dan Jembatan Jalan Asia Afrika. Di tempat ini ditemui bongkah-bongkah batuan beku, berukuran kerikil, hingga bongkah dan terendapkan di kelokan sungai (point bar). Strukturnya membundar, menandakan ciri batuan yang diangkut melalui aliran sungai yang berasal dari hulu. Batuan tersebut merupakan produk letusan gunungapi, maupun intrusi. Kemudian seiring waktu tererosi, kemudian diangkut oleh air hingga saling beradu kemudian membundar. Masyarakat menyebutnya batu kali, biasa dimanfaatkan untuk kebutuhan pembuatan pondasi, atau campuran pembuatan beton bangunan. Keberadaanya melimpah, diendapkan dibantaran sungai sepanjangn Ci Kapundung.
Kunjungan terakhir adalah ke sumur Bandung. Keberadaan sumur tersebut tentunya berkaitan dengan kegiatan pembuatan jalan Raya Pos. Deni memberikan paparan bahwa pembangunan jalan utama tersebut tegak lurus timur-barat. Sedangkan pada saat penentuan ruas jalan tersebut, sudah berdiri pusat pemerintahan kabupaten di sekitar Dayeuh Kolot saat ini. Namun melalui keputusan Daendels pada surat bulan Mei 1810, memerintahkan pusat pemerintahan kabupaten tersebut harus digeser, mendekati Jalan Raya Pos.
Dititik inilah kegiatan Geourban#6 ditutup, seiring mendengarkan kesan-kesan dari para peserta. Diantaranya menyampaikan bahwa ada kemasan informasi baru, dari kegiatan wisata kota sebelumnya. Apalagi kemasannya adalah tema tentang geowisata kota yang selama ini hanya disampaikan berkaitan dengan sejarah, arsitektur kolonial hingga budaya. Dari kegiatan ini, peserta memetik informasi melalui kegiatan intepretasi para narasumber, bahwa Bandung dibangun di atas endapan danau purba, dan tidak lepas dari sejarah budaya yang menempati di permukaanya.
Kegiatan syiar geowisata di Cekungan Bandung ini dilaksanakna bertepatan dengan bulan ramadhan, pada hari Sabtu, 8 April 2023. Kegiatan ini mengupas rahasia bumi, peristiwa dinamika alam, hingga budaya yang menempati dataran tinggi Lembang. Kegiatan ke-11 ini mengambil tema Jayagiri, kawasan di sebelah utara kota Lembang, berada di lereng G.Tangkubanparahu sebelah selatan. Kawasan ini menarik untuk dikupas dalam kegiatan ini, mengingat beberapa dinamika bumi dan budaya yang berlangsung telah mengukir sejarah dunia. Diantaranya menapaki kembali akhir riwayat dan hasil karya Junghuhn sembilan tahun terakhir, antara 1855 hiingga meninggal 1865. Sekembalinya ke tanah Jawa Barat, Junghuhn diminta untuk membudidayakan kina selama sembilan tahun terakhir, hingga produksi kina menduduki peringkat pertama di dunia. Tujuan lainya adalah mengunjungi sumber mata air Cikahuripan, mengalir diantara dua litologi, dan mengunjungi rumah terakhir Junghuhn.
Geourban merupakan upaya syiar geowisata, menggerakan dan inisiatif jejaring sumber daya manusia di keorganisasian PGWI, hingga membangun ekosistem geowisata di Cekungan Bandung. diusahakan oleh perkumpulan Pemadu Geowisata Indonesia/PGWI, sejak 2020. Kegiatan ini bersifat probono (tidak dipungut biaya), bermaksud mengaikan jejaring lokal dengan industri pariwisata, melalui kemungkinan-kemungkinan pembuatan paket wisata dan pola perjalanan pariwisata sekitar dataran tinggi Bandung.
Kegiatan dibuka pukul 14.00 WIB di ruang aula sederhana, di kantor Desa Cikahuripan. Kurang lebih telah hadir 25 peserta dari berbagai latar belakang. Diantaranya mahasiswa pariwisata UPI, pegiat wisata, pemandu wisata, penulis, profesional hingga ibu rumah tangga. Hadir dalam kegiatan ini sejak pukul 08.00 WIB di kantor Desa Cikahuripan, Lembang. Kabupaten Bandung.
Dalam brifing awal kegiatan ini, Deni Sugandi selaku pemandu geowisata, menyampaikan rencana kegiatan. Diantaranya mengunjungi tapakbumi yang berkaitan dengan tema sejarah letusan G. Pra-Sunda-Sunda dan kina yang dibudidayakan di lereng sebelah selatan G. Tangkubanparahu oleh Junghuhn. Menapakai kembali jejak Junghuhn dalam lawatan ke-dua hingga akhir hayatnya. Junghuhn kembali ke Belanda setelah tetirah untuk berobat, kemudian kembali ke pulau Jawa pada 1855. Seiring tubuhnya yang digerogoti sakit menahun, ia diminta untuk mengembangkan budidaya Kina di dataran tinggi Priangan. Kunjungan selanjutnya ke sumber mata air kontak Cikahuripan, interpretasi morfologi Cekungan Bandung dan pembentukan gunungapi di utara di makam panjang yang berada persis di jalur sesar Lembang. Kemudian melihat kembali bukti endapan awan panas Pra-Sunda dan G. Sunda, monumen Junghuhn dan terakhir ditutup di padepokan Pasiripis Jayagiri, Lembang.
Acara dibuka secara sederhana, dengan perkenalan setiap partisipan kemudian dilanjutkan dengan pemaparan singkat oleh Kang Dodi selaku pegiat wisata Cikahuripan. Ia menyampaikan aktivitas wisata di Desa Cikahuripan, seperti kunjungan ke situ religi Makan Panjang di Pasirwangi, Mataair Cikahuripan yang mengalir diantara rekahan bongkah lava, hingga tapakbumi Batugantung di lembah imah seniman. Disambung oleh penjelasan ibu Nia yang menguraikan Usaha Kecil Menengah yang dikerjakan oleh warga Desa Cikahuripan, diantranya jenis-jenis kuliner hingga produksi makanan kemasan.
Dalam pemaparan awal, Deni memberikan gambaran geografis lokasi kunjungan. Desa Cikahuripan berada dijalan utama penghubung Cimahi-Lembang melalui jalan Kolonel Masturi. Delinasi desanya meliputi lereng selatan G.Tangkubanparahu, termasuk kawah utama gunungapi tersebut. Kemudian di sebelah selatannya persis berbatasan dengan jalur Sesar Lembang segmen Cihideung (Daryono. 2016). Masyarakat mengeluhkan bahwa desa ini hanya menjadi jalan pintas menuju destinasi pariwisata yang dikelola oleh kapital besar, seperti wisata Tangkubanparahu, glamping Cikole. Lembang Park and Zoo. Sehingga masyarakat bukan saja sebagai penonton, namun berharap mampu mendorong pariwisata berbasis masyarakat di Desa Cikahurpan. Harapan tersebut memiliki tantangan tersendiri, karena diapit oleh dua sumber potensi bencana geologi.
Sebelah utara diancam oleh kegiatan letusan gunungapi dan sebelah selatannya digoyang oleh potensi gempa Sesar Lembang. Sehingga desa ini mengikuti program Destana, Desa Tangguh Bencana, didampingi oleh Bandung Mitigasi Hub dan tim Pengabdian Masyarakat ITB. Kegiatannya berupa pendampingan melakui Pendekatan Pengurangan Risiko Bencana Berbasis komunitas. Kelembagaanya melalu Desa Tangguh Bencana (Destana), melalui rancangan yang dituangkan ke dalam Rencana Induk Desa Wisata Tangguh Bencana. Selain bahaya geologi yang mengancam warga Cikahuripan, desa ini menyajikan bentang alam yang menawan. Diantarnya dataran tinggi perbukitan, potensi perkebunan, dan posisi strategis geografis. Modal dasar ini dibuka dalam kegiatan Geourban.
Kunjungan pertama adalah melihat kembali sumber mata air di sebelah utara timur desa. Dilalui melalui perjalanan singkat dari kantor desa, menggunakan roda dua. Kemudian dilanjutkan berjalan kaki kurang lebih 10 menit menuruni lembah Ci Hideung. Terdiri dari dua mata air, dibagian bawah yang kini telah dibantun struktur bangunan beton, kemudian dibagian atas diantara perkebunan rakyat. Airya mengalir diantara celah batuan lava.
Disebut mata air Cikahuripan yang selalu mengalir walapun masuk dimusim kemmarau. Dodi menyampaikan pepatah orang tua “bilamna harga beras naik, maka mata air Cikahuripa kering”. Makna tersebut mengandung pemahaman bahwa sawah-sawah yang berada di dataran rendah Bandung, sangat bergantung kepada mata air disebelah utara. Sehingga bisa dipahami bilamana suplai air hilang, maka para petani tidak bisa bercocok tanam. Dampaknya harga kebutuhan pokok akan melambung naik. Pesan konservasi tersebut ditegaskan kembali oleh narasuber Fajar Lubis dari Brin. Ahli hidrogeologi tersebut memaparka perluanya konservasi di daerah hulu, agar sumber mata air Cikahurpan tidak terganggu. Fajar meyampaikan demikian, karena kekhawatirannya dengan pembangunan di hulu, seperti bangunan dan perubahan tata guna lahan akan mempengaruhi sumber mata air yang muncul di sekitar Cikahurpan.
Sumber mata air Cikahuripan mengalir diantara dua litologi, disebut mata air kontak. Di bagian atasnya adalah piroklakstik pembawa air (akifer), kemudian mengalir pada bidang datar berupa lava. Menurut Dodi, airnya mengalir baik walaupun memasuki kemarau. Ia menunjuk sumber mata air yang ada di bagian bawah, kini mengalirka debit air kecil, karena telah terjadi perubahan lahan dengan pembagunan fasilitas berupa bangunan tembok. Diduga pembangunan struktur beton tersebut menganggu sumber mata air. Dodi melukiskannya, airnya menjadi “pundung” atau marah karena diganggu.
Kunjunga ke-dua menuju Pasirwangi, perbukitan di sebelah selatan desa Cikahuripan. Lokasinya merupakan perbatasan antara Desa Cikahuripan dan Desa Gudang Cikahurpan. Lokasi pemakam umum, terletak persis di jalur sesar Segmen Cihideung. Dari titik tinggi ini bisa melihat bentang alam 360 derajat ke segala arah. Di utara berupa kerucut G. Burangrang-Tankubanparahu, dibagian lerengnya terlihat punggungan batas kaldera G. Sunda. Disebut punggungan perbukitan Sukatinggi, menjang antara Sukawana hingga G. Putri-Cikole Lembang.
Kunjungan terakhir adalah ke situs monumen Junghuhn di Jayagiri. Lahan yang berdiri di atas lahan seluas 2.5 Ha, dibawah pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat. Disebut Cagar Alam Junghuhn, didirikan sejak 21 Februari 1919. Memuat monumen peringatan Junghuhn, dan makan koleganya saat membudidayakan kina. Johan Eliza de Vrij meninggal pada 1862, dikuburkan di sebelah timur. Ahli farmakologi yang mendampingi Junghuhn dalam pengembangan obat kina, dan sekaligus sebagai penasehat proyek pembudidayaan Cinchonia di Bandung utara, Cinyiruan Bandung selatan.
Dalam linimasa sejarah kina, mulai dikenal sekitar 1630. Dibawa oleh para misionaris Spanyol yaitu cardinal Juan de Lugo ke daratan Eropa dari Amerika selatan. Kemudian pada 1852 J.F.Teysmann membawa jenis kina Cinchona calisaya. Dibudidayakan di Kebun pegunungan Cibodas (Kebun Raya Cibodas). Namun seiring waktu, pembudidayaanya tidak memberikan hasil yang baik, sehingga 1852 C.F. Pahud menugaskan Justs K. Hasskarl untuk mencari bibit kina dari Bolivia. 1854 ditanam di Cibodas dan Cinyiruan.
Junghuhn kembali ke pulau Jawa untuk kedua kali, setelah beberapa tahun tetirah untuk mengobati penyakitnya. 1855 F.W. Junghuhn sampai di Pulau Jawa. membawa 139 tanaman asal biji yang berasal dari Belanda, jenis kina C. Calisaya var javanica. Kemudian pada 1855-1857 Pembukaan perkebunan kina di Cinyiruan, dan Junghuhn menjadi pengawas. Puncak karir Junghuhn adalah 1858-1862 Bersama Johan Eliza de Vrij seorang farmakolog, sebagai penasehat proyek cinchonia membudidayakan kina Bandung utara, Cinyiruan.
Akibat penyakitnya yang menahun, pada 24 April 1864 Junghuhn meninggal dunia di Jayagiri Lembang. 1898 Johan Eliza de Vrij, dimakamkan dekat tugu Junghuhn
Menjelang kepergiannya menuju alam fana, Junghuhn pernah berujar, “Sahabku, tolong bukakan jendela itu. Saya ingin menyapa gunung, hutan untuk terakhir kalinya” ujar Junghuhn kepada sahabatnya Isaac Groneman. Rangkaian kalimat tersebut mengantarkan seorang penjelajah, kartografer, geolog, ahli botani, dan sastrawan ini kembali ke sang pemilik semesta.
Kegiatan ditutup di padepokan Pasiripis, Jayagiri, Lembang. Dipungkas oleh kegiatan buka bersama, sekaligus menutup kegiatan Geourban ke-12.
Partisipan hadir seiring matahari beranjak naik, hadir sesuai janji di grup WA yang menuliskan waktu pertemuan awal pukul 08.30 WIB. Titik pertemuannya persis di bawah G. Batu Lembang, jalan utama yang menghubungkan Maribaya dan Punclut. Tercatat kurang lebih ada 20 orang hadir, dengan latar belakang beragam. Mulai dari pelaku usaha biro perjalanan wisata, mahasiswa, jurnalis, pegiat medsos, pegiata wisata, pemandu wisata hingga ibu rumah tangga.
Kegiatan geowisata di sekitar Cekungan Bandung ini, diinisiasi oleh perkumpulan Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI). Dengan tujuan menjalin jejaring lokal, inisiatif program perjalan geowisata dan syiar geowisata. Kegiatan in merupakan rangkaian program geowisata tematik ke-12, dilaksanakan sekitar Maribaya-Palintang, Sabtu, 29 April 2023. Kegiatan Geourban telah dilaksakan sejak satu tahun yang lalu (2022) melalui kegiatan sebelumnya disebut Geobaik (2020). Kegiatan ini dilaksanakan setiap bulan, bertujuan mendorong tumbuhnya ekosistem geowisata di kota Bandung dan sekitarnya.
Kegiatan ini bersifat probono atau tidak dipungut biaya, sebagai upaya syiar wisata bumi kepada masyarakat umum, dengan narasumber yang tergabung dalam wadah perkumpulan pemandu geowisata Indonesia. Bagi organisasi profesi, kegiatan ini sebagai cara untuk peningkatan kompetensi sebagai pemandu geowisata, sekaligus sebagai sarana aktivasi geowisata di sekitar Cekungan Bandung.
Kegiatan dimulai dengan menu pertama mendaki G. Batu, melalui jalur pendakian sebelah timur. Jalanannya merupakan jalu setapak, melalui rumah warga yang menempati lereng bukit yang dibatasi oleh perkebunan rakyat. Jalurnya melalui jalan setapak menanjak mengikuti kontur perbukitan, kiri dan kanan ditempati perkebunan warga. Menjelang tiba dibagian puncak disambut oleh bongkah batuan beku yang telah lapuk oleh waktu, menandakan bahwa bukit ini disusun oleh lava yang sangat tebal.
Dibuka oleh Deni Sugandi, selaku pemandu geowisata, melalui orientasi geografis posisi G. Batu dengan bentang alam disektiarnya. Posisi dipuncak bukit ini merupakan titik terbaik untuk menginterpretasi dinamika bumi yang sedang terjadi di dataran tinggi Bandun gutara. Dari titik ini bisa mengamati kelurusan arah barat-timur sesar Lembang, dibelah olhe Ci Kapundung. Di sebelah utara atau bagian Bandung terlihat struktur blok yang naik yang dipaku oleh kerucut G. Palasari di sebelah timurnya. Sesar Lembang ditengah pulau Jawa (intraplate), sambungan dengan Sesar Cimandiri. Dalam penelitian terbaru, total 29 km, barat-timur dengan struktur sesar normal dan sesar geser sinistral (Daryono, 2016). Dalam penelitan tersebut membagi Sesar Lembang menjadi beberapa segmen, diantaranya segmen Cimeta; Cipogor; Cihideung; Gunung Batu; Cikapundung; Batu Lonceng.
Kemudian sedikit ke utara, terlihat G. Bukittunggul yang berdampingan dengan G. Pangparang. Kemudian hadir tubuh megah G. Manglayang yang menempati posisi sebelah tenggara. Di selatannya adalah jajaran perbukitan dan pegunungan Bandung selatan. Dihadapnnya adalah cekungan luas, dengan sisi terpanjang sekitar 50 km dari timur di Cicalengka ke bagian barat di Padalarang, serta lebar sekitar 30 km dari batas dataran tinggi Lembang hingga di bagian selatan di Ciwidey. Danau yang menempati cekungan Bandung, kemudian mulau surat sejak 20.000 tahun yang lalu.
G. Batu merupakan blok yang naik, segmen Sesar Lembang Gunung Batu. Sedangkan di sebeleah utaranya adalah blok yang turun, bagian dari dataran tinggi Lembang. Kota kecamatan tersebut dinaungi bayang-bayang G. Tangkubanparahu, gunungapi aktif yang kin terus diawasi hingga kini. Bila melihat sedikit kearat barat, terlihat kerucut gunung yang telah tererosi kuat, merupakan gunungapi samping bagian dari sistem kaldera Sunda. Bila ditarik dari garis imajiner, searah lereng G. Burangrang ke arah timur, akan membentuk kerucut. Tinggi garis imajiner tersebut diduga hingga 3.800 m dpl. milik dari gunungapi generasi pertama.
Gunungapi Pra-Sunda mulai membangun dirinya sekitar umur Plistosen Awal. Kemudian menunjukan aktivitas volaniknya sekitar Pliosen Tengah, seiring dengan tumbuhnya gunugapi parasi G. Burangrang. Letusan efusif Pra-Sunda berupa aliran lava yang menyusun tubuh G. Batu Lembang. Dari pengukuran umur batuanya, sekitar 0.5060 Ma (Sunardi, 1996), berasal dari hasil letusan efusif G. Pra-Sunda.
Setelah G. Pra-Sunda rubuh, kemudian membentuk lingkar kaldera. Disusul pembentukan generasi ke-dua yaitu G. Sunda yang menunjukan aktivitasnya antara 0.210 – 0.105 Ma, kemudian membentuk lingkar kaldera 6.5 x 7.5 km. Pada peta topografi Bandung utara, van Bemmelen memperkirakan ada dua lingkar yang merupakan bagian dari Pra-Sunda dan Sunda (1934). Dari lingkar kaldera tersebut, kemudian tumbuhlah gunungap api generasi terakhir yaitu G. Tangkuban parahu. Hadir setidaknya sejak 90.000 tahun yang lalu (Nugraha, 2005).
Kegiatan selanjutnya adalah mengunjungi situs Batuloceng, di sebelah timur dari G. Batu. Situ budaya ini diperkirakan merupakan kabuyutan yang memiliki umur lebih tua dari peradaban Sunda Klasik. Tafsiran demikian berdasarkan interptretasi dari temuan arca Cikapundung, sekitar tahun 1263 Saka, atau sekitar 1341 Masehi. Arca tersebut bergaya Polinesia-Pajajaran, ditemukan di sekitar di Desa Cikapundung, Kabupaten Bandung, di atas bangunan berundak teras diwujudkan dalam bentuk antromorf (Eriwati, 1955). Tidak disebutkan dengan rinci lokasinya, tetapi menunjukan wilayah sekitar bantaran hulu Ci Kapundung yang saat ini masuk ke dalam wilayah Suntenjaya. Beberapa sumber menyebukan ditemukan di sekitar perkebunan kina. Saat ini arca tersbut menjadi koleksi Museum Nasional dengan nomor inventaris 479c/D184. Bila disejajarkan dgna kerajaan Sunda saat itu berada di penguasaan Prabu Ragamulya Luhurprabawa yang memerintah antara 1340 hingga 1350.
Penemuan arca tersebut memperkuat dugaan kunjungan Bujangga Manik ke sekitar Palintang. Dalam naskah yang ditulis pada abad ke-15, menceritakan perjalanan Bujangga Manik melintasi dataran tinggi bagian utara Ujung Berung. Menyebut Bukit Karesi, Bukit Langlayang, dan (Gunung) Palasari. Kemudian menyeberangi (sungai) Cisaunggalah dan berjalan ke arah barat hingga tiba di bukit Patenggeng.
Dalam teks tersebut bisa ditafsirkan beberapa nama geografis yang masih bisa dikenali hingga kini. Seperti penulisan bukit Langlayang untuk G. Manglayang di sebalah utara Cibiru Bandung. Kemudian bukit Palasari adalah G. Palasari di Suntenjaya, Palintang. Namun untuk mencocokan bukit Karesi, sepertinya tidak ada lagi indikasi geografis yang bisa disandingkan dengan nama tersebut, sehingga bisa jadi merujuk pada nama gunung lain yang satu kelompok dengan Palasari-Manglayang.
Penyebutan lainya adalah Cisaunggalah yang mendekatkan dengan cerita Ciung Wanara di sebelah timur Jawa Barat. Hadir sekitar 793 Masehi, merupakan penguasa kerajaan Galuh setelah pendahulunya tamperan Bamawijaya. Sedangkan naskah Bujangga Manik ditaksir antara akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15. Noorduyn dan A Teeuw memperkirakan bahwa kisah perjalanan Bujangga Manik berlangsung (atau ditulis?) pada kurun Kesultanan Malaka masih menguasai jalur perniagaan Nusantara, sebelum jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Di dalam naskah tesebut menyebutkan 450 kawasan, termasuk di antaranya ada sedikitnya 90 nama gunung dan 50 nama sungai. Naskah puisi yang berjumlah 1641 baris ini, adalah bahwa pada kenyataannya– mirip naskah-naskah Sunda antik yang pada umumnya otentik dan tidak disalin naskah BM tiada duanya dan cuma satu-satunya di dunia (codex uniqus).
Di Situs Batuloceng berupa undakan yang didirikan di atas bukit. Tepat berada di lereng sebelah utara G. Palasari, diapit oleh G. Bukittunggul dan dipisahkan oleh Ci Kapundung hulu. Penulisan G. Bukit Tunggul lebih dipercaya disebut beuti bukan bukit, memaknai akar pohon (tunggul) yang digunakan untuk membuat perahu oleh Sangkuriang. Seperti yang dituliskan dalam Gids voor Bergtochten op Java, ditulis oleh ahli gunungapi Dr. Ch. E. Stehen, 1930. Di situs ini dipercaya hadir sejak 1816, melalu juru pelihara (kuncen), Eyang Haih. Dipercaya sebagai patilasan Sembah Dalem Sunan Margataka atau yang dikenal dengan Prabu Wanara atau Ciung Wanara (Manarah/Surotama).
Kepercayaan tersebut bersarkan penamaan toponimi yang muncul pada peta Belanda (Geolosgisch kaart, van Bemmelen, 1934) menuliskan nama Gegersunten di sebelah utara, tepat di lereng seltan G. Bukittunggul.
Kegiatan Geourban ditutup di Batuloceng, dengan harapan aktivitas geowisata ini bisa membuka kegiatan geowisata yang berdampak kepada aktivitas ekonomi lokal, dan pemahaman lebih dalam mengenai narasi bumi dan budaya.
Bandung bagian utara dibatasi punggungan Sesar Lembang. Memanjang barat-timur 29 km dari G. Palasari Cilengkrang, Bandung Barat hingga Ngamprah di Badung Barat. Di segmen Maribaya-Batuloceng, dicirikan oleh gawir sesar berupa blok Bandung yang naik antara 300 hingga 450 meter. Disusun oleh lava hasil kegiatan pembentukan Gunungapi Pra-Sunda-Sunda, antara 0.560- 0.105 MA. Di bawah lereng G. Palasari ditemui peradaban yang diperkirakan hadir di masa Pra-Sunda, dan budaya Sunda Klasik diwakili Kabuyutan Batuloceng.
Di Abad ke-15 (sekitar 1338 M, Noorduyn) dalam perjalanan ke-dua, Bujangga Manik menuliskan dalam naskah perjalanan resi guru, G. Langlayang, G. Kaeresi dan G. Palasari. Merujuk kepada kerucut gunung disebelah utara-timur Bandung.
(1330) leu(m)pang air ngaer barat. Tehering milangan gunung: Itu ta bukit Karesi Itu ta bukit Langlayang Ti baratna Palasari
Dari naskah tersebut menyuratkan telah hadir kebudayaan Hindu di Bandung utara, sebelah timur di bawah lereng G. Bukittunggul-G. Pangparang. Bujangga Manik menyebutkan sasakala Sangkuriang, gagal membangun situ. Sedikit ke utara merupakan hulu Ci Kapundung, sungai yang membelah kota Bandung. Mengalir dan mengerosi diantara gawir terjal Sesar Lembang ke arah barat. Disekitar Curug Domas, arahnya berbelok mengalir di lidah lava G. Tangkubanparahu tua (40.000 tahun yl), berhenti di Curug Dago. Ci Kapundung membelah kota Bandung, bermuara di Dayeuhkolot, jantung ibu kota kabupaten sebelum pembangunan Jala Raya Pos 1811.
Rute Gunung Batu Lembang, Maribaya, Batuloceng, dan Palitang
Disklaimer Disarankan partisipan untuk menggunakan transportasi pribadi, roda dua atau roda empat. Memakai baju lapangan, dan jas hujan. Kegiatan bersifat probono, termasuk akom/transport dan tiket wisata ditanggung masing-masing.
Geourban Diinisiasi oleh pekumpulan Pemandu Geowista Indonesia/PGWI. Bertujuan syiar geowisata, menjahit jejaring dan menggali narasi tapak bumi Bandung Raya. Info: pgwi.or.id @pgwindonesia
Pebukitan kerucut yang berjajar dari utara ke selatan, memberikan kesan adanya zona lemah yang mampu diterobos oleh magma dekat dengan permukaan. Seiring waktu magma tersebut membeku dan membentuk perbukitan-perbukitan yang tersebar dari Cimahi selatan hingga ke arah selatan sekitar Margaasih-Cihampelas, Cililin, Kabupaten Bandung. Batuan beku terobosan tersebut mengunci rahasianya selama lebih dari empat juta tahun yang lalu, sebagai saksi pembentukan Danau Purba Bandung.
Melalui petualangan roda dua dan menyibak rahasia bumi, aktivitas geowista ini bermaksud merangkum keduanya dalam kegiatan Geobaik. Kegiatan perdana ini diinisiasi oleh perkumpulan Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI), dalam rangka mengupas destinasi geowisata disekitar Cekungan Bandung, aktivasi jejaring lokal dan mempromosikan aktivitas wisata bumi.
Geobaik#1 Jompong dilaksanakan tangal 9 Januari 2023, menapaki kembali perbukitan intrusi sekitar Cimahi selatan hingga Cililin, kemudian ke Curug Jompong dan ditutup dititik tinggi sekitar Cihampelas Cililin. Tiga lokasi kunjungan tersebut dilaksanakan dalam durasi 5 jam kegiatan luar ruangan, menggunakan sarana roda dua (motor).
Sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, perjalanan dimulai tepat pukul 06.30 WIB, dimulai dari Bandung. Roda dua menapaki jalan kabupaten, kemudian bertolak menuju arah selatan melalui jalan Leuwi Gajah Cimahi. Menjelang jembatan Nanjung, jajaran kerucut perbukitan terlihat megah seperti berbaris, namun bila didekati tubuhnya hilang karena aktivitas penambangan. Perjalanan dilanjutkan berbelok ke arah barat, menuju tempat pemberhentian pertama, di Perumahan Lagadar, Gunung Lagadar.
Motor para peserta yang berjumlah 12 orang dipacu perlahan, menggilas jalan berbatu menuju proyek penambangan batu di Lagadar. Hanya beberapa penduduk saja yang menggunakan jalan ini, karena tidak ada jalan lain menghubungkan ke tempat lain kecuali ke perumahan. Di titik inilah kami bertemu dengan sebagian lagi peserta yang berasal dari Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat. Ada sembilan motor termasuk panitia, konvoi menuju lokasi pertama kegiatan Geobaik ke perumahan Pesanggrahan Lagadar, disebut geotapak pertama di Lagadar. Di bagian selatan di kaki G. Lagadar, peserta diajak untuk mengenali proses pembentukan perbukitan ini.
Secara administratif, wilayah ini masuk ke dalam Desa Lagadar, Kecamatan Margaasih, Bandung. Gunung Lagadar adalah perbukitan terobosan batuan beku. Hasil analisis K-Ar batuan di Selacau dan Paseban berumur 4,08 juta tyl dan 4,05 jt tyl (Sunardi dan Koesoemadinatan, 1999). Bersamaan dengan beberapa perbukitan intrusi lainya, termasuk Gunung Selacau, Gunung Paseban, Gunung Singa, Gunung Pasir Pancir merupaakn perbukitan pematang tengah Cekungan Bandung (Bachtiar, 2012). Di lokasi ini memberikan pemahaman gambaran besar, jajaran perbukitan intrusi ini merupakan pagar alam yang berjajar utara-selatan, membatasi Cekugan Bandung bagian barat dan timur. Bukan itu saja, nilai istimewanya adalah pembentukannya umur Pliosen, saat itu kondisi alam sangat dingin dan kering, dicirikan dengan munculnya mamalia besar dan moluska.
Perjalanan dilanjutkan ke lokasi berikutnya, geotapak ke-dua di Curug Jompong. Lokasi tidak jauh dari perhentian pertama, kurang lebih 20 menit berkendara ke arah baratdaya. Perjalanan memotong jalan desa, kemudian tiba di jembatan Nanjung, Margaasih. Dari tepi jalan sebelum memasuki jembatan, terlihat jajaran perbukitan Selacau, Pasir Honje, Gunung Puncaksalamm Gunung Lagadar, dan Gunung Gajahlangu di sebelah utara. perbukitan tersebut dipotong oleh Ci Tarum yang mengalir dari tenggara ke utara, melaui Margaasih dan Pataruman rangkaian dari perbukitan tengah Cekungan Bandung bagian barat.
Dari jembatan Nanjung kemudian mengarah sedikit ke barat, kemudian mengikut Ci Tarum ke arah hulu. Jalannya baik, menghubungkan antara Margaasih ke Cipatik Soreang. Diantara perjalanan tersbut kemudia berbelok memasuki komplek Terowongan Kembar Nanjung. Di tempat ini diberikan penjelasan ke-dua, mengenai pembobolan setelah pembentukan Danau Bandung Purba segmen timur. Genangan air semakin tinggi, akibat tertutupnya arah Ci Tarum di sekitar Ngamprah, kemudian turut menaikan volume air hingga mendekati ketinggian paras air 725 m di atas permukaan laut. Kenaikan tersebut mendorong sifat air mencari tempat yang rendah, kemudian membobol batuan beku terobosan Curug Jompong. Pembobolan tersebut diperkirakan menjelang pengeringan danau pada 16.000 tahun yang lalu.
Di Curug Jompong para partisipan diajak turun menyaksikan fitur-fitur alam hasil erosi air di batuan beku. Terlihat beberapa bentuk-bentuk unik disebut pothole yang terbentuk selama kegiatna pembobolan danau purba. Bentukan alami tersebut terjadi akibat arus air deras dan stabil, membawa kerakal dan kerikil. Kemudian bergesekan seperti membuat lubang yang digerakan oleh pusaran air, terjadi dalam waktu yang sangat panjang. Awalnya terbentuk cerukan-cerukan, namun lambat laut terperangkaplah ukuran batuan yang terbawa, dengan ukuran yang beragam, mulai dari bongkah hingga kerikirl. Lambat laut membentuk lubang-lubang vertikal, dengan kedalaman yang beragam. Di lingkungan lokasi ini, ditemui lubang terdalam bisa mencapai 30 cm hingga 100 cm dengan diameter antara 30 cm hingga 50 cm. Ada lubang dangkal dengan lingkar lubang lebar, dan sebaliknya. Semuanya dipengaruhi oleh kesetabilan arus sungai, dan penyusun batuannya.
Dalam kesempatan berdiskusi, pemandu wisata senior Felix Feitzma yang biasa dipanggil opah Felix menyampaikan pengalamannya menggarap kegiatan bertualanga di alam di Sanghyang Heuleut dan Sanghyang Poek. Beliau memberikan pandangannya bahwa wista ke depannya akan lebih spesifik dan tematik, sehingga menuntut para pemandu bekerja keras, berinovasi dan kreatifitas dalam menyusun paket-paket perjalanan.
Secara umum batuan Curug Jompong disusun oleh batuan beku intrusi, dengan umur yang sama dengan kelompok Selacau-Lagadar, yaitu sekitar 4 juta tahun yang lalu. Keunikan lainya adalah terbentuknya ceruk-ceruk yang dalam, membentuk air terjun yang menawan. Sehingga pada masa kolonial, tempat ini menjadi tujuan wisata yang menarik. Bahkan Junghuhn pun berkesempatan datang ke tempat ini, dan membuat bingkai fotografi pada 1860-an. Dari hasil fotografi hitam putihnya, terlihat arus sungai yang deras, sekaligus memberikan pemandangan yang menakjubkan, antara kekuatan arus sungai yang bertemu dengan batuan keras umtur tua.
Dalam foto tersebut tentu saja tidak ada sampah atau polutan industri, karena pada masa itu belumlah adanya industri yang berkembang di sepanjang bantaran Ci Tarum. Sehingga bisa dipastikan pasa saat itu airnya bersih. Keasriannya tersurat juga dalam beberapa laporan belanda dan pegiat wisata Bandung Vooruit yang menuliskan kunjungannya ke lokasi ini. Daya darik Curug Jompong bukan saja fenomena keindahannya saja, namun menjadi saksi pembentukan Danau Bandung Purba yang terbentuk pascaletusan dan pembentukan Kaldera Sunda, 105.000. tahun yang lalu.
Di Bukit Gantole Cililin atau lokasi penutup dalam perjalanan Geobaik#1 Jompong, narasumber Deni Sugandi, memberikan gambaran luas tentang posisi Danau Bandung Purba. Dari tinggian perbukitan ini, arah pandangan terbuka luas, bisa memandang arah timur, batas perbukitan intrusi dan segmen danau Saguling di sebelah barat. di sebelah utaranya dalah Gunung Burangrang, Gunung Tangkubanparahu yang dibatasi oleh patahan Lembang. Kemudian di sebelah timur-utara berjejer kelompok Gunung Palasari, Gunung Bukittunggul dan Gunung Manglayang.
Dititik inilah kegiatan Geobaik Curug Jompong selesai, ditutup dengan acara makan siang alakadarnya dan sekaligus kesan dan pesan yang disampaikan oleh para peserta. Aktivitas geowisata ini adalah salah satu cara untuk memahami proses dinamika bumi yang berlangsung, hingga sejarah pembentukan yang terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama. Sehinggi geotapak yang dikunjungi perlu dikonservasi, seperti perbukitan intrusi sekitar Lagadar. Keberadaanya kini berlomba dengan kegiatan penambangan, sehingga seiring waktu akan hilang dimuka bumi.
Di kaki bukit Lagadar, MargaasihDiterowongan kembar Nanjung, MargaasihOpah Felix menyampaikan materi pemanduan di Curug JompongAlm. Opah Felix di dasar Ci Tarum, Curug JompongPenjelasan Cekunga Bandung di bukit Gantole Cililin
Setelah selesainya kegiatan peningkatan kapasitas pemandu geowista Taman Wisata Alam Gunung Tangkubanparahu, asosiasi profesi Pemandu Geowisata Indonesia melaksanakan kembali kegiatan kedua di Citatah. Dilaksanakan bersama perkumpulan Forum Pemuda Peduli Karst Citatah/FK2C, yang bergerakan dikegiatan konservasi dan PGWI Pengurus Wilayah Bandung Raya, pada hari Minggu, 30 Mei 2021.
Kegiatan diikuti oleh 20 orang yang berasal dari operator wisata Tebing Hawu, pemandu geowisata, pokdarwis Citatah dan mahasiswa perguruan tinggi pariwisata di Bandung. Kemudian narasumber berasal dari organisasi PGWI, dengan latar praktisi pemandu geowisata, tour operator, dan peneliti geologi kawasan karst Padalarang. Dilaksanakan pada pukul 07.00 WIB, mengambil tempat titik kumpul disekitar Danau Ciburuy, Cipatat. Setelah brifing singkat kemudian dilanjutkan ke lokasi kungjungan pertama Gunung Hawu.
Lokasi pertama adalah ke Gunung Hawu, atau sering disebut juga Tebing Hawu. Di lokasi ini, Deni Sugandi praktisi pemandu geoiwisata dan Zarin (GEA ITB 2017) selaku narasumber, menjelaskan proses pembentukan batuan karbonat segmen selatan, dari kompleks perbukitan karst Citatah. Genesa terjadi dalam tiga urutan waktu, proses pengendapan yang terjadi pada kondisi laut sangat tenang sekitar Oligo-Miosen, kemudian proses penenggelaman kembali di laut dalam Umur Miosen Tengah, dan periode ke-tiga Umur Pliosen adalah pengangkatan, perlipatan, pensesaran yang disertai pengendapan material vulkanik aktivitas gunungapi Sunda-Tangkubanparahu.
Periode akhir inilah yang menata rona bumi perbukitan Karst Citatah, jelas Deni dalam kesempatan penjelasan di sekitar Gunung Hawu. Tebing tegak yang dicirikan dengan natural arc, salah satu nilai geologi yang sangat tinggi karena proses karstifikasi pada saat terumbu karang ini diangkata dipermukaan laut. Di sebelah timur dari lereng bukit ini, ditemui juga endapan vulkanik berupa tefra hasil letusan Sunda-Tangkubanparahu.
Lokasi selanjutnya ke Pasir Tanggulun menuju arah barat, melalui jalan poros Padalarang-Cianjur, kemudian naik melalui jalan proyek. Tapak bumi ini berupa terbosoan batuan beku andesit (Siregar, 2005). Saat ini lokasi ini telah habis ditambanga, menyisakan sebagain tubuhnya, berupa gawir terjal tegak dengan tinggi kurang lebih 5 meter, disusun batuan beku andesit dengan struktur terbreksikan dan deformasi akibat kegiatan tektonik. Penerobosan ini datang setelah pengendapan dan pengangkatan batuan karbonat, sekitar Pliosen akhir.
Kunjungna terkahir ke Sanghyang Lawang, atau Pasir Batununggul yang berhadapan langsung dengan Gunung Guha, yang disusun oleh batuan marmer hasil diagenesa dari batugamping. Di tapakbumi ini, ditemuai beberapa fosil bioklastik beupa packstone yang menjadi unggulan di lokasi ini. Selain itu ditemui juga bentukan micro-karst, berupa kerucut-kerucut runcing hasil karstifikasi yang mencirikan wilayah pengenadapanya di back reef facies (Jambak, 2014).
Kegiatan pematerian ditutup di sekretariat Forum Pemuda Peduli Karst Citatah, di Cidadap. Dalam kesempatan ini, Sodikin Kurdi selaku Bidang Litbang PGWI pengurus nasional, menyampaikan teknik pemanduan. Sodikin menjelaskan teknik brifing awal, berupa perkenalan, penjelasan durasi kegiatan hingga keamanan dalam pelaksanaan kegiatan luar ruang. Daniel Nugraha selaku Dewan Pembina PGWI dan praktisi tour operator, menjelaskan cara pengemasan paket wisata alam disekitar Citatah Padalarang. Daniel menyampaikan perlunya kemampuan menghitung biaya pelaksanaan paket tour, sesuai dengan wisata minta khusus dengan lingkungan alam ditambah kompetensi teknis pemanjatan vertikal.
Sebagai penutup acara, diberikan Surat Keputusan dari Dewan Pengurus Wilayah Bandung Raya/DPW PGWI Bandung Raya, diserankan kepada Mochamad Deni sebagai Koordinator Wilayah Citatah.
Kegiatan ini merupakan komitmen organisasi PGWI, mengupayakan peningkatan kompetensi pemandu geowisata di beberapa destinasi wisata, khususnya geowisata di sekitar Cekungan Bandung termasuk kawasan bentang alam karst Citatah. Termasuk ikut mendorong program pemerintah daerah KBB yaitu Rajamadala Geopark yang telha SK-kan oleh Gubernur Jawa Barat tahun 2019. Geopark Rajamandala bertujuan mensejahtarakan warga lokal, program edukasi sekaligus kegiatan konservasi bumi.
Brifing dikegiatan pelatihan di lapangan sektiar Karang HawuPenjelasan sedimen karbonat di CitatahPemberian sertifikat kegiatan upgrading Pemandu GeowisataDi lokasi interpretasi intrusi batuan beku di CitatahBersama seluruh peserta upgrading Pemandu Geowisata
Matahari beranjak dari batas horison, diiringi cuca cerah. Langit biru dihiasi awan berarak, tertiup angin ke arah barat. Kondisi cuaca baik tersebut mengantarkan kegiatan Geourban ke-10 di daerah tinggi Pasir Kunci. Dari titik tinggi ini bisa melihat bentang alam Bandung Raya, dicirikan dengan bentuknya seperti baskom terbalik. Disebelah barat terlihat jajaran perbukitan intrusi G. Lagadar-Sela Cau. Perbukitan intrusi batuan beku di Cimahi Utara. dengan umurnya pembentukannya lebih dari 4 juta tahun. Kemudian bila melemparkan mata ke arah selatan, terlihat punggungan G. Koromong-Geulis yang menghubungkan antara Baleendah disebelah timur, dan Ciparay disebelah barat. Dibagian belakang punggungan perbukitan itrusi tersebut, terlihat megah G. Malabar. Kemudian sedikit ke arah timur, terlihak kerucut-kerucut kelompok gunungapi Garut.
Sebelum Bandung lahir, disebelah timur wilayahnya disebutkan dalam peta lama sebagai Oedjoengbroeng. Dibagi dua wilayah utara dan selatan pada saat di bawah pengaruh Mataram, kemudian batas administrasinya ditata ulang menjadi wilayah timur dan barat seiring pembukaan jalan Raya Pos (1810). Sebagian besar wilayahnya saat itu meliputi kota Bandung dan Ujunberung saat ini. Pembukaan sarana jalan utama yang mengbungkan timur-barat Jawa, mendorong industri dan budidaya kopi. Pembangunan jalan Raya Pos melalui priangan tengan karena alasan ekonomi, yaitu mengangkut produk pertanian kopi di wilayah Priangan (Hartatik, 2018).
Kegiatan Geourban ke-10 ini adalah melanjutkan tema di Geouban sebelumnya. Di Geourban ke-9 menelusuri kembali jejak Muras Gegerhanjuang, hingga ke dataran rendah Ciparay sampai batas Ci Tarum. Jauh sebelum kota Bandung bergeser dari tepi Ci Tarum (Krapyak) ke sebelah utara, telah hadir peradaban disebelah timur disebut Ujungberung (Widjaya, 2009). Penguasa wilayahnya diatur dalam sistem pemerintahan daerah setingkat bupati. Dipati Ukur menjabat adipati di Tatar Ukur dan menjabat sebagai bupati wedana di Priangan (1627-1733), mengalami nasib yang malang. Ia harus menanggung pencopotan sebagai bupati wedana dan hidup berpindah-pindah, setelah adanya perselisihan dengan Mataram (Lismiyati, 2016). Jejak pelariannya selain di Culanagara, Gunung Leutik ke sekitar Ciparay, bergeser ke arah utara. Diperkirakan berada di sekitar perbukitan yang diapit oleh Ci Panjalu dan Ci Patapaan, sekitar wilayah kampung Palintang saat ini.
Kegiatan diikuti oleh belasan partisipan, dengan latar belakang beragam. Pegiat wisata, pemerhati lingkungan, pelajar, akademisi hingga pemandu wisata. Titik pertemuan dimulai di sekitar dataran tinggi Ujungberung, di Kampung Wisata Pasir Kunci di Pasirjati, Kecamatan Ujungberung. Fasilitas destinasi wisata yang dikelola oleh pemerintah kota Bandung, melalui Dinas Parwisata Kota. Destinasi berupa amfiteater yang diperuntukan untuk kegiatan wisata budaya, diantaranay seni tradisi Benjang dan sebagainya. Dari titik ini, kegiatan dibuka dengan penyampaian tetang rencana perjalanan. Dikegiatan Geourban ke-9 ini menapaki kembali sejarah peradaban Sunda Klasik, diantarnya penemuan arca dari budaya pendukung polinesia, higga Sunda Klasik. Diantaranya penemuan arca bentuk membundar khas budaya polinesia, hingga praIslam berupa arca Hindu-Budha.
Disekitar dataran tinggi Ujungberung, dilereng sebelah barat G. Manglayang, diusahakan menjadi wilayah budidaya kopi. Dikerjakan oleh Andreas de Wilde, seiring dengan pembukaan pembukaan jalan Raya Pos 1810. Jalan raya yang dibangun oleh penguasaan koloni Inggris di Hindia Belanda, degan tujuan membukan jalur ekonmi di priangan tengah. Titik kunjungan terakhir adalah mengunjungi situs budaya sekitar Palintang atas, berupa patilasan.
Di wisata Pasir Kunci, Deni Sugandi memberikan pengantar mengenai Cekungan Bandung. Dari titik terlihat Bandung bagian timur, didominasi oleh dataran rendah aluvial. Ditempati oleh pesawahan yang melampar dari barat ke timur. Dari sebelah utara dibatasi oleh kaki gunung Manglayang, kemudian di sebelah selatannya dibatasi oleh Ci Tarum. Wilayah tersebut merupakan sisa pengeringan pascaDanau Bandung Purba. Danau yang terbentuk setidaknya sekitar umur Kuarter, kemudian mulai mengering antaran 20.000 hingga 16.000 tahun yang lalu (Dam, 2004). Dalam proses pengeringan tersebut, meyisakan rawa yang luas, disekitar wilayah Ujungberung saat ini. Batas bagian timurnya adalah sekitar Cibiru, sebelah baratnya sekitar Cijambe. Rawa tersebut disebut Muras Gegerhanjuang. Gan-Gan Jatnika turut memberikan penafsirannya, mengenai budaya yang lahir didataran Bandung bagian timur. Gan-Gan menjelaskan tentang sejarah pelarian Dipati Ukur, mulai dari perbukitan di Balendah, hingga berlanjut ke sekitar dataran tinggi Palintang. Diantaranya adalah lokasi yang akan dikunjungi, yaitu situs budaya Patapaan.
Dari titik Pasir Kunci, bila melemparkan arah ke sebelah utara, terlihat dua kercut G. Palasari dan G. Manglayang. Dua gunungapi yang pernah aktif kemudian padam. Dicirikan dengan endapan material berupa piroklastik, tuff dan lava di sekitar lereng gunung tersebut. Dititik kunjungan kedua adalah melihat kembali sejarah pembentukan dan letusan G. Manglayang. Dari tepi jalan penghubung Ujungberung ke Palintang, merupakan titik terbaik untuk melihat bentang alam dua gunung tersebut. Dari titik ini Deni menjelaskan bagaimanan G. Manglayang terbentuk. Gunungapi umur Kuarter ini setidaknya terbentuk melalui dua fase kejadian, sebut saja pembentukan Manglayang Tua, dan Manglayang Muda. Dua fase tersebut bisa dilihat dari bentuknya, berupa satuan punggungan kaldera G. Manglayang, dan satuan kerucut G. Manglayang.
Gunungapi tersebut saat ini telah dorman, atau sudah tidak lagi menunjukan aktivitasnya. Bila ditarik garis memanjang antara barat ke timur, menunjukan angka 2,3 km. Angka tesebut menandakan bahwa G. Manglayang merupakan masuk kedalam klasifikasi kelas kaldere, yaitu gunungapi yang memiliki radius kawah lebih dari 2 km. punggungna perbukitan kalderanya terlihat di sebelah utara, membentuk tapal kudar ke arah tenggara. Sedangkan di tengah-tengahnya tumbuh kerucut gunungapi generasi ke-dua, berupa kerucut yang disusun oleh perselingnan lava dan piroklastik. Bisa dipastikan bahwa G. Manglayang tersebut merupakan gunungapi tipe stratovolkano, dengan dua kali sejarah pembentukan. Bukti hasil letusannya bisa disaksikan hingga kini, terutama di bagian lereng sebelah timur.
Didukung oleh kondisi iklim, dataran tinggi dan tanahnya yang subuh hasil pelapukan material letusan G. Manglayang. Gunungapi hadir sejak Plistosen, kemudian menghancurkan dirinya melalui dua suksesi letusan Manglayang Tua dan Manglayang Muda (Silitonga, 1973). Jejaknya berupa punggungan kaldera, dan kerucut Manglayang. Material letusannya berupa perselingan piroklastik dan lava yang diendapkan disekitar pusat letusan. Lavanya mengalir mengisi lembah-lembah yang dierosi sungai diataranya Ci Panjalu.
Didapati aliran lava yang mengisi lembah sekitar Ciporeat. Berupa aliran lava yang telah membeku, kemudian membentuk struktur kekar lembar. Strukur tersebut dikenali dengan bentuknya yang berlembar, menandakan adanya tekanan dari atas pada saat pembekuan magma. Disebut dengan proses kontraksi, membeku dengan cara cepat. Di sekitar Curug Orok yang mengalir di (sungai) Ci Panjalu, sekitar Ciporeat masih bisa disaksikan aliran lava tersebut. Ketebalannya sekitar 10 meter, berupa dinding lava yang terkekarkan. Aliran lava yang mengisi Ci Panjalu tersebut kemungkinan merupakan produk letusan efusif G. Manglayang. Namun tidak diketahui apakaha hasil letusan G. Manglayang Tua atau Muda, sehingga perlu penelitian lebih lanjut untuk mengupas kegiatan volkanime gunungapi yang menaungi Ujungberung.
Di lokasi Curug Orok ini, mengalirlah sumber-sumber mata air dari rekahan-rekahan lava. Debitnya tidak berkurang, bersih dan tidak berbau, menandakan mata air ini bersih. Tipe sumber mata air adalah sumber mata air kontak (contact spring), airtanah dangkal yang mengalir melalui dua litologi yang berbeda. Bagian atasnya berupa endapan piroklastik sebagai bidang akifer, dan bagian bawahnya adalah lava. Dengan demikian air tersebut muncul melalui rekahan-rekahan lava, karena batuan tersebut pejal tidak memiliki porositas. Bagi masyarakat, sumber mata air tersebut dimanfaatkan sebagai air minum, dengan cara ditampung menggunakan bak-bak penampung secara komunal. Kemudian dialirkan melalui pipa-pipa mengikuti kontur, dialirkan hingga jauh ke arah lereng. Disekitar Cigending air tersebut kemudian ditampung dan diangkut oleh truk tangki, kemudian didistribusikan dan dijual menjadi air bersih.
Menurut warga disekitar sumber mata air tersebut, sebagin besar tanahnya telah dikuasai oleh pengusaha air bersih. Terutama di daerah mata air produktif, seperti mata air dicurug orok. Penguasaan lahan tersebut sebagai upaya menjaga pasokan air, untuk kebutuhan bisnis air bersih tersedia.
Beranjak ke arah utara menapaki tanjakan Palintang. Rombongan kemudian berhendi diisekitar persimpangan antara jalan Palintang dan jalan kontrol perkebunan ke arah Palalangon. Dititik tinggi sekitar 1100 m dpl. merupakan titik elevasi ideal untuk penanaman kopi. Seperti yang dituliskan pada peta lama, sedikit ke arah barat dikenali beberapa nama yang berasosiasi dengan kegiatan industri dan budidaya kopi. Pohonnya kini sudah tidak ada, karena diganti dengan komoditas lainya. Diperkirakan disekitar Legok Nyenang merupakan komplek perkebunan kopi lama. Diantaranya nama-nama yang menyebutkan kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan industri kopi, seperti nama Pasirpamoyan. Menandakan tempat untuk menjemur kopi. Berikutnya penamaan Panggeteran, Pangmayaran.
Perkebunan kopi di Ujungberung utara, merupakan bagian dari industri ditingkat Keresidenan Priangan yang dikelola swasta Meskipun banyak disebutkan bahwa pengusaha-pengusaha swasta mulai menanam tanaman eksport pada tahun 1870-an sebagai konsekuensi dari penerapan Politik Ekonomi Liberal, namun di Keresidenan Priangan partisipasi perusahaan swasta sudah dimulai sejak awal abad ke-19. Sejak dekade pertama abad ke -19 kopi ditanam di tanah-tanah pribadi, yaitu di Ujungberung (Kabupaten Bandung), Gunung Parang, dan Ciputri (Kabupaten Cianjur). (Muhsin, 2017). Dikerjakan oleh Andries de Wilde dengan luas wilayahnya meliputi sebagian besar Bandung raya. Jejak kopi di Ujungberung utara masih bisa ditelusuri diantaranya melalui toponimi di peta Java. Res. Preanger Regentscahppen (1906). Dipeta tersebut menuliskan nama-nama yang berasosiasi dengan industri dan perkebunan kopi saat itu.
Lokasi kunjungan ke-tiga adalah ke salah satu situs budya disekitar Palintang atas. Situs budaya tersebut merupakan patilasan, berupa tiga makam yang dinaungi oleh pohon kayu Rasamala. Situs Patapaan tersebut terletak persis disebelah barat SD Palintang Jaya, berupa puncak perbukitan yang diapit oleh Ci Patapaan dan Ci Panjalu. Menuju lokasi tersebut bisa melalui Kampung Palintang, maupun melalui jalur setapak di sebelah lapang volley.
Situs ini dipercaya sebagai tempat yang pernah disinggahi pada masa pelarian Dipati Ukur. Menurut warga setempat, situ Patapaan atau Demah Luhur ini menjadi tempat strategis di jalur lama. Jalur tersebut merupakan sarana jalan setapak pada masa itu, menghubungkan Oedjoengbroeng selatan ke utara, melewati celah yang diapit oleh G. Palasari disebelah barat, dan G. Manglayang di sebelah timur.
Perjalanan Geourban ditutup diwarung sekitar PTPN XIII. Warung sederhana yang menyajikan kue balok di Cipanjalu. Kegiatan ini diinisiasi oleh perkumpulan Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI), bersifat probono. Bertujuan menggali wisata alternatif kebumian, sarana belajar bersama dan koneksi jejaring lokal upaya menggali potensi geowisata kota Bandung.
Interpretasi di Pasir KunciInterpretasi cekungan Bandung dari Pasirkunci UjungberungDengan latar G. ManglayangSunggoro menjelaskan budidaya kopi disekitar Palintang atasPeserta di Curug Orok. CI PanjaluPenjelasan di Curug Orok di Ci Panjalu, aliran lava G. ManglayangPenjelasan sejarah Dipati Ukur dalam berbagai versi, disampaikan oleh Gan GanDipatilasan Demah Luhur, Palintang