Catatan Geourban#36 Tenjolaut

Dalam kegiatan penelusuran sejarah Sumedang Larang, dibagi ke dalam beberapa kali perjalanan. Dibungkus dalam wisata bumi, menapaki kembali hubungan antara dinamika bumi, sejarah manusia yang hadir di atasnya dan ekologi yang berkembang. Dalam kesemapatan wisata bumi kali ini, mendatangi tempat yang pernah menjadi puseur dayeuh atau ibukota Sumedang Larang. Pusat pemerintahan kabupaten, saat berada di bawah kekuasaan Mataram Islam. Lokasi yang dikunjungi adalah sekitar Tenjolaut, Desa Padaasih, Kecamatan Conggeang.

Tenjo adalah melihat atau memandang,  sehingga menarik makna tenjolaut adalah satu tempat yang bisa melihat laut. Seperti yang diterapkan pada Dusun Tenjolaut, Desa Padaasih, Sumedang.

Dari beberapa keterangan, makna tersebut bisa diartikan dalam dua pengertian. Makna toponiimi yang pertama seperti yang diuraikan di atas, sedangkan arti kedua bisa disejajarkan dengan genang lkaut dimasa lalu. Lautan yang luas yang terbentuk dimasa lalu, saat sebagian besar Sumedang berada di bawah permukaan laut.

Bukti Tenjolaut di Desa Padaasih perah di bawah laut gambarkan dalam Peta Lembar Geologi Arjawinangun (Djuri, 2011). Menuliskan bahwa sebagian besar Padaasih, disusun oleh Anggota Batulempung Formasi Subang. Diendapkan pada saat kondisi laut dangkal, dengan kemungkinan adanya napal yang ikut teredapkan. Pengendapannya menghasilkan batulempung berlapis, dengan tebal 2900 meter. Selaian memiliki narasi sejarah lahirnya wilayah, Pasir Tenjolaut merupakan bukti bahwa sebagian besar Sumedang masih tenggelam di bawah laut. Seiring waktu, akibat kegiatan tektonik akhirnya terangkat ke permukaan, hingga setinggi 326 meter dpl.

Masyarakat menyebutnya Bukit Pasir Putih. Bukit yang biasa disebut pasir dalam bahasa Sunda, tetapi dalam makna disini berarti butir pasir. Sehinga diartikan bukit yang disusun pasir dan berwarna cenderung putih karena kontras dibandingkan lingkungan sekitarnya.

Berupa perbukitan, bagian dari lereng G. Tampomas di arah baratnya. Sehingga perbukitan ini posisinya lebih tinggi dan landai ke arah timur. Kondisi topografi demikian, menjadi tinggian yang terbuka ke arah timur dan utara. Sehingga pendiri dusun Tenjolaut masih bisa menyaksikan garis pantai utara, sekitar Indramayu. Sedangkan Cirebon tertutup oleh kerucut G. Cereme.

Bukit Pasir Putih Tenjolaut atau Pasir Tenjolaut (pasir adalah bukit), seiring waktu tererosi oleh air. Diaantaranya mengali sungai-sungai yang mengalir dari barat ke timur. Seperti Ci Bodas yang berada di sebelah selatan Tenjolaut. Kemudian Ci Pelang yang bergabung dengan Ci Paray di Batukarut. Sungai-sungai tersebut mengerosi batuan yang sifatnya mudah lapuk, sehingga terbentuk lembah-lembah dan jurang yang dalam. Dampak erosi yang terus terjadi hingga kini, diantaranya perubahan bentuk lahan, air cenderung keruh dan pendangkalan sungai. Longsor terjadi di dusun Batukarut, Desa Padaasih. Terjadi pada 22 November 2022 melalui laman sosial media desa https://www.instagram.com/p/ClQZnvPytm8/?utm_source=ig_web_copy_link&igsh=MzRlODBiNWFlZA== Dampaknya adalah hampir 30 hektar sawah tidak mendapatkan pengairan.

Akibat batuan penyusunnya dalah batulempung berlapis, menyebabkan sering terjadinya gerakan tanah. Seperti yang terlihat di Pasir Tenjolaut, membentuk bidang longsor setengah lingkaran. Mekanisme gerakan tanahnya adalah nendatan, bergerak lambat akibat kenaikan muka air tanah. Selain itu sifat batuan ini memiliki permeabilitas yang buruk, tidak mampu meloloskan air. Sehingga beberapa sungai akan meluap, bila terjadi hujan besar dihulu.

Keterdapatan sumber mata air diwilayah ini, berasal dari daerah imbuhan di sebelah barat. Merupakan dataran tinggi dan perbukitan, lereng G. Tampomas. Batuannya disusun oleh endapan vulkanik, sehingga memiliki sifat batuan pembawa air. Syarata inilah salah satu alatan pemindahan kerjaan Sumedang Larang abad ke-17.

Tenjolaut merupakan dataran rendah, dikelilingi oleh pesawahan. Pada abad ke-17 akhir, menjadi ibu kota Kabupaten Sumedang, pada saat pemerintahan Raden Bagus Weruh. Dinobatkan menjadi bupati Sumedang 1633 – 1656, dengan gelar Rangga Gempol II. Ibu kota pemerintahannya dialihkan dari Timbangante ibu kotanya di Tegalluar (saat ini Kabupaten Bandung) ke Tenjolaut, Conggeang, Sumedang.

Pengalihan pusat pemerintahan tersebut, merupakan kelanjutan penangkapan Dipati Ukur pada 1633 di Gunung Lumbung Cililin. Dari wilayah inilah Rangga Gempol II memerintah, melanjutkan kekuasaan Kabupaten Sumedang yang dipimpin Rangga Gede.

Dampak lainya dari pemberontakan Dipati Ukur, 1633 Agung dan penerusnya Amangkurat I, mereorganisasi wilayah priangan. Dengan mempersempit wilayah Sumedang dengan membagi wilayahnya menjadi kabupaten pemekaran. Diantaranya Kabupaten Bandung, Sukapura dan Parakanmuncang.

Selain itu, melalui kebijaksanaan Amangkurat I pada 1641 (suksesi dari Sultan Agung) menghapus fungsi Bupati Wedana. Sehingga Rangga Gempol II, memiliki jabatan yang sama dengan bupati lainya. Kondisi demikian yang menyebabkan Rangga Gempol II kecewa, hingga 1656 mengundurkan diri. Dilanjutkan oleh puteranya bergelar Pangeran Panembahan, diangkat menjadi Rangga Gempol III. Tokoh kontroversial yang ingin mengembalikan Sumedang sebagai kerajaan berdaulat.

Dari informasi kepercayan masyarakat, penamaan Tenjolaut berhubungan dengan kondisi bentang alam. Menurut cerita orang tua, kawasan ini sebelumnya pernah ditempati laut dalam. Sedangkan pendapat lainya, dari lokasi ini bisa melihat patai utara, di balik G. Ciremai. Keberadaan bukti laut dalam, bisa ditemui di bukit Pasir Putih Tenjolaut di Blok Jukut. Berupa perbukitan yang disusun oleh Anggota Batulempung Formasi Subang (Tms). Berupa batulempung mengandung lapisan batugamping napalan abu-abu tua, batugamping. Setempat ditemukan sisipan batupasir glukonit hijau (Djuri, 2011).

Selain itu, sekitar wilayah ini ditempati pesawahan yang luas. Menempati hampir semua bagian Conggeang. Total luas wilayah Conggeang sekitar 65,36 km2 (BPS Sumedang, 2016). Pembukaan sawah sudah dilakukan, saat Sumedang berada di bawah kekuasaan Mataram (1620). Dengan cara alih teknologi orang-orang Banyumas ke Conggeang, dan perluasan sawah disertai pembangunan sistem irigasi, seiring dengan pembukaan lahan. Mengkonversi hutan menjadi sistem sawah. Ekstensi sawah tersebut sebagai strategi penguatan pangan, dilakukan Mataram dalam mendukung ekspansi wilayah ke Jawa bagian barat.

Situs Patilasan Bupati Sumedang, Rangga Gempol II di Tenjolaya, Padaasih.
Bongkah lava di jalan menuju Pasir Tenjolaut.
Pasir Tenjolaut, disusun batulempung.
(sungai) Ci Pelang yang mengerosi batulempung Formasi Subang.

Catatan Geourban#35 Cibugel

Masih dalam suasana musim hujan, peserta menembus jalan desa. Berpayung semangat untuk menangkis hujan, dengan tujuan menapaki kembali sejarah bumi di Sumedang Selatan.

Dikegiatan ke-35, mengunjungi jembatan gantung yang melintasi dua desa di Sumedang Selatan. Disebut jembantan gantung Panyindangan, menghubungkan Desa Baginda disebelah barat, dengan Desa Gunasari dibagian timur. Jembatan tersebut dibangun oleh anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pada tahun 2018. Menggantikan jembatan rintisan yang dibut oleh tim Vertical Rescue Indonesia, tahun 2017. Jenis jembatannya menggunakan teknologi Jembantan Gantung untu Pedesaan Asimeteris (Judesa). Menggunakran struktur kabel baja, dan tiang pancang sebagai struktur utamanya.

Panjang jembatan sekitar 120 meter, membentang barat ke timur di atas Ci Honje. Dengan lebar 1.65 meter, sehingga hanya bisa dilalui pejalan kaki dan roda dua. Bermanfaat sebagai penghubung dua desa, menggerakan ekonomi lokal. Dibangun di dataran rendah yang ditempati sawah, kemudian dipotong Ci Honje. Sungai yang berhulu di G. Calangcang. Sistem gunungapi purba, diperbatasan Sumedang dan Garut.

Aliran sungainya bertemu dengan Ci Peles, di Situraja kemudian bergabung dengan Ci Manuk. Disekitar Gunasari, dikatergorikan ordo sungai muda, dicirikan dengan arus sungai deras. Mengendapkan bahan sedimen yang diangkut dari hulu, diantaranya bongkah batuan hingga pasir. Sedimen dari hulu yang dibawa arus sungai, kemudian membentuk dataran-dataran aluvial yang luas. Dataran banjir tersebut ditempati oleh sawah yang memerlukan pengairan.

Lokasi berikutnya adalah lembah Citengah. Lembah yang diapit dua perbukitan, kemudian dipotong oleh Ci Tengah. Sungai yang berhulu di Cimanggung. Lereng G. Calangcang-Pasirhonje. Pada 4 Mei 2022 dilanda banjir bandang, meluap hingga menerjang rumah dan sarana warga di Citengah, Gunasari.

Dipicu oleh curah hujan tinggi, kemudian kemampuan penyerapan air yang berkurang. Terjadi akibat perubahan tata guna lahan di hulu, sehingga limpasan air (run off) mengalir semuanya ke Ci tengah dan Ci Tundun (sebelah barat). Dua sungai tersebut bergabung dengan Ci Honje, kemudian dialirkan ke utara.

Luapan air tersebut bukan saja terjadi satu kali, namun pernah dilaporkan sebelumnya. Walaupun dalam skala kecil, menandakan pengelolaan sungai dihulu terganggu. Seperti halnya diutarakan oleh Walhi Jawa Barat, bahwa banjir terjadi akibat perubahan penggunaan lahan di hulu.

Bagian hulunya adalah wilayah perkebunan teh Margawindu-Cisoka. Dalam penelusuran dikegiatan ini, mengunjungi tinggian Cisoka. Saat ini ditempati oleh lokasi wisata, tumbuh menjamur di atas lahan bekas perkebunan teh Margawindo. Penggunaan lahan tersebut saat ini masih dalam status abu-abu, karena selepas penguasaan masa kolonial dinasionalisasi. Kemudian disewakan kepada swasta, melalui Hak Guna Usaha.

Sebelum mendekati Cisoka, didapati air terjun Cigorobog, Citengah. Berupa air terjun bertingkat, mengalir dibatuan breksi gunungapi. Mengalir dari hulu G. Munjul dan G. Bedil. Air terjun bertingkat empat, terbentuk hasil erosi sungai. Akibat batuan yang lebih resisten, membentuk ceruk berupa air terjun bertanga. Aliran sungainya kemudian mengalir ke arah selatan, menuju Ci Honje.

Melintasi puncak pass Cisoka, jalanan menurun ke arah utara. Jalannya telah diaspal, hingga menjadi alternatif menuju Garut melalui Cibugel. Di desa yang masih menjadi wilayah Sumedang, berbatasn denga Garut. Sehingga kawasan ini menjadi jalur penghubung pergerakan pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indones (DI/TII). Terjadi pada kurun waktu antara tahun 1950-an hingga tertangkapnya Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo di G. Beber-Rakutak.

Serangan terjadi DI/TII pada 23 November 1959. Berupa aksi pembantaian yang terjadi di Desa Cibugel, mengakibatkan 120 orang tewas. Pada masa tersebut, desa ini menjadi basis pertahanan pro republik. Penolakan warganya terhadap kehadiran DI/TII. Sehingga pasukan bentukan SM Kartosuwiryo, mengkategorikan Cibugel sebagai desa Darul Harbi atau kawasan musuh. Pembantaian terjadi jelang tengah malam, melalui pengepungan. Dalam kondisi tidak menentu, sebagian bersar warga bersembunti di Legok Cibiru atau sekitar 100 meter dari kantor desa. Dilokasi inilah pasukan DI/TII melakukan pembunuhan masal, mengakibatkan tewasnya ratusan rakyat.

Pasca peristiwa tersebut, sebagian besar warganya mengungsi ke daerah lain di Sumedang. Kemudian kembali ke Cibugel, setelah ditangkapnya SM Kartosuwiryo pada 1962. Kunjungan ke Cibugel, menutup perjalan Geourban ke-35.

Puncak perkebunan teh Margawindu.
Air terjun Gorobog, hulu Ci Honje.
Kabut menyergap puncak Cisoka.
Penanda makam korban pembantaian DI/TII di Cibugel

Catatan Geourban#32 Ganeas Sumedang

Dalam laporan prakiraan cuaca, sebagian besar langit Sumedang dibawah sergapan hujan ringan. Terbukti saat rombongan Geourban mendekati kota ini, langit sepertinya ditaungi awan tebal. Temperatur sejuk, mengantarkan kegiatan ini dari pagi hingga jelang sore. Untuk mendapatkan reportase dalam bentuk video, bisa dilihat ditautan https://www.youtube.com/watch?v=U9c54fYwE-w

Sesuai dengan pernjajian di grup Whatsaap, memilih lingkar Binokasih sebagai titik perjumapaan. Selain mudah dijangkau dan dipahami, tugu ini menjadi batas terluar sebelah timur sebelum memasuki pusat kota Sumedang. Tugu yang dihiasi oleh mahkota Binokasih, simbol penerus kerajaan Sunda abad ke-16. Pada abad tersebut Kesultanann Banten semakin mendesak kerajaan Sunda yang berkedudukan di Pakuan Pajajaran (Bogor), hingga runtuh.

Jelang keruntuhan kerajaan tersebut, Raja Sunda terakhir mengirim empat utusan disebut Kadaga Lante.Tujuaanya adalah menyerahkan simbol kerajaan Sunda, agar dilanjutkan oleh Kerajaan Sumedanglarang. Diantaranya adalah mahkota Binokasih, sebagai penegas suksesi kerajaan penguasa sebagian besar Tatar Sunda. Momen inilah yang digunakan oleh raja terakhir Sumedang, untuk menyatakan kerajaan Sumedang berdaulat. Hingga kelak, sekitar 41 tahun kemudian takluk di bawah Kesultanan Mataram, sehingga Sumedang berstatus kabupaten.

Binokasih membawa rombongan Geourban ke masa kejayaan kerajaan Sumedanglarang. Dalam kegiatan sebelumnya https://pgwi.or.id/2025/01/30/catatah-geourban31-dayeuhluhur/ mengupas satu penggalan waktu, raja terakhir Sumedanglarang. Dalam kegiatan ini menggunakan kendaraan roda dua, diikuti oleh pegiat wisata, pemandu dan peminat budaya. Kendaraan melesat menembut jalan raya Sumedang, mengarah ke utara dan memotong kota. Terlihat samar-samar satu bentuk perbukitan yang menaungi kota Sumedang, dari G. Kacapi kemudian berbelok ke arah timur.

Melewati Desa Margamukti, Kecamatan Cisarua. Melalui jalanan yang menhubungkan ke Desa Ciuyah. Jalanan kelas kabupaten, membujur dari timur ke barat. Tidak lebih dari sepeminuman teh, melampaui Cirwaru dan perbukitan Pasir Ciwaru. Jalanan menyempit membelah kampung, kemudian tiba di tinggian Ciuyah. Berupa lembah yang dipotong oleh Ci Uyah. Kiri dan kanannya ditempati hamparan sawah, tumbuh subur sepanjang masa. Sebelah barat terlihat jajaran perbukitan, dihuni oleh vegetasi lebat. Hutan tersebut berfungsi sebagai daerah tangkapa air, sehingga kawasan ini tdak pernah kekeringan.

Tujuan pertama adalah fenomena mataair Ciuyah, Ds. Ciuyah. Terletak diantara sawah warga, sebelah utara dari kantor Desa. Jarak dari jalan raya desa menuju lokasi sekitar 500 meter, melaui salura irigasi. Dilakukan dengan berjalan kaki, sejajar dengan anak sungai hingga lokasi yang akan dituju. Dari pertengahan perjalanan, terlihat lembah yang dipotong sungai, memberikan indikasi adanya pola kelurusan yang dilalui sungai. Dalam laporan tim Badan Geologi KESDM (Saputra drr., 2023), survey seismisitas Gempa Sumedang 31 Desember 2023. Menemukan perkiraan sesar melalui survey lapangan dan morfotektonik. Mengintepretasi adanya pola sesar naik berarah relatif barat-timur, terpotong oleh sesar mendatar berarah timurlaut-baratdaya. Buktinya terlihat kehadiran cermin sesar sebagai sesar mendatar pada badan sungai. Kajian tersebut menindaklanjuti survey Pusat Air Tanah dan Geologi Lingkungan, Badan Geologi. Mengkonfirmasi keberadaan sumber mata air asin di tinggian Desa Ciuyah.

Keberadaan mataair ini diduga sebagai air yang terperangkap apda batuan sedimen, muncul kepermukaan karena diberi jalan oleh retakan pada batuan. Akibat adanya tekangan dari bawah, pembukaan celah yang memungkinkan naiknya fluida ke permukaan. Disebut mata air formasi atau mata air yang berasosiasi dengan batuan sedimen (connate water).

Dalam fisografis pulau Jawa, Sumedang merupakan bagian dari Zona Bogor (Martodjojo. 1984). Zona ini meliputi sebagian besar Sumedang, merupakan perbukitan lipatan yang terbentuk dari batuan sedimen laut dalam. Sehingga diperkirakan sebagian besar Sumedang masih berada di dasar laut. Seiring waktu diendapkan batuan sedimen laut dalam, berupa batupasir-batulempung pada Miosen Tengah hingga Miosen Akhir atau sekitar 23-15 juta tahun yang lalu. Seiring dengan pengendapan batuan sedimen, terdapat cekungan yang menjebak air laut pada saat itu. Pada umur Pliosen terjadi pengangkatan, diakibatkan oleh tektonik. Mengakibatkan pendangkalan dan pensesaran, seperti yang diduga hadirnya sesar Ciuyah.

Mata air tersebut muncul ke permukaan, berasosiasi dengan sesar. Air yang berada jauh di kedalaman lebih dari 1000 meter di bawah permukaan, disebut air formasi (connate water). Debitnya tidak terlalu besar, rasanya asin dan tidak mengindikasikan kenaikan temperatur. Merupakan rembesan, dicirikan dengan munculnya gelembung. Tingkat kegararamannya mendekati air laut, dengan pH 6,7 (Survey PAGTL, 2023).

Di lokasi tersebut ditemukan dua sumur, dibuat oleh pemilik lahan dengan tujuan untuk kegiatan ritual atu pengobatan. Dari informasi warga, lokasi ini sering dikunjungi pada waktu tertentu, sebagai sarana penyembuhan dari penyakit. Beberapa pengunjung melaksanakan niat untuk mandi atau sekedar membersihkan diri. Dengan demikian pemilik lahan memasang kain penutup warna putih, disekeliling sumur mata air Ciuyah. Bahkan beberapa pengunjung menyempatkan mengambil air, sebagai sarana penyembuhan.

Perjalanan ke arah timur, menemui situs Batukuya, Ds. Cimara. Blok batuan yang jatuh dari puncak Pasir Pabeasan. mengendap di sawah warga. Akibat pelapukan, membentuk seperit kura kura. Menurut warga, batu tersebut menjadi penghias alam namun ada juga yang mempercayai sebagai situs ritual.

Berada diantara sawah warga, Desa Cimara, Cisarua, Sumedang. Disebut kuya atau kura-kura dalam bahasa nasional, karena mirip dengan binatang reptil tersebut. Dicirikan dengan adanya rumah atau batok seperti kubah, dan kepala yang menjulur keluar.

Dari ukurannya cukup besar, panjang sekitar 2 meter, dan lebar 1 meter. Tingginya tidak lebih dari 90 cm. Dari sekilas pengamatan, disusun oleh batuan beku. Sumbernya diperkirakan dari bukit yang berada di sebelah tenggara dari Pasir Pabeasan. Akibat kegiatna pelapukan tingkat lanjut, mementuk blok batuan yang jatuh kemudian mengendap diantara pesawahan. Sebagian besar telah mengalami pelapukan, membentuk rekahan-rekahan. Batuan penyusunnya bagian dari Pasir Pabeasan, ditaksir sebagai batuan intrusi batuan beku. Warna batuan abu-abu cerah, mengindikasikan jenis andesitik.

Dari keterangan warga, keberadaan batu Kuya ini awalnya ada di atas perbukitan. Kemudian pindah ke arah lereng, diantara sawah warga. Posisinya berada sekitar 50 meter dari jalan Desa Cimara.

Mendaki ke arah barat, mendekati puncak Pasir Pabeasan. Didapati singkapan batuan beku tebal, tegak dan tetutupi oleh hutan bambu. Berupa perbukitan intrusi batuan beku, membentuk gawir terjal setinggi 10 meter. Berupa lava tebal yang telah mengalami pelapukan dan terdeformasi. Membentuk struktur kekar lembar dan bidang-bidang rekahan. Diantaranya didapat ceruk yang dipercayai sebagai sarang macan, atau disebut liang meong. Ukuran lubangnya memiliki lebar sekitar 1 meter dan tinggi 1,5 meter, berupa lorong kecil. Keberadaanya kini ditutup oleh warga, dengan cara ditimbun dengan menggunakan tanah yang diambil dari sekitar gua. Menuju lokasi tersebut, melaui pesawahan warga, kemudian mendaki mengikuti kontur lereng hingga kearah puncak perbukitan.

Di bagian puncak perbukitan tersebut, ditemui situs Pasir Pabeasan. Situs yg kepercayaan/agama nenek moyang. Berupa batu tegak, disusun diantara bongkahan batuan. bentuk demikian bisa ditafsirkan sebagai matu menhir.

Perjalan dilanjutkan ke arah selatan, menyeberangi Ci Peles di daerah Cibangkong. Kemudian dilanjutkan ke arah jalan raya Wado, berbelok ke arah timur dan mengambil jalan desa Cibogo. Pintu masuk berada diobjek wisata Bale Citembong Girang, dilanjutkan berjalan kaki sekitar 15 menit ke arah selatan.

Keberadaa situs Pasir Kabuyutan, masuk ke dalam wilayah Desa Ganeas. Disebut Situs Kabuyutan Citembong Girang. Sistem religi nenek moyang, berupa susunan batuan dengan berbagai ukuran. Ditata menyerupai altar. Menurut warga sudah digunakan oleh raja Sumedang pertama, sekitar abad ke-8. Berada dilereng perbukitan, dicirikan dengan keberadaan pohon beringin Ficus benjamina yang tinggi menjulang. Diperkirakan umurnya ratusan tahun, dengan akar yang menjalar kesegala arah.

Keberadaan pohon beringin selalu dikaitkan dengan tempat sakral. Dibeberapa kebudayaan dipercaya sebai tempat tinggal roh nenek moyang, memiliki keukuatan mistis sehingga sering digunaan sebagai tempat ritual.

Lokasi penutup berkunjung ke Situs Batu Guling. Desa Kaduwulung. Ditemui beberapa blok batuan, berupa breksi lahar hasil kegiatan gunungapi. Dari keterangan warga, batuan tersebut dijatuhkan dari perbukitan Dayeuhluhur. Dengan tujuan untuk menghancurkan pasukan Cirebon yang berusaha menyerang dari arah timur. Terjadi pada saat penyerangan Cirebon ke Dayeuhluhur, pada tahun 1585. Blok batuan tersebut digulingkan, kemudian mengendap disekiar Desa Kaduluwung, menjadi situs disebut Batu Gulung.

Blok batuan beku berbentuk kuya (kura-kura)
Situs Pasir Pabeasan
Situs Kabuyutan Citembong Girang

Geouban# 30 Jayamekar

G. Bandera merupakan bagian dari puncak-puncak yang berada di sebelah utara Waduk Saguling. Bentuknya berupa perbukitan yang memanjang baratdaya-timurlaut, mulai dari Jayamekar hingga Cikande. Dari peta Rupa Bumi Indonesi/RBI Lembar Padalarang (2000), menuliskan beberapa puncak. Disebelah timur puncak G. Bakung 816 m dpl., G. Puter 889 m dpl., Pasir Lampegan 868 m dpl. kemudian masih berjajar ke arah timur dengan posisi lebih tinggi G. Pancalikan 963 m dpl., G. Halimun 972 m dpl. kemudian melandai ke arah barat. Ditempati Pasir Sopak 856 m dpl., dilanjutkan Pasir Cibuntu 856 m dpl.

Jajaran perbukitan tersebut bagian dari Rajamanda Ridge, atau punggunga Rajamandala. Sejajar dengan jalan raya penghubung Bandung-Cianjur di Citatah, Padalarang. Jalan raya ini membelah perbukitan karst, yang disusun oleh batuan karbonat. Ditafsirkan sebagai karang penghalang/barrier reef (Siregar, 2005) yang diendapak sejak Oligosen Akhir hingga Miosen Awal, sekitar 25-15 juta tahun yang lalu.

Sedangkan kelompok G. Bendera yang berada disebelah selatannya, disusun oleh sedimen klastik gunungapi. Satuan batuannya disusun oleh hasil pengendapan dilaut dalam, seiring waktu terangkat hingga 670-900 m dpl. dpl., lebih. Buktinya tersingkap berupa batulanau dan batupasir tebal di Cikande, hasil kegiatan perlipatan serta tersesarkan. Ke arah selatannya, sekitar Cigintung, ditemui sisa penambangan yang menyinkapkan endapan gunugapi umur Kuarter. Tebal dan membentuk perbukitan, kemudian melandai ke arah selatan.

Mari temui bukti pebukitan terlipat, melalui pengamatan di puncak G. Bendera. Bukti endapan laut dalam di Cikande dan hasil letusan gunungapi berupa endapan awan panas (ignimbrite) di Cigintung. Hasil letusan gunungapi kelas plinian, mengalirkan awan panas sejauh 19 km dari pusat letusan (Pyroclastic density currents). Akibat temperatur tinggi hingga lebih dari 500 derajat celcius, kemudian terelaskan (welded).

Hari/Tanggal
Sabtu, 1 Februari 2025

Waktu
08.00 WIB sd. 13.00 WIB

Titik pertemuan (meeting point)
Geotheather Hawu-Pabeasan, Cidadap, Padalarang

https://maps.app.goo.gl/DFsof9faAExBjxPv5

Syarat dan ketentuan
Kegiatan bersifat mandiri dan probono, dipersilahkan mengatur moda transport (disarankan roda dua). Mohon dipersiapkan kelengkapan kondisi cuaca, kegiatan hiking dan kebutuhan pribadi lainya.

Tentang Georuban
Berjalan sejak 3 tahun yang lalu, oleh Asosiasi Pemandu Geowisata Indonesia. Menginisiasi, menggali wisata bumi, melalui narasi, interpretasi dan membuka jaringan silaturahmi lokal.

Catatan Singkat Geourban#26 Palasari

Ujungberung diintepretasikan hadir jauh sebelum Daendels membuat jalan Raya Pos 1810-1811. Dengan demikian sudah ada budaya yang hadir di sebelah Bandung Timur.  Merujuk peta lama, Kaart van de Priangse landen ofwel een gedeelte van de noordkust van Java, 1600. Menyebutkan hadirnya wilayah di sebelah utara Parakanmuncang.

Kunjungan pertama adalah menapaki aliran lava di Ci Panjalu. Lokasinya terletak di Cilengkrang utara, sejajar dengan jalan Palalangon, Kabupate Bandung. Jalan yang menghubungkan Cigending atau Alun-alun Ujungberung ke utara, melalui Palintang. Dialiran sungai tersebut didapati dua air terjun, sebelah utaranya adalah Curug (air terjun) Orok, mendekati ke arah Jembatan Cipanjalu. Kemudian ke arah hilinya disebut Curug Kacapi. Dilokasi ini didapati sumber mata air, dari rekahan batuan lava. Disebut mata air kontak, terbentuk akibat kontak antara lapisan akuifer dengan lapisan impermeable pada bagian bawahnya. Air mengalir pada batuan piroklastik yang memiliki porositas, bersifat meloloskan air. Kemudian mengalir di atas batuan lava dan keluar melalui biidang-bidang rekahan.

Sungai tersebut merupakan lembah yang dialasi oleh batuan lava berwarna abu-abu gelap. Berupa lava tebal dengan struktur kekar kolom. Di Curug Kacapi membentuk dinding tegak yang diperkirakan merupakan struktur sesar minor. Batuannya berupa lava tebal, dengan struktur kekar lembar. Batuannya cenderung berwarna hitam, menandakan pengaruh kualitas air yang tercemar berat. Mengingat Ci Panjalu hulunya di Cilengkrang, bagian dari Daerah Aliran Sungai Ci Tarum.

Jalan tersebut memisahkan dua batuan penyusun yang berbeda. Disebelah timurnya merupakan produk hasil kegiatan letusan gunungapi Manglayang. Kemudian disebelah baratnya adalah endapan dari kegiatan kegunungapian Prasunda-Sunda dan Tangkubanparahu. Soetoyo dan Hadisantono (1992), menguraikan stratigrafi gunungapi blok Cimenyan-Cilengkrang, disusun oleh endapan kegiaatan gunungapi Prasuda-Sunda-Tangkubanparahu. Produknya diantaran tuff, piroklastik dan aliran lava.

Umurnya sekitar Pleistosen, seperti yang disampaikan dalam hasil penelitian Kartadinata (2005). Endapan yang hadir di sektiar lereng selatan G. Palasari, adalah hasil dari empat fase letusan gunungapi di sebelah utara. Yaitu produk letusan Prasunda, kemudian Sunda, Tangkubanparahu Tua dan fase terakhir adalah G. Tangkubanparahu Muda.

Lava yang tersingkap sangat masif/tebal, dierosi sungai dan membentuk ari terjun. Arah alirannya dari utara ke selatan, memotong lava masih dengan struktur berlembar. Dalam penelitian Naufal Fajar Putra (2021), dimasukan kedalam Satuan Aliran Lava 3 Cisanggarung, mendetailkan hasil penelitian Soetoyo dan Hadisantono (1992) dalam satuan aliran lava Sunda (Sl).

Arah alirannya dari utara ke selatan, sehingga sumber lava di Curug Orok masuk ke dalam Satuan Aliran Lava dari hasil kegiatan letusan penutup pembentukan kaldera Sunda.  Dari keterangan di atas, bisa dipastikan batuan di Curug Orok dan Curug Kacapi merupakan batuan beku, hasil kegiatan letusan efusif G. Sunda. Melalui mekanisme aliran lava, mengisi lembah antara G. Palasari-Cilengkrang dan G. Manglayang. Diendapkan miring ke utara, mengikuti topografi sumber aliran.

Strukturnya berlembar, menandakan pada saat lava dialirkan dan membeku. Seiring waktu kehilangan pembebanan dibagian atas, sehingga membentuk struktur berlembar. Struktur yang terbentuk pada batuan berlembar dan mendatara/ horisontal sejajar dengan arah tekanan. Penghilangan pembebanan bisa terjadi karena proses erosi, sehingga material penutup hilang. Kekar lembar di Curug Orok dan Kacapi karena dierosi oleh aliran sungai.

Beralih lokasi kedua, ke arah hulu Ci Panjalu di lereng G. Palasari. Gunung dengan kerucut khas yang hampir mendekati angka dua ribu meter dpl. Menjulang tinggi dan berada pada sistem sesar Lembang segmen timur. Tingginya 1857 meter dpl., berhawa sejuk dan sering tertutup kabut. Kawasannya berada di Perum Perhutani Bandung Utara, sedangkan secara administratif berada di dua desa, Girimekar dan Cipanjalu.

Jalur pendakian terpendek melalui sisi sebelah timur. Diantara punggungan G. Kasur-Manglayang dan G. Palasari, melalui jalan Palintang. Ditempuh sekitar 1.3 km, dengan pertambahan ketinggian sekitar 330 meter, antara lokasi awal pendakian hingga puncak. Dalam pembagian fasies gunung, pendapat Boogie dan Mckenzie (1998). Pendakian dimulai pada fasies proksimal, dengan keterdapatan lava, bresi tuff, hingga tuff lapili. Sedangkan pendakian dari pos awal hingga puncak tidak mendapati sebaran batuan tersebut.

Dengan demikian G. Palasari tidak bisa digolongkan sebagai gunungapi, walaupun memiliki morfologi kerucut. Keberadaanya duduk dijalur Sesar Lembang segmen timur. Mudrik Daryono menyebutkan, panjang sesar tersebut adalah 29 km, mula dari Cilengkrang dibagian timur, kemudian memanjang ke arah timur hingga sekitar ngamprah. Sedangkan pendapat lainya, seperti Iyan Haryanto (2024), melalui pola pengaliran sungai, ekspresi morfologi dan bukti lapangan di tol Cisumundawu membuktikan lain. Iyan memperkirakan jalur Sesar Lembang ini bisa mencapai 40 hinggga 45 km. menerus diutara G. Manglayang hingga Sumedang timur.

Di puncak G. Palasari didapati bidang datar, dengan ukuran kurang lebih 10 x 10 meter. Membentuk persegi hampir kotak, terdiri dari dua pelataran. Dari keketerangan warga, bahwa dahulu masih ada tumpukan batu namun kini sudah sudah hilang. Alasan hilangnnya susunan batuan tersebut tidak pernah ada yang tahu.

Bila merujuk kepada hasil penelitian Dani Sujana (2019), menempatkan tinggian seperti gunung atau perbukitan yang menjulang, dimanfaatkan sebagai simbol sakral dan suci. Baik dari kebudayaan megalitik, menerus hingga kebudayaan Sunda klasik. Diwujudkan dengan cara membangun situs-situs keagamaan, seperti punden berundak. Keberadaanya tentunya perlu penelitian lebih lanjut, mengingat G. Palasari memiliki peranan penting, mengingat di lereng utara ditempat kebuayaan batu loceng. Di bagian selatannya merupakan peradaban Arcamanik, dicirikan dengan peninggalan arca bercorak Hindu.

Dengan demikian perlu untuk menggali dalam bentuk penelitian, dan kajian yang lebih mendalam tentang objek wisata bumi di Ujungberung utara.

Geourban#22 Ciater

Kaki gunung sebelah timur Tangkubanparahu, memiliki cerita bumi dan sejarah sistem pertahanan militer perang dunia ke-2. Jalan dari utara ke selatan, penghubung Subang-Bandung. Jalur sempit yang mengikut tekuk lereng G. Tangkubanparahu, dan berkelak-kelok menanjak mengikuti kontur perbukitan.

Lerengnnya disusun piroklastik, dan lava membentuk perbukitan yang melandai ke arah timur. Gunungapi ini mulai membangun dirinya sejak 90 ribu tahun yang lalu, menghasilkan aliran lava ke arah Ciater. Terlihat tiga perbukitan intrusi yang kini menjadi menara pandang perkebunan teh Ciater. Ditafsir gunungapi kerucut sinder, umurnya lebih tua dari yang menjadi saksi pembentukan G. Tangkubanparahu.

Disebelah baratnya, dilalui jalan Raya Subang-Bandung. Tentara Kerajaan Belanda (KNIL), membut sistem pertahanan yang memanfaatkan celah sempit Cingasaahan. Membangun bungker (pilbox), untuk menahan laju pasukan Jepang yang masuk melalui Kalijati Subang. Setelah dua hari pertempuran hebat, 7 Maret 1942 KNIL menyerah dan Jepang mengusai Bandung. Mengakhiri kekuasaaan kolonial di Jawa dan sebagain besar Indonesia.

Mari temui jejak letusan G. Tangkubanparahu, perbukitan intrusi G. Malang-Palasari. Peran kontur tekuk lereng yang digunakan sebagai basis pertahanan militer KNIL Belanda di sekitar Cipangasahan, Ciater.

Hari/Tanggal
Sabtu, 3 Agustus 2024

Waktu
07.00 WIB sd. 13.00 WIB

Titik Pertemuan
Gerbang Tangkubanparahu
https://maps.app.goo.gl/kU5o14fb8dMcvCqv9

Syarat dan ketentuan
Kegiatan probono, bersifat mandiri (transport, logistik) dipersiapkan sendiri. Disarankan menggunakan motor/roda dua laik jalan.

Tentang Geourban
Diinisiasi oleh PGWI, menjalin jejaring lokal, menggali tafsir tapakbumi dan syiar geowisata.

Catatan Singkat Geourban#21 Jatiluhur

Dalam kegiatan Geourban ke-21, melawat di sekitar Purwakarta (21 Juli 2024). Wilayah yang dilalui oleh Ci Tarum. Sungai yang membelah kota dan kabupaten di Jawa Barat. Diantaranya dimanfaatkan menjadi sumber energi terbarukan, melalui pembangunan tiga waduk buatan. Diantaranya Saguling wilayah Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Cianjur. Kemudian Cirata, dan terakhir waduk Jatiluhur yang masuk ke Purwakarta.

Stop site yang dikunjungi adalah dermaga penyeberangan Talibaju, Cikaobandung. Kemudian ke titik ke dua, batukorsi-batupeti di Desa Sukamanah. Kemudian kunjungan terakhir ke G. Parang. Ketiga tempat tersebut memiliki potensi yang bisa dimanfaatkan melalui aktivitas geowisata. Cerita sejarah perjalan kopi di abad ke-17, didominasi kepentingan dagang yang dimonopoli oleh VOC dari 1756 hingga 1780. Stop site selanjutnya berkunjung ke batuan sedimen Formasi Jatiluhur yang ditafsirkan tinggalan budaya, dan perbukitan intrusi batuan beku. Tiga stop site yang dikunjungi, bagian kecil dari potensi geowisata di Purwakarta.

Jauh sebelum Republik Indonesia lahir, Purwakarta masih menjadi bagian dari Kabupaten Karawang. Wilayahnya mencakup sebagian besar bagian utara Ciasem (saat ini Subang), dan ke arah selatan sekitar Wanayasa saat ini. Daerah ini berada di dataran tinggi di lereng G. Burangrang yang menaungi sebagian besar wilayah Purwakarta bagian selatan saat ini. Wilayah Wanayasa telah ada sejak abad ke-17, dalam bentuk kerajaan di bawah wilayah Pajajaran. Bahkan satu abad sebelumnya, keberadaan penyebutan Karawang dituliskan dalam catatan Bujangga Manik.

Kota yang selama ditafsir sebagai “kota tua”, memiliki pengertian yang berbeda. Ditafsirkan melalui sumber lain, menyebatukan purwa adalah yang pertama, dan karta yang bermakna sejahtera. Dengan demikian bisa ditafsirkan sebagai kota yang mengutamakan kesejahteraan. Tafsir demikian bisa diselaraskan dengan pemindahan ibu kota Karawang Timur, ke tempat yang lebih baik dari sisi jarak ke dan dinilai lebih kondusif.

Perjalanan pembentukan wilayah Purwakarta hadir setelah kemerdekaan, sebelumnya merupakan daerah Karawang Timur dari Kabupaten Karawang. Ibukotanya di Wanayasa, di bawah lereng G. Burangrang. Gunungapi yang ditafsirkan sebagai anak gunungapi, dari sistem gunungapi Sunda-Tangkubanparahu. Seiring waktu, tanahnya yang subur mampu menarik industri perkebunan kopi di abad ke 17, seiring dengan sistem Tanam Paksa. Pengerahan sistematis ini , mendorong kawasan Wanayasa menjadi sentra penghasil kopi setelah Kabupaten Cianjur pada masa tersebut. Namun bukti-bukti pendirian ibukota Kabupaten Karawang Timur di Wanayasa tidak terlihat. Menandakan pusat pemerintahan ibu kota hanya bersifat sementara. Salah satu alasan penempatan ibukota di Wanayasa, karena wilayah tersebut dikenal dengan penghasil kopi terbesar. Menjadi ibu kota kabupaten Karawang Timur pada 1821 hingga 1829. Menjelang 1830 digeser ke arah utara, disebut Sindangkasih.

Pemindahan tersebut dipicu oleh kondisi sosial, dampak dari sistem tanam paksa pada 1847, mendorong pergolakan sosial. Dipicu oleh ketidak adilan, upah rendah dan korupsi di tingkat pemerintahan saat itu, mengakibatkan terjadinya pemberontakan pekerja keturunan Tionghoa. Terjadi pada 1831, dari Wanayasa hingga ke batas Karawang-Purwakarta saat ini. Pemberontakan ini menjadi alasan pemindahan ibu kota ke Purwakarta sekarang. Semata-mata karena kondisi sosial, dan lebih ke pengamanan wilayah melalui pengamanan kekuatan militer saat itu.

Di dermaga perahu penyeberangan Talibaju, Cikaobandung, merupakan jalur penting dalam pengangkutan kopi pada abad ke-17. Cikaobandung merupakan gudang penyimpanan kopi, hasil panen dari beberapa tempat di Kabupaten Bandung saat itu. Sebelumya dikumpulkan terlebih dahulu di gudang kopi di Wanayasa. Keberadaan gudang kopi tersebut masih ada, dimanfaatkan menjadi Sekolah Dasar Negeri I Wanayasa. Bangunan tersebut adalah satu-satunya peninggalan sejarah, bukti industri kopi yang menjadi primadona pertanian di Hindia Belanda.

Hasil panen di wilayah berada di wilayah Preanger-Regentschappen, atau Kabupaten Priangan. Pemandangan yang menawan, didominasi tanah hasil pelapukan gunungapi. Sehingga tanahnya subur, dan memiliki pupuk alami dari batang pohon yang telah lapuk kemudian menjadi kompos. Perkebunannya di atas rata-rata 1200 meter, dengan udara sejuk serta tanah yang luas menjadikan wilayah ini sebagai perkebunan kopi terbaik pada masa tersebut.

Perkebunan kopi tersebar di wilayah Kabupaten Bandung saat itu. Diantaranya di wilayah Sumedang, Bandung utara dan selatan, Limbangan, Sukapura dan Sumedang. Wilayah dataran tinggi, masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bandung saat itu.

Sebagai pemain tunggal perkebunan kopi, Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC perlu menjaga kestabilan hasil perkebunan kopi, dan mencari keuntungan dari hasil produksi kopi. Sehingga dikeluarkan perjanjian yang mewajibkan kaum pribumi untuk menanam kopio dan hasilnya harus diserahkan kepada pihak VOC. Dikenal dengan Koffestelsel (sistem kopi), atau tanam paksa penanaman kopi oleh pada pribumi.

Pengangkutan kopi dari Priangan pedalaman ke Batavia diinisiasi oleh Gouverneur Generaal van Vereenigde Oostindische Compagnie, Mattheus de Haan (1725-1729), dan Bupati Bandung Tumenggung Anggadireja I (1704-1747). Dikenal dengan koffie transport, pengangkutan kopi dengan menggunakan hewan beban seperti kerbau atau sapi. Dibutuhkan waktu antara 60 hingga 72 hari pengangkutan, dengan moda transportasi seperti ini.

Semua hasil panen kemudian diangkut ke gudang kopi di Wanayasa. Setelah terkumpul kemudian diteruskan ke gudang kopi di Cikaobandung, Purwakarta. Jaraknya sekitar 33 km, menggunakan pedati yang ditarik oleh sapi. Dari dermaga kemudian diteruskan menggunakan perahu layar tunggal ke Batavia, melalui Ci Tarum. Mattheus de Haan meminta agar pada tenaga kerja (kuli), membawa kopi dari Bandung, Parakanmuncang, dan Sumedang ke Gudang Kopi Cikao, yang dibangun pada 1744.

Kunjungan berikutnya ke Batukorsi-Batupeti di Kampung Ciputat, Desa Kutamanah. Blok batuan sedimen yang tererosi kuat, membentuk kotak-kotak yang terpisah. Masyarakat mempercayai merupakan hasil kerja manusia di masa lalu, dikaitkan dengan mitos Sangkuriang dan Dayang Sumbi.

Keberadaanya terletak di batas pantai waduk Jatiluhur di sebelah utara. Bisa diakses melalui Kampung Ciputat, kemudian dilanjutkan jalan kaki melalui hutan bambu. Bila dari wisata Jatiluhur, bisa menggunakan perahu sewaan. Keberadaan singkapan batuan sedimen ini berada di wilayah warga, yang sebagian besar telah menjadi perkebunan. Sebagian lagi berada di garis pantai waduk, berupa bentuk seperti kursi.

Dalam berita daring, disebutkan bahwa situs tersebut diduga sebagai tinggalan budaya megalitik, hingga budaya tinggal kerajaan Sunda. Bahkan menurut ketua Rukun Warga di Ciputat, menuturkan bahwa situs tersebut dipercaya menjadi tempat bertemunya Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Cerita rakyat yang berkembang di masyarakat Sunda lama, khususnya di Cekungan Bandung yang mengaitkan dengan sejarah terbentuknya G. Tangkubanparahu. Namun dalam keterangannya, Sangkuriang gagal mempersunting karena ternyata Dayang Sumbi adalah ibu kandungnnya. Sehingga batu berbentuk kursi adalah tempat duduk para tamu, dan peti adalah harta bawaan yang dibawa dalam acara pernikahan.

Dalam peta Geologi Lembar Cianjur (Sudjatmiko, 1972). Tuliskan bagian dari Formasi Jatiluhur, Umur Miosen Tengah. Bila diperhatikan dengan seksama, batuan tersebut berlapis menandakan batuan sedimen. Seiring waktu terangkat akibat kegiatan tektonik, kemudian lapuk oleh kondisi cuaca dan temperatur. Batuan berlapis tersebut disusun oleh perselingan batulempung, batupasir kuarsa, dan batugamping pasiran (Tms).

Bila dilihat dari angkasa, memperlihatkan struktur sejajar membentuk bujursangkar. Menandakan hasil kegiatan struktur yang membentuk rekahan sedemikian rupa. Seiring waktu terjadi erosi dan pelapukan yang menyebabkan bentuknya seperti bongkah batu berbentuk kotak. Sedangkan bentuk kursi di tepi pantai, merupakan bentuk blok batuan yang tererosi oleh gelombang air waduk pada bagian bawahnya. Seiring waktu membentuk seperti batu jamur karena bagian atas lebih kuat (resisten).

Kunjungan terakhir adalah ke G. Parang, melalui Plered. Merupakan perbukitan intrusi batuan beku dangkal. Seiring waktu tersingkap membentuk kerucut yang menjulang tinggi. tingginya sekitar 963 meter dpl. disusun oleh andesit (Ha). Perbukitan tersebut kini aktif menjadi tujuan wisata minat khusus. Pemanjatan menggunakan teknik via ferrata. Berupa besi panjang, yang digunakan sebagai alat bantu pendakian. Kegiatan ditutup dengan pengukun Asosiasi Pemandu Geowisata Dewan Pengurus Wilayah Purwakarta Raya.

G. Parang dari basecamp Badega.
Batupasir kuarsa, perselingan dengan batulempung Fm. Jatiluhur.
Batupeti yang disusun batuan sedimen lapuk, Formasi Jatiluhur.
Pengukuhan PGWI DPW Purwakarta Raya.

Geoliterasi Buku Geowisata: Bincang Buku Narasi Geowisata Cekungan Bandung

Telah dilaksanakan kegiatan dengan tema geowisata, di aula ruang publik, kantor Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Jawa Barat (7/6, 2024). Pertemuan ini difasilitasi oleh Bidang Destinasi Pariwisata, melalui kehadiran langsung Kepala Bidang Destinasi Pariwisata, Disparbud Jabar yaitu  ibu Ani Widianti. Acara dimulai pukul 16.30 WIB hingga 18.00 WIB. Di tempat yang sama dalam waktu sebelumnya, telah di launching oleh Kadis Parbud Jabar. Pelatihan dan Sertifikasi Pemandu Geowisata di lima Kabupten/Kota Jawa Barat, mulai tanggal 19 Juni di Kab. Pangandaran hingga tutup bulan.

Dalam kesempatan ini hadir para narasumber, mewakili para penulis geowisata. Diantaranya hadir Deni Sugandi, penulis buku Kaldera Sunda: Jejak Plinian di Pringan (2024), Gangan Jatnika penulis buku Lingkung Gunung Bandung#1 (2024). Sebagai penanggap diskusi adalah hadir T Bachtiar, penulis dan pegiat geowisata. Kegiatan ini sebagai upaya sosialisasi geowisata Jawa Barat, yang diinisiasi oleh asosiasi Pemandun Geowisata Indonesia (PGWI), bekerja sama dengan Disparbud Jawa Barat.

Kegiatan dilaksanakan di ruang publik, kantor Disparbud Jawa Barat. Dihadiri oleh lebih dari 50 orang, dari unsur para pegiat, pemandu, pengelola destinasi wisata hingga dari kampus.

Diskusi dibuka oleh Deni Sugandi selaku moderator, memberikan tema atau batasan diskusi tentang geliat geowisata di Jawa Barat. Melalui penerbitan karya intelektual penyusunan buku, tentang geowisata diseputaran Cekungan Bandung. Geowisata adalah aktifitas wisata yang berlandaskan tentang sejarah bumi, fitur bentang alam, hingga proses dinamik bumi yang sedang terjadi kini. Deni menambahkan bahwa saat ini geowisata telah memiliki nilai ekonomi, melalui pemberdayaan lokal sebagai pemilik wilayah.

Deni memberikan gambaran tentang buku Kaldera Sunda, sebagai bukti letusan gunungapi. Melalui buku tersebut, Deni menelusuri kembali jejak-jejak bukti material letusan.

Dalam pemaparan singkat, T Bachtiar menyampaikan bahwa narasi tentang kebumian telah banyak ditulis. Baik melalui penerbitan buku, artikel, hingga aktivitas yang bertemakan tentang geowisata. Narasi-narasi tersebut telah dibunyikan oleh para pegiat, seperti yang dilakukan Bachtiar melalui komunitas Geotrek Matabumi.

Menurut Bachtiar, narasi tersebut sebagai dasar dalam kegiatan geowisata. Digunakan oleh para pemandu, untuk mempresentasikan bentang alam, hingga proses bumi yang terus berlangsung hingga kini. Sehingga Bachtiar menegaskan bahwa pemerintah, melalui dinas pariwisata tidak perlu repot-repot membuat kajian karena data sudah disediakan oleh pegiat dan komunitas geowisata.

Diskusi dilanjutkan oleh paparan singkat dari Kabid Destinasi Pariwisata, yang mengatakan begitu pentingnya pengelolaan sampah di destinasi geowisata. Ibu Ani Widiani tidaklah begitu setuju dengan objek wisata dadakan, seperti pengemasan wisata melalui bentuk platform yang dihiasi oleh tulisan-tulisan ataupun bentuk yang kurang mendukung. Karena menut Ani, alam sudah memberikan keindahannya sehingga di objek wisata tidak perlu lagi dipasang seperti bentuk kupu-kupu atau lain sebagainya. Begitu juga dengan pengelolaan di destinasi taman bumi (Geopark) di Jawa Barat, Nia menegaskan perlunya pengelolaan dan perencanaan pembangunan destinasi yang baik. “Saya dulu bertugas di Bappeda Jabar, sehingga tahu betul pentingnya pengelolaan destinasi” tegasnya.

Penyaji berikutnya mengetengahkan gunung-gunung yang melingkupi Cekungan Bandung. Ganggan Jatnika menguraikan upaya menulis, melalui pengumpulan data, hingga mengkompilasinya menjadi satu buku. Buku ini merupakan edisi pertama yang memuat sebagian gunung yang ada di luar lingkar Cekungan Bandung, sebutannya.

Sebagai penutup dalam diskusi, Deni memberikan catatan bahwa perlu penggalian narasi-narasi yang berkaitan dengan geowisata. Baik dilakukan perorangan, komunitas hingga perlunya dukungan lembaga khususnya pemerintahan. Selebihnya adalah perlunya dukungan pemerintah, agar para pegiat geowisata ini bisa diberikan tempat untuk mendorong pergerakan ekonomi melalui wisata berbasis kebumian.

Pelatihan dan Sertifikasi Pemandu Geowisata Fasilitasi Program PSKK 2024

Kegiatan Pelatihan dan Sertifikasi diinisiasi melalui progam Pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Kerja(PSKK) melalui anggaran BNSP Tahun 2024.

Mempercepat pengakuan industri dan sektor terhadap tenaga kerja bersertifikat kompetensi.
Memfasilitasicalon tenaga kerja/tenaga kerja untuk mendapatkan sertifikat kompetensi melalui Pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Kerja oleh LSP .
Mengoptimalkan pelaksanaan sertifikasi kompetensi kerja oleh LSP yang berorientasi pada permintaan industri tehadap tenaga kerja kompeten yang memiliki sertifikat kompetensi.
Memfasilitasi kerjasama LSP dengan dunia usaha/industri dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja kompeten bersertifikat kompetensi.

Progam ini dirteruskan melalui Lembag Sertifikasi Pemandu Pramuwisata Indonesia (LSP Pramindo), bekerja sama dengan Asosiasi Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI). Berjumlah 120 peserta, melalui jaringan organisasi ke lima kota dan kabupaten. Diantaranya Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat. Kabupaten Majalengka, Kabupaten Bogor, Kabupaten Pangadaran. Dalam jaringan Geopark Nasional maupun ispiring. Dilaksanakan di sepanjang bulan Juni 2024, dengan pelaksanaan bekerja sama dengan Dinas Pariwisata danBudaya Provinsi Jawa Barat, dilanjutkan dinas pariwisata di tingkat daerah.

Sertifikasi pemandu geowisata memiliki banyak kepentingan, di antaranya:

Profesionalisme: Sertifikasi menegaskan bahwa seorang pemandu wisata memiliki kualifikasi dan kompetensi yang diperlukan untuk memberikan pengalaman wisata yang berkualitas kepada wisatawan. Ini membangun kepercayaan dalam industri pariwisata dan meningkatkan reputasi pemandu tersebut.

Standar Keselamatan: Pemandu wisata bersertifikasi telah menerima pelatihan dalam aspek-aspek keselamatan yang relevan, seperti pertolongan pertama dan evakuasi darurat. Hal ini penting untuk memastikan keselamatan wisatawan selama perjalanan.

Pengetahuan Lokal: Pemandu wisata yang disertifikasi cenderung memiliki pengetahuan mendalam tentang destinasi wisata yang mereka pandu. Mereka dapat memberikan informasi yang akurat dan menarik tentang sejarah, budaya, alam, dan tempat-tempat menarik lainnya yang dikunjungi.

Menjaga Lingkungan: Sebagian besar sertifikasi pemandu wisata juga mencakup aspek-aspek keberlanjutan dan pelestarian lingkungan. Pemandu yang disertifikasi dilatih untuk memimpin tur secara bertanggung jawab, meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan, dan mempromosikan praktik-praktik ramah lingkungan kepada wisatawan.

Pembangunan Karier: Sertifikasi dapat membuka peluang karier yang lebih luas bagi pemandu wisata, termasuk kesempatan untuk bekerja dengan agen perjalanan yang lebih besar, perusahaan penerbangan, atau kru kapal pesiar yang menuntut standar tertentu dari pemandu mereka.

Peningkatan Daya Saing: Di pasar yang semakin kompetitif, memiliki sertifikasi dapat membedakan seorang pemandu dari yang lain. Ini dapat membantu pemandu tersebut menarik lebih banyak klien dan meningkatkan daya saingnya dalam industri pariwisata.

Perlindungan Konsumen: Wisatawan yang menggunakan jasa pemandu yang bersertifikasi memiliki jaminan bahwa mereka akan menerima layanan yang memenuhi standar tertentu. Ini memberikan perlindungan tambahan bagi konsumen dan mengurangi risiko pengalaman wisata yang buruk.

Pelatihan dan Sertifikasi Pemandu Geowisata 2024

Asosiasi Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI), menyelengarakan pelatihan skema Pemandu Geowisata dan sertifikasi (BNSP). Dilaksanakan pada bulan Juni 2024. Lokasi di Jawa Barat.

Tempat dan waktu
19 Juni 2024. TIC SBKSDA Resor Cagar Alam Pangandaran
22-23 Juni 2024. Tahura Ir. Djuanda, Dago, Bandung
29 Juni 2024. Kantor Dinas Parbud Majalengka
30 Juni 2024. Kabupaten Bogor

Syarat

  1. Minimal usia 18 tahun (KTP)
  2. Minimal SMA sederajat (Ijazah terakhir)
  3. (file) CV dan Pasfoto latar merah 3×4 cm
  4. Memiliki sertifikat pelatihan Pemandu Geowisata atau
  5. Bukti kerja sebagai Pemandu Geowisata 3 tahun

Pendaftaran
Investasi Rp. 500.000.

Termasuk
Konsumsi, materi-trainer, sertifikat pelatihan, fasilitas pelatihan, dan sertifikasi BNSP skema pemandu geowisata.

Tidak termasuk
Akomodasi, transportasi selama kegiatan

Kuota pendaftar terbatas, ditutup sampai tanggal 10 Juni 2024. Bila kuota terpenuhi, pendaftaran ditutup.

Informasi:
Bandung 0813-22393930