Catatan Geourban#35 Cibugel

Masih dalam suasana musim hujan, peserta menembus jalan desa. Berpayung semangat untuk menangkis hujan, dengan tujuan menapaki kembali sejarah bumi di Sumedang Selatan.

Dikegiatan ke-35, mengunjungi jembatan gantung yang melintasi dua desa di Sumedang Selatan. Disebut jembantan gantung Panyindangan, menghubungkan Desa Baginda disebelah barat, dengan Desa Gunasari dibagian timur. Jembatan tersebut dibangun oleh anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pada tahun 2018. Menggantikan jembatan rintisan yang dibut oleh tim Vertical Rescue Indonesia, tahun 2017. Jenis jembatannya menggunakan teknologi Jembantan Gantung untu Pedesaan Asimeteris (Judesa). Menggunakran struktur kabel baja, dan tiang pancang sebagai struktur utamanya.

Panjang jembatan sekitar 120 meter, membentang barat ke timur di atas Ci Honje. Dengan lebar 1.65 meter, sehingga hanya bisa dilalui pejalan kaki dan roda dua. Bermanfaat sebagai penghubung dua desa, menggerakan ekonomi lokal. Dibangun di dataran rendah yang ditempati sawah, kemudian dipotong Ci Honje. Sungai yang berhulu di G. Calangcang. Sistem gunungapi purba, diperbatasan Sumedang dan Garut.

Aliran sungainya bertemu dengan Ci Peles, di Situraja kemudian bergabung dengan Ci Manuk. Disekitar Gunasari, dikatergorikan ordo sungai muda, dicirikan dengan arus sungai deras. Mengendapkan bahan sedimen yang diangkut dari hulu, diantaranya bongkah batuan hingga pasir. Sedimen dari hulu yang dibawa arus sungai, kemudian membentuk dataran-dataran aluvial yang luas. Dataran banjir tersebut ditempati oleh sawah yang memerlukan pengairan.

Lokasi berikutnya adalah lembah Citengah. Lembah yang diapit dua perbukitan, kemudian dipotong oleh Ci Tengah. Sungai yang berhulu di Cimanggung. Lereng G. Calangcang-Pasirhonje. Pada 4 Mei 2022 dilanda banjir bandang, meluap hingga menerjang rumah dan sarana warga di Citengah, Gunasari.

Dipicu oleh curah hujan tinggi, kemudian kemampuan penyerapan air yang berkurang. Terjadi akibat perubahan tata guna lahan di hulu, sehingga limpasan air (run off) mengalir semuanya ke Ci tengah dan Ci Tundun (sebelah barat). Dua sungai tersebut bergabung dengan Ci Honje, kemudian dialirkan ke utara.

Luapan air tersebut bukan saja terjadi satu kali, namun pernah dilaporkan sebelumnya. Walaupun dalam skala kecil, menandakan pengelolaan sungai dihulu terganggu. Seperti halnya diutarakan oleh Walhi Jawa Barat, bahwa banjir terjadi akibat perubahan penggunaan lahan di hulu.

Bagian hulunya adalah wilayah perkebunan teh Margawindu-Cisoka. Dalam penelusuran dikegiatan ini, mengunjungi tinggian Cisoka. Saat ini ditempati oleh lokasi wisata, tumbuh menjamur di atas lahan bekas perkebunan teh Margawindo. Penggunaan lahan tersebut saat ini masih dalam status abu-abu, karena selepas penguasaan masa kolonial dinasionalisasi. Kemudian disewakan kepada swasta, melalui Hak Guna Usaha.

Sebelum mendekati Cisoka, didapati air terjun Cigorobog, Citengah. Berupa air terjun bertingkat, mengalir dibatuan breksi gunungapi. Mengalir dari hulu G. Munjul dan G. Bedil. Air terjun bertingkat empat, terbentuk hasil erosi sungai. Akibat batuan yang lebih resisten, membentuk ceruk berupa air terjun bertanga. Aliran sungainya kemudian mengalir ke arah selatan, menuju Ci Honje.

Melintasi puncak pass Cisoka, jalanan menurun ke arah utara. Jalannya telah diaspal, hingga menjadi alternatif menuju Garut melalui Cibugel. Di desa yang masih menjadi wilayah Sumedang, berbatasn denga Garut. Sehingga kawasan ini menjadi jalur penghubung pergerakan pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indones (DI/TII). Terjadi pada kurun waktu antara tahun 1950-an hingga tertangkapnya Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo di G. Beber-Rakutak.

Serangan terjadi DI/TII pada 23 November 1959. Berupa aksi pembantaian yang terjadi di Desa Cibugel, mengakibatkan 120 orang tewas. Pada masa tersebut, desa ini menjadi basis pertahanan pro republik. Penolakan warganya terhadap kehadiran DI/TII. Sehingga pasukan bentukan SM Kartosuwiryo, mengkategorikan Cibugel sebagai desa Darul Harbi atau kawasan musuh. Pembantaian terjadi jelang tengah malam, melalui pengepungan. Dalam kondisi tidak menentu, sebagian bersar warga bersembunti di Legok Cibiru atau sekitar 100 meter dari kantor desa. Dilokasi inilah pasukan DI/TII melakukan pembunuhan masal, mengakibatkan tewasnya ratusan rakyat.

Pasca peristiwa tersebut, sebagian besar warganya mengungsi ke daerah lain di Sumedang. Kemudian kembali ke Cibugel, setelah ditangkapnya SM Kartosuwiryo pada 1962. Kunjungan ke Cibugel, menutup perjalan Geourban ke-35.

Puncak perkebunan teh Margawindu.
Air terjun Gorobog, hulu Ci Honje.
Kabut menyergap puncak Cisoka.
Penanda makam korban pembantaian DI/TII di Cibugel

Catatan Geourban#32 Ganeas Sumedang

Dalam laporan prakiraan cuaca, sebagian besar langit Sumedang dibawah sergapan hujan ringan. Terbukti saat rombongan Geourban mendekati kota ini, langit sepertinya ditaungi awan tebal. Temperatur sejuk, mengantarkan kegiatan ini dari pagi hingga jelang sore. Untuk mendapatkan reportase dalam bentuk video, bisa dilihat ditautan https://www.youtube.com/watch?v=U9c54fYwE-w

Sesuai dengan pernjajian di grup Whatsaap, memilih lingkar Binokasih sebagai titik perjumapaan. Selain mudah dijangkau dan dipahami, tugu ini menjadi batas terluar sebelah timur sebelum memasuki pusat kota Sumedang. Tugu yang dihiasi oleh mahkota Binokasih, simbol penerus kerajaan Sunda abad ke-16. Pada abad tersebut Kesultanann Banten semakin mendesak kerajaan Sunda yang berkedudukan di Pakuan Pajajaran (Bogor), hingga runtuh.

Jelang keruntuhan kerajaan tersebut, Raja Sunda terakhir mengirim empat utusan disebut Kadaga Lante.Tujuaanya adalah menyerahkan simbol kerajaan Sunda, agar dilanjutkan oleh Kerajaan Sumedanglarang. Diantaranya adalah mahkota Binokasih, sebagai penegas suksesi kerajaan penguasa sebagian besar Tatar Sunda. Momen inilah yang digunakan oleh raja terakhir Sumedang, untuk menyatakan kerajaan Sumedang berdaulat. Hingga kelak, sekitar 41 tahun kemudian takluk di bawah Kesultanan Mataram, sehingga Sumedang berstatus kabupaten.

Binokasih membawa rombongan Geourban ke masa kejayaan kerajaan Sumedanglarang. Dalam kegiatan sebelumnya https://pgwi.or.id/2025/01/30/catatah-geourban31-dayeuhluhur/ mengupas satu penggalan waktu, raja terakhir Sumedanglarang. Dalam kegiatan ini menggunakan kendaraan roda dua, diikuti oleh pegiat wisata, pemandu dan peminat budaya. Kendaraan melesat menembut jalan raya Sumedang, mengarah ke utara dan memotong kota. Terlihat samar-samar satu bentuk perbukitan yang menaungi kota Sumedang, dari G. Kacapi kemudian berbelok ke arah timur.

Melewati Desa Margamukti, Kecamatan Cisarua. Melalui jalanan yang menhubungkan ke Desa Ciuyah. Jalanan kelas kabupaten, membujur dari timur ke barat. Tidak lebih dari sepeminuman teh, melampaui Cirwaru dan perbukitan Pasir Ciwaru. Jalanan menyempit membelah kampung, kemudian tiba di tinggian Ciuyah. Berupa lembah yang dipotong oleh Ci Uyah. Kiri dan kanannya ditempati hamparan sawah, tumbuh subur sepanjang masa. Sebelah barat terlihat jajaran perbukitan, dihuni oleh vegetasi lebat. Hutan tersebut berfungsi sebagai daerah tangkapa air, sehingga kawasan ini tdak pernah kekeringan.

Tujuan pertama adalah fenomena mataair Ciuyah, Ds. Ciuyah. Terletak diantara sawah warga, sebelah utara dari kantor Desa. Jarak dari jalan raya desa menuju lokasi sekitar 500 meter, melaui salura irigasi. Dilakukan dengan berjalan kaki, sejajar dengan anak sungai hingga lokasi yang akan dituju. Dari pertengahan perjalanan, terlihat lembah yang dipotong sungai, memberikan indikasi adanya pola kelurusan yang dilalui sungai. Dalam laporan tim Badan Geologi KESDM (Saputra drr., 2023), survey seismisitas Gempa Sumedang 31 Desember 2023. Menemukan perkiraan sesar melalui survey lapangan dan morfotektonik. Mengintepretasi adanya pola sesar naik berarah relatif barat-timur, terpotong oleh sesar mendatar berarah timurlaut-baratdaya. Buktinya terlihat kehadiran cermin sesar sebagai sesar mendatar pada badan sungai. Kajian tersebut menindaklanjuti survey Pusat Air Tanah dan Geologi Lingkungan, Badan Geologi. Mengkonfirmasi keberadaan sumber mata air asin di tinggian Desa Ciuyah.

Keberadaan mataair ini diduga sebagai air yang terperangkap apda batuan sedimen, muncul kepermukaan karena diberi jalan oleh retakan pada batuan. Akibat adanya tekangan dari bawah, pembukaan celah yang memungkinkan naiknya fluida ke permukaan. Disebut mata air formasi atau mata air yang berasosiasi dengan batuan sedimen (connate water).

Dalam fisografis pulau Jawa, Sumedang merupakan bagian dari Zona Bogor (Martodjojo. 1984). Zona ini meliputi sebagian besar Sumedang, merupakan perbukitan lipatan yang terbentuk dari batuan sedimen laut dalam. Sehingga diperkirakan sebagian besar Sumedang masih berada di dasar laut. Seiring waktu diendapkan batuan sedimen laut dalam, berupa batupasir-batulempung pada Miosen Tengah hingga Miosen Akhir atau sekitar 23-15 juta tahun yang lalu. Seiring dengan pengendapan batuan sedimen, terdapat cekungan yang menjebak air laut pada saat itu. Pada umur Pliosen terjadi pengangkatan, diakibatkan oleh tektonik. Mengakibatkan pendangkalan dan pensesaran, seperti yang diduga hadirnya sesar Ciuyah.

Mata air tersebut muncul ke permukaan, berasosiasi dengan sesar. Air yang berada jauh di kedalaman lebih dari 1000 meter di bawah permukaan, disebut air formasi (connate water). Debitnya tidak terlalu besar, rasanya asin dan tidak mengindikasikan kenaikan temperatur. Merupakan rembesan, dicirikan dengan munculnya gelembung. Tingkat kegararamannya mendekati air laut, dengan pH 6,7 (Survey PAGTL, 2023).

Di lokasi tersebut ditemukan dua sumur, dibuat oleh pemilik lahan dengan tujuan untuk kegiatan ritual atu pengobatan. Dari informasi warga, lokasi ini sering dikunjungi pada waktu tertentu, sebagai sarana penyembuhan dari penyakit. Beberapa pengunjung melaksanakan niat untuk mandi atau sekedar membersihkan diri. Dengan demikian pemilik lahan memasang kain penutup warna putih, disekeliling sumur mata air Ciuyah. Bahkan beberapa pengunjung menyempatkan mengambil air, sebagai sarana penyembuhan.

Perjalanan ke arah timur, menemui situs Batukuya, Ds. Cimara. Blok batuan yang jatuh dari puncak Pasir Pabeasan. mengendap di sawah warga. Akibat pelapukan, membentuk seperit kura kura. Menurut warga, batu tersebut menjadi penghias alam namun ada juga yang mempercayai sebagai situs ritual.

Berada diantara sawah warga, Desa Cimara, Cisarua, Sumedang. Disebut kuya atau kura-kura dalam bahasa nasional, karena mirip dengan binatang reptil tersebut. Dicirikan dengan adanya rumah atau batok seperti kubah, dan kepala yang menjulur keluar.

Dari ukurannya cukup besar, panjang sekitar 2 meter, dan lebar 1 meter. Tingginya tidak lebih dari 90 cm. Dari sekilas pengamatan, disusun oleh batuan beku. Sumbernya diperkirakan dari bukit yang berada di sebelah tenggara dari Pasir Pabeasan. Akibat kegiatna pelapukan tingkat lanjut, mementuk blok batuan yang jatuh kemudian mengendap diantara pesawahan. Sebagian besar telah mengalami pelapukan, membentuk rekahan-rekahan. Batuan penyusunnya bagian dari Pasir Pabeasan, ditaksir sebagai batuan intrusi batuan beku. Warna batuan abu-abu cerah, mengindikasikan jenis andesitik.

Dari keterangan warga, keberadaan batu Kuya ini awalnya ada di atas perbukitan. Kemudian pindah ke arah lereng, diantara sawah warga. Posisinya berada sekitar 50 meter dari jalan Desa Cimara.

Mendaki ke arah barat, mendekati puncak Pasir Pabeasan. Didapati singkapan batuan beku tebal, tegak dan tetutupi oleh hutan bambu. Berupa perbukitan intrusi batuan beku, membentuk gawir terjal setinggi 10 meter. Berupa lava tebal yang telah mengalami pelapukan dan terdeformasi. Membentuk struktur kekar lembar dan bidang-bidang rekahan. Diantaranya didapat ceruk yang dipercayai sebagai sarang macan, atau disebut liang meong. Ukuran lubangnya memiliki lebar sekitar 1 meter dan tinggi 1,5 meter, berupa lorong kecil. Keberadaanya kini ditutup oleh warga, dengan cara ditimbun dengan menggunakan tanah yang diambil dari sekitar gua. Menuju lokasi tersebut, melaui pesawahan warga, kemudian mendaki mengikuti kontur lereng hingga kearah puncak perbukitan.

Di bagian puncak perbukitan tersebut, ditemui situs Pasir Pabeasan. Situs yg kepercayaan/agama nenek moyang. Berupa batu tegak, disusun diantara bongkahan batuan. bentuk demikian bisa ditafsirkan sebagai matu menhir.

Perjalan dilanjutkan ke arah selatan, menyeberangi Ci Peles di daerah Cibangkong. Kemudian dilanjutkan ke arah jalan raya Wado, berbelok ke arah timur dan mengambil jalan desa Cibogo. Pintu masuk berada diobjek wisata Bale Citembong Girang, dilanjutkan berjalan kaki sekitar 15 menit ke arah selatan.

Keberadaa situs Pasir Kabuyutan, masuk ke dalam wilayah Desa Ganeas. Disebut Situs Kabuyutan Citembong Girang. Sistem religi nenek moyang, berupa susunan batuan dengan berbagai ukuran. Ditata menyerupai altar. Menurut warga sudah digunakan oleh raja Sumedang pertama, sekitar abad ke-8. Berada dilereng perbukitan, dicirikan dengan keberadaan pohon beringin Ficus benjamina yang tinggi menjulang. Diperkirakan umurnya ratusan tahun, dengan akar yang menjalar kesegala arah.

Keberadaan pohon beringin selalu dikaitkan dengan tempat sakral. Dibeberapa kebudayaan dipercaya sebai tempat tinggal roh nenek moyang, memiliki keukuatan mistis sehingga sering digunaan sebagai tempat ritual.

Lokasi penutup berkunjung ke Situs Batu Guling. Desa Kaduwulung. Ditemui beberapa blok batuan, berupa breksi lahar hasil kegiatan gunungapi. Dari keterangan warga, batuan tersebut dijatuhkan dari perbukitan Dayeuhluhur. Dengan tujuan untuk menghancurkan pasukan Cirebon yang berusaha menyerang dari arah timur. Terjadi pada saat penyerangan Cirebon ke Dayeuhluhur, pada tahun 1585. Blok batuan tersebut digulingkan, kemudian mengendap disekiar Desa Kaduluwung, menjadi situs disebut Batu Gulung.

Blok batuan beku berbentuk kuya (kura-kura)
Situs Pasir Pabeasan
Situs Kabuyutan Citembong Girang