Penyerahan SK PGWI Kebumen

Seiring dengan kegiatan sertiikasi kompetensi Pemandu Geowisata, di Hotel Mexoline Kebumen. Diserahkan Surat Keputusan pengangkatan Dewan Pengurus Wilayah Kebuben. pada hari Rabu, 7 Mei 2025.

Dihadiri oleh Ketua PGWI Pengurus Nasional Deni Sugandi, dan Bidang Kerjasama Reza Permadi. Pendirian organisasi dilakukan melalui Musyawarah Wilayah pada tanggal 4 Oktober 2024, di Gedung Sapta Pesona Kantor Dinas Pariwisata Kab. Kebumen.

Penyerahan SK Kepengurusan PGWI Kebumen, di Hotel Mexolie Kebumen.

Catatah Ubarsebel dan Bukber PGWI

Upaya organisasi adalah menjalin silaturahmi, baik didalam hingga di luar organisasi. Tujuaanya adalah penguatan jejaring dan kolaborasi dalam pengembangan wisata bumi. Terutama di kawasan Cekungan Bandung, dilaksanakan dalam dua rangkaian kegiatan. Berupa Ubarsebel, konsep jalan-jalan pengenalan bentang alam hingga sejarah bumi sekitar Bandung bagian utara.

Dibungkus dalam kegiatan ekskursi lapangan singkat, dinamai Ulin Bareng Sambil Belaja disingkat Ubarsebel. Dalam makna bahasa Sunda, berarti adalah obat untuk menuntaskan segala penyakit. Berupa sakit kurangnnya pengetahuan sejarah bumi, hingga budaya yang lahir diatasnya.

Kegiatan dibuka di Curug Dago, Bandung. Air terjun yang mengalir di Ci Kapundung, segmen Dago, kemudian di Ciburial. Diikuti oleh para pegiat wisata, mahasiswa, pengajar sekolah tinggi pariwisata, organisasi profesi, pengelola wisata hingga pemandu wisata. Berkisar sekitar 24 orang, hadir mengikuti kegiatan ini hingga tuntas. Hadir diataranya mewakili organisasi profesi dari APGI DP Provisni Jawa Barat, Komunitas Rumah Geopark Indonesia (RGI) yang langsung dihadiri oleh pa Yunus. Kemudian dari organisasi usaha aktivitas luar ruang Sangkuriang Outdoor Service (SOS), ketua HPI DPC Kota bandung, Kaprodi Usaha Perjalana Wisata Stiepar Yapari Bandung, Hadi Mulyana. Kemudian perwakilan operator  dan pengelola, diantaranya Geowana, Angin Photoschool dan Tahura Ir. H. Djuanda Bandung.

Kegiatan dilaksanakan pada hari Minggu, 16 Maret 2025. Berupa kegaitan kunjungan singkat ke Curug Dago, Bandung. Mengupas Ci Kapundung yang mengalir di atas aliran lava G. Tangkubanparahu. Disajikan dalam bentuk pemanduan wisata bumi, oleh Deni Sugandi dan Zarindra Arya Dimas. Selaku pemandu wisata bumi, mengetengahkan perjalanan (sungai) Ci Kapundung, hasil kegiatan gunungapi dan bentang alam Cekungan Bandung.

Deni meyampaikan materi yang berkaitan dengan sejarah produk G. Sunda-Tangkubanparahu. Berupa endapan lava hasil kegiatan letusan efusif, G. Tangkubanparahu sekitar 40-39 ribu tahun yang lalu (Kartadinata, 2005). Berupa hasil aliran lava basal, mengisi lembah Maribaya. Ci Kapundung, mengalir dari utara ke selatan. Menunggangi alira lava G. Tangkubanparahu. Di Curug Dago melihat kembali hasil kegiatan letusan gunungapi, berupa aliran lava basal, dicirikan dengan warnanya gelap. Pelepasan gas yang terlalut dalam aliran lava, menghasilkan lubang-lubang gas pada batuan. Mengalir dari pusat letusan kemudian mengikuti lembah, Pasir Cikole, Cikareumbi, Cicukang (Maribaya), Sekejolang hingga Dago.

Pemaparan dilengkapi oleh Zarindra, menyampaikan liran lava berhenti di Curug Dago, membentuk ceruk akibat hasil kegiatan erosi ke hulu. Dibagian tebingnya tersingkap susunan perlapisan berselang-seling, menandakan sejarah pengengendapan batuan vulaknik di masa lalu. Panorama Curug Dago memikat komunitas pariwisata Bandung pada masa Kolonial. Sehingga menjadi wisata unggulan, diterbitkan dalam buku paduan pariwisata. Disusun oleh S.A.Reitsma (1923), “Bandoeng, The Mountain City of Netherlands Indies”. Julukan wisata bumi yang diusahakan sejak masa kolonial.

Lokasi ke-dua adalah mengunjungi dataran tinggi Bandung utara. Mengupas sejarah bumi, melalui interaksi diskusi. Bahwa Kawan Bandung Utara (KBU) adalah zona penyangga sekaligus sebaga wilayah serapan air. Keberadaanya kini telah beralih fungsi menjadi hunian rumah, hingga pertanian. Perubahan tata guna lahan tersebut turut menyumbang hilangnya beberapa mata air (Nofrianti, 2012. DPKLTS di Apakabarnews, 2020). Dampak susulannnya adalah banjir di kota Bandung, akibat fungsi KBU tidak bisa lagi menyerap air hujan secara optimal.

Dari titik tinggi ini terlihat bentang alam Cekungan Badung. SemulaKabupaten Bandung beribukota di Krapyak (sekarang Dayeuhkolot) sekitar11 kilometer ke arah Selatan dari pusat kota Bandung Setelah kekuasaankolonial berakhir, Jawa diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda denganGubernur Jendralnya yang pertama yaitu Herman Willem Daendels (1808-1811) (Voskuil, 2007). Merujuk kepada naskah Sajarah Bandung, pada tahun1809 Bupati Bandung Wiranatakusumah II beserta sejumlah rakyatnya pindahdari Karapyak (Dayeuh Kolot) ke daerah sebelah utara Kota Bandung. Salahsatu alasan kepindahannya yaitu wilayah Karapyak sering dilanda banjir darisungai Citarum, dan hal itu masih terjadi hingga sekarang (Prasetyo, 2019).

Pemindahan tersebut merujuk karena kondisi geografis dan geologi. Sehingga Daendels memerintahkan untuk membuat jalur baru, memotong kota Bandung saat ini.

Jelang sore hari, partisipan diarahkan berkumpul di Travel Tech, Ciburial Bandung. Berupa silaturahmi dan urun rembug seputar pengembangan wisata bumi, khususnya di Cekungan Bandung. Dilaksanakan dalam ruangan, berupa diskusi santai jelang berbuka puasa. Deni menyampaikan tema diskusi seputar pengembangan wisata berbasis sumber daya alam yang dimiliki oleh Bandung dan sekitarnya.

Diskusi dimulai pada pukul 16.00 WIB, berakhir di pukul 17.40 WIB. Dalam diskusi singkat ini, mengupas dari perhal umum. Seperti yang disampaikan oleh Nirwan Hararap selaku Pembina PGWI Dewan Pengurus Nasional. Dalam pemaparannya menjelaskan sisi teknologi, berkaitan dengan pemanfaatan citra satelit. Nirwan melihat potensi besar yang belum dikembangkan oleh sektor pariwisata. Diantaranya pemanfaatan jaringan penyiaran televisi yang berbasis teknologi satelit. Kemudian Nirwan menambahkan, perlunya pengembangan diri seorang pemandu yang melek pada pemanfaatan teknologi.

Kesempatan beriktunya disampaikan oleh Bintang Irawan S. menyampaikan usaha-usaha yang telah dilakukan oleh organisasi. Diataranya pengelolaan Bandros Braga Night Story. Progam unggulan tour singkat kota, mengupas sejarah arsitektur hingga cerita dibaliknya. Semuga kegiatan diusahakan secara mandiri, bersaing dengan pengelolaan Bandros yang dikelola oleh pihak pemerintah daerah. Dengan demikian membuktikan, kegiatan aktivasi pariwisata kota bisa diusahakan secara mandiri oleh organisasi.

Bintang menandaskan bahwa saat ini kurangnnya perhatian kepala daerah, khususnya Gubernur Jawa Barat terhadap pengembangan pariwisata. Sehingga memberikan tanda bahwa kegiatan penguatan pariwisata, tidak harus berpangku tangan kepada pemerintah daerah. Dengan demikian Bintan mendorong agar segenap pelaku usaha pariwisata untuk bisa bekerja secara mandiri. “nanti juga pemerintah datang, walaupun sudah terlambat” tandasnya. Dalam kesempatan selanjutnya, Gangan Jatnika menyampaikan usaha wisata yang telah dilaksanakan beberapa kali. Terlaksana dalam kegiatan aktivitas hiking, dibalut interpretasi bumi. Aktivitas wisata bumi ini sudah berjalan beberapa tahun terakhir, dibeberapa tempat sekitar Bandung.

Hadi mewakili perguruan tinggi pariwisata, perlunya kerjasama antara akademisi dan praktisi. Bisa diwujudkan dalam bentuk kerjasama, seperti yang telah diupayakan dengan pihak pengelola Tahura Ir. Djuanda. Kemudian disambut oleh Ganjar, Tahura sebagai laboratorium herbarium. Kawasan konservasi yang bisa dimanfaatkan menjadi sarana wisata edukasi, berkaitan degan koleksi tananan yang dimiliknya.

Diskusi dipungkas melalui pandangan Yunus, menyampaikan perlunya langkah aksi. Berupa kelompok kerja yang mampu mengukur pengembangan wisata yang sudah berjalan. Kemudian diperlukannya variasi wisata serta pelibatan warga lokal, pemangku wilayah setempat. Kegiatan ditutup dengan acara buka bersama, foto bersama dan diskusi ringan. Kegiatan ditutup pukul 19.30 WIB.

Penamatan lapangan di Ciburial Dago.
Berbuka bersama di Travel Tech, Ciburial, Dago
Partisipan di Travel Tech Ciburial Dago

Catatan Geourban#36 Tenjolaut

Dalam kegiatan penelusuran sejarah Sumedang Larang, dibagi ke dalam beberapa kali perjalanan. Dibungkus dalam wisata bumi, menapaki kembali hubungan antara dinamika bumi, sejarah manusia yang hadir di atasnya dan ekologi yang berkembang. Dalam kesemapatan wisata bumi kali ini, mendatangi tempat yang pernah menjadi puseur dayeuh atau ibukota Sumedang Larang. Pusat pemerintahan kabupaten, saat berada di bawah kekuasaan Mataram Islam. Lokasi yang dikunjungi adalah sekitar Tenjolaut, Desa Padaasih, Kecamatan Conggeang.

Tenjo adalah melihat atau memandang,  sehingga menarik makna tenjolaut adalah satu tempat yang bisa melihat laut. Seperti yang diterapkan pada Dusun Tenjolaut, Desa Padaasih, Sumedang.

Dari beberapa keterangan, makna tersebut bisa diartikan dalam dua pengertian. Makna toponiimi yang pertama seperti yang diuraikan di atas, sedangkan arti kedua bisa disejajarkan dengan genang lkaut dimasa lalu. Lautan yang luas yang terbentuk dimasa lalu, saat sebagian besar Sumedang berada di bawah permukaan laut.

Bukti Tenjolaut di Desa Padaasih perah di bawah laut gambarkan dalam Peta Lembar Geologi Arjawinangun (Djuri, 2011). Menuliskan bahwa sebagian besar Padaasih, disusun oleh Anggota Batulempung Formasi Subang. Diendapkan pada saat kondisi laut dangkal, dengan kemungkinan adanya napal yang ikut teredapkan. Pengendapannya menghasilkan batulempung berlapis, dengan tebal 2900 meter. Selaian memiliki narasi sejarah lahirnya wilayah, Pasir Tenjolaut merupakan bukti bahwa sebagian besar Sumedang masih tenggelam di bawah laut. Seiring waktu, akibat kegiatan tektonik akhirnya terangkat ke permukaan, hingga setinggi 326 meter dpl.

Masyarakat menyebutnya Bukit Pasir Putih. Bukit yang biasa disebut pasir dalam bahasa Sunda, tetapi dalam makna disini berarti butir pasir. Sehinga diartikan bukit yang disusun pasir dan berwarna cenderung putih karena kontras dibandingkan lingkungan sekitarnya.

Berupa perbukitan, bagian dari lereng G. Tampomas di arah baratnya. Sehingga perbukitan ini posisinya lebih tinggi dan landai ke arah timur. Kondisi topografi demikian, menjadi tinggian yang terbuka ke arah timur dan utara. Sehingga pendiri dusun Tenjolaut masih bisa menyaksikan garis pantai utara, sekitar Indramayu. Sedangkan Cirebon tertutup oleh kerucut G. Cereme.

Bukit Pasir Putih Tenjolaut atau Pasir Tenjolaut (pasir adalah bukit), seiring waktu tererosi oleh air. Diaantaranya mengali sungai-sungai yang mengalir dari barat ke timur. Seperti Ci Bodas yang berada di sebelah selatan Tenjolaut. Kemudian Ci Pelang yang bergabung dengan Ci Paray di Batukarut. Sungai-sungai tersebut mengerosi batuan yang sifatnya mudah lapuk, sehingga terbentuk lembah-lembah dan jurang yang dalam. Dampak erosi yang terus terjadi hingga kini, diantaranya perubahan bentuk lahan, air cenderung keruh dan pendangkalan sungai. Longsor terjadi di dusun Batukarut, Desa Padaasih. Terjadi pada 22 November 2022 melalui laman sosial media desa https://www.instagram.com/p/ClQZnvPytm8/?utm_source=ig_web_copy_link&igsh=MzRlODBiNWFlZA== Dampaknya adalah hampir 30 hektar sawah tidak mendapatkan pengairan.

Akibat batuan penyusunnya dalah batulempung berlapis, menyebabkan sering terjadinya gerakan tanah. Seperti yang terlihat di Pasir Tenjolaut, membentuk bidang longsor setengah lingkaran. Mekanisme gerakan tanahnya adalah nendatan, bergerak lambat akibat kenaikan muka air tanah. Selain itu sifat batuan ini memiliki permeabilitas yang buruk, tidak mampu meloloskan air. Sehingga beberapa sungai akan meluap, bila terjadi hujan besar dihulu.

Keterdapatan sumber mata air diwilayah ini, berasal dari daerah imbuhan di sebelah barat. Merupakan dataran tinggi dan perbukitan, lereng G. Tampomas. Batuannya disusun oleh endapan vulkanik, sehingga memiliki sifat batuan pembawa air. Syarata inilah salah satu alatan pemindahan kerjaan Sumedang Larang abad ke-17.

Tenjolaut merupakan dataran rendah, dikelilingi oleh pesawahan. Pada abad ke-17 akhir, menjadi ibu kota Kabupaten Sumedang, pada saat pemerintahan Raden Bagus Weruh. Dinobatkan menjadi bupati Sumedang 1633 – 1656, dengan gelar Rangga Gempol II. Ibu kota pemerintahannya dialihkan dari Timbangante ibu kotanya di Tegalluar (saat ini Kabupaten Bandung) ke Tenjolaut, Conggeang, Sumedang.

Pengalihan pusat pemerintahan tersebut, merupakan kelanjutan penangkapan Dipati Ukur pada 1633 di Gunung Lumbung Cililin. Dari wilayah inilah Rangga Gempol II memerintah, melanjutkan kekuasaan Kabupaten Sumedang yang dipimpin Rangga Gede.

Dampak lainya dari pemberontakan Dipati Ukur, 1633 Agung dan penerusnya Amangkurat I, mereorganisasi wilayah priangan. Dengan mempersempit wilayah Sumedang dengan membagi wilayahnya menjadi kabupaten pemekaran. Diantaranya Kabupaten Bandung, Sukapura dan Parakanmuncang.

Selain itu, melalui kebijaksanaan Amangkurat I pada 1641 (suksesi dari Sultan Agung) menghapus fungsi Bupati Wedana. Sehingga Rangga Gempol II, memiliki jabatan yang sama dengan bupati lainya. Kondisi demikian yang menyebabkan Rangga Gempol II kecewa, hingga 1656 mengundurkan diri. Dilanjutkan oleh puteranya bergelar Pangeran Panembahan, diangkat menjadi Rangga Gempol III. Tokoh kontroversial yang ingin mengembalikan Sumedang sebagai kerajaan berdaulat.

Dari informasi kepercayan masyarakat, penamaan Tenjolaut berhubungan dengan kondisi bentang alam. Menurut cerita orang tua, kawasan ini sebelumnya pernah ditempati laut dalam. Sedangkan pendapat lainya, dari lokasi ini bisa melihat patai utara, di balik G. Ciremai. Keberadaan bukti laut dalam, bisa ditemui di bukit Pasir Putih Tenjolaut di Blok Jukut. Berupa perbukitan yang disusun oleh Anggota Batulempung Formasi Subang (Tms). Berupa batulempung mengandung lapisan batugamping napalan abu-abu tua, batugamping. Setempat ditemukan sisipan batupasir glukonit hijau (Djuri, 2011).

Selain itu, sekitar wilayah ini ditempati pesawahan yang luas. Menempati hampir semua bagian Conggeang. Total luas wilayah Conggeang sekitar 65,36 km2 (BPS Sumedang, 2016). Pembukaan sawah sudah dilakukan, saat Sumedang berada di bawah kekuasaan Mataram (1620). Dengan cara alih teknologi orang-orang Banyumas ke Conggeang, dan perluasan sawah disertai pembangunan sistem irigasi, seiring dengan pembukaan lahan. Mengkonversi hutan menjadi sistem sawah. Ekstensi sawah tersebut sebagai strategi penguatan pangan, dilakukan Mataram dalam mendukung ekspansi wilayah ke Jawa bagian barat.

Situs Patilasan Bupati Sumedang, Rangga Gempol II di Tenjolaya, Padaasih.
Bongkah lava di jalan menuju Pasir Tenjolaut.
Pasir Tenjolaut, disusun batulempung.
(sungai) Ci Pelang yang mengerosi batulempung Formasi Subang.

Catatan Geourban#35 Cibugel

Masih dalam suasana musim hujan, peserta menembus jalan desa. Berpayung semangat untuk menangkis hujan, dengan tujuan menapaki kembali sejarah bumi di Sumedang Selatan.

Dikegiatan ke-35, mengunjungi jembatan gantung yang melintasi dua desa di Sumedang Selatan. Disebut jembantan gantung Panyindangan, menghubungkan Desa Baginda disebelah barat, dengan Desa Gunasari dibagian timur. Jembatan tersebut dibangun oleh anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pada tahun 2018. Menggantikan jembatan rintisan yang dibut oleh tim Vertical Rescue Indonesia, tahun 2017. Jenis jembatannya menggunakan teknologi Jembantan Gantung untu Pedesaan Asimeteris (Judesa). Menggunakran struktur kabel baja, dan tiang pancang sebagai struktur utamanya.

Panjang jembatan sekitar 120 meter, membentang barat ke timur di atas Ci Honje. Dengan lebar 1.65 meter, sehingga hanya bisa dilalui pejalan kaki dan roda dua. Bermanfaat sebagai penghubung dua desa, menggerakan ekonomi lokal. Dibangun di dataran rendah yang ditempati sawah, kemudian dipotong Ci Honje. Sungai yang berhulu di G. Calangcang. Sistem gunungapi purba, diperbatasan Sumedang dan Garut.

Aliran sungainya bertemu dengan Ci Peles, di Situraja kemudian bergabung dengan Ci Manuk. Disekitar Gunasari, dikatergorikan ordo sungai muda, dicirikan dengan arus sungai deras. Mengendapkan bahan sedimen yang diangkut dari hulu, diantaranya bongkah batuan hingga pasir. Sedimen dari hulu yang dibawa arus sungai, kemudian membentuk dataran-dataran aluvial yang luas. Dataran banjir tersebut ditempati oleh sawah yang memerlukan pengairan.

Lokasi berikutnya adalah lembah Citengah. Lembah yang diapit dua perbukitan, kemudian dipotong oleh Ci Tengah. Sungai yang berhulu di Cimanggung. Lereng G. Calangcang-Pasirhonje. Pada 4 Mei 2022 dilanda banjir bandang, meluap hingga menerjang rumah dan sarana warga di Citengah, Gunasari.

Dipicu oleh curah hujan tinggi, kemudian kemampuan penyerapan air yang berkurang. Terjadi akibat perubahan tata guna lahan di hulu, sehingga limpasan air (run off) mengalir semuanya ke Ci tengah dan Ci Tundun (sebelah barat). Dua sungai tersebut bergabung dengan Ci Honje, kemudian dialirkan ke utara.

Luapan air tersebut bukan saja terjadi satu kali, namun pernah dilaporkan sebelumnya. Walaupun dalam skala kecil, menandakan pengelolaan sungai dihulu terganggu. Seperti halnya diutarakan oleh Walhi Jawa Barat, bahwa banjir terjadi akibat perubahan penggunaan lahan di hulu.

Bagian hulunya adalah wilayah perkebunan teh Margawindu-Cisoka. Dalam penelusuran dikegiatan ini, mengunjungi tinggian Cisoka. Saat ini ditempati oleh lokasi wisata, tumbuh menjamur di atas lahan bekas perkebunan teh Margawindo. Penggunaan lahan tersebut saat ini masih dalam status abu-abu, karena selepas penguasaan masa kolonial dinasionalisasi. Kemudian disewakan kepada swasta, melalui Hak Guna Usaha.

Sebelum mendekati Cisoka, didapati air terjun Cigorobog, Citengah. Berupa air terjun bertingkat, mengalir dibatuan breksi gunungapi. Mengalir dari hulu G. Munjul dan G. Bedil. Air terjun bertingkat empat, terbentuk hasil erosi sungai. Akibat batuan yang lebih resisten, membentuk ceruk berupa air terjun bertanga. Aliran sungainya kemudian mengalir ke arah selatan, menuju Ci Honje.

Melintasi puncak pass Cisoka, jalanan menurun ke arah utara. Jalannya telah diaspal, hingga menjadi alternatif menuju Garut melalui Cibugel. Di desa yang masih menjadi wilayah Sumedang, berbatasn denga Garut. Sehingga kawasan ini menjadi jalur penghubung pergerakan pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indones (DI/TII). Terjadi pada kurun waktu antara tahun 1950-an hingga tertangkapnya Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo di G. Beber-Rakutak.

Serangan terjadi DI/TII pada 23 November 1959. Berupa aksi pembantaian yang terjadi di Desa Cibugel, mengakibatkan 120 orang tewas. Pada masa tersebut, desa ini menjadi basis pertahanan pro republik. Penolakan warganya terhadap kehadiran DI/TII. Sehingga pasukan bentukan SM Kartosuwiryo, mengkategorikan Cibugel sebagai desa Darul Harbi atau kawasan musuh. Pembantaian terjadi jelang tengah malam, melalui pengepungan. Dalam kondisi tidak menentu, sebagian bersar warga bersembunti di Legok Cibiru atau sekitar 100 meter dari kantor desa. Dilokasi inilah pasukan DI/TII melakukan pembunuhan masal, mengakibatkan tewasnya ratusan rakyat.

Pasca peristiwa tersebut, sebagian besar warganya mengungsi ke daerah lain di Sumedang. Kemudian kembali ke Cibugel, setelah ditangkapnya SM Kartosuwiryo pada 1962. Kunjungan ke Cibugel, menutup perjalan Geourban ke-35.

Puncak perkebunan teh Margawindu.
Air terjun Gorobog, hulu Ci Honje.
Kabut menyergap puncak Cisoka.
Penanda makam korban pembantaian DI/TII di Cibugel

Catatan Geourban#34 Buahdua

Jalan mulai menurun dan menyempit, hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Atap rumah berlomba menjulur ke badan jalan, sehingga perlu kehatian-hatian melewatinya. Tidak ada tanda dan arah, hanya bisa dilakukan dengan berkomunikasi dengan warga.

Seorang ibu menyambut pertanyaan kami, kemudian melemparkan telunjuk tangannya ke arah utara. Disitulah posisi Gua Angsana, ucapnya. Hati-hati karena jalannya terjal dan licin, tandasnya. Benar saja, tidak lebih dari dua kali oper gigi motor, jalanya menurun tajam. Berupa jalan yang ditembok, kemudian dihiasi lumut hijau. Tumbuh subur karena lembab, dan jarang dilalui.

Keberadaanya saat ini sudah tidak terawat, berbeda dengan konsisi dua tahun yang lalau. Jalan masih terbuka, bisa diakses mudah. Namun saat ini telah diambil alih vegetasi, sehingga perlu waktu untuk mencari lokasi gua.

Masyarakatat menyebutnya Gua Angsana, nama pohon kayu disebut juga Sonokembang (Pterocarpus indicus), atau rosewood. Pohon kayu yang berkualitas tinggi, dengan ciri kayunya keras, berwarna kemerah-merahan, dan cukup berat. Keberadaan pohon tersebut, menjadi cara penamaan bukit yang berada di Kampung Cipadung Cigarukgak, Desa Baros, Tanjungkerta, Sumedang.

Bentuk perbukitannya berupa punggungan, membujur dari utara-selatan. Panjangnya sekitar 370 meter, dengan titik tertinggi sekitar 610 mdpl. Disusun oleh batuan beku, ditafsirkan sebagai magma yang membeku di dekat permukaan, menerobos batuan gunungapi muda Tampomas. Bila di cek di Peta Geologi Lembar Bandung (Silitonga, 1973), disusun oleh batuan gunungapi tak teruraikan. Berasal dari G. Tampomas, berupa eflata dan aliran lava. Dindingnya tegak, dan memanjang yang diperkirakan merupakan sill. Berupa intrusi magma dengan struktur tabular yang sejajar dengan bidang datar permukaan (seperti lapisan) pada batuan di sekitarnya. Kemudian tersingkap ke permukaan, akibat batua penutupnya tererosi, karena resistensinya berbeda. Membentuk bidang kerucutu dan memanjang.

Pada dinding sebelah timur, terlihat bagian tubuh intrusi tersebut. Berupa struktur kekar dan terdeformasi yang membentuk bidang-bidang rekaha. Terbentuk karena tekanan (stress), temperatur cuaca (pendinginan-pemanasan), hingga pelapukan. Didapati gua yang dibuat oleh masyarakat, dengan tujuan mencari mineralisasi emas.

Keterdapatan mineral emas diantaranya diakibatkan oleh alterasi hidrotermal (hydrothermal alteration). Berkaitan dengan kehadiran perbukitan intrusi batuan beku, membentuk bidang kontak yang menhasilkan proses tersebut. Namun menurut laporan warga, hasilnya nihil sehingga ditinggalkan begitu saja.

Intrusi batuan beku tersebut bisa disaksikan dalam bentuk lain. Berupa kekar kolom yang tersebar memanjang utara-selatan, di Pasirlandak, Nagrak. Lokasi ini disebut juga Batu Sanghiang, atau versi lain Batu Sangkuriang. Lokasinya berada di tanah warga, diakses melalu jalan setapak dari desa. Jalan tersebut melalu perkebunan dan sawah warga, berjalan ke arah utara mengikuti kontur lereng perbukitan.

Berupa blok lava terbentuk dari hasil dari aliran lava, kemudian membeku dalam durasi waktu yang sangat singkat. Mengakibatkan berkontraksi, membentuk kolom-kolom dengan sudut hexagonal. Sumber lavanya diduga berasal dari hasil letusan efusif G. Tampomas. Jaraknya sekitar 6,5 km dari pusat letusan gunungapi.

Merujuk kepada cerita masyarakat, seorang pemuda yang ingin menikahi ibunya. Legenda tersebut menceritakan syarat sangibu, dibuatkan perahu untuk berlayar di talaga Bandung. Dengan demikian Sangkuriang harus mempersiapkan perahu. Batu-batu yang tersebart tersebut ditafsirkan sebagai perahu yang siap digunakan, untuk memnuhi syarat perkawinannya. Karena pembuatan telaga dan perahu melewati batas waktu, akhinrya Sangkurian murka. Perahu tersebut kemudian berwujud menjadi batu. Masyarakat mengenalnya dengan cerita Sangkuriang Kabeurangan.

Batuan kekar kolom yang tersebar di Blok Pasirlandak tersebut, sebelumnya tidak pernah diketahui warga. Seiring kunjungan wisata sejak 2020, lokasi ini menjadi ramai dikunjungi. Pengelola lokal menata lokasi ini dengan cara membersihkan dari vegetasi, sehingga batuan tersebut tersingkap.

Kondisi batuanya berserekan dari selatan dan melandai ke arah utara, sejauh kurang lebih 100 meter. Sejajar dengan arah sebaran batuan tersebut, mengalir sungai kecil ke arah lembah. Lerengnya ditempati sawah dan perkebunan warga. Keberadaan batuan yang menyebar, berbeda dengan singkapan batuan kekar kolom. Biasanya ditemui masif, berupa satuan bukan seperti yang disaksikan dilokasi ini. Kuat dugaan tercerai berai, akibat hasil pelapukan dan erosi. Sehingga sumbernya perlu dicari, sesuai arah aliran dari pusat letusan, dari selatan ke utara.

Ke arah utaranya, didapati danau yang memiliki fitur menarik. Disebut Situ Biru Cilembang, di Desa Hariang, Buahdua. Telaga yang kini menjadi tujuan wisata, dikelola melalui swadaya masyarakat Dusun Curug. Berupa dua telaga yang terbentuk dari mata air, disebelah utara dan selatan. Sebelah utara digunakan sebagai sumber mata air kebutuhan warga, dialirkan ke Ci Kandung disebelah barat. Telaga berikutnya, dicirikan dengan airnya yang berwarna biru gelap. Disebut Sirah Cai Kabuyutan Situ Biru Cilembang.

Warna tersebut diperkirakan hasil dari mineralisasi lempung yang ada di dasar kolam. Dugaan tersebut berdasarkan Peta Geologi Lembar Bandung (Silitonga, 1973), menunjukan batuan penyusunya produk gunungapi, Umur Kuater. Berupa hasil aliran lava letusan G. Tampomas (Qyl). Kemudian di bagian paling bawahnya, adalah Anggota Batupasir Formasi Subang (Mss). Keberadaan batuan lava tersebut hadir dalam bentuk bongkah-bongkah yang telah lapuk, tersebar dilokasi ini. Keberadaan batulempung Formasi Subang, sebagai media bidang gelincir. Seperti yang terjadi pada peristiwa gerakan tanah (longsor) di Desa Hariang, memutus jalan penghubung desa. Terjadi akibat curah hujan tinggi, pada 15 Maret 2022. Akibatnya adalah terputusnya ruas jalan sepanjang 60 meter, di Dusun Curug, Desa Hariang.

Selain sejarah bumi, Sumedang memiliki catatan sejarah berbasis militer. Sejarah yang menuntun arah kedaulatan RI yang terjadi di Lapangan Darongdon, Desa Buahdua. Buahdua menjadi titik konsolidasi bagi pasukan Divisi Siliwangi. Sejak Agresi Militer Belanda ke-dua, pada 19 Desember 1948. Penyerangan terhadap ibu kota negara RI di Yogyakarta oleh NICA, melalui serangan lapangan udara Maguwo. Tindakan selanjutnya dalah menangkap para petinggi negara saat itu, dengan tujuan menghilangkan pemerintahan RI. Sebagai tindakan balasannya, Panglima Besar Jenderal Sudirman menerbitkan Surat Perintah Siasat 1. Surat yang dikeluarkan pada pada hari yang sama dengan penyerangan Belanda. Isi surat tersebut diataranya memerintahkan seluruh angkatan perang RI, kembali ke daerahnya masing-masing. Dengan demikian Divisi Siliwangi harus melakukan perjalan kembali ke Jawa Barat. Perjalanan tersebut dilakukan secara diam-diam, tanpa diketahui oleh Belanda. Dengan demikian disebut Long March, operasi penyusupan ke kantong-kantong pertahanan (Winggate).

Diperlukan waktu hingga hampir satu bulan, dalam proses kembalinya pasukan Divisi Siliwangi ke Buahdua. Dalam rangkaian kembalinya pasukan, Belanda berupaya melakukan penyerangan. Seperti yang terjadi pada 11 April 1949 di Cibubuan, sekitar 7 km dari Desa Buahdua. Dikenal dengan penangkapan dan pembunuhan Komandan Batalyon II/Tarumanagara, Mayor Abdurahman di Desa Cibubuan. Desa ini merupakan koridor pasukan Divisi Siliwangi, sebelum bergabung ke markas besar di Buahdua.

Sebelah utara pusat kota Sumedang, terdapat Situs Baterai. Bunker yang digunakan sebagai sistem pertahanan militer kolonial Belanda. Disiapkan dalam menghadapi pasca Perang Dunia ke-2. Sistem pertahanan ini berupa bunker, digunakan untuk melakukan serangan artileri ke arah batas kota Sumedang. Diperkirakan dibangun antara 1912 hingga 1914, bersamaan dengan rencana pemindahan ibukota Hindia Belanda ke Bandung. Dengan demikian Sumedang merupakan buffer zone pertahanan militer, di sebelah timur Bandung.

Situ Biru Cilembang, disusun batuan gunungapi.
Prasasti mengenang perjuangan long march Divisi Siliwangi 1949
Deformasi batuan beku, perbukitan intrusi Angsana.

Diskusi Wista Bumi: Seribu Gumuk Warisan Bumi

Jember yang Menginspirasi Dunia!
Ikuti diskusi yang mendalami jejak collapse Gunung Raung Purba peristiwa dahsyat yang membentuk gumuk, saksi bisu kekuatan alam puluhan ribu tahun lalu. Pelajari nilai ilmiah, manfaat bagi kesuburan tanah, serta potensi geowisata berkelanjutan yang dapat mengubah wajah Jember.

Mari bersama menjaga dan merawat warisan geologis ini, karena gumuk adalah masa lalu kita yang membimbing masa depan.

Kuota Terbatas hanya untuk 50 pendaftar Dan Gratis .

More info : 08883786736 (Abbec Nade)

#SAHABAT BUMI JEMBER

Catatan Podcast SOS-PGWI

Pada awal kelahirnnya podcast adalah streaming radio, hasil obrolan. Disiarkan dalam media daring (online), dengan tema yang beragam. Dengan tujuan penyampaian pesan, melaui penyiaran. Seperti yang dilakukan oleh Sangkuriang Outdoor Service, disingkat SOS. Menggagas kegiatan penyiaran melalui media daring, dengan tema-tema yang dekat dengan kegiatan aktivitas alam bebas.

Pada tayangan ke-dua, berkolaborasi dengan asosiasi Pemandu Geowisata Indonesia/PGWI. Mengetengahkan tema yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam, melalui aktivitas pariwisata. Dilaksanakan di café SOS di venue Ski Air, Kota Baru Parahyangan, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Dilaksanakan pada tanggal 16 Februrari 2025, pukul 16.00 WIB.

Narasumber yang hadir diantaranya Deden Syarif Hidayat, penggerak Forum Pemuda Peduli Karst Citatah/FP2KC. Kemudian M. Rizky Hardjadinata atau biasa dipanggi Mang Ciko, pegiat wisata bumi di kawasan Saguling. Kemudian Zarindra Arya Dimas, pegiat wisata bumi keahlian geologi. Kemudian dihantarkan oleh Deni Sugandi dan Kang Ogi selaku moderator.

Perbincangan dibuka oleh Ogi, menyampaikan awal mula kegiatan podcast. Merupakan agenda rutin yang dilaksanakan oleh SOS, sebagai sarana silaturahmi dan diskusi dengan topik berkaitan dengan kegaitan alam bebas. Kemudian Deni mengantarkan tema podcast, membatasi pada diskusi yang berkaitan antara sumber daya alam Citatah dan pemanfaatannya melalui pariwisata.

Kondisi Citatah, Padalarang yang terus digempur kegiatan tambang akan berpotensi menghilangkan bentuk alam. Kegiatan ekstraktif ini sudah terjadi dari sejak masa kolonial, terus berlangsung hingga kini. Kawasan yang memiliki luas 10.320 Ha, sebagian besar ditempati oleh perbukitan karst. Sehingga menjadi potensi hasil tambang terbesar di Jawa Barat. Penghilangan bentuk alam dan dampaknya telah terasa, diantaranya adalah beberapa kerucut perbukitan telah hilang. Dampak lainya adalah polusi kegiatan pembakaran kapur, berkurangnnya mata air, hingga dampak bawaan lainya.

Pemanfaatan sumber daya alam ini bisa dilakukan dengan cara lain, tanpa merusak atau menghilangkan bentuk lahan. Seperti yang telah berlangsung saat ini, seperti wisata petualangan pendakian, hammocking, hingga wisata berbasi narasi kebumian. Aktivitas tersebut adalah pilihan yang tersedia, dengan tujuan tanpa penghilangan bentuk bentang alam (non-tambang), edukasi hingga pemamfaatan ekonomi oleh warga lokal.

Tiga pilar tersebut menjadi dasar pengembangan pariwisata berkelanjutan, sehingga menjadi cara terbaik untuk memanfaatakan sumber daya alam tanpa harus menambang. Pilihan tersebut telah diikhtiarkan sejak dahulu, dalam bentuk aktivitas paket wisata.

Dalam kesempatan ini Zarindra menyampaikan sejarah bumi Citatah. Terbentuk sejak 30 hingga 22 juta tahun yang lalu. Berupa pengendapan batuan karbonat dalam kondisi laut dangkal. Pada masa tersebut, sekitar Oligosen hingga Miosen Awal, sebagian besar lingkungan bumi dalam keadaan tenang. Sehingga mendorong pertumbuhan terumbu karang, termasuk diwilayah Citatah saat ini. Kemudian lepas Miosen Akhir, atau sekitar 22 hingga 12 juta tahun yang lalu menandakan berakhirnya pengendapan karbonat. Terjadi karena penenggelaman ulang menjadi lautan dalam, sehingga diendapkanlah batuan sedimen seperti lempung danpasir didasar lautan dalam. Keberadaanya kini bisa dilihat dalam bentuk batuan sedimen berapis, batulempung dan batupasir. Dalam peta geologi lembang Bandung (Sudjatmiko, 1972), disusun oleh perselingan endapan laut dalam. Dikelompokan ke dalam Formasi Citarum, kini bisa dilihat berupa perbukitan terlipat disebelah selatan jajaran perbukitan karts Citatah.

Pada masa berikutnya, terjadi pengangkatan akiba kegiatan tektonik. Menyusupnya lempeng samudera Indo-Australia, di bawah lempen benua Euarsia. Terjadi di tepian benua sepanjang pulau Jawa bagian selatan. Kegiatan tektonik tersebut menyebabkan terjadinya perlipatan, pensesaran perbukitan yang memanjang dari muara Cimandiri, hingga ke Tangkubanparahu. Segmen tersebut menyerong baratdaya-timurlaut, disebut sistem sesar Cimandiri.

Terjadi pada Pliosen hingga Pliostosen. Antaran 5 juta hingga 700 ribu tahun yang lalu. Seiring tumbuhnya gunungapi di bagian selatan Jawa. Jajaran gunungapi aktif, muncul di bawah laut. Kemudian bergeser ke sebelah utara. bagian dari jajaran gunungapi modern.

Narasi tersebut menjadi pengantar dalam membungkus paket wisata. Seperti yang telah dilakukan oleh Mang Ciko, pemandu wisata bumi yang berdomisili di Saguling. Kegiatan wisata yang sudah berjalan dikawasan saguling, diantaranya Sanghyang Kenit, Sanghyang Heuleut dan beberapa tempat lainya. Paket-paket wisata tersebut bukan saja berkaitan dengan bentang alam, tetapi bisa dipadukan dengan aktivitas lainya.

Sekitar spill way Saguling, didapati fosil dari masa lalu. Menandakan sebagian Saguling merupakan rawa-rawa yang dihuni oleh mamalia besar. Penemuannya berupa fosil tungkai kaki kuna nil, gajah hingga mamalia lainya. Fosil tersebut tertanam dibatupasir, endapan danau purba. Wisata minta khusus ini menjadi garapan Mang Ciko, dengan menkoordinir kunjungan, menggunakan perahu milik warga.

Pilihan wisata lainya bisa dipadukan dengan kunjungan ke pasar tradisional Rajamandala. Menyediakan hasil bumi khas sekitar Saguling, hingga kuliner yang hanya bisa dijumpai dilokasi ini. Bergeser ke arah baratnya, terdapat wisata agro perkebunan durian. Kemudian wisata yang berkaitan dengan militer, diantaranya keberadaan sistem pertahanan militer masa kolonial.

Menurut Ciko, akses menuju kawasan Citatah saat ini sudah mudah. Diantarnya sudah tersedianya kereta api cepat, turun di Statsion Padalarang. Kemudian statsiun keretapi reguler di Cipatat. Sehingga aksesibilitas luar kota sudah bisa menjakau kawasan karst Citatah. Selanjunya mang Ciko menambahkan beberap objek wisata yang berbasis wisata bumi yang telah berjalan. Diantarana segmen 7 km Ci Tarum, dari bendungan hingga pintu outlet pipa pesat. Seperti Cikahuripan, kemudian ke arah hilir Cukang Rahong, curug Halimun. Kemudian lanjut hingga Sanghyang Heulit dan Sanghyang Kenit.

Dalam kesempatan berikutnya, Deden menjelaskan peran forum turut mengerakan ekonomi lokal melalui pariwisata. Melibatkan dengan masyarakat, melalui aktivasi perkebunan warga, geraka penanaman hingga pendampingan pengelolaan objek wisata. Seperti yang dilakukan oleh SOS, turut mendampingi kegiatan aktivasi wisata. Saat ini SOS sedang membangun sarana bangunan yang akan digunakan sebagai sarana bersama, meeting point dan cofffe shop. Ditargetkan diselesaikan dibulan Maret, mempersiapkan rencana Festival Panjang nasional di Tebing 125 Citatah. Begitu juga dengan PGWI, wadah silaturahmi para pemandu wisata bumi. Jejaring para pemandu yang siap bekerja dikawasan Citatah-Saguling.

Kegiatan ditutup hingga lepas magrib, dengan menyimpulkan bahwa pariwisata memberikan alternatif pemasukan daerah. Melalui wisata berkelanjutan, dengan memanfaatkn sumber daya alam tanpa merusak atau menghilangkan. Objek geowisata yang memiliki makna, arti dan sejarah kemudian dibungkus dalam narasi dan iterpretasi pemanduan wisata bumi. Para narasumber yang hadir

Dengan harapan lingkungan lestari, bumi dikonservasi sekaligus ekonomi lokal tumbuh. Disebut wisata berkelanjutan dalam bungkusan wisata bumi.

Podcast lengkapnya bisa di cek di sini: https://www.youtube.com/watch?v=KNeQFZiiZdE&t=7417s

Catatan Geourban#32 Ganeas Sumedang

Dalam laporan prakiraan cuaca, sebagian besar langit Sumedang dibawah sergapan hujan ringan. Terbukti saat rombongan Geourban mendekati kota ini, langit sepertinya ditaungi awan tebal. Temperatur sejuk, mengantarkan kegiatan ini dari pagi hingga jelang sore. Untuk mendapatkan reportase dalam bentuk video, bisa dilihat ditautan https://www.youtube.com/watch?v=U9c54fYwE-w

Sesuai dengan pernjajian di grup Whatsaap, memilih lingkar Binokasih sebagai titik perjumapaan. Selain mudah dijangkau dan dipahami, tugu ini menjadi batas terluar sebelah timur sebelum memasuki pusat kota Sumedang. Tugu yang dihiasi oleh mahkota Binokasih, simbol penerus kerajaan Sunda abad ke-16. Pada abad tersebut Kesultanann Banten semakin mendesak kerajaan Sunda yang berkedudukan di Pakuan Pajajaran (Bogor), hingga runtuh.

Jelang keruntuhan kerajaan tersebut, Raja Sunda terakhir mengirim empat utusan disebut Kadaga Lante.Tujuaanya adalah menyerahkan simbol kerajaan Sunda, agar dilanjutkan oleh Kerajaan Sumedanglarang. Diantaranya adalah mahkota Binokasih, sebagai penegas suksesi kerajaan penguasa sebagian besar Tatar Sunda. Momen inilah yang digunakan oleh raja terakhir Sumedang, untuk menyatakan kerajaan Sumedang berdaulat. Hingga kelak, sekitar 41 tahun kemudian takluk di bawah Kesultanan Mataram, sehingga Sumedang berstatus kabupaten.

Binokasih membawa rombongan Geourban ke masa kejayaan kerajaan Sumedanglarang. Dalam kegiatan sebelumnya https://pgwi.or.id/2025/01/30/catatah-geourban31-dayeuhluhur/ mengupas satu penggalan waktu, raja terakhir Sumedanglarang. Dalam kegiatan ini menggunakan kendaraan roda dua, diikuti oleh pegiat wisata, pemandu dan peminat budaya. Kendaraan melesat menembut jalan raya Sumedang, mengarah ke utara dan memotong kota. Terlihat samar-samar satu bentuk perbukitan yang menaungi kota Sumedang, dari G. Kacapi kemudian berbelok ke arah timur.

Melewati Desa Margamukti, Kecamatan Cisarua. Melalui jalanan yang menhubungkan ke Desa Ciuyah. Jalanan kelas kabupaten, membujur dari timur ke barat. Tidak lebih dari sepeminuman teh, melampaui Cirwaru dan perbukitan Pasir Ciwaru. Jalanan menyempit membelah kampung, kemudian tiba di tinggian Ciuyah. Berupa lembah yang dipotong oleh Ci Uyah. Kiri dan kanannya ditempati hamparan sawah, tumbuh subur sepanjang masa. Sebelah barat terlihat jajaran perbukitan, dihuni oleh vegetasi lebat. Hutan tersebut berfungsi sebagai daerah tangkapa air, sehingga kawasan ini tdak pernah kekeringan.

Tujuan pertama adalah fenomena mataair Ciuyah, Ds. Ciuyah. Terletak diantara sawah warga, sebelah utara dari kantor Desa. Jarak dari jalan raya desa menuju lokasi sekitar 500 meter, melaui salura irigasi. Dilakukan dengan berjalan kaki, sejajar dengan anak sungai hingga lokasi yang akan dituju. Dari pertengahan perjalanan, terlihat lembah yang dipotong sungai, memberikan indikasi adanya pola kelurusan yang dilalui sungai. Dalam laporan tim Badan Geologi KESDM (Saputra drr., 2023), survey seismisitas Gempa Sumedang 31 Desember 2023. Menemukan perkiraan sesar melalui survey lapangan dan morfotektonik. Mengintepretasi adanya pola sesar naik berarah relatif barat-timur, terpotong oleh sesar mendatar berarah timurlaut-baratdaya. Buktinya terlihat kehadiran cermin sesar sebagai sesar mendatar pada badan sungai. Kajian tersebut menindaklanjuti survey Pusat Air Tanah dan Geologi Lingkungan, Badan Geologi. Mengkonfirmasi keberadaan sumber mata air asin di tinggian Desa Ciuyah.

Keberadaan mataair ini diduga sebagai air yang terperangkap apda batuan sedimen, muncul kepermukaan karena diberi jalan oleh retakan pada batuan. Akibat adanya tekangan dari bawah, pembukaan celah yang memungkinkan naiknya fluida ke permukaan. Disebut mata air formasi atau mata air yang berasosiasi dengan batuan sedimen (connate water).

Dalam fisografis pulau Jawa, Sumedang merupakan bagian dari Zona Bogor (Martodjojo. 1984). Zona ini meliputi sebagian besar Sumedang, merupakan perbukitan lipatan yang terbentuk dari batuan sedimen laut dalam. Sehingga diperkirakan sebagian besar Sumedang masih berada di dasar laut. Seiring waktu diendapkan batuan sedimen laut dalam, berupa batupasir-batulempung pada Miosen Tengah hingga Miosen Akhir atau sekitar 23-15 juta tahun yang lalu. Seiring dengan pengendapan batuan sedimen, terdapat cekungan yang menjebak air laut pada saat itu. Pada umur Pliosen terjadi pengangkatan, diakibatkan oleh tektonik. Mengakibatkan pendangkalan dan pensesaran, seperti yang diduga hadirnya sesar Ciuyah.

Mata air tersebut muncul ke permukaan, berasosiasi dengan sesar. Air yang berada jauh di kedalaman lebih dari 1000 meter di bawah permukaan, disebut air formasi (connate water). Debitnya tidak terlalu besar, rasanya asin dan tidak mengindikasikan kenaikan temperatur. Merupakan rembesan, dicirikan dengan munculnya gelembung. Tingkat kegararamannya mendekati air laut, dengan pH 6,7 (Survey PAGTL, 2023).

Di lokasi tersebut ditemukan dua sumur, dibuat oleh pemilik lahan dengan tujuan untuk kegiatan ritual atu pengobatan. Dari informasi warga, lokasi ini sering dikunjungi pada waktu tertentu, sebagai sarana penyembuhan dari penyakit. Beberapa pengunjung melaksanakan niat untuk mandi atau sekedar membersihkan diri. Dengan demikian pemilik lahan memasang kain penutup warna putih, disekeliling sumur mata air Ciuyah. Bahkan beberapa pengunjung menyempatkan mengambil air, sebagai sarana penyembuhan.

Perjalanan ke arah timur, menemui situs Batukuya, Ds. Cimara. Blok batuan yang jatuh dari puncak Pasir Pabeasan. mengendap di sawah warga. Akibat pelapukan, membentuk seperit kura kura. Menurut warga, batu tersebut menjadi penghias alam namun ada juga yang mempercayai sebagai situs ritual.

Berada diantara sawah warga, Desa Cimara, Cisarua, Sumedang. Disebut kuya atau kura-kura dalam bahasa nasional, karena mirip dengan binatang reptil tersebut. Dicirikan dengan adanya rumah atau batok seperti kubah, dan kepala yang menjulur keluar.

Dari ukurannya cukup besar, panjang sekitar 2 meter, dan lebar 1 meter. Tingginya tidak lebih dari 90 cm. Dari sekilas pengamatan, disusun oleh batuan beku. Sumbernya diperkirakan dari bukit yang berada di sebelah tenggara dari Pasir Pabeasan. Akibat kegiatna pelapukan tingkat lanjut, mementuk blok batuan yang jatuh kemudian mengendap diantara pesawahan. Sebagian besar telah mengalami pelapukan, membentuk rekahan-rekahan. Batuan penyusunnya bagian dari Pasir Pabeasan, ditaksir sebagai batuan intrusi batuan beku. Warna batuan abu-abu cerah, mengindikasikan jenis andesitik.

Dari keterangan warga, keberadaan batu Kuya ini awalnya ada di atas perbukitan. Kemudian pindah ke arah lereng, diantara sawah warga. Posisinya berada sekitar 50 meter dari jalan Desa Cimara.

Mendaki ke arah barat, mendekati puncak Pasir Pabeasan. Didapati singkapan batuan beku tebal, tegak dan tetutupi oleh hutan bambu. Berupa perbukitan intrusi batuan beku, membentuk gawir terjal setinggi 10 meter. Berupa lava tebal yang telah mengalami pelapukan dan terdeformasi. Membentuk struktur kekar lembar dan bidang-bidang rekahan. Diantaranya didapat ceruk yang dipercayai sebagai sarang macan, atau disebut liang meong. Ukuran lubangnya memiliki lebar sekitar 1 meter dan tinggi 1,5 meter, berupa lorong kecil. Keberadaanya kini ditutup oleh warga, dengan cara ditimbun dengan menggunakan tanah yang diambil dari sekitar gua. Menuju lokasi tersebut, melaui pesawahan warga, kemudian mendaki mengikuti kontur lereng hingga kearah puncak perbukitan.

Di bagian puncak perbukitan tersebut, ditemui situs Pasir Pabeasan. Situs yg kepercayaan/agama nenek moyang. Berupa batu tegak, disusun diantara bongkahan batuan. bentuk demikian bisa ditafsirkan sebagai matu menhir.

Perjalan dilanjutkan ke arah selatan, menyeberangi Ci Peles di daerah Cibangkong. Kemudian dilanjutkan ke arah jalan raya Wado, berbelok ke arah timur dan mengambil jalan desa Cibogo. Pintu masuk berada diobjek wisata Bale Citembong Girang, dilanjutkan berjalan kaki sekitar 15 menit ke arah selatan.

Keberadaa situs Pasir Kabuyutan, masuk ke dalam wilayah Desa Ganeas. Disebut Situs Kabuyutan Citembong Girang. Sistem religi nenek moyang, berupa susunan batuan dengan berbagai ukuran. Ditata menyerupai altar. Menurut warga sudah digunakan oleh raja Sumedang pertama, sekitar abad ke-8. Berada dilereng perbukitan, dicirikan dengan keberadaan pohon beringin Ficus benjamina yang tinggi menjulang. Diperkirakan umurnya ratusan tahun, dengan akar yang menjalar kesegala arah.

Keberadaan pohon beringin selalu dikaitkan dengan tempat sakral. Dibeberapa kebudayaan dipercaya sebai tempat tinggal roh nenek moyang, memiliki keukuatan mistis sehingga sering digunaan sebagai tempat ritual.

Lokasi penutup berkunjung ke Situs Batu Guling. Desa Kaduwulung. Ditemui beberapa blok batuan, berupa breksi lahar hasil kegiatan gunungapi. Dari keterangan warga, batuan tersebut dijatuhkan dari perbukitan Dayeuhluhur. Dengan tujuan untuk menghancurkan pasukan Cirebon yang berusaha menyerang dari arah timur. Terjadi pada saat penyerangan Cirebon ke Dayeuhluhur, pada tahun 1585. Blok batuan tersebut digulingkan, kemudian mengendap disekiar Desa Kaduluwung, menjadi situs disebut Batu Gulung.

Blok batuan beku berbentuk kuya (kura-kura)
Situs Pasir Pabeasan
Situs Kabuyutan Citembong Girang

Geourban#32 Cisarua Sumedang

Cisarua adalah kecamatan di timurlaut kota Sumedang. Hasil pemekaran dari Kecamatan Cimalaka. Memiliki tapak bumi yang menarik, yaitu sumber mata air asin di tengah sawah. Berasal dari air tanah dangkal, berupa kolam ukuran 0,5 meter. Diperkirakan merupakan air laut purba, terjebak di bawah permuakaan bumi dan tertutup oleh produk sedimen Formasi Kaliwangu. Umurnya Pliosen Bawah, disusun batupasir tufaan, sisipan batupasir gampingan, konglomerat dan lensa batugamping. Mata air asin tersebut muncul akibat dibuka jalannya, melalui rekahan yang berupa kekar atau sesar. Keberadaan berupa rembesan, dengan kemunculan gelembung yang mengidikasikan adanya gas.

Kemunculan gas tersebut belum bisa dipastikan, mengingat asal-usul pembentukannya bisa dari gas dangkal organik, pelaturan batugamping atau gas yang berasosiasi dengan hidrokarbon.

Di sebelah timurnya, tepanya di Pasir Pabeasan didapati sumber mata air lainya. Berbeda dengan mata air Ciuyah, di lokasi ini ditemukan sumber mata air yang berwarna putih. Seperti air cucian beras, berbuih dan sedikit berbau.

Masih ditempat yang sama, ditemukan adanya perbukitan intrusi yang menerobos batuan sedimen. Kemudian membentuk fitur batuan yang bisa ditafsirkan seperti bentuk binatang mamalia besar. Sedikit ke arah selatannya, didapati gua alami, disebut Gua Liang Maung. Masyarakat mempercayai gua tersebut dihuni oleh harimau, mengingat lokasi tersebut disakralkan oleh warga. Batuan penyusun gua tersebut diperkirakan batulempung terkarkan, sehiingga membentuk ceruk-ceruk seperti gua. Ada laporan beberapa warga, berupa temua batuan berlapis dengan warna gelap, mengindikasikan kontak batuan intrusi dengan batuan sedimen. Disebut baking effect, atau kontak panas dari magma yang bersentuhan dengan batuan samping/terobosan.

Selain bentukan alam, didapati juga dugaan tinggalan budaya. Berupa batu mirip dengan struktur menhir di situs Pasir Pabeasan.

Sebelah timurnya di Desa Cijambe, sedang pengerjaan bendungan Rengrang. Membendung aliran Ci Peles, dilihat dari analisis dampak lingkungan hingga kebermanfaatannya. Direncanakan akan mengairi lahan seluas 3819 ha.

Mari temui dikegiatan Geourban Cisarua Sumedang. Mengupas sejarah budaya dan bumi; mata air asin, dan berbuih, sistem religi kepercayaan nenek moyang di Pasirpancalikan, Cimara, Sumedang. Kemudian sistem geoteknik pembangunann Poros Bendungan Rengrang, membendung Ci Peles.

Hari/Tanggal
Minggu, 2 Februari 2025

Waktu
06.30 WIB sd. Selesai

Titik temu (meeting point)
Indomaret Cinunuk-sebelah SPBU
https://maps.app.goo.gl/TsMNzYzBe93dYXyJ9

Syarat dan Ketentuan
Kegiata probono, terbuka umum. Disarankan membawa kerndaraan roda dua, laik jalan. Melengkapi kebutuhan kegiatan lapangan, dan bersifat mandiri.

Inisiasi
Digagas dan dilaksanakan oleh Asosiasi Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI), menjalin jejaring lokal, pengungkapan narasi dan silaturahmi pegiat wisata bumi.

Info: @pgwindonesia

Catatah Geourban#31 Dayeuhluhur

Bertepatan dengan perayaan hari raya Imlek, biasanya diasosiasikan dengan langit runtuh melalui bulir-bulir air hujan. Mitos demikian dilalui oleh para partisipan Geourban, menapaki kembali peradaban budaya Sunda abad ke-16 akhir di Priangan timur. Kegiatan dilaksanakan di penutup bulan, tanggal 29 Januari 2025. Merupakan aktivitas menyibak alam dan budaya ke-31, melalui aktivitas jalan-jalan wisata bumi. Kegiatan yang diinisiasi oleh Asosiasi Pemandu Geowisata Indonesia, dengan tujuan membuat jejaring dan mengungkap narasi lokal yang berkaitan dengan wisata bumi.

Diikuti oleh para pegiat konten, wisata dan fotografer berangkat ke bagian timur Bandung. Tepatnya sekitar Kabupaten Sumedang. Moda transportasi sepenuhnya menggunakan kendaraan roda dua, untuk memudahkan jangkauan hingga daya jelajah luas. Terpenting adalah kendaraaan ekonomis yang mampu diandalkan, dimiliki semua orang. Pengelolaan perjalanan seperti ini menjadi cara yang paling efektif, menghindari pergerakan perjalanan yang sering terkendala akibat saling tunggu.

Tema kegiatannya adalah mengupas tentang ruas Jalan Raya Pos saat penguasaan Daendels, kemudian menapaki kembali jaringan jalur kereta api Rancaekek-Tanjungsari di segmen Jatinangor dan Tanjungsari. Dilanjutkan melihat kembali sejarah Kerajaan Sumedanglarang abad ke-16 akhir, di masa pemerintahan Geusan Ulun antara 1579 hingga 1601. Melalui posisi pusat pemerintahan kerajaan Sumedanglarang, pada saat peralihan dari Pangeran Santri ke Geusan Ulun. Rentang waktu antara 1530 hingga 1601, diakhir penguasaan raja terakhir Sumedang Larang sebelum dilebur di bawah penguasaan Mataram.

**

Jelang pagi, langit sepenuhnya dikuasai awan tebal. Berkesan mendung, sehingga cahaya matahari hadir di balik bayang awan. Sedari malam udaranya lembab, seperti hujan akan menguasai sepanjang hari. Tetapi tidak menjadi halangan, partisipan hadir sesuai waktu yang telah dinjanjikan. Titik temu di SPBU Cinunuk, Ujungberung. Setelah brifing singkat, kemudian bergeraka ke Jatinangor, masuk ke wilayah Kabupaten Sumedang.

Selepas kampus Universitas Padjadjaaran, dilanjutkan ke arah timur, menapaki jalan raya yang diusahakan Daendels 215 tahun yang lalu. Sekitar 300 meter berbelok ke arah utara melalui jalan kampung sekitar Cikuda. Jalanannya mulai menyempit, melalui labirin rumah-rumah warga. Aksesnya merupakan gang sempit yang diperkirakan merupakan jalur rel kereta api di masa lalu. Keberadaan relnya sudah tidak ditemui, karena sebagian besar telah ditutup oleh rumah hunian warga atau sudah hilang. Dilanjutkan ke arah utara, sedikit terjal dan berbelok tajam hingga tiba di mulut jembatan. Berupa struktur bangunan yang terlihat masih kokoh, hingga mampu melampaui jamannya. Masyarakat menyebutnya adalah jembatan Cincin atau jembatan Cikuda, karena bentuk lingkar penyangga bagian bawahnya melengkung. Jembatan ini adalah sisa kejayaan industri transportasi kereta api di masa Kolonial, menghubungkan Rancaekek ke Tanjungsari, Sumedang.

Jembatan kokoh yang disangga oleh kolom-kolom menancap di bawah, mengangkangi Ci Kuda, sungai yang berhulu di lereng tenggara G. Manglayang. Di bawahnya ditempati ladang dan sawah warga, kemudian diutaranya adalah kompleks makam tua. Penampilannya megah dan masih bertahan hingga kini. Keberadaanya bersaing dengan Apartemen yang begitu angkuh menutup arah pemandangan G. Geulis-Jarian. Jembatan penghubung Jatinangor-Cikuda ini terletak di Desa Hegarmanah, Kabupaten Sumedang. Merupakan bagian dari jaringan kerja Staat Spoorwagen Verenigde Spoorwegbedrijf, sudah hadir 1918. Saat ini dimanfaatkan sebagai sarana lintasan warga, memotong jalur dari Cikuda ke kampus UNPAD.

Untuk menuntaskan telusur jaringan rel kereta api segmen Jatinangor, dilanjutkan mengunjungi stasiun terakhir di kota Tanjungsari. Lokasinya berada di Tanjungsari, atau sekitar 5 km dari jembatan Cikuda. Keberadaan stasiun in telah berubah menjadi sarana ruang pertemuan umum, namun bentuk dan struktur bangunannya tidak berubah.

Jaringan rel kereta api ini digunakan sebagai sarana angkut hasil perkebunan, dari kawasan perkebunan Tanjungsari, hasi karet Jatinangor, Cijeruk yang dikirim ke Bandung melalui stasiun Rancaekek. Melewati tiga halteu (stasiun), Lebakjati, Warungkalde hingga berakhir di Rancaekek. Diperkirakan jalur ini mati seiring dengan kedatangan Jepang pada 1942, mengangkut batang besi rel untuk kebutuhan perang.

Dilanjutkan ke arah timur, bertandang ke struktur bangunan yang berbentuk atap melengkung, dan memanjang arah timur barat. Panjang struktur tersebut sekitar 12 meter, lebar lebih dari 4 meter. Hanya memiliki satu pintu, lebar 1,5 meter dengan tinggi 2 meter lebih. Sekilas tampak seperti bekas gudang, namun bila dilihat secara detail berkesan memiliki fungsi lain. Diperkirakan merupakan bagian dari sistem pertahanan militer. Berada di jalur raya Tanjungsari, sekitar 300 meter ke arah selatan. Keberadaan struktur bangunan ini mirip dengan bentuk bunker, biasa dipergunakan dalam sistem pertahanan militer.

Mengingat penting nya jalur Sumedang-Bandung, kemungkinan merupakan sistem pertahanan militer. Digunakan sebagai tempat berlindung dari serangan udara, pada saat memasuki perang Asia Pasifik. Seperti yang telah diungkap oleh beberapa ahli sejarah militer, Sumedang memiliki perang sebagai pertahanan militer. Sebagai buffer zone, atau zona penyangga serangan musuh dari arah timur.

Keberadaan Tanjungsari,merupakan sub pertahanan Hindia Belanda. Sehingga jauh sebelum Hindia Belanda berkuasa, pada 25 September 181, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels merilis surat. Didalamnya adalah pemindahan dua ibukota, Kabupaten Bandung dari Krapyak, dialihkan 11 km ke arah utara. menempati posisi alun-alun kota Bandung saat ini. an Kabupaten ke-dua yang digeser adalah Parakanmuncang yang berada di Tarikolot Girang Cicalengka, sesuai dengan keterangan R.A. Kern. Digeser ke Andawadak berlokasi di Ciluluk, sebelah timur Tanjungsari.

Perjalanan dilanjutkan ke arah timur, memasuki sekitar Cadas Pangeran. Selepas Cigendel, ditandai dengan hutan pinus merkusii, jalannya bercabang dua. Satu mengarah ke utara, disebut jalan atas, dan satu lagi mengikuti gawir terjal disebut jalan bawah. Dua jalur tersebut kemudian bersatu kembali di sekitar Ciherang, setelah menempuh panjang sekitar 1,7 km.

Mengambil jalan atas, jelang turun dipercabangan Ciherang didapati prasasti. Disematkan pada dinding tegak, pada batuan breksi vulkanik. Isinya menyebutkan nama yang bertanggung jawab pembangunan Jalan Raya Pos segmen Cadas Pangeran, dan durasi waktu pengerjaan. Dengan demikian diperkirakan jalan atas ini merupakan jalur awal yang dikerjakan 1811 sampai 1812. Kemudian seratus tahun kemudian, dibuka jalur bawah. Dengan alasan untuk menghindari tanjakan dan turunan terjal, sehingga awal tahun 90-an ditingkatkan dengan teknik kantilever, sistem jembatan gantung.

Hanjuang dan Konflik Sumedang dengan Cirebon
Jelang siang, partisipan tiba di Sumedang Utara, tepatnya di Situs Pohon Hanjuang. Peninggalan bersejarah berkaitan dengan sepenggal cerita Sumedang Larang. Menurut juru pelihara Abah Apud, tahun 2020 kondisinya tidak terawat. Sehingga setelah dipercaya bertugas memelihara dan melayani kunjungan, Apud (80 tahun) sedikit demi sedikit menata menjadi lebih baik. Keberadaanya tidak dijelaskan apakah situs ini dikelola melalui dana bantuan pemerintah, atau yayasan. Namun keberadaan situs ini menjadi penting, untuk mengaitkan dengan perjalanan kerajaan Sumedang di masa lalu.

Di dalam ruangan terbuka tanpa atap ukuran 4 x 5 meter, didapati dua batang pohon Hanjuang berdaun warna hijau. Ditempatkan di salah satu sudut ruangan, dibagian tengah merapat pada dinding di bagian barat. Ditata sedemikian rupa, dengan batas menggunakan batubata yang disusun, kemudian ditutup oleh batu. Dengan demikian keberadaannya menjadi perhatian utama, karena di setiap sisi ruangan ditanam Hanjuang dengan daun berwarna merah.

Belum bisa dipastikan, apakah pohon Hanjuang tersebut merupakan hasil dari pohon yang ditanam oleh Jayaperkasa. Bila keterangan papan informasi menuliskan pohon hanjuang bersejaran ditanam oleh Sang Hyang Hawu, atau disebut juga Mbah Jayaperkosa (beberapa sumber ditulis Jaya Perkasa, Jaya Prekosa), kurang lebih 1585. Maka umur pohon tersebut hampir 440 tahun dimasa kini. Bisa jadi pohon tersebut ditanam ulang, karena dalam rentang waktu yang sangat panjang tersebut, tergelar banyak peristiwa bersejarah yang menata wajah Priangan, khususnya Sumedang. Baik dalam kondisi pusat kota yang berpindah-pindah, penguasaan VOC, kolonial Belanda, hingga perang kemerdekaan Indonesia. Jadi bisa saja sebatang pohon tersebut menjadi abai, dan tidak lagi mendapatkan perhatian.

Situs sejarah ini berada di Dusun Pangjeleran, Desa Padasuka, Kecamatan Sumedang Utara. Pohon tersebut menjadi tanda catatan sejarah, dituliskan dalam Babad Sumedang. Kemudian dituliskan dalam Pupuh Sinom, karya maestro Mang Koko Koswara.

Kisah singkatnya pohon Hanjuang sebagai simbol sebuah janji, Jayaperkasa terhadap rajanya Geusan Ulun. Bila daunya layu menandakan ia mati dimedan laga, tetapi sebaliknya bila tumbuh subur menandakan menang perang. Seiring waktu terjadi pertempuran di tapal batas Sumedang, atau di sekitar Sukatali (Hikayat Sumedang, De Indische Courant, A. Ter Haghe, 12 Juli 1941). Diceritakan bahwa pertempurannya memakan banyak yang mati, sehingga mata air di dekatnya berubah menjadi merah.

Pohon Hanjuang atau biasa disebut andong merah (cordyline fruticosa), menjadi simbol bagi budaya Sunda. Tanaman yang dianggap memiliki fungsi sebagai sawen tolak bala. Tumbuhan yang dianggap keramat, mampu menepis gangguan kekuatan gaib dan wabah penyakit. Biasanya diikat diiringi ritual doa dan disematkan pada tempat tertentu di dalam maupun di luar rumah. Selain itu digunakan sebagai penanda seperti batas ladang, kebun, pagar rumah antar kepemilikan yang berbeda. Jika dikaitkan dengan wabah penyakit, biasanya digunakan sebagai pembatas dan jarak agar tidak terjangkit penyakit. Dari sisi medis, tanaman ini bisa dimanfaatkan sebagai obat tradisional, seperti TBC paru, asmat, diare hingga sakit kepala.

Dalam situasi kemelut dan tidak menentu, bayang-bayang serangan dari Cirebon. Geusan Ulun memindahkan ibu kota dari Kutamaya, ke dataran tinggi Dayeuhluhur. Pemindahan tersebut daam kondisi tergesa-gesa hingga lupa dengan perjanjian denga Jayaperkasa. Akibatnya akan menjadi konflik diujung kepemimpinan Geusan Ulun sebagai raja di Sumedanglarang.

Dalam upaya pemindahan ibu kota, dalam rangka menghindari serangan Girilaya dari Cirebon, Geusan Ulun harus menempuh perjalanan dengan menggunakan jalan kaki. Dalam keterangan yang ditulis oleh Haghe (1941), dalam pencariannya tempat harus singgah dibeberapa lokasi. Tempat yang dipilih harus memenuhi persyaratan, diantaranya tersembunyi dari pantauan musuh, mampu melihat arah pasukan penyerang dari segala arah. Pencarian dilanjutkan ke arah timur, dataran tinggi yang berada di Ganesa, sebelah timur Kutamaya.

Lokasi yang akan dituju bisa ditafsirkan mendekati posisi pusat kerajaan pada masa Prabu Guru Aji Putih. Pusat kerajaan Tembong Agung, terletak di Citembong Girang, Kecamatan Ganeas, sumedang. Bila ditarik garis, kurang lebih 4 km. dari Citembong Girang, ke Dayeuhluhur. Dalam keterangan selanjutnya, menyebutkan bahwa putra sulung Prabu Aji Putih, yaitu Batara Tuntang Buana atau dikenal Tajimalela, berkelana ke beberapa tempat. Diantaranya menyebutkan wilayah yang menjadi rujukan Geusan Ulun.diantaranya Gunung Merak, Gunung Pulosari, Gunung Puyuh, Gorowong, Ganeas, Gunung Lingga dan tempat lainya. Dengan demikian, pengetahuan tersebut diperkirakan menjadi referensi penentuan tempat pemindahan ibu kota.

Dalam keterangan penelitian bay Suryaningrat (1983), pada masa pemerintahan Geusan Ulun, terdapat 44 Kandaga atau kepala rakyat, terdiri dari 26 Kandaga Lange (Kepala Wilayah), dan 18 umbul dengan cacah sekitar 9000 jiwa umpi. Dengan demikian tidaklah mungkin seluruh rakyatnya turut serta dalam kepindahan. Jadi diperkirakan hanya jabatan tinggi, keluarga yang terkait dan pendukungn lainya saja yang turut pindah. Sedangkan masyakarata yang tersebar di wilayah Sumedanglarang masih ditempat semula.

Bila dilihat dari peta google maps, didapat jarak tempuh 12,4 km. Dari Kutamaya Sumedang Selatan, ke arah timur melalui Cihonje, Gunasari. Kemudian dilanjutkan mendaki Gorowong, Sukawening. Mendaki lereng utara G. Calangcang-Kareumbi. Kemungkinan Geusan Ulun menerima kandidat lokasi selain Dayeuhluhur, namun karena waktu yang begitu sempit sehingga diputuskan untuk menggeser jauh ke arah timur.

Akses dari Kutamaya ke arah timur, ke daerah Gorowong. Kemudian dilanjutkan dengan berjalan melalui Cikadu, merupakan lembah yang dalam. Jalan setapak sejajar dengan sungai, yang mengarahkan mendaki perbukitan hingga tiba di Dayeuhluhur. Jalur tersebut merupakan jalan lama yang pernah digunakan warga sejak dulu, sebelum dibukanya jalur baru. Jalur jalan lebar, melalui Pasir Datar. Jalan yang baru saja ditingkatkan menjadi beton, untuk membuka akses dari kampung Gorowong ke Dayeuhluhur.

Dayeuhluhur merupakan pegunungan yang memanjang utara-selatan, disusun oleh batuan gunungapi. Dalam peta Geologi Lembar Bandung (Silitonga, 2003), disebutkan sebagai Hasil Gunung Tua Tak Teruraikan. Disusun oleh breksi gunungapi, lahar dan lava berselang-seling (Qvu). Menandakan bahwa punggungan mulai dari utara, sekitar Cibungur hingga puncak G. Bongkok adalah bagian dari sistem gunung api purba. Bila ditarik lagi ke arah selatannya, didapati lingkar kaldera G. Calangcang 1667 m dpl. gawir kalderanya berupa setengah lingkaran dari barat ke timur, terbuka ke arah utara.

Dengan demikian kuat dugaan, endapan gunugapi berupa laharik yang menyusun punggungan Dayeuhluhur berasal dari G. Calangcang. Merupakan sistem kompleks gunungapi purba Kareumbi-Puncakanjung-Calangcang. Dari pembagian fasiesnya, Dayeuhluhur merupakan fasies medial (Bogie & Mackenzie, 1998), bagian lereng utara dari pusat letusan.

Dari titik tinggi ini memberikan keuntungan lebih, diantaranya posisinya terlindungi oleh tinggian. Kemudian dari titik tinggi ini bisa memantau pergerakan musuh yang datang dari utara, dan menjadi benteng alami. Dengan demikian pemilihan Dayeuhluhur sebagai tempat pemerintahan, berdasarkan posisi geografis.

Sepeninggalan Geusan Ulun pada 5 November 1608, kemudian kekuasaanya dibagi dua ( Euis Thresnawati S. 2011). Diberikan kepada Pangeran Rangga Gede, putra sulung dari Nyimas Gedeng Waru dari istri pertamanya. Melanjutkan pusat pemerintahannya di Dayeuhluhur. Versi lain ada yang menunjukan di Canukur. Kemudian hasil dari putra Ratu Harisbaya, Pangeran Suriadiwangsa yang menempati ibu kota di Tegalkalong. Akibat dualisme kepemimpinan ini, berdampak kepada stabilitas politik, menyebabkan beberapa wilayah di bawah Kerajaan Sumedang kemudian melepaskan diri. Seperti Karawang, Ciasem. Pamanukan, dan Indramayu. Sehingga wilayahnya menjadi kecil, meliputi Sumedang, Bandung, Sukapura, dan Parakanmuncang. Pada 1620, Sumedanglarang taklut sepenuhnya di bawah Kesultanan Mataram.

Di sebelah selatan Dayeuhluhur, dibawah lereng G. Gedogan 1039 m dpl. disemayamkan Sang Hyang Hawu atau Mbah Jayaperkosa. Di bawah naungan tegakan pohon kayu, hutan tropis. Elevasinya lebih tinggi dibandingkan dengan makam raja, berada jauh di bagian bawah lereng perbukitan. Dari parkiran utama, kemudian mendaki melalui jalan warga. Menapaki tangga yang telah disediakan, hingga memasuki gerbang makam. Jaraknya kurang lebih 900 meter, mengikuti kontur perbukitan. Memasuki gerbang, kemudian disambut oleh vegetasi hutan hujan tropis, dan beberapa fauna yang masih bisa dilihat. Menandakan hutan makam tersebut tidak secara langsung dikonservasi. Berbeda dengan makam Geusan Ulun yang tertutup menggunakan atap. Makam Mbah Jayaperkosa ini dibiarkan terbuka. Ditata dengan menggunakan tumpukan batuan andesit, dengan tanda berupa batu berbentuk kolom. Sekelilingnya ditutupi oleh pagar besi, setinggi 2 meter.

Dilingkungan pemakaman ini, disediakan surau sederhana dan air untuk wudhu. Memberikan kesempatan kepada para peziarah untuk melaksanakan tawasulan, doa ucap syukur untuk berkah para pendahulu dan kesejahteraan untuk yang masih hidup.

Pungngungan perbukitan Dayeuhluhur, memanjang utara-selatan, dengan kerucut G. Bongkok.
Makam Jaya Perkasa, di puncak Dayeuhluhur

Tautan video Geourban#31 Dayeuhluhur
https://www.youtube.com/watch?v=t0XxQPAtAl0&t=734s