Maskapai perdagangan Belanda atau VOC bangkrut dan dibubarkan 31 Desember 1799. Kendali perusahaan global pertama dunia tersebut jatuh ke pemerintahan Belanda, termasuk aset benteng, kapal dagang, dan sumber daya manusia. Pada waktu yang bersamaan, Belanda sedang berperang melawan Perancis, melalui perang Napoleon. Pertempuran di Eropa menentukan nasib di Hindia Belanda, 1808 Napoleon (Perancis) menduduki Belanda, secara otomatis Hindia Belanda di bawah kekuasaan Perancis antara 1808 hingga 1811. Kemudian 1809 Daendels diberikan tugas untuk memulihkan ekonomi pascakebangkrutan VOC, mengamankan pulau Jawa dari serbuan Inggris dan mengorganisasikan kembali sistem pemerintahan lokal.
Sebuah peristiwa sejarah dimasa lalu, menginspirasi Daendels membangun sarana jalan yang menghubungkan ujung barat pulau Jawa hingga ujung timur. 1809 Daendels melakukan inspeksi jalan, kemudian menuliskan rencananya di Karangsambung. Membangun jaringan jalan untuk kepentingan militer sejauh 1100 km.
Di Pulau Jawa bagian barat, jalur Jalan Raya Pos ternyata berbelok ke pedalaman priangan untuk tujuan tertentu. Kondisi geografis perbukitan, sungai dan lembah di pedalaman priangan menjadi tantangan yang lebih sulit. Padalah bisa saja jalan Raya Pos ini mengambil rute paling mudah melalu pantai utara yang lebih landai. Ada hal lain yang ingin dicapai Daendels pada saat itu.
Selepas Buitenzorg, jalannya menanjak membelah perbukitan Puncak Pass G. Gede-Pangrango. Dari Cihea Cianjur melintasi dua sungai dan dilanjutkan menuju Padalarang. Dari tiitk ini kemudian ditarik garis lurus barat-timur melalui Cimahi hingga Ujungberung. Dipertengahan jalan atau disekitar Ci Kapundung, Daendels memerintahkan perpindahan ibu kota kabupaten di Krapyak pada saat itu mendekati ke ruas Jalan Raya Pos. Penentuan dan perpindahan ibu kota tersebut berdasarkan pertimbangan berbagai aspek dan pertimgangan geografis.
Bandung lahir melaui surat keputusan 25 September 1810, seiring perpidahan ibu kota Kabupaten. Selepas cengkraman Inggris pada 1811-1816. Terjadi letusan katastropik G. Tambora 1815 yang menyebabkan udara dingin sepanjang tahun 1816 di Eropa, sehingga Napoleon kalah perang. 1816 Belanda kembali mengkoloni Hindia Belanda, termasuk Bandung. Bentang kota semakin diperluas dengan tujuan mengakomodir kegiatan politik dan ekonomi. Jelang tahun 1920-an menetapkan kota ini disiapkan menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda. Diantaranya pembangunan jaringan lintasan Kereta Api dan Trem ke Dayeuhkolot, namun tidak tuntas karena Belanda kembali diokupasi Jerman pada Perang Dunia ke-dua.
Dalam Geourban#13 Dayeuhkolot, melihat kembali jalur Jalan Raya Pos yang dibuat melintasi pusat kota Bandung saat ini. Apakah Daendels membuka jalan baru atau ada mengikuti jalur yang telah ada? kemudian pertimbangan apa saja yang mendorong perpindahan ibu kota lama di Krapyak. Bagaimana Bandung berkembang sejak kolonial hingga kedatangan penjajahan Jepang 1942? Apa peran Ci Kapundung dalam pementuan garis lintasan Jalan Raya Pos?. Mari temui kembali sejarah bumi dan budaya dalam aktivitas geowisata.
Hari/Tanggal Sabtu, 27 Mei 2023
Waktu 07.30 WIB sd. 13.00 IB
Meeting point Plaza Cikapundung, Jalan Ir. Soekarno
Disklaimer Kegiatan berfisat probono. Partisipan diharapkan menggungan kendaraan roda dua bermotor. Mengingat jarak tempuh cukup jauh.
Geourban Diinisiasi oleh perkumpulan Pemandu Geowista Indonesia (PGWI). Bertujuan syiar geowisata kota, menyulam jejaring geowisata lokal, dan peningkatan kapasitas pemandu geowisata. Kegiatan bersifat probono, dari-oleh untuk kita melalui interpretasi dan berbagi informasi. Info: pgwi.or.id
Acara dibuka disalah satu sudut kota Ciparay, Kabupaten Bandung. Terhitung 21 partisipan yang hadir, dan telah mempersiapkan kendaraanya masing-masing. Asal partisipan dengan latar beragam, pelajar SMU, pemandu wisata, hingga pegiat wisata alam. Selanjutnya Deni Sugandi, selaku pemandu geowista, melakukan brifing awal berkaitan dengan rencana kegiatan. Deni menjelaskan secara umum empat lokasi yang akan dikunjungi, diantaranya situs Palagan Culanagara atau situs peninggalanan Dipati Ukur di Ciparay, kemudian dilanjutkan ke titik tinggi antaran Bukit Culanagara dan Pasir Nini untuk menyaksikan dan itepretasi Cekungan Bandung, Danau Bandung Purba segmen timur, sekaligus memperlihatkan arah pergerakan pelarian dan persembunyian Dipati Ukur.
Penjelasan singkat selanjutnya adalah mengunjungi Kaldera Rakutak-Dogdog, di lapangan Berling, Pacet. Dari titik ini mengamati tafsir pembentukan kaldera, termasuk penjelasan penangkapan SM Kartosoewirjo di G. Geber, lereng sebelah utara puncak G. Rakukat. Stop terkahir berakhir di Situ Cisanti, hulu sungai Ci Tarum.
Pemberangkatan mulai pukul 8.30 WIB, diikuti oleh 21 orang menggunakan 20 motor dengan variasi jenis metik, trail hingga semi trail. Berangkat dari Kue Balok Haji Emo Ciparay, mengarah ke selatan menuju Gunung Leutik. Dari titik ini Deni menjelaskan posisi geografis Culanagara yang berada di titik tinggi, sehingga sangat tepat sebagai tempat pemantauan. Situs Culanagara dianggap sebagai titik komando atau pusat kendali Dipati Ukur, dalam perlariannya saat dikejar oleh tentara Mataram.
Gunung Bukitcula 1031 m dpl. merupakan perbukitan intrusi (terobosan), muncul dari zona lemah kelurusan sesar yang berah timur-barat. kelompok perbukitan ini menempati wilayah Bale Endah di sebelah barat, dan Ciparay di sebelah baratnya. Punggungan tersebut memilik puncak-puncak diantaranya Gunung Kromong 908 m dpl. Gunung Geulis 1151 m dpl., Gunung Pipisan 1071 m dpl, dan di sebelah timurnya adalah Gunung Bukitcula.
Secara geografis posisi Culanagara yang berada di sebelah utara, dari lereng Bukicula memiliki posisi strategis. Posisi tinggi tersebut bisa memantau ke arah utara secara terbuka, kemudian bagian selatan dibentengi oleh jajaran perbukitan Pakutandang-Bukicula-Pasirnini. Situs Culanagara dihidupi oleh Ci Rasea, sungai yang mengalir di sisis sebelah timur lereng Bukitcula, kemudian bertemu dengan Ci Tarum di Sumbersari Ciparay.
Dalam keterangan selanjutnya, disampaikan oleh Gangan Jatnika berkaitan dengan sejarah pelarian Dipati Ukur di sekitar Ciparay. Gangan menunjukan tiga lokasi yang disebutkan dalam beberapa naskah lama, seperti yang diuraikan dalam penelitiannya Suhardi Ekadjati yang menghimpun delapan sumber naskahl versi Galuh, Sukapura, Sumedang, Bandung, Talaga, Banten, Mataram dan Batavia.
Di situs Culanagara STOP 1, Gangan menjelaskan titik-titik pelarian Dipati Ukur segelah gagal menyerang Batavia. Kekalahan pasukannya membawa akibat penangkapannya karena gagal mengusir VOC di Jayakarta pada 1629. Sultan Mataram memerintahkan penangkapan pasukan Dipati Ukur untuk dibawa ke Mataram dan dijatuhi hukuman. Untuk menghindarai penangkapan tersebut, Dipati Ukur beserta sisa pasukannya yang setia bersembunyi di tiga titik, diantaranya di sebelah utara Cekungan Bandung, di Gunung Pangporang masuk ke wilayah Subang saat ini. Pelariann selanjutnya adalah ke arah selatan, di Culanagara, Ciparay yang berjarak 40 km dari posisi pertama. Sikap demikian dituliskan sebagai pembangkangan terhadap Mataram saat itu. Dipati Ukur mengambil sikap lebih baik berontak daripada mati dibunuh (Ekadjati, 53, 1982).
Di Culanagara inilah Dipati Ukur menyamar menjadi rakya biasa, kemudian menyembunyikan seluruh simbol kerajaannya di Pabuntelan atau saat ini masuk ke dalam wilayah desa Tenjonagara, Ciparay.
Dititik kunjungan berikutnya STOP 2, tepatnya di sekitar Cihonje atau di antara punggungan Bukit Culanagara dan Pasirnini. Di titik ini dijelaskan mengenai posisi pengamantan pasukan Dipati Ukur saat melihat pergerakan tentara Mataram yang mengejarnya. Di titik ini arah pandang terbuka ke arah utara, Cekungan Bandung bagian timur. Kemudian di sebelah selatannya adalah Gunung Malabar, jajaran punggungan Gunung Kendeng-Papandayan dan Gunung Rakutak-Dogdog di dataran tinggin Pacet.
Selanjutnya perjalanan mengunjungi STOP ke-3 di sekitar lapangan Berling, Sukapura, Kertasari. Di lokasi ini dijelaskan sejarah pembentukan Kaldera Rakutak-Dogdog, merupakan bagian dari rangkaian gunungapi Papandayan-Kendeng-Rakutak/Dogdog. Berdasarkan morfologinya, Rakutak-Dogdog diperkirakan merupakan kawah yang berukuran lebih dari 2 km atau mendekati kelas kaldera. Bila ditarik dari sisi lereng sebelah utara dan selatan, kemudian ditarik garis imajiner, diperkirakan puncaknya mencapai ketinggian lebih dari 3500 m dpl. keucutu tersebut hacur dan dibongkar melalui mekanisme letusan besar, kemudian menyisakan gawir terjal yang bisa disaksikan saat ini.
Seperti yang disampaikan oleh Deni, Gunung Rakutak menyimpan sejarah perjalanan perjuangan RI. Di tempat tersebut menjadi lokasi persembunyian DI/TII yang dipimpin oleh Sekar Maridjan Kartosoewrijo. Pelarian tersebut berlangusung hampir 14 tahun, sejak proklamasi pendirian DI/TII 1949.
STOP ke-4 di Situ Cisanti, atau hulu Ci Tarum sekitar ketinggian 1500 m dpl. Terletak di lereng sebelah utara Gunung Wayang, masuk ke dalam administratif Neglawangi, Kertasari, Bandung. Hulu sungai terpanjang di Jawa Barat ini adalah himpunan dari tujuh sumber mata air di lereng gunung. Diantaranya mata air Cisanti, Cisadane, Cikawedukan, Citarum, Cihaniwung, Cikoleberes dan Cikahuripan.
Kegiatan ditutup dengan acara pengukuhan Pengurus Korwil Bandung Raya, dan pengukuhan anggota PGWI Angkatan I, melalui DIKLAT tangal 20-21 Februari 2021 lalu. (Deni Sugandi)
Dimana bobolnya danau Bandung Purba bagian barat? premis inilah yang menjadi bekal rasa penasaran para peserta GEOBAIK2 CUKANG RAHONG. Aktivitas wisata bumi dan sejarah, dikemas dalam perjalanan menggunakan kendaraan roda dua.
Diselenggarakan oleh perkumpulan Pemandu Geowisata Indonesia/PGWI dan DPD HPI Jawa Barat, sebagai upaya mengenalkan wisata bumi kepada masyarakat melalui garapan GEOBAIK yang sudah berjalan untuk kegiatan ke-dua. Seperti kegiatan sebelumya, perjalanan ini menawarkan pengalaman dan pengetahuan tentang kebumian dan sejarah yang dikemas dalam seri mengenal cekungan Bandung dan Ci Tarum.
Pada hari Sabtu, 30 Januari 2021, tepat satu jam setelah matahari terbit, partisipan telah berkumpul di SPBU Kota Baru Parahyangan. Beberapa peserta telah tiba lebih awal dan sebagian lagi datang sesuai waktu yang telah ditentukan. Seperti biasa, kegiatan dibuka dengan pengantar rencana kegiatan. Deni selaku Pemandu Geowisata, sekaligus ketua Pemandu Geowisata Indonesia/PGWI membuka acara.
Brifing disampaikan mengenai safety dan persiapan perjalanan, dan latar belakang kegiatan GEOBAIK. Disampaikan bahwa kegiatan ini merupakan hasil kerjasama PGW Indonesia atau perhimpunan pemandu geowisata dan Himpunan Pramuwisata DPD Jawa Barat. sebelumnya telah dilaksanakan kegiatan GEOBAIK1, mengunjungi bobolnya Danau Bandung Purba segmen timur di Curug Jompong. Acara dibuka kemudian Dindin selaku komandan lapangan, dibantu kang Sobar menjelaskan alur pergerakan kendaraan peserta. Mengingat tiga lokasi yang akan dikunjungi cukup jauh. Menurut estimasi di google maps, total perjalanan menempuh waktu kurang lebih 2,5 jam atau sekitar 57 km.
Jumlah peserta yang bergabung 32 orang, menggunakan 24 motor roda dua, baik berboncengan maupun tidak. Diantaranya dalah pegiat wista, pemandu yang terbagung dengan Himpunan Pramuiwsata, praktisi wisata, youtuber konten kreator, pemilik usaha perjalanan wisata hingga peminat kebumian. Selain menyampaikan tentang kesehatan sesuai CHSE, peserta diingatkan lagi mengenai keselamatan dan keamanan dalam dan di lokasi kegiatan. Rombongan berangkat tepat pukul 7.30 wib, bertolak dari SPBU Kota Baru Parahyangan, menyusuri jalan desa segan Selajambe, Cimenteng Cisupan yang sudah masuk ke dalam wilayah Cipapat.
Pengamatan pertama diberikan di lokasi Cikande, Batujajar. Deni selaku pemandu geowisata memberikan intepretasi tentang bentang alam berkaitan dengan batas rendaman Danau Bandung Purba segmen barat. Dari titik tinggi Cikande, Deni mengajak peserta GEOBAIK membayangkan kembali saat cekungan Bandung barat direndam oleh danau, terbentuk oleh pembobolan danau purba bagian timur di Curug Jompong sekitar 16.000 tahun yang lalu (Dam dan Suparan 1996). Bila kembali memutar ulang sejarah, beberapa peneliiti merujuk bahwa cekungan tersebut terbentuk setidaknya pada Jaman Kuarter Tua (Katili, 1963) saat bergesernya aktivitas vulkanik dari selatan ke sebelah utara. Sedangkan pendapat lainya menyatakan bahwa cekungan Bandung merupakan inter-mountain basin atau cekungan antara pegunungan. Pendapat lain bahkan menyatakan bahwa cekugnan tersebut bisa saja adalah sisa kaldera di masa lalu.
Dari titik ini terlihat jajaran perbukitan intrusi pemantang tengah Lagadar-Selacau, kemudian ke arah selatannya dipagari oleh perbukitan kerucut kelompok Gunung Soreang. Kelompok kerucut tersebut ditafsirkan sebagai kaldera yang pernah meletus besar, kemudian seiring waktu lapuk dan tererosi kuat. Bentuk asalnya sudah hilang, sehingga pusat letusannya sudah tidak ada. Namun dalam intepretasi topografi terlihat lingkar kalderanya, yaitu Gunung Lumbung-Mukapayung. Dalam pemetaan vulkanostratigrafi, dinyatakan bahwa umur batuan Gunungapi Soreang adalah Tersier, atau sekitar 4 juta tahun yang lalu (Bronto, 2006).
Perjalanan dilanjutkan menuju Baranangsiang, Saguling menuju dasar bendungan Saguling. Romobongan diajak ke tempat di antara dua celah sempit yang dipotong oleh Ci Tarum, tepatnya di spill way bendungan. Dari lokasi ini bisa melihat langsung struktur dam Saguling yang ditempatkan diantara dua celah sempit, dengan lebar kurang lebih 300 meter. Celah sempit terebut merupakan aliran Ci Tarum yang bergerak ke arah utara, kemudian ditutup dam untuk menaikan volume air waduk saguling. Bentuk bangunan tersebut adalah miring ke arah luar, dengan tujuan menahan beban dan gaya volume air waduk.
Bendungan tersebut didirikan diantara batuan keras, berupa struktur breksi Formasi Saguling. tinggi struktur bendungan adalah 99 meter dengan tipe urugan batua inti. Tingginya mencapai 650 meter dan mampu menampung volume air hingga 2.79 juta m3. Sumber waduk Saguling berasal dari tangkapan Ci Tarum yang berhulu di Cisanti, kemudian dialirkan melalui pipa pesat di segmen PLTA Saguling yang bersebelahan dengan Sanghyang Tikoro. Total jarak perjalanan pengaliran air dari waduk ke turbin PLTA Saguling, kurang lebih 5 km, dengan memanfaatkan gravitasi. Turbin kemudian digerakan oleh dorongan aliran air, dan menghasilkan listrik untuk kebutuhan jaringan listrik nasional.
Setelah mendapatkan penjelasan, peserta kemudian bergerak mengunjungi stop site berikutnya ke Cukang Ragong, Desa Rahong, Baranangsiang. Petualangan seru selanjutnya disuguhkan dalam kegiatan treking ke lokasi Cukang Rahong, berada di dasar lembah. Melalui bantuan pemandu lokal, peserta diarahkan menggunakan jalur landai hingga curam, menuju jalan setapak yang mengarah ke Curug Hawu.
Jalan setapak yang baru saja dibuka oleh warga Rahong, mengantarkan rombongan kepengalaman yang menarik. Tanah merah hasil pelapukan kemudian diguyur hujan semalam, menyebabkan perlu ekstra hati-hati. Mulai dari landai hingga curam, menapaki jalan setapak yang telah dibuat warga menggunakan sengkedan bambu yang dipasang memalang. Pemasngan bambu tersebut cukup membatu pijakan kaki, sehingga memudahkan melangkah bagi peserta yang tidak terlalu berpengalaman berjalan kaki melalui tanah licin. Beberapa peserta terpaksa harus meminjam sepatu warga, mengingat sepatu yang digunakannya tidak mampu melahap jalur setapak yang licin. Warga di kampung ini biasa menggunakan sepatu dengan bentuk seperti sepatu bola, memiliki bagian runcing di bagain bawah yang berguna mencengkram tanah. “Sepatu yang mahal, kalah sama sepatu kampung” kata seorang warga yang turut ikut dalam rombongan.
Dari lokasi Curug Hawu kemudian berbelok ke arah tenggara, menyusuri Ci Tarum bagian Saguling hulu menuju tempat bobolnya Danau Bandung Purba. Bagian seru petualangan dimulai dengan menelusuri dasar lembah, mengikuti Ci Tarum lama ke arah hulu. Diperlukan waktu kurang lebih 1,5 jam dengan jarak kurang lebih 1.3 km.
Perjalanan disuguhi oleh pemandangan lembah yang menawan, tebing terjal nyaris tegak sempurna yang menandakan proses pelapukan dan erosi yang sangat kuat kemudian digerus oleh Ci Tarum. Tinggi tebing tersebut kurang lebih 30 hingga 50 meter, disusun oleh batuan fragmental yang tersemenkan oleh tufaan dan batupasir. Dalam keterangan Martodjojo (1984) merupakan Formasi Saguling, untuk menamai satuan yang sebelumnya adalah Formasi Citarum Bagian Atas yang ditulis oleh Sujatmiko (1972). Disusun berupa breksi berselang-seling dengan batupasir tufaaan (Brahmantyo, 2008). Diendapkan di lingkungan laut dalam, merupakan endapa turbidit pada kipas bagian atas, dan umurnya antara Akhir Miosen Awal-Miosen Tengah, atau sekitar 22, 5 juta hingga 15 juta tahun yang lalu.
Meskipun jarak tidak terlalu jauh antara curug Hawu dan Cukang Rahong, namun diperlukan waktu satu jam lebih. Jalur sangat menantang, karena didominasi oleh bongkah-bongkah jatuhan batu dalam ukuran sebesar bola sepak hingga mobil avanza. Kondisi demikian menylitkan peserta untuk menapaki setiap jengkal perjalanan, karena harus menaiki bongkah-bongkah batuan tersebut, baik dengan cara memanjat hingga harus merayap karena cukup licin. Bongkah-bongkah batu tersebut melampar sepanjang sungai, berasal dari hasi transporter atau dibawah oleh arus air yang deras, kemudian saling terkunci akibat bobotnya.
Bentukan-bentukan tersebut menjadi menarik, karena digerakan oleh kekuatan alam. Diantaranya hadir beberapa potholes, berupa seperti sumur dengan diameter antara 30 cm hingga 90 cm dengan variasi kedalaman yang beragam. Terbentuk oleh arus yang memutar membawa kerikil, sehingga mampu mengerosi batuan hingga terentuk ceruk-ceruk dalam.
Di Cukang Rahong peserta dihdapkan pada dinding terjal dan tegak. Cukang dalam bahasa Sunda berarti jembatan bambu yang dibangun diantara celah yang tidak terlalu lebar. Sedangkan rahong merujuk kepada sungai deras berbatu dan terjal. Di keterangan masyarakah kampung Rahong, jembatan tersebut terbuat dari bambu, dengan panjang tidak lebih dari 10 meter kemudian disusun secara sederhana menjadi titian. Konstruksinya sederhana, menggunakan struktur silang segitiga, untuk memperkuat dan mampu meanahan beban manusia yang melintas. Dalam foto lama yang bersumber dari Bandoeng en haar Hoogvlakt, sekitar tahun 1950-an, terlihat jembatan bambu yang dipasang di atas tebing terjal tersebut. Namun dalam keterangan warga, jembatan tersebut tidak lagi digunkan karena digantikan jembatan yang lebih baik di sekitar Cikahuripan.
Jembatan tersebut sangat dibutuhkan warga saat itu, sebagai sarana penyebrangan untuk kegiatan kerja ke ladang maupun lainya, menghubungkan antara Baranangsiang Cianjur ke Batujajar, Bandung. Dari sisi geologi, Cukang Rahong menjadi saksi bobolnya danau Bandung purba bagian barat. Semenjak dimulai proses pengeringan kurang lebih 16.000 tahun yang lalu, dinding breksi tesebut dierosi Ci Tarum. Proses yang sangat lama tersebut, akhirnya mampu membobol perbukitan antara Puncak Larang dan Pasir Kiara, mealui proses erosi ke hulu (brahmantyo, 2008).
Gerimis datang lagi sebagai tanda untuk menutup sesi kunjungan di Cukang Rahong. Peserta kemudian kembali ke lokasi pertemuan di kampung Rahong, Baranangsiang untuk menutup kegiatan hari ini. Ada dua lokasi yang tidak bisa dikunjungi, mengingat kondisi waktu dan alam yang mengharuskan menutup kegiatan di Cukang Rahong. Beberapa usulan dan umpan balik dari peserta pada saat penutupan, menyarankan agar kegiatan ini memperhatikan lebih mengenai safety, karena kegiatan petualang ini memiliki hazzard yang sangat tinggi. Seperti treking diantara bongkah-bongkah batu, diwajibkan menggunakan helm sebagai upaya mitigasi kecelakaan di lapangan. Selain itu sangatlah perlu didampingi tim medis, atau pengetahuan dasar bantuan gawat darurat dalam perjalanan ini, mengingat ancaman bahaya berkendara di jalan raya atau semi country road jalan berbatu dan licin. Selebihnya para peserta GEOBAIK2 merasa tertantang dan menikmati setiap langkah kegiatan ini, sebagai alternatif wisata dikala pandemi, untuk terus menggerakan aktivitas sesuai CHSE. (Deni Sugandi)