Catatan Singkat Geogastro Galunggung

Geo berarti bumi, dan gastro atau gastronomi adalah hasil budaya berkaitan dengan latar keilmuan berkaitan dengan makanan (tata boga), di suatu masyarakat. Kegiatan Geogastro berarti mengkolaborasi bumi sebagai pijakan, mempengaruhi cara pandang dan pemilihan makanan berdasarkan hasil produk budaya. Termasuk pandangan hidup masyarakat dalam memanfaatkan keunikan produk makanan dari pertanian atau budidaya, hingga bisa ditelusuri kembali hubungan makanan dan bumi.

Galunggung berupa gunungapi aktif, meletus 1982 hingga 1983, melintasi hampir satu tahun aktivitas letusannya. Dengan demikian kegiatan kegunungapiannya bisa mempengaruhi pemilihan jenis gastronomi yang hadir di masyarakat. Termasuk di dalamnya bagaimana gunungapi tersebut bisa meletus, hingga mempengaruhi peradaban di sekitar lereng G. Galunggung.

Kegiatan dua hari ini, merupakan inisiasi program geowisata dan gastronomi. Diinisiasi oleh Asosiasi Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI), dan Program Studi Manajemen Industri Katering Fakultas Pendidikan Indonesia (UPI). Dengan tujuan membuka peluang wisata minat khusus dan tematik berkaitan budaya dan bumi di sekitar Galunggung.

Kegiatan dilaksanakan dua hari, 6 dan 7 Juli 2022, mengunjungi beberapa tapakbumi antara Bandung Timur, hingga sekitar Singaparna Tasikmalaya. Bukan saja berkaitan dengan bentang alam, termasuk menapaki kembali potensi gastronomi di kawasan Tasikmalaya yang dinaungi G. Galunggung.

Berangkat jelang pagi, melesat melalui jalan poros timur Bandung-Cicalengka. Lepas dari daerah Rancaekek yang dipagari oleh bangunan pabrik, kemudian berganti berupa bentang alam dan kawasan hijau terbuka. Di sekitar tanjakan panjang Nagrog, di sebelah utara terlihat jajaran perbukitan dan bentuk kerucut yang tidak terlalu tajam. Tanda kegiatan erosi tengah berlangsung, yang ditempati sisa gunungapi purba Kareumbi.

Gunungapi Umur Kuarter, menempati sebagian besar batas Cekungan Bandung bagian timur. Dalam tafsir batas Danau Bandung Purba, kawasan Cicalengka merupakan batas timur danau. Terhitung di atas paras air danau sekitar 725 m dpl. Sedangkan dalam tafsir Budi Brahmantyo, Cicalengka-Leles-Nagreg merupakan tinggian yang memiliki cekungan yang lebih tinggi dari paras air Danau Bandung Purba. Sehingga ditafsirkan cekungan tersebut pernah digenangi danau yang tidak terlalu luas. Dibutkitkan ditemukannya endapan danau, di sebelah jalan keluar lingkar Nagreg.

Kunjungan berikutnya adalah melihat kembali sumber obsidian di perbukitan Kendan, dan perbukitan Sanghyang Anjung. Ditafsirkan sebagai lava dome (sumbat lava), dari kegiatan sistem gunugapi Leles. Lingkar kaldera nya sekitar 10 km, menempati sebagian besar Tempat Pembuangan Akhir Legok Nangka, Citaman, Nagreg, Kabupaten Bandung. Di Lokasi ini ditemui singkapan batuan gelas vulkanik atau obsidian. Menandakan produk letusan gunugapi, magma yang membeku dengan cepat sehingga belum sempat terbentuknya mineral. Kawasan ini ditafsirkan sebagai pusat kerajaan Kendan, satu zaman dengan kerajaan Pajajaran pada abad ke 14.

Tapakbumi selanjutnya adalah mengunjungi kawah Karaha Bodas, atau kawah yang berwarna putih. Warna tersbut merupakan hasil alterasi, sehingga terjadi ubahan mineral batuan. Terletak di perbatasan Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya. Tepatnya di Kadipaten, Tasikmalaya.

Kegiatan dilanjutkan melalui jalan mendaki ke arah Pasirdatar melalui Desa Sinagar, Sukaratu, Tasikmalaya. Jalannya sempit melalui kantor Desa Sinagar, hingga ke batas jalan aspal. Sekitar Linggarjati didominasi oleh kegiatan tambang pasir batu yang kini semakin meluas hingga ke arah lereng G. Galunggung. Dikerjakan oleh CV Putra Mandiri, sejak bertahun-tahun sehingga penambangan tersebut mengganggu sumber mata air. Air baku yang berasal dari G. Galunggung, dimanfaatkan untuk masyarakat sekitar Desa Linggajati dan Sinagar. Namun kegiatan tambang ini masih berlangsung hingga kini. Selain mempengaruhi sumber mata air, termasuk perubahan tata guna lahan yang berpotensi longsor. Terutama bila masuk ke musim penghujan datang. Di Desa Sinagar ditemui pengusaha makanan sale pisang, di sebelah Masjid Jami’ An Nur Sholeh Sinagar. Pembuatan sale pisang ini tidaklah sulit, Pisang Sale merupakan salah satu makanan hasil olahan dari pisang yang telah mengalami pengeringan dengan cara dijemur atau diasap. Tujuan penjemuran pada pisang adalah untuk mengurangi kadar air buah pisang sehingga pisang sale lebih tahan lama.

Memasuki daerah tambang, jalan berupa makadam atau jalan berbatu. Kemudian berbelok ke arah kampung Pasir Haur. Jalan mendaki, sehingga diperlukan jenis kendaraan yang tinggi dan bertenaga. Lokasi berkemah berada di lapangan disebut Pasirdatar, masuk ke wilayah Desa Sinagar, Sukaratu. Berupa lapangan seluas dua kali lapangan bola, disusun endapan pasir dan abu letusan G. Galunggung 1982. Berada di sebelah timur, atau berada di dalam lingkar kawah G. Galunggung, menjadi arah aliran lahar pada saat letusan.

Dari titik ini bisa menyaksikan gawir terjal G. Galunggung, diantaranya Dinding Ari, dan batas tanggul kawah pasca letusan 1982. Kemudian di arah timurnya adalah hamparan kota Tasikmalaya. G. Galunggung turut mempengaruhi budaya yang lahir di lereng nya. Pada saat dibawah kepemimpinan R. T. Surialaga (1813-1814), pemerintahan Kabupaten Sukapura dipindahkan ke Tasikmalaya. Dalam catatan kegunungapian, Gunung Galunggung tercatat pernah meletus pada 1818, ditandai dengan kemunculan suara gemuruh dari bawah tanah yang terdengar cukup sering. Pada bulan Juni, warga yang tinggal di sekitar Sungai Cikunir melihat perubahan warna dan rasa air yang menjadi lebih asam dan tercium bau belerang.

Letusan G. Galunggung dicatat pernah meletus beberapa kali. Letusan berikutnya terjadi pada tahun 1894. Di antara tanggal 7-9 Oktober, terjadi letusan yang menghasilkan awan panas. Lalu tanggal 27 dan 30 Oktober, terjadi lahar yang mengalir pada alur sungai yang sama dengan lahar yang dihasilkan pada letusan. Letusan kali ini menghancurkan 50 desa, sebagian rumah ambruk karena tertimpa hujan abu. Pada tahun 1918, di awal bulan Juli, letusan berikutnya terjadi, diawali gempa bumi. Letusan tanggal 6 Juli ini menghasilkan hujan abu setebal 2–5 mm yang terbatas di dalam kawah dan lereng selatan. Dan pada tanggal 9 Juli, tercatat pemunculan kubah lava di dalam danau kawah setinggi 85m dengan ukuran 560 x 440 m yang kemudian dinamakan Gunung Jadi.

Letusan terakhir terjadi pada tanggal 5 Mei 1982 (VEI=4) disertai suara dentuman, pijaran api, dan kilat halilintar. Kegiatan letusan berlangsung selama 9 bulan dan berakhir pada 8 Januari 1983. Selama periode letusan ini, sekitar 18 orang meninggal, sebagian besar karena sebab tidak langsung (kecelakaan lalu lintas, usia tua, kedinginan dan kekurangan pangan). Perkiraan kerugian sekitar Rp 1 miliar dan 22 desa ditinggal tanpa penghuni. Gunungapi dengan ketinggian 2.168 meter di atas permukaan laut, dengan puncak tertingginya yakni Puncak Beuti Canar yang memiliki ketinggian 2240 Mdpl. Gunung ini terletak sekitar 17 km dari pusat kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Untuk mencapai bibir kawah Gunung Galunggung, dibangun sebuah tangga yang memiliki 620 anak tangga. Gunung ini memiliki 2 puncak yaitu Puncak Dinding Ari dan Puncak Beuti Canar.

Diperkirakan ada dua peristiwa penting, menggeser lokasi pemerintahan Kabupaten Sukapura. Terjadi pada awal abad ke-19, di bawah pengaruh kolonial. Pada awal abad ke-19, setidaknya ada dua peristiwa penting menyebabkan perpindahan Kabupaten Sukapura. Pada pemerintahan R.T. Surialaga (1813-1814), ibukota dari Sukapura dipindahkan ke Tasikmalaya.

Setidaknya ada dua peristiwa penting perpindahan Kabupaten Sukapura (Tasikmalaya). Pada 1813 pada pemerintahan R.T Surialaga, memindahkan ibukotanya dari Sukapura ke Tasikmalaya. Kemudian pada pemerintahan Wiradadaha VIII, kemudian dipindahkan lagi ke sekitar Manonjaya (1832). Perpindahan tersebut dipekirakan oleh aktivitas G. Galunggung di letusan 1822. Letusan kelas plini tersebut meruntuhkan dinding sebelah timur, menyebabkan terbentuknya kawah tapal kuda, dengan jari-jari lebih kurang 1000 m. Hujan abu dan lahar hujan merusak tanaman rakyat hingga 40 km ke arah selatan, menyebabkan sebagian Tasikmalaya saat itu tenggelam dalam genangan lumpur (van Padang, 1951).

Selain sejarah alam, dataran tinggi Galunggung di sekitar Rawagirang, pernah berdiri kerajaan di bawah pengaruh Galuh. Ditandai dengan prasasti Rumatak adalah salah satu dari prasasti peninggalan Kerajaan Galuh. Lokasi penemuan terletak di Gunung Gegerhanjuang, Desa Rawagirang, Singaparna, pada tahun 1877. Prasasti ini kini disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor inventaris D.26.

Gegerhanjuang dicatat oleh K.F. Holle (l877), Saleh Danasasmita (l975; l984), Atja (l990), Hasan Djafar (l991), dan Richadiana Kartakusuma (1991). Menurut Saleh Danasasmita dan Atja, prasasti tersebut menggunakan aksara dan bahasa Sunda Kuno, menuliskan pengangkatan raja pada 1033 Saka = 1111 Masehi. Meberikan tafsir hadirnya peradaban yang pernah ada di sebelah selatan pusat letusan G. Galunggung, apakah hilang akibat letusan sebelumnya?

Peristiwa kedua adalah lebih kepada politis, keinginan kolonial Belanda memperkuat militer dengan pembangunan benteng dan tangsi-tangsi militer. Mobilisasi militer tersebut sebagai langkah mitigasi akibat perang Jawa Diponegoro. Setelah kota Tasikmalaya bisa dihuni kembali, pada 1 Oktober 1901, ibukota Kabupaten Sukapura.

Galunggung membangun dirinya sejak Plistosen (van Bemmelen, 1946). Dibutuhkan waktu yang sangat lama, melalui rangkaian kegiatan kegunungapian hingga mencapai tinggi 2.168 m di atas muka laut (PVMBG, 2014). Termasuk dalam kelompok gunungapi strato, segmen selatan Jawa Barat. Kegiatan letusannya di abad modern, mulai dicatatkan dalam laporan pengamatan gunungapi sejak letusan 1882, 1894, 1918, 1958 dan letusan terakhir 1982-1983. Material hasil letusannya merupakan buku sejarah alam, diintepretasi dalam penjelasan geowisata.

Geogastro menjadi tali penghubung, menguak tabir sejarah bumi melalui letusan gunungapi Galunggung. Termasuk menggali kembali keunikan gastronomi yang dipengaruhi oleh kegiatan gunungapi api aktif di Jawa Barat. Tujuan tersebut menjadi gagasan asosiasi PGWI, untuk membuka jejaring geowisata lokal. Termasuk memberikan narasi tentang sejarah bumi dan budaya di lereng G. Galunggung.

Pisang Ranggap yang tumbuh di Kawasan Galunggung
Penuturan budaya Obsidiandi Kenda, Nagreg.
Di Curug Ciherang, Pasirdatar
Diskusi gastronomi yang disampaikan Dewi Turgarini
Penjelasan kawah Karaha Bodas.

Catatan Singkat Geourban#21 Jatiluhur

Dalam kegiatan Geourban ke-21, melawat di sekitar Purwakarta (21 Juli 2024). Wilayah yang dilalui oleh Ci Tarum. Sungai yang membelah kota dan kabupaten di Jawa Barat. Diantaranya dimanfaatkan menjadi sumber energi terbarukan, melalui pembangunan tiga waduk buatan. Diantaranya Saguling wilayah Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Cianjur. Kemudian Cirata, dan terakhir waduk Jatiluhur yang masuk ke Purwakarta.

Stop site yang dikunjungi adalah dermaga penyeberangan Talibaju, Cikaobandung. Kemudian ke titik ke dua, batukorsi-batupeti di Desa Sukamanah. Kemudian kunjungan terakhir ke G. Parang. Ketiga tempat tersebut memiliki potensi yang bisa dimanfaatkan melalui aktivitas geowisata. Cerita sejarah perjalan kopi di abad ke-17, didominasi kepentingan dagang yang dimonopoli oleh VOC dari 1756 hingga 1780. Stop site selanjutnya berkunjung ke batuan sedimen Formasi Jatiluhur yang ditafsirkan tinggalan budaya, dan perbukitan intrusi batuan beku. Tiga stop site yang dikunjungi, bagian kecil dari potensi geowisata di Purwakarta.

Jauh sebelum Republik Indonesia lahir, Purwakarta masih menjadi bagian dari Kabupaten Karawang. Wilayahnya mencakup sebagian besar bagian utara Ciasem (saat ini Subang), dan ke arah selatan sekitar Wanayasa saat ini. Daerah ini berada di dataran tinggi di lereng G. Burangrang yang menaungi sebagian besar wilayah Purwakarta bagian selatan saat ini. Wilayah Wanayasa telah ada sejak abad ke-17, dalam bentuk kerajaan di bawah wilayah Pajajaran. Bahkan satu abad sebelumnya, keberadaan penyebutan Karawang dituliskan dalam catatan Bujangga Manik.

Kota yang selama ditafsir sebagai “kota tua”, memiliki pengertian yang berbeda. Ditafsirkan melalui sumber lain, menyebatukan purwa adalah yang pertama, dan karta yang bermakna sejahtera. Dengan demikian bisa ditafsirkan sebagai kota yang mengutamakan kesejahteraan. Tafsir demikian bisa diselaraskan dengan pemindahan ibu kota Karawang Timur, ke tempat yang lebih baik dari sisi jarak ke dan dinilai lebih kondusif.

Perjalanan pembentukan wilayah Purwakarta hadir setelah kemerdekaan, sebelumnya merupakan daerah Karawang Timur dari Kabupaten Karawang. Ibukotanya di Wanayasa, di bawah lereng G. Burangrang. Gunungapi yang ditafsirkan sebagai anak gunungapi, dari sistem gunungapi Sunda-Tangkubanparahu. Seiring waktu, tanahnya yang subur mampu menarik industri perkebunan kopi di abad ke 17, seiring dengan sistem Tanam Paksa. Pengerahan sistematis ini , mendorong kawasan Wanayasa menjadi sentra penghasil kopi setelah Kabupaten Cianjur pada masa tersebut. Namun bukti-bukti pendirian ibukota Kabupaten Karawang Timur di Wanayasa tidak terlihat. Menandakan pusat pemerintahan ibu kota hanya bersifat sementara. Salah satu alasan penempatan ibukota di Wanayasa, karena wilayah tersebut dikenal dengan penghasil kopi terbesar. Menjadi ibu kota kabupaten Karawang Timur pada 1821 hingga 1829. Menjelang 1830 digeser ke arah utara, disebut Sindangkasih.

Pemindahan tersebut dipicu oleh kondisi sosial, dampak dari sistem tanam paksa pada 1847, mendorong pergolakan sosial. Dipicu oleh ketidak adilan, upah rendah dan korupsi di tingkat pemerintahan saat itu, mengakibatkan terjadinya pemberontakan pekerja keturunan Tionghoa. Terjadi pada 1831, dari Wanayasa hingga ke batas Karawang-Purwakarta saat ini. Pemberontakan ini menjadi alasan pemindahan ibu kota ke Purwakarta sekarang. Semata-mata karena kondisi sosial, dan lebih ke pengamanan wilayah melalui pengamanan kekuatan militer saat itu.

Di dermaga perahu penyeberangan Talibaju, Cikaobandung, merupakan jalur penting dalam pengangkutan kopi pada abad ke-17. Cikaobandung merupakan gudang penyimpanan kopi, hasil panen dari beberapa tempat di Kabupaten Bandung saat itu. Sebelumya dikumpulkan terlebih dahulu di gudang kopi di Wanayasa. Keberadaan gudang kopi tersebut masih ada, dimanfaatkan menjadi Sekolah Dasar Negeri I Wanayasa. Bangunan tersebut adalah satu-satunya peninggalan sejarah, bukti industri kopi yang menjadi primadona pertanian di Hindia Belanda.

Hasil panen di wilayah berada di wilayah Preanger-Regentschappen, atau Kabupaten Priangan. Pemandangan yang menawan, didominasi tanah hasil pelapukan gunungapi. Sehingga tanahnya subur, dan memiliki pupuk alami dari batang pohon yang telah lapuk kemudian menjadi kompos. Perkebunannya di atas rata-rata 1200 meter, dengan udara sejuk serta tanah yang luas menjadikan wilayah ini sebagai perkebunan kopi terbaik pada masa tersebut.

Perkebunan kopi tersebar di wilayah Kabupaten Bandung saat itu. Diantaranya di wilayah Sumedang, Bandung utara dan selatan, Limbangan, Sukapura dan Sumedang. Wilayah dataran tinggi, masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bandung saat itu.

Sebagai pemain tunggal perkebunan kopi, Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC perlu menjaga kestabilan hasil perkebunan kopi, dan mencari keuntungan dari hasil produksi kopi. Sehingga dikeluarkan perjanjian yang mewajibkan kaum pribumi untuk menanam kopio dan hasilnya harus diserahkan kepada pihak VOC. Dikenal dengan Koffestelsel (sistem kopi), atau tanam paksa penanaman kopi oleh pada pribumi.

Pengangkutan kopi dari Priangan pedalaman ke Batavia diinisiasi oleh Gouverneur Generaal van Vereenigde Oostindische Compagnie, Mattheus de Haan (1725-1729), dan Bupati Bandung Tumenggung Anggadireja I (1704-1747). Dikenal dengan koffie transport, pengangkutan kopi dengan menggunakan hewan beban seperti kerbau atau sapi. Dibutuhkan waktu antara 60 hingga 72 hari pengangkutan, dengan moda transportasi seperti ini.

Semua hasil panen kemudian diangkut ke gudang kopi di Wanayasa. Setelah terkumpul kemudian diteruskan ke gudang kopi di Cikaobandung, Purwakarta. Jaraknya sekitar 33 km, menggunakan pedati yang ditarik oleh sapi. Dari dermaga kemudian diteruskan menggunakan perahu layar tunggal ke Batavia, melalui Ci Tarum. Mattheus de Haan meminta agar pada tenaga kerja (kuli), membawa kopi dari Bandung, Parakanmuncang, dan Sumedang ke Gudang Kopi Cikao, yang dibangun pada 1744.

Kunjungan berikutnya ke Batukorsi-Batupeti di Kampung Ciputat, Desa Kutamanah. Blok batuan sedimen yang tererosi kuat, membentuk kotak-kotak yang terpisah. Masyarakat mempercayai merupakan hasil kerja manusia di masa lalu, dikaitkan dengan mitos Sangkuriang dan Dayang Sumbi.

Keberadaanya terletak di batas pantai waduk Jatiluhur di sebelah utara. Bisa diakses melalui Kampung Ciputat, kemudian dilanjutkan jalan kaki melalui hutan bambu. Bila dari wisata Jatiluhur, bisa menggunakan perahu sewaan. Keberadaan singkapan batuan sedimen ini berada di wilayah warga, yang sebagian besar telah menjadi perkebunan. Sebagian lagi berada di garis pantai waduk, berupa bentuk seperti kursi.

Dalam berita daring, disebutkan bahwa situs tersebut diduga sebagai tinggalan budaya megalitik, hingga budaya tinggal kerajaan Sunda. Bahkan menurut ketua Rukun Warga di Ciputat, menuturkan bahwa situs tersebut dipercaya menjadi tempat bertemunya Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Cerita rakyat yang berkembang di masyarakat Sunda lama, khususnya di Cekungan Bandung yang mengaitkan dengan sejarah terbentuknya G. Tangkubanparahu. Namun dalam keterangannya, Sangkuriang gagal mempersunting karena ternyata Dayang Sumbi adalah ibu kandungnnya. Sehingga batu berbentuk kursi adalah tempat duduk para tamu, dan peti adalah harta bawaan yang dibawa dalam acara pernikahan.

Dalam peta Geologi Lembar Cianjur (Sudjatmiko, 1972). Tuliskan bagian dari Formasi Jatiluhur, Umur Miosen Tengah. Bila diperhatikan dengan seksama, batuan tersebut berlapis menandakan batuan sedimen. Seiring waktu terangkat akibat kegiatan tektonik, kemudian lapuk oleh kondisi cuaca dan temperatur. Batuan berlapis tersebut disusun oleh perselingan batulempung, batupasir kuarsa, dan batugamping pasiran (Tms).

Bila dilihat dari angkasa, memperlihatkan struktur sejajar membentuk bujursangkar. Menandakan hasil kegiatan struktur yang membentuk rekahan sedemikian rupa. Seiring waktu terjadi erosi dan pelapukan yang menyebabkan bentuknya seperti bongkah batu berbentuk kotak. Sedangkan bentuk kursi di tepi pantai, merupakan bentuk blok batuan yang tererosi oleh gelombang air waduk pada bagian bawahnya. Seiring waktu membentuk seperti batu jamur karena bagian atas lebih kuat (resisten).

Kunjungan terakhir adalah ke G. Parang, melalui Plered. Merupakan perbukitan intrusi batuan beku dangkal. Seiring waktu tersingkap membentuk kerucut yang menjulang tinggi. tingginya sekitar 963 meter dpl. disusun oleh andesit (Ha). Perbukitan tersebut kini aktif menjadi tujuan wisata minat khusus. Pemanjatan menggunakan teknik via ferrata. Berupa besi panjang, yang digunakan sebagai alat bantu pendakian. Kegiatan ditutup dengan pengukun Asosiasi Pemandu Geowisata Dewan Pengurus Wilayah Purwakarta Raya.

G. Parang dari basecamp Badega.
Batupasir kuarsa, perselingan dengan batulempung Fm. Jatiluhur.
Batupeti yang disusun batuan sedimen lapuk, Formasi Jatiluhur.
Pengukuhan PGWI DPW Purwakarta Raya.