(Catatan singkat) Geourban#6 Ci Kapundung Tengah

Pagi hari awan tebal masih menggelayuti Kota Bandung, meneteskan gerimis sejak subuh (27/02, 2022). Perlahan langit terbuka seiring jelang siang, memberikan janji bahwa kemungkinan siang hari cuaca akan cerah. Tepat pukul delapan pagi para partisipan telah berkumpul di monumen lokomotif, persis di depan kantor Pusat PT KAI, sekitar Bababakan Ciamis. Kegiatan ini adalah rangkaian aktivitas perkumpulan Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI), ke-6 bertujuan membuka pola perjalan geowista dalam kota, melalui tema berkaitan dengan informasi sejarah pembentukan alam, hasil budaya dan mitigasi. Bersifat partisipasif, mengajak semua peserta sama-sama memperkaya informasi, dengan cara saling memberikan pengetahuan melalui kegiatan penyampaian informasi selama kegiatan.

Geourban#6 menyasar Ci Kapundung segmen kota, berjalan kaki kurang lebih 1 km. Perjalanan dari Babakan Ciamis, di sekitar viaduct, menyusuri perkampungan padat Gang Afandi, melalui pertemuan sungai dengan Jalan Raya Pos, bukti endapan danau purba, hingga kunjungan ke sumber mataair berupa sumur.

Kegiatan dibuka oleh Deni Sugandi, selaku pemandu geowisata, dihadapan 23 orang peserta. Berasal dari beragam latar belakang, mulai dari pegiat lingkungan, komunitas wisata kota, pemandu wisata, mahasiswa higga profesional. Kegiatan ini dibatasi dan dilaksanakan dalam jarak lintasan yang telah disesuaikan pada kondisi PPKM level 3, berkaitan dengan rekomendasi pemerintah untuk pencegahan dan penyebaran virus Covid di Kota Bandung. Dalam penjelasan awa, Deni menunjukan sungai tersebut berawal di sebelah utara, dari lereng G. Bukittunggul-G. Pangparang. Mengalir mengikuti lembah yang dalam, sejajar dengan Sesar Lembang, kemudian berbelok ke arah selatan. Menerobos lembah Maribaya, di dalam wilayah Taman Hutan Raya H. Juanda. Selanjutnya mengalir dari tinggian utara Bandung, hingga pertemuan dengan Ci Tarum di sebelah selatan. Total perjalanan sungai ini adalah 28 km, mengalir dari utara ke selatan, membelah kota Bandung. Di kegiatan Geourban#6 ini, menyusuri kembali segmen tengah, sekitar Babakan Ciamis, hingga Sumur Bandung atau tepat di jantung kota.

Dalam pembukaanya, Deni menyampaikan brifing awal mengenai tata pelaksanaan kegiatan, termasuk jarak lintasan, titik berhenti untuk kegiatan intepretasi. Aktivitas geowisata kota ini dimulai di titik Viaduct, persis di seberang Masjid Persis. Fajar Lubis selaku pemandu dikegiatan ini, menjelaskan bagaimana Ci Kapundung di segmen yang melewati kota. Viaduct adalah struktur perlintasan jalan dan keretaapi yang melewati sungai. Struktur ini telah ada sejak kereta api mulai masuk ke kota Bandung sekitar 1890-an, diawali denga pembangunan ruas lintasan keretaapi dari Buitenzorg ke dataran tinggi Priangan. Keretaapi masuk ke kota Bandung, diawali denga pembangunan statsiun keretapi di Kebonjukut Bandung, sekitar 1882.

Dari titik ini Fajar menjelaskan fungsi sungai bagi masyarakat Bandung, terutama bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai. Sungai berfungsi sebagai sumber ari baku, saluran drainage hingga sumber energi. Sepertin halnya sungai yang dinamani jenis pohon kerah Bencoy, atau dikenal buah Menteng, memberikan peranan penting terhadap kehidupan kota. Ci Kapundung yang melintasi kota, telah direkayasa dengan pendekatan normalisasi. Dilaksanakan sejak pada pemerintahan kolonial, kemudian ditingkatkan pelebaran dan pengerukan pada masa pascaordebaru. Sungai tersebut saat ini lebar dan dalam, sehingga dikondisikan mengalir cepat.

Perjalanan dilanjutkan menapaki labirin yang seperti tiasa batasnya, di sekitar gang Afandi, Kelurahan Braga. Gang senggol yang dibangun melalui konsep rumah tumbuh, ditempati masyarakat yang mata pencaharian sehari-harinya adalah berniaga di kota. Gang Afandi adalah nama pengusaha lokal yang sukses di kala pemerintahan Belanda, dan dibangun ditepi bantaran Ci Kapundung segmen Braga. Titik berikutnya adalah persis di jembantan yang menghubungkan Gang Afandi dengan Pasar Cikapundung. Jembatan besi yang dibangun sebagai penghubung masyarakat yang tinggal di Gang Afandi, langsung ke pusat kota melalui Pasa Elektronik Cikapundung.

Di atas jembatan penyebrangan orang ini, Felix Feitzma mengupas wajah Bandung tempo dulu. Dikisahkan bahwa sungai ini memiliki peranan penting pada masa-masa kemerdekaan, diantaranya dimanfatkna sebagai basis miiter RI. Mengentahui lokasi persembunyian para pejuang, Belanda memerintahkan untuk membobolkan bendungan Ci Kapundung di sekitar Babakan Ciamis, agar rumah-rumah tempat persembunyian para pejuang habis diterjang banjir. Selain itu Felix mengisahkan pula kehidupan malam, kota Bandung yang tidak pernah tidur. Di sekitar bantaran Ci Kapundung kawasan Braga, ada penjual sate kambing, dengan memanfaatkan sungai ini sebagai sarana mencuci daging domba. Bila mengonsumsi daging sate tersebut dipercaya dapat menguatkan kemampuan seksualitas, mengingat daerah Braga hingga daerah Kebonjati kala itu merupakan daerah perdagangan seks.

Selanjutnya perjalanan menuju ke arah selatan, hingga bantaran Ci Kapundung. Lokasinya persis diantara jembatan Pasar Cikapundung, dan Jembatan Jalan Asia Afrika. Di tempat ini ditemui bongkah-bongkah batuan beku, berukuran kerikil, hingga bongkah dan terendapkan di kelokan sungai (point bar). Strukturnya membundar, menandakan ciri batuan yang diangkut melalui aliran sungai yang berasal dari hulu. Batuan tersebut merupakan produk letusan gunungapi, maupun intrusi. Kemudian seiring waktu tererosi, kemudian diangkut oleh air hingga saling beradu kemudian membundar. Masyarakat menyebutnya batu kali, biasa dimanfaatkan untuk kebutuhan pembuatan pondasi, atau campuran pembuatan beton bangunan. Keberadaanya melimpah, diendapkan dibantaran sungai sepanjangn Ci Kapundung.

Kunjungan terakhir adalah ke sumur Bandung. Keberadaan sumur tersebut tentunya berkaitan dengan kegiatan pembuatan jalan Raya Pos. Deni memberikan paparan bahwa pembangunan jalan utama tersebut tegak lurus timur-barat. Sedangkan pada saat penentuan ruas jalan tersebut, sudah berdiri pusat pemerintahan kabupaten di sekitar Dayeuh Kolot saat ini. Namun melalui keputusan Daendels pada surat bulan Mei 1810, memerintahkan pusat pemerintahan kabupaten tersebut harus digeser, mendekati Jalan Raya Pos.

Dititik inilah kegiatan Geourban#6 ditutup, seiring mendengarkan kesan-kesan dari para peserta. Diantaranya menyampaikan bahwa ada kemasan informasi baru, dari kegiatan wisata kota sebelumnya. Apalagi kemasannya adalah tema tentang geowisata kota yang selama ini hanya disampaikan berkaitan dengan sejarah, arsitektur kolonial hingga budaya. Dari kegiatan ini, peserta memetik informasi melalui kegiatan intepretasi para narasumber, bahwa Bandung dibangun di atas endapan danau purba, dan tidak lepas dari sejarah budaya yang menempati di permukaanya.

Batu pasir, batu lempung dan batu lanau, berlapis diendapkan di Ci Kapundung, Pasar Ancol, Bandung

Catatan Geourban#10 Palintang

Matahari beranjak dari batas horison, diiringi cuca cerah. Langit biru dihiasi awan berarak, tertiup angin ke arah barat. Kondisi cuaca baik tersebut mengantarkan kegiatan Geourban ke-10 di daerah tinggi Pasir Kunci. Dari titik tinggi ini bisa melihat bentang alam Bandung Raya, dicirikan dengan bentuknya seperti baskom terbalik. Disebelah barat terlihat jajaran perbukitan intrusi G. Lagadar-Sela Cau. Perbukitan intrusi batuan beku di Cimahi Utara. dengan umurnya pembentukannya lebih dari 4 juta tahun. Kemudian bila melemparkan mata ke arah selatan, terlihat punggungan G. Koromong-Geulis yang menghubungkan antara Baleendah disebelah timur, dan Ciparay disebelah barat. Dibagian belakang punggungan perbukitan itrusi tersebut, terlihat megah G. Malabar. Kemudian sedikit ke arah timur, terlihak kerucut-kerucut kelompok gunungapi Garut.

Sebelum Bandung lahir, disebelah timur wilayahnya disebutkan dalam peta lama sebagai Oedjoengbroeng. Dibagi dua wilayah utara dan selatan pada saat di bawah pengaruh Mataram, kemudian batas administrasinya ditata ulang menjadi wilayah timur dan barat seiring pembukaan jalan Raya Pos (1810). Sebagian besar wilayahnya saat itu meliputi kota Bandung dan Ujunberung saat ini.  Pembukaan sarana jalan utama yang mengbungkan timur-barat Jawa, mendorong industri  dan budidaya kopi. Pembangunan jalan Raya Pos melalui priangan tengan karena alasan ekonomi, yaitu mengangkut produk pertanian kopi di wilayah Priangan (Hartatik, 2018).

Kegiatan Geourban ke-10 ini adalah melanjutkan tema di Geouban sebelumnya. Di Geourban ke-9 menelusuri kembali jejak Muras Gegerhanjuang, hingga ke dataran rendah Ciparay sampai batas Ci Tarum. Jauh sebelum kota Bandung bergeser dari tepi Ci Tarum (Krapyak) ke sebelah utara, telah hadir peradaban disebelah timur disebut Ujungberung (Widjaya, 2009). Penguasa wilayahnya diatur dalam sistem pemerintahan daerah setingkat bupati. Dipati Ukur menjabat adipati di Tatar Ukur dan menjabat sebagai bupati wedana di Priangan (1627-1733), mengalami nasib yang malang. Ia harus menanggung pencopotan sebagai bupati wedana dan hidup berpindah-pindah, setelah adanya perselisihan dengan Mataram (Lismiyati, 2016). Jejak pelariannya selain di Culanagara, Gunung Leutik ke sekitar Ciparay, bergeser ke arah utara. Diperkirakan berada di sekitar  perbukitan yang diapit oleh Ci Panjalu dan Ci Patapaan, sekitar wilayah kampung Palintang saat ini.

Kegiatan diikuti oleh belasan partisipan, dengan latar belakang beragam. Pegiat wisata, pemerhati lingkungan, pelajar, akademisi hingga pemandu wisata. Titik pertemuan dimulai di sekitar dataran tinggi Ujungberung, di Kampung Wisata Pasir Kunci di Pasirjati, Kecamatan Ujungberung. Fasilitas destinasi wisata yang dikelola oleh pemerintah kota Bandung, melalui Dinas Parwisata Kota. Destinasi berupa amfiteater yang diperuntukan untuk kegiatan wisata budaya, diantaranay seni tradisi Benjang dan sebagainya. Dari titik ini, kegiatan dibuka dengan penyampaian tetang rencana perjalanan. Dikegiatan Geourban ke-9 ini menapaki kembali sejarah peradaban Sunda Klasik, diantarnya penemuan arca dari budaya pendukung polinesia, higga Sunda Klasik. Diantaranya penemuan arca bentuk membundar khas budaya polinesia, hingga praIslam berupa arca Hindu-Budha.

Disekitar dataran tinggi Ujungberung, dilereng sebelah barat G. Manglayang, diusahakan menjadi wilayah budidaya kopi. Dikerjakan oleh Andreas de Wilde, seiring dengan pembukaan pembukaan jalan Raya Pos 1810. Jalan raya yang dibangun oleh penguasaan koloni Inggris di Hindia Belanda, degan tujuan membukan jalur ekonmi di priangan tengah. Titik kunjungan terakhir adalah mengunjungi situs budaya sekitar Palintang atas, berupa patilasan.

Di wisata Pasir Kunci, Deni Sugandi memberikan pengantar mengenai Cekungan Bandung. Dari titik terlihat Bandung bagian timur, didominasi oleh dataran rendah aluvial. Ditempati oleh pesawahan yang melampar dari barat ke timur. Dari sebelah utara dibatasi oleh kaki gunung Manglayang, kemudian di sebelah selatannya dibatasi oleh Ci Tarum. Wilayah tersebut merupakan sisa pengeringan pascaDanau Bandung Purba. Danau yang terbentuk setidaknya sekitar umur Kuarter, kemudian mulai mengering antaran 20.000 hingga 16.000 tahun yang lalu (Dam, 2004). Dalam proses pengeringan tersebut, meyisakan rawa yang luas, disekitar wilayah Ujungberung saat ini. Batas bagian timurnya adalah sekitar Cibiru, sebelah baratnya sekitar Cijambe. Rawa tersebut disebut Muras Gegerhanjuang. Gan-Gan Jatnika turut memberikan penafsirannya, mengenai budaya yang lahir didataran Bandung bagian timur. Gan-Gan menjelaskan tentang  sejarah pelarian Dipati Ukur, mulai dari perbukitan di Balendah, hingga berlanjut ke sekitar dataran tinggi Palintang. Diantaranya adalah lokasi yang akan dikunjungi, yaitu situs budaya Patapaan.

Dari titik Pasir Kunci, bila melemparkan arah ke sebelah utara, terlihat dua kercut G. Palasari dan G. Manglayang. Dua gunungapi yang pernah aktif kemudian padam. Dicirikan dengan endapan material berupa piroklastik, tuff dan lava di sekitar lereng gunung tersebut. Dititik kunjungan kedua adalah melihat kembali sejarah pembentukan dan letusan G. Manglayang. Dari tepi jalan penghubung Ujungberung ke Palintang, merupakan titik terbaik untuk melihat bentang alam dua gunung tersebut. Dari titik ini Deni menjelaskan bagaimanan G. Manglayang terbentuk. Gunungapi umur Kuarter ini setidaknya terbentuk melalui dua fase kejadian, sebut saja pembentukan Manglayang Tua, dan Manglayang Muda. Dua fase tersebut bisa dilihat dari bentuknya, berupa satuan punggungan kaldera G. Manglayang, dan satuan kerucut G. Manglayang.

Gunungapi tersebut saat ini telah dorman, atau sudah tidak lagi menunjukan aktivitasnya. Bila ditarik garis memanjang antara barat ke timur, menunjukan angka 2,3 km. Angka tesebut menandakan bahwa G. Manglayang merupakan masuk kedalam klasifikasi kelas kaldere, yaitu gunungapi yang memiliki radius kawah lebih dari 2 km. punggungna perbukitan kalderanya terlihat di sebelah utara, membentuk tapal kudar ke arah tenggara. Sedangkan di tengah-tengahnya tumbuh kerucut gunungapi generasi ke-dua, berupa kerucut yang disusun oleh perselingnan lava dan piroklastik. Bisa dipastikan bahwa G. Manglayang tersebut merupakan gunungapi tipe stratovolkano, dengan dua kali sejarah pembentukan. Bukti hasil letusannya bisa disaksikan hingga kini, terutama di bagian lereng sebelah timur.

Didukung oleh kondisi iklim, dataran tinggi dan tanahnya yang subuh hasil pelapukan material letusan G. Manglayang. Gunungapi hadir sejak Plistosen, kemudian menghancurkan dirinya melalui dua suksesi letusan Manglayang Tua dan Manglayang Muda (Silitonga, 1973). Jejaknya berupa punggungan kaldera, dan kerucut Manglayang. Material letusannya berupa perselingan piroklastik dan lava yang diendapkan disekitar pusat letusan. Lavanya mengalir mengisi lembah-lembah yang dierosi sungai diataranya Ci Panjalu.

Didapati aliran lava yang mengisi lembah sekitar Ciporeat. Berupa aliran lava yang telah membeku, kemudian membentuk struktur kekar lembar. Strukur tersebut dikenali dengan bentuknya yang berlembar, menandakan adanya tekanan dari atas pada saat pembekuan magma. Disebut dengan proses kontraksi, membeku dengan cara cepat. Di sekitar Curug Orok yang mengalir di (sungai) Ci Panjalu, sekitar Ciporeat masih bisa disaksikan aliran lava tersebut. Ketebalannya sekitar 10 meter, berupa dinding lava yang terkekarkan. Aliran lava yang mengisi Ci Panjalu tersebut kemungkinan merupakan produk letusan efusif G. Manglayang. Namun tidak diketahui apakaha hasil letusan G. Manglayang Tua atau Muda, sehingga perlu penelitian lebih lanjut untuk mengupas kegiatan volkanime gunungapi yang menaungi Ujungberung.

Di lokasi Curug Orok ini, mengalirlah sumber-sumber mata air dari rekahan-rekahan lava. Debitnya tidak berkurang, bersih dan tidak berbau, menandakan mata air ini bersih. Tipe sumber mata air adalah sumber mata air kontak (contact spring), airtanah dangkal yang mengalir melalui dua litologi yang berbeda. Bagian atasnya berupa endapan piroklastik sebagai bidang akifer, dan bagian bawahnya adalah lava. Dengan demikian air tersebut muncul melalui rekahan-rekahan lava, karena batuan tersebut pejal tidak memiliki porositas. Bagi masyarakat, sumber mata air tersebut dimanfaatkan sebagai air minum, dengan cara ditampung menggunakan bak-bak penampung secara komunal. Kemudian dialirkan melalui pipa-pipa mengikuti kontur, dialirkan hingga jauh ke arah lereng. Disekitar Cigending air tersebut kemudian ditampung dan diangkut oleh truk tangki, kemudian didistribusikan dan dijual menjadi air bersih.

Menurut warga disekitar sumber mata air tersebut, sebagin besar tanahnya telah dikuasai oleh pengusaha air bersih. Terutama di daerah mata air produktif, seperti mata air dicurug orok. Penguasaan lahan tersebut sebagai upaya menjaga pasokan air, untuk kebutuhan bisnis air bersih tersedia.

Beranjak ke arah utara menapaki tanjakan Palintang. Rombongan kemudian berhendi diisekitar persimpangan antara jalan Palintang dan jalan kontrol perkebunan ke arah Palalangon. Dititik tinggi sekitar 1100 m dpl. merupakan titik elevasi ideal untuk penanaman kopi. Seperti yang dituliskan pada peta lama, sedikit ke arah barat dikenali beberapa nama yang berasosiasi dengan kegiatan industri dan budidaya kopi. Pohonnya kini sudah tidak ada, karena diganti dengan komoditas lainya. Diperkirakan disekitar Legok Nyenang merupakan komplek perkebunan kopi lama. Diantaranya nama-nama yang menyebutkan kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan industri kopi, seperti nama Pasirpamoyan. Menandakan tempat untuk menjemur kopi. Berikutnya penamaan Panggeteran, Pangmayaran.

Perkebunan kopi di Ujungberung utara, merupakan bagian dari industri ditingkat Keresidenan Priangan yang dikelola swasta Meskipun banyak disebutkan bahwa pengusaha-pengusaha swasta mulai menanam tanaman eksport pada tahun 1870-an sebagai konsekuensi dari penerapan Politik Ekonomi Liberal, namun di Keresidenan Priangan partisipasi perusahaan swasta sudah dimulai sejak awal abad ke-19. Sejak dekade pertama abad ke -19 kopi ditanam di tanah-tanah pribadi, yaitu di Ujungberung (Kabupaten Bandung), Gunung Parang, dan Ciputri (Kabupaten Cianjur). (Muhsin, 2017). Dikerjakan oleh Andries de Wilde dengan luas wilayahnya meliputi sebagian besar Bandung raya. Jejak kopi di Ujungberung utara masih bisa ditelusuri diantaranya melalui toponimi di peta Java. Res. Preanger Regentscahppen (1906). Dipeta tersebut  menuliskan nama-nama yang berasosiasi dengan industri dan perkebunan kopi saat itu.

Lokasi kunjungan ke-tiga adalah ke salah satu situs budya disekitar Palintang atas. Situs budaya tersebut merupakan patilasan, berupa tiga makam yang dinaungi oleh pohon kayu Rasamala. Situs Patapaan tersebut terletak persis disebelah barat SD Palintang Jaya, berupa puncak perbukitan yang diapit oleh Ci Patapaan dan Ci Panjalu. Menuju lokasi tersebut bisa melalui Kampung Palintang, maupun melalui jalur setapak di sebelah lapang volley.

Situs ini dipercaya sebagai tempat yang pernah disinggahi pada masa pelarian Dipati Ukur. Menurut warga setempat, situ Patapaan atau Demah Luhur ini menjadi tempat strategis di jalur lama. Jalur tersebut merupakan sarana jalan setapak pada masa itu, menghubungkan Oedjoengbroeng selatan ke utara, melewati celah yang diapit oleh G. Palasari disebelah barat, dan G. Manglayang di sebelah timur.

Perjalanan Geourban ditutup diwarung sekitar PTPN XIII. Warung sederhana yang menyajikan kue balok di Cipanjalu. Kegiatan ini diinisiasi oleh perkumpulan Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI), bersifat probono. Bertujuan menggali wisata alternatif kebumian, sarana belajar bersama dan koneksi jejaring lokal upaya menggali potensi geowisata kota Bandung.

Interpretasi di Pasir Kunci
Interpretasi cekungan Bandung dari Pasirkunci Ujungberung
Dengan latar G. Manglayang
Sunggoro menjelaskan budidaya kopi disekitar Palintang atas
Peserta di Curug Orok. CI Panjalu
Penjelasan di Curug Orok di Ci Panjalu, aliran lava G. Manglayang
Penjelasan sejarah Dipati Ukur dalam berbagai versi, disampaikan oleh Gan Gan
Dipatilasan Demah Luhur, Palintang