Catatan Geourban#10 Palintang

Matahari beranjak dari batas horison, diiringi cuca cerah. Langit biru dihiasi awan berarak, tertiup angin ke arah barat. Kondisi cuaca baik tersebut mengantarkan kegiatan Geourban ke-10 di daerah tinggi Pasir Kunci. Dari titik tinggi ini bisa melihat bentang alam Bandung Raya, dicirikan dengan bentuknya seperti baskom terbalik. Disebelah barat terlihat jajaran perbukitan intrusi G. Lagadar-Sela Cau. Perbukitan intrusi batuan beku di Cimahi Utara. dengan umurnya pembentukannya lebih dari 4 juta tahun. Kemudian bila melemparkan mata ke arah selatan, terlihat punggungan G. Koromong-Geulis yang menghubungkan antara Baleendah disebelah timur, dan Ciparay disebelah barat. Dibagian belakang punggungan perbukitan itrusi tersebut, terlihat megah G. Malabar. Kemudian sedikit ke arah timur, terlihak kerucut-kerucut kelompok gunungapi Garut.

Sebelum Bandung lahir, disebelah timur wilayahnya disebutkan dalam peta lama sebagai Oedjoengbroeng. Dibagi dua wilayah utara dan selatan pada saat di bawah pengaruh Mataram, kemudian batas administrasinya ditata ulang menjadi wilayah timur dan barat seiring pembukaan jalan Raya Pos (1810). Sebagian besar wilayahnya saat itu meliputi kota Bandung dan Ujunberung saat ini.  Pembukaan sarana jalan utama yang mengbungkan timur-barat Jawa, mendorong industri  dan budidaya kopi. Pembangunan jalan Raya Pos melalui priangan tengan karena alasan ekonomi, yaitu mengangkut produk pertanian kopi di wilayah Priangan (Hartatik, 2018).

Kegiatan Geourban ke-10 ini adalah melanjutkan tema di Geouban sebelumnya. Di Geourban ke-9 menelusuri kembali jejak Muras Gegerhanjuang, hingga ke dataran rendah Ciparay sampai batas Ci Tarum. Jauh sebelum kota Bandung bergeser dari tepi Ci Tarum (Krapyak) ke sebelah utara, telah hadir peradaban disebelah timur disebut Ujungberung (Widjaya, 2009). Penguasa wilayahnya diatur dalam sistem pemerintahan daerah setingkat bupati. Dipati Ukur menjabat adipati di Tatar Ukur dan menjabat sebagai bupati wedana di Priangan (1627-1733), mengalami nasib yang malang. Ia harus menanggung pencopotan sebagai bupati wedana dan hidup berpindah-pindah, setelah adanya perselisihan dengan Mataram (Lismiyati, 2016). Jejak pelariannya selain di Culanagara, Gunung Leutik ke sekitar Ciparay, bergeser ke arah utara. Diperkirakan berada di sekitar  perbukitan yang diapit oleh Ci Panjalu dan Ci Patapaan, sekitar wilayah kampung Palintang saat ini.

Kegiatan diikuti oleh belasan partisipan, dengan latar belakang beragam. Pegiat wisata, pemerhati lingkungan, pelajar, akademisi hingga pemandu wisata. Titik pertemuan dimulai di sekitar dataran tinggi Ujungberung, di Kampung Wisata Pasir Kunci di Pasirjati, Kecamatan Ujungberung. Fasilitas destinasi wisata yang dikelola oleh pemerintah kota Bandung, melalui Dinas Parwisata Kota. Destinasi berupa amfiteater yang diperuntukan untuk kegiatan wisata budaya, diantaranay seni tradisi Benjang dan sebagainya. Dari titik ini, kegiatan dibuka dengan penyampaian tetang rencana perjalanan. Dikegiatan Geourban ke-9 ini menapaki kembali sejarah peradaban Sunda Klasik, diantarnya penemuan arca dari budaya pendukung polinesia, higga Sunda Klasik. Diantaranya penemuan arca bentuk membundar khas budaya polinesia, hingga praIslam berupa arca Hindu-Budha.

Disekitar dataran tinggi Ujungberung, dilereng sebelah barat G. Manglayang, diusahakan menjadi wilayah budidaya kopi. Dikerjakan oleh Andreas de Wilde, seiring dengan pembukaan pembukaan jalan Raya Pos 1810. Jalan raya yang dibangun oleh penguasaan koloni Inggris di Hindia Belanda, degan tujuan membukan jalur ekonmi di priangan tengah. Titik kunjungan terakhir adalah mengunjungi situs budaya sekitar Palintang atas, berupa patilasan.

Di wisata Pasir Kunci, Deni Sugandi memberikan pengantar mengenai Cekungan Bandung. Dari titik terlihat Bandung bagian timur, didominasi oleh dataran rendah aluvial. Ditempati oleh pesawahan yang melampar dari barat ke timur. Dari sebelah utara dibatasi oleh kaki gunung Manglayang, kemudian di sebelah selatannya dibatasi oleh Ci Tarum. Wilayah tersebut merupakan sisa pengeringan pascaDanau Bandung Purba. Danau yang terbentuk setidaknya sekitar umur Kuarter, kemudian mulai mengering antaran 20.000 hingga 16.000 tahun yang lalu (Dam, 2004). Dalam proses pengeringan tersebut, meyisakan rawa yang luas, disekitar wilayah Ujungberung saat ini. Batas bagian timurnya adalah sekitar Cibiru, sebelah baratnya sekitar Cijambe. Rawa tersebut disebut Muras Gegerhanjuang. Gan-Gan Jatnika turut memberikan penafsirannya, mengenai budaya yang lahir didataran Bandung bagian timur. Gan-Gan menjelaskan tentang  sejarah pelarian Dipati Ukur, mulai dari perbukitan di Balendah, hingga berlanjut ke sekitar dataran tinggi Palintang. Diantaranya adalah lokasi yang akan dikunjungi, yaitu situs budaya Patapaan.

Dari titik Pasir Kunci, bila melemparkan arah ke sebelah utara, terlihat dua kercut G. Palasari dan G. Manglayang. Dua gunungapi yang pernah aktif kemudian padam. Dicirikan dengan endapan material berupa piroklastik, tuff dan lava di sekitar lereng gunung tersebut. Dititik kunjungan kedua adalah melihat kembali sejarah pembentukan dan letusan G. Manglayang. Dari tepi jalan penghubung Ujungberung ke Palintang, merupakan titik terbaik untuk melihat bentang alam dua gunung tersebut. Dari titik ini Deni menjelaskan bagaimanan G. Manglayang terbentuk. Gunungapi umur Kuarter ini setidaknya terbentuk melalui dua fase kejadian, sebut saja pembentukan Manglayang Tua, dan Manglayang Muda. Dua fase tersebut bisa dilihat dari bentuknya, berupa satuan punggungan kaldera G. Manglayang, dan satuan kerucut G. Manglayang.

Gunungapi tersebut saat ini telah dorman, atau sudah tidak lagi menunjukan aktivitasnya. Bila ditarik garis memanjang antara barat ke timur, menunjukan angka 2,3 km. Angka tesebut menandakan bahwa G. Manglayang merupakan masuk kedalam klasifikasi kelas kaldere, yaitu gunungapi yang memiliki radius kawah lebih dari 2 km. punggungna perbukitan kalderanya terlihat di sebelah utara, membentuk tapal kudar ke arah tenggara. Sedangkan di tengah-tengahnya tumbuh kerucut gunungapi generasi ke-dua, berupa kerucut yang disusun oleh perselingnan lava dan piroklastik. Bisa dipastikan bahwa G. Manglayang tersebut merupakan gunungapi tipe stratovolkano, dengan dua kali sejarah pembentukan. Bukti hasil letusannya bisa disaksikan hingga kini, terutama di bagian lereng sebelah timur.

Didukung oleh kondisi iklim, dataran tinggi dan tanahnya yang subuh hasil pelapukan material letusan G. Manglayang. Gunungapi hadir sejak Plistosen, kemudian menghancurkan dirinya melalui dua suksesi letusan Manglayang Tua dan Manglayang Muda (Silitonga, 1973). Jejaknya berupa punggungan kaldera, dan kerucut Manglayang. Material letusannya berupa perselingan piroklastik dan lava yang diendapkan disekitar pusat letusan. Lavanya mengalir mengisi lembah-lembah yang dierosi sungai diataranya Ci Panjalu.

Didapati aliran lava yang mengisi lembah sekitar Ciporeat. Berupa aliran lava yang telah membeku, kemudian membentuk struktur kekar lembar. Strukur tersebut dikenali dengan bentuknya yang berlembar, menandakan adanya tekanan dari atas pada saat pembekuan magma. Disebut dengan proses kontraksi, membeku dengan cara cepat. Di sekitar Curug Orok yang mengalir di (sungai) Ci Panjalu, sekitar Ciporeat masih bisa disaksikan aliran lava tersebut. Ketebalannya sekitar 10 meter, berupa dinding lava yang terkekarkan. Aliran lava yang mengisi Ci Panjalu tersebut kemungkinan merupakan produk letusan efusif G. Manglayang. Namun tidak diketahui apakaha hasil letusan G. Manglayang Tua atau Muda, sehingga perlu penelitian lebih lanjut untuk mengupas kegiatan volkanime gunungapi yang menaungi Ujungberung.

Di lokasi Curug Orok ini, mengalirlah sumber-sumber mata air dari rekahan-rekahan lava. Debitnya tidak berkurang, bersih dan tidak berbau, menandakan mata air ini bersih. Tipe sumber mata air adalah sumber mata air kontak (contact spring), airtanah dangkal yang mengalir melalui dua litologi yang berbeda. Bagian atasnya berupa endapan piroklastik sebagai bidang akifer, dan bagian bawahnya adalah lava. Dengan demikian air tersebut muncul melalui rekahan-rekahan lava, karena batuan tersebut pejal tidak memiliki porositas. Bagi masyarakat, sumber mata air tersebut dimanfaatkan sebagai air minum, dengan cara ditampung menggunakan bak-bak penampung secara komunal. Kemudian dialirkan melalui pipa-pipa mengikuti kontur, dialirkan hingga jauh ke arah lereng. Disekitar Cigending air tersebut kemudian ditampung dan diangkut oleh truk tangki, kemudian didistribusikan dan dijual menjadi air bersih.

Menurut warga disekitar sumber mata air tersebut, sebagin besar tanahnya telah dikuasai oleh pengusaha air bersih. Terutama di daerah mata air produktif, seperti mata air dicurug orok. Penguasaan lahan tersebut sebagai upaya menjaga pasokan air, untuk kebutuhan bisnis air bersih tersedia.

Beranjak ke arah utara menapaki tanjakan Palintang. Rombongan kemudian berhendi diisekitar persimpangan antara jalan Palintang dan jalan kontrol perkebunan ke arah Palalangon. Dititik tinggi sekitar 1100 m dpl. merupakan titik elevasi ideal untuk penanaman kopi. Seperti yang dituliskan pada peta lama, sedikit ke arah barat dikenali beberapa nama yang berasosiasi dengan kegiatan industri dan budidaya kopi. Pohonnya kini sudah tidak ada, karena diganti dengan komoditas lainya. Diperkirakan disekitar Legok Nyenang merupakan komplek perkebunan kopi lama. Diantaranya nama-nama yang menyebutkan kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan industri kopi, seperti nama Pasirpamoyan. Menandakan tempat untuk menjemur kopi. Berikutnya penamaan Panggeteran, Pangmayaran.

Perkebunan kopi di Ujungberung utara, merupakan bagian dari industri ditingkat Keresidenan Priangan yang dikelola swasta Meskipun banyak disebutkan bahwa pengusaha-pengusaha swasta mulai menanam tanaman eksport pada tahun 1870-an sebagai konsekuensi dari penerapan Politik Ekonomi Liberal, namun di Keresidenan Priangan partisipasi perusahaan swasta sudah dimulai sejak awal abad ke-19. Sejak dekade pertama abad ke -19 kopi ditanam di tanah-tanah pribadi, yaitu di Ujungberung (Kabupaten Bandung), Gunung Parang, dan Ciputri (Kabupaten Cianjur). (Muhsin, 2017). Dikerjakan oleh Andries de Wilde dengan luas wilayahnya meliputi sebagian besar Bandung raya. Jejak kopi di Ujungberung utara masih bisa ditelusuri diantaranya melalui toponimi di peta Java. Res. Preanger Regentscahppen (1906). Dipeta tersebut  menuliskan nama-nama yang berasosiasi dengan industri dan perkebunan kopi saat itu.

Lokasi kunjungan ke-tiga adalah ke salah satu situs budya disekitar Palintang atas. Situs budaya tersebut merupakan patilasan, berupa tiga makam yang dinaungi oleh pohon kayu Rasamala. Situs Patapaan tersebut terletak persis disebelah barat SD Palintang Jaya, berupa puncak perbukitan yang diapit oleh Ci Patapaan dan Ci Panjalu. Menuju lokasi tersebut bisa melalui Kampung Palintang, maupun melalui jalur setapak di sebelah lapang volley.

Situs ini dipercaya sebagai tempat yang pernah disinggahi pada masa pelarian Dipati Ukur. Menurut warga setempat, situ Patapaan atau Demah Luhur ini menjadi tempat strategis di jalur lama. Jalur tersebut merupakan sarana jalan setapak pada masa itu, menghubungkan Oedjoengbroeng selatan ke utara, melewati celah yang diapit oleh G. Palasari disebelah barat, dan G. Manglayang di sebelah timur.

Perjalanan Geourban ditutup diwarung sekitar PTPN XIII. Warung sederhana yang menyajikan kue balok di Cipanjalu. Kegiatan ini diinisiasi oleh perkumpulan Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI), bersifat probono. Bertujuan menggali wisata alternatif kebumian, sarana belajar bersama dan koneksi jejaring lokal upaya menggali potensi geowisata kota Bandung.

Interpretasi di Pasir Kunci
Interpretasi cekungan Bandung dari Pasirkunci Ujungberung
Dengan latar G. Manglayang
Sunggoro menjelaskan budidaya kopi disekitar Palintang atas
Peserta di Curug Orok. CI Panjalu
Penjelasan di Curug Orok di Ci Panjalu, aliran lava G. Manglayang
Penjelasan sejarah Dipati Ukur dalam berbagai versi, disampaikan oleh Gan Gan
Dipatilasan Demah Luhur, Palintang

Catatan Geourban#2 Ci Kapundung

Waktu menunjukan tujuh lebih sepuluh, kurang lebih 23 orang telah hadir di pelataran parkiran Tahura Ir. Juanda, Dago Pakar Bandung (3/10, 2021). Sesuai dengan jumlah peserta yang telah menyatakan hadir di grup Whatsapp, dihadiri oleh anggota perkumpulan Pemandu Geowisata Indonesia/PGWI, sebagian peserta berasal dari organisasi Dewan Pengurus Cabang HPI Kota bandung, komunitas KPGB, Jarambers, hingga pelaku usaha biro perjalanan wisata.

Geourban ini adalah aktivitas probono, sebagai media belajar bersama dalam kegiatan pemanduan geowisata, sekaligus reaktivasi jalur-jalur heritage hingga tapak bumi di sekitar kota Bandung. Narasumber kegiatan ini menyampaikan informasi dan intepretasi sejarah kolonial dan pemanfaatan aliran Ci Kapundung, hingga mengupas sejarah bumi berupa bukti endapan Gunung Sunda-Tangkubanparahu.

Narasumber berkaitan toponimi dan sejarah lokal, disampaikan oleh Gangan Jatnika, kemudian proses pembentukan alam oleh Deni Sugandi, dan Zarindra menyampaikan informasi mengenai sistem hidrogeologi Ci Kapundung, berdasarkan hasil penelitian.

Dalam kesempatan ini dihadiri langsung oleh kang Bintang, selaku ketua DPC HPI Bandung, dan beberapa pengurus yang turut serta dalam kegiatan ini. Kegiatan ini merupakan upaya perluasan jejaring, antara HPI DPC Kota Bandung, dan Dewan Pengurus Wilayah Bandung Raya, dengan tujuan mengupas potensi geowisata di Cekungan Bandung.

Acara dibuka oleh Deni Sugandi, selaku pemandu geowisata, menjelaskan rencana kegiatan treking Geourban ke-2, menyusuri Ci Kapundung segmen Dago Bengkok. Dalam pembukaan, dijelaskan bahwa perjalanan diperkirakan memakan waktu 4 jam, menempuh jarak 4.2 km, melalui jalur setapak hinngga menyusuri pipa tertutup saluran Pembangkit Listrik Tenaga Air/PLTA Bengkok dan Dago (Pojok). Saluran pipa tersebut melalui jalur perumahan warga Jajaway hingga Curug Dago.

Stop pertama di Goa Jepang, penjelansan bukti endapan volkanik Gunung Sunda. Terlihat garwir terjal, berupa ignibrite yang terleaskan, disusun oleh piroklastik dan tuff, seperti fragmental lava dan batuapung yang menyusun perbukitan ini. Pada pendudukan Jepang, kemudian dibuatkan terowongan yang terhubung, berguna untuk kegiatan militer pada saat itu.

Stop kedua adalah mengujungi kolam tando yang berbatasan ataran wilayah Tahura Juanda dan pengelolaan Indonesia Power. Di kolam ini bisa disaksikan telah terjadi pencemaran, berupa kotoran ternak sapi dari hulu Maribaya yang menyebabkan gas metan yang muncul ke permukaan air. Selain itu terdapa sampat organik maupun an-organik yang ikut dihanyutkan oleh aliran irigasi terbuka. Akibart penumpukan sampah tersebut, menyebatkan turunya debit air yang dialirkan ke turbin.

Unit pada Unit Bisnis Pembangkitan (UBP) airnya berasal dari Sungai Cikapundung yang dialirkan ke bak pengendap. Dari bak pengendap air dialirkan lewat saluran terbuka (open tunnel) sepanjang 2.823 m menuju kolam tando yang berkapasitas 30.000 m3 dan mempunyai luas 10.000 m2. Kolam tersebut berguna untuk menampung air dari sodetan Ci Kapundung di sebelah utara Goa Belanda, kemudian dialirkan ke pipa pesat PLTA Dago Bengkok. Pipa diameter tiga meter tersebut mengalirkan air, untuk mengerakan turbin.

Stop ke-tiga adalah penjelasan mengenai PLTA Dago Bengkok. Dalam keterangannya, PLTA ini merupakan instalasi pembangkit listrik awal pada masa kolonial. Setelah percobaan PLTA ukuran kecil di bagian hulu Ci Tarum atau PLTA Pakar yang dianggap kurang berhasil, kemudian pemerintah kolonial membangun instalasi baru pada 1923.

Sekitar tahun 1920, PLTA Pakar ditutup akibat debit air yang kecil karena tanpa kolam penampung. Hingga kini peninggalannya berupa tembok bendungan dan aliran air berbentuk terowongan di Goa Belanda dan Goa Jepang.

PLTA Dago Bengkok memiliki kapasitas 3,15 Mega Watt (MW), digerakan oleh tiga turbin, masing-masing 3 x 1.050 kW. Total daya yang dihasilkan PLTA tersebut, pada masa kolonial mampu menerangi sebagian kota Bandung.

Stop ke-empat adalah mengunjungi Curug Dago. Di lokasi ini masih bisa disaksikan aliran lava basal yang diperkirakan hasil letusan efusif Gunung Sunda pada periode ke-dua. Dinding Curug Dago memperlihatkan bidang perlapisan, antara endapan aluvial berupa struktru konglomerat, kemudian ditindih breksi volkanik. Di bagian atasnya ditutupi aliran lava yang cukup tebal, atau sekitar 5-6 meter, berupa lava basal dengan struktur kekar kolom. Dicirkan dengan warnanya hitam dan seperti gelas volkanik, dengan lubang gas yang menandakan membeku dalam waktu sangat singkat.

Tujuan terakhir adalah ke komunitas Kelompok Kerja Cika-Cika. Komunitas warga masyarakat di sekitar PLTA Dago Pojok yang memanfaatkan lahan di bantaran Ci Kapundung, menjadi aktivasi kegiatan kemasyrakatan, sekaligus menjadi pusat kelompok kerja Sub DAS Ci Kapundung.

Penjelasan endapan awan panas di Goa Jepang Tahura Ir. H. Juanda
Peserta Geourban di depan Goa Belanda
Penjelasan di kolam penenang Dago Pakar
Bersama komunitas Cika-Cika di Jajaway Ci Kapundung

Geourban#10 Palintang

Jejak Sunda Lama, Budidaya Kopi awal abad 19 dan Letusan G. Manglayang

Jauh sebelum kota Bandung bergeser dari tepi Ci Tarum (Krapyak) ke sebelah utara, telah hadir peradaban disebelah timur disebut Ujungberung (Widjaya, 2009). Di bawah penguasaan Mataram (Islam) wilayahnya diatur dalam sistem pemerintahan daerah setingkat bupati. Dipati Ukur menjabat adipati di Tatar Ukur dan menjabat sebagai bupati wedana di Priangan (1627-1733), mengalami nasib yang malang. Ia harus menanggung pencopotan sebagai bupati wedana dan hidup berpindah-pindah, setelah adanya perselisihan dengan Mataram (Lismiyati, 2016). Jejak pelariannya selain di Culanagara, Gunung Leutik ke sekitar Ciparay, hingga menghindar ke arah utara. Bukti jejaknya diperkirakan berada di sekitar  perbukitan yang diapit oleh Ci Panjalu dan Ci Patapaan, sekitar wilayah kampung Palintang saat ini.

Pada peta lawas 1910, dituliskan nama Oedjoengbroeng. Dibagi dua wilayah utara dan selatan pada saat di bawah pengaruh Mataram, kemudian batas administrasinya ditata ulang menjadi wilayah timur dan barat seiring pembukaan jalan Raya Pos (1810). Sebagian besar wilayahnya saat itu meliputi kota Bandung dan Ujunberung saat ini.  Pembukaan sarana jalan utama yang mengbungkan timur-barat Jawa, mendorong industri  dan budidaya kopi. Pembangunan jalan Raya Pos melalui priangan tengan karena alasan ekonomi, yaitu mengangkut produk pertanian kopi di wilayah Priangan (Hartatik, 2018).

Di Keresidenan Priangan pun berkembang perkebunan-perkebunan kopi swasta. Meskipun banyak disebutkan bahwa pengusaha-pengusaha swasta mulai menanam tanaman eksport pada tahun 1870-an sebagai konsekuensi dari penerapan Politik Ekonomi Liberal, namun di Keresidenan Priangan partisipasi perusahaan swasta sudah dimulai sejak awal abad ke-19. Sejak dekade pertama abad ke -19 kopi ditanam di tanah-tanah pribadi, yaitu di Ujungberung (Kabupaten Bandung), Gunung Parang, dan Ciputri (Kabupaten Cianjur). (Muhsin, 2017). Dikerjakan oleh Andries de Wilde dengan luas wilayahnya meliputi sebagian besar Bandung raya. Jejak kopi di Ujungberung utara masih bisa ditelusuri diantaranya melalui toponimi di peta Java. Res. Preanger Regentscahppen (1906). Dipeta tersebut  menuliskan nama-nama yang berasosiasi dengan industri dan perkebunan kopi saat itu.

Didukung oleh kondisi iklim, dataran tinggi dan tanahnya yang subuh hasil pelapukan material letusan G. Manglayang. Gunungapi hadir sejak Plistosen, kemudian menghancurkan dirinya melalui suksesi letusan Manglayang Tua dan Manglayang Muda (Silitonga, 1973). Jejaknya berupa punggungan kaldera, dan kerucut Manglayang. Material letusannya berupa perselingan piroklastik dan lava yang diendapkan disekitar pusat letusan. Lavanya mengalir mengisi lembah-lembah yang dierosi sungai diataranya Ci Panjalu.

Hari/Tanggal
Sabtu, 4 Maret 2012

Waktu
Pkl. 08.00 sd. 12.00 WIB

Meeting Point
Pasirkunci Ujungberung
https://goo.gl/maps/MLcxJBqj9sjj5MYq8

Mari bergabung di Geourban#10 Palintang, menelusuri kembali budaya lama, budidaya kopi hingga sejarah pembentukan kaldera Manglayang.

Geourban
Diinisiasi oleh perkumpulan Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI), bersifat probono. Bertujuan menggali wisata alternatif kebumian, sarana belajara bersama dan koneksi jejaring lokal upaya menggali potensi geowisata kota.

Patilan Demah Luhur, diduga tempat yang pernah disinggahi Dipati Ukur
Aliran lava dengan struktur berlembar di Ci Panjalu
Air terjun yang terbentuk dialiran lava G. Manglayang

Catatan Geobaik#3 Cisanti

Acara dibuka disalah satu sudut kota Ciparay, Kabupaten Bandung. Terhitung 21 partisipan yang hadir, dan telah mempersiapkan kendaraanya masing-masing. Asal partisipan dengan latar beragam, pelajar SMU, pemandu wisata, hingga pegiat wisata alam. Selanjutnya Deni Sugandi, selaku pemandu geowista, melakukan brifing awal berkaitan dengan rencana kegiatan. Deni menjelaskan secara umum empat lokasi yang akan dikunjungi, diantaranya situs Palagan Culanagara atau situs peninggalanan Dipati Ukur di Ciparay, kemudian dilanjutkan ke titik tinggi antaran Bukit Culanagara dan Pasir Nini untuk menyaksikan dan itepretasi Cekungan Bandung, Danau Bandung Purba segmen timur, sekaligus memperlihatkan arah pergerakan pelarian dan persembunyian Dipati Ukur.

Penjelasan singkat selanjutnya adalah mengunjungi Kaldera Rakutak-Dogdog, di lapangan Berling, Pacet. Dari titik ini mengamati tafsir pembentukan kaldera, termasuk penjelasan penangkapan SM Kartosoewirjo di G. Geber, lereng sebelah utara puncak G. Rakukat. Stop terkahir berakhir di Situ Cisanti, hulu sungai Ci Tarum.

Pemberangkatan mulai pukul 8.30 WIB, diikuti oleh 21 orang menggunakan 20 motor dengan variasi jenis metik, trail hingga semi trail. Berangkat dari Kue Balok Haji Emo Ciparay, mengarah ke selatan menuju Gunung Leutik. Dari titik ini Deni menjelaskan posisi geografis Culanagara yang berada di titik tinggi, sehingga sangat tepat sebagai tempat pemantauan. Situs Culanagara dianggap sebagai titik komando atau pusat kendali Dipati Ukur, dalam perlariannya saat dikejar oleh tentara Mataram.

Gunung Bukitcula 1031 m dpl. merupakan perbukitan intrusi (terobosan), muncul dari zona lemah kelurusan sesar yang berah timur-barat. kelompok perbukitan ini menempati wilayah Bale Endah di sebelah barat, dan Ciparay di sebelah baratnya. Punggungan tersebut memilik puncak-puncak diantaranya Gunung Kromong 908 m dpl. Gunung Geulis 1151 m dpl., Gunung Pipisan 1071 m dpl, dan di sebelah timurnya adalah Gunung Bukitcula.

Secara geografis posisi Culanagara yang berada di sebelah utara, dari lereng Bukicula memiliki posisi strategis. Posisi tinggi tersebut bisa memantau ke arah utara secara terbuka, kemudian bagian selatan dibentengi oleh jajaran perbukitan Pakutandang-Bukicula-Pasirnini. Situs Culanagara dihidupi oleh Ci Rasea, sungai yang mengalir di sisis sebelah timur lereng Bukitcula, kemudian bertemu dengan Ci Tarum di Sumbersari Ciparay.

Dalam keterangan selanjutnya, disampaikan oleh Gangan Jatnika berkaitan dengan sejarah pelarian Dipati Ukur di sekitar Ciparay. Gangan menunjukan tiga lokasi yang disebutkan dalam beberapa naskah lama, seperti yang diuraikan dalam penelitiannya Suhardi Ekadjati yang menghimpun delapan sumber naskahl versi Galuh, Sukapura, Sumedang, Bandung, Talaga, Banten, Mataram dan Batavia.

Di situs Culanagara STOP 1, Gangan menjelaskan titik-titik pelarian Dipati Ukur segelah gagal menyerang Batavia. Kekalahan pasukannya membawa akibat penangkapannya karena gagal mengusir VOC di Jayakarta pada 1629. Sultan Mataram memerintahkan penangkapan pasukan Dipati Ukur untuk dibawa ke Mataram dan dijatuhi hukuman. Untuk menghindarai penangkapan tersebut, Dipati Ukur beserta sisa pasukannya yang setia bersembunyi di tiga titik, diantaranya di sebelah utara Cekungan Bandung, di Gunung Pangporang masuk ke wilayah Subang saat ini. Pelariann selanjutnya adalah ke arah selatan, di Culanagara, Ciparay yang berjarak 40 km dari posisi pertama. Sikap demikian dituliskan sebagai pembangkangan terhadap Mataram saat itu. Dipati Ukur mengambil sikap lebih baik berontak daripada mati dibunuh (Ekadjati, 53, 1982).

Di Culanagara inilah Dipati Ukur menyamar menjadi rakya biasa, kemudian menyembunyikan seluruh simbol kerajaannya di Pabuntelan atau saat ini masuk ke dalam wilayah desa Tenjonagara, Ciparay.

Dititik kunjungan berikutnya STOP 2, tepatnya di sekitar Cihonje atau di antara punggungan Bukit Culanagara dan Pasirnini. Di titik ini dijelaskan mengenai posisi pengamantan pasukan Dipati Ukur saat melihat pergerakan tentara Mataram yang mengejarnya. Di titik ini arah pandang terbuka ke arah utara, Cekungan Bandung bagian timur. Kemudian di sebelah selatannya adalah Gunung Malabar, jajaran punggungan  Gunung Kendeng-Papandayan dan Gunung Rakutak-Dogdog di dataran tinggin Pacet.

Selanjutnya perjalanan mengunjungi STOP ke-3 di sekitar lapangan Berling, Sukapura, Kertasari. Di lokasi ini dijelaskan sejarah pembentukan Kaldera Rakutak-Dogdog, merupakan bagian dari rangkaian gunungapi Papandayan-Kendeng-Rakutak/Dogdog. Berdasarkan morfologinya, Rakutak-Dogdog diperkirakan merupakan kawah yang berukuran lebih dari 2 km atau mendekati kelas kaldera. Bila ditarik dari sisi lereng sebelah utara dan selatan, kemudian ditarik garis imajiner, diperkirakan puncaknya mencapai ketinggian lebih dari 3500 m dpl. keucutu tersebut hacur dan dibongkar melalui mekanisme letusan besar, kemudian menyisakan gawir terjal yang bisa disaksikan saat ini.

Seperti yang disampaikan oleh Deni, Gunung Rakutak menyimpan sejarah perjalanan perjuangan RI. Di tempat tersebut menjadi lokasi persembunyian DI/TII yang dipimpin oleh Sekar Maridjan Kartosoewrijo. Pelarian tersebut berlangusung hampir 14 tahun, sejak proklamasi pendirian DI/TII 1949.

STOP ke-4 di Situ Cisanti, atau hulu Ci Tarum sekitar ketinggian 1500 m dpl. Terletak di lereng sebelah utara Gunung Wayang, masuk ke dalam administratif Neglawangi, Kertasari, Bandung. Hulu sungai terpanjang di Jawa Barat ini adalah himpunan dari tujuh sumber mata air di lereng gunung. Diantaranya mata air Cisanti, Cisadane, Cikawedukan, Citarum, Cihaniwung, Cikoleberes dan Cikahuripan.

Kegiatan ditutup dengan acara pengukuhan Pengurus Korwil Bandung Raya, dan pengukuhan anggota PGWI Angkatan I, melalui DIKLAT tangal 20-21 Februari 2021 lalu. (Deni Sugandi)

Penjelasan di perbukitan intrusi Bukit Cula, Bumiwangi, Ciparay
Partisipan bersama kuncen di tugu Culanagara, Gunungleutik

Catatan Geobaik#2 Cukang Rahong

Dimana bobolnya danau Bandung Purba bagian barat? premis inilah yang menjadi bekal rasa penasaran para peserta GEOBAIK2 CUKANG RAHONG. Aktivitas wisata bumi dan sejarah, dikemas dalam perjalanan menggunakan kendaraan roda dua.

Diselenggarakan oleh perkumpulan Pemandu Geowisata Indonesia/PGWI dan DPD HPI Jawa Barat, sebagai upaya mengenalkan wisata bumi kepada masyarakat melalui garapan GEOBAIK yang sudah berjalan untuk kegiatan ke-dua. Seperti kegiatan sebelumya, perjalanan ini menawarkan pengalaman dan  pengetahuan tentang kebumian dan sejarah yang dikemas dalam seri mengenal cekungan Bandung dan Ci Tarum.

Pada hari Sabtu, 30 Januari 2021, tepat satu jam setelah matahari terbit, partisipan telah berkumpul di SPBU Kota Baru Parahyangan. Beberapa peserta telah tiba lebih awal dan sebagian lagi datang sesuai waktu yang telah ditentukan. Seperti biasa, kegiatan dibuka  dengan pengantar rencana kegiatan. Deni selaku Pemandu Geowisata, sekaligus ketua Pemandu Geowisata Indonesia/PGWI membuka acara.

Brifing disampaikan mengenai safety dan persiapan perjalanan, dan latar belakang kegiatan GEOBAIK. Disampaikan bahwa kegiatan ini merupakan hasil kerjasama PGW Indonesia atau perhimpunan pemandu geowisata dan Himpunan Pramuwisata DPD Jawa Barat. sebelumnya telah dilaksanakan kegiatan GEOBAIK1, mengunjungi bobolnya Danau Bandung Purba segmen timur di Curug Jompong. Acara dibuka kemudian Dindin selaku komandan lapangan, dibantu kang Sobar menjelaskan alur pergerakan kendaraan peserta. Mengingat tiga lokasi yang akan dikunjungi cukup jauh. Menurut estimasi di google maps, total perjalanan menempuh waktu kurang lebih 2,5 jam atau sekitar 57 km.

Jumlah peserta yang bergabung 32 orang, menggunakan 24 motor roda dua, baik berboncengan maupun tidak. Diantaranya dalah pegiat wista, pemandu yang terbagung dengan Himpunan Pramuiwsata, praktisi wisata, youtuber konten kreator, pemilik usaha perjalanan wisata hingga peminat kebumian. Selain menyampaikan tentang kesehatan sesuai CHSE, peserta diingatkan lagi mengenai keselamatan dan keamanan dalam dan di lokasi kegiatan. Rombongan berangkat tepat pukul 7.30 wib, bertolak dari SPBU Kota Baru Parahyangan, menyusuri jalan desa segan Selajambe, Cimenteng Cisupan yang sudah masuk ke dalam wilayah Cipapat.

Pengamatan pertama diberikan di lokasi Cikande, Batujajar. Deni selaku pemandu geowisata memberikan intepretasi tentang bentang alam berkaitan dengan batas rendaman Danau Bandung Purba segmen barat. Dari titik tinggi Cikande, Deni mengajak peserta GEOBAIK membayangkan kembali saat cekungan Bandung barat direndam oleh danau, terbentuk oleh pembobolan danau purba bagian timur di Curug Jompong sekitar 16.000 tahun yang lalu (Dam dan Suparan 1996). Bila kembali memutar ulang sejarah, beberapa peneliiti merujuk bahwa cekungan tersebut terbentuk setidaknya pada Jaman Kuarter Tua (Katili, 1963) saat bergesernya aktivitas vulkanik dari selatan ke sebelah utara. Sedangkan pendapat lainya menyatakan bahwa cekungan Bandung merupakan inter-mountain basin atau cekungan antara pegunungan. Pendapat lain bahkan menyatakan bahwa cekugnan tersebut bisa saja adalah sisa kaldera di masa lalu.

Dari titik ini terlihat jajaran perbukitan intrusi pemantang tengah Lagadar-Selacau, kemudian ke arah selatannya dipagari oleh perbukitan kerucut kelompok Gunung Soreang. Kelompok kerucut tersebut ditafsirkan sebagai kaldera yang pernah meletus besar, kemudian seiring waktu lapuk dan tererosi kuat. Bentuk asalnya sudah hilang, sehingga pusat letusannya sudah tidak ada. Namun dalam intepretasi topografi terlihat lingkar kalderanya, yaitu Gunung Lumbung-Mukapayung. Dalam pemetaan vulkanostratigrafi, dinyatakan bahwa umur batuan Gunungapi Soreang adalah Tersier, atau sekitar 4 juta tahun yang lalu (Bronto, 2006).

Perjalanan dilanjutkan menuju Baranangsiang, Saguling menuju dasar bendungan Saguling. Romobongan diajak ke tempat di antara dua celah sempit yang dipotong oleh Ci Tarum, tepatnya di spill way bendungan. Dari lokasi ini bisa melihat langsung struktur dam Saguling yang ditempatkan diantara dua celah sempit, dengan lebar kurang lebih 300 meter. Celah sempit terebut merupakan aliran Ci Tarum yang bergerak ke arah utara, kemudian ditutup dam untuk menaikan volume air waduk saguling. Bentuk bangunan tersebut adalah miring ke arah luar, dengan tujuan menahan beban dan gaya volume air waduk.

Bendungan tersebut didirikan diantara batuan keras, berupa struktur breksi Formasi Saguling. tinggi struktur bendungan adalah 99 meter dengan tipe urugan batua inti. Tingginya mencapai 650 meter dan mampu menampung volume air hingga 2.79 juta m3. Sumber waduk Saguling berasal dari tangkapan Ci Tarum yang berhulu di Cisanti, kemudian dialirkan melalui pipa pesat di segmen PLTA Saguling yang bersebelahan dengan Sanghyang Tikoro. Total jarak perjalanan pengaliran air dari waduk ke turbin PLTA Saguling, kurang lebih 5 km, dengan memanfaatkan gravitasi. Turbin kemudian digerakan oleh dorongan aliran air, dan menghasilkan listrik untuk kebutuhan jaringan listrik nasional.

Setelah mendapatkan penjelasan, peserta kemudian bergerak mengunjungi stop site berikutnya ke Cukang Ragong, Desa Rahong, Baranangsiang. Petualangan seru selanjutnya disuguhkan dalam kegiatan treking ke lokasi Cukang Rahong, berada di dasar lembah. Melalui bantuan pemandu lokal, peserta diarahkan menggunakan jalur landai hingga curam, menuju jalan setapak yang mengarah ke Curug Hawu.

Jalan setapak yang baru saja dibuka oleh warga Rahong, mengantarkan rombongan kepengalaman yang menarik. Tanah merah hasil pelapukan kemudian diguyur hujan semalam, menyebabkan perlu ekstra hati-hati. Mulai dari landai hingga curam, menapaki jalan setapak yang telah dibuat warga menggunakan sengkedan bambu yang dipasang memalang. Pemasngan bambu tersebut cukup membatu pijakan kaki, sehingga memudahkan melangkah bagi peserta yang tidak terlalu berpengalaman berjalan kaki melalui tanah licin. Beberapa peserta terpaksa harus meminjam sepatu warga, mengingat sepatu yang digunakannya tidak mampu melahap jalur setapak yang licin. Warga di kampung ini biasa menggunakan sepatu dengan bentuk seperti sepatu bola, memiliki bagian runcing di bagain bawah yang berguna mencengkram tanah. “Sepatu yang mahal, kalah sama sepatu kampung” kata seorang warga yang turut ikut dalam rombongan.

Dari lokasi Curug Hawu kemudian berbelok ke arah tenggara, menyusuri Ci Tarum bagian Saguling hulu menuju tempat bobolnya Danau Bandung Purba. Bagian seru petualangan dimulai dengan menelusuri dasar lembah, mengikuti Ci Tarum lama ke arah hulu. Diperlukan waktu kurang lebih 1,5 jam dengan jarak kurang lebih 1.3 km.

Perjalanan disuguhi oleh pemandangan lembah yang menawan, tebing terjal nyaris tegak sempurna yang menandakan proses pelapukan dan erosi yang sangat kuat kemudian digerus oleh Ci Tarum. Tinggi tebing tersebut kurang lebih 30 hingga 50 meter, disusun oleh batuan fragmental yang tersemenkan oleh tufaan dan batupasir. Dalam keterangan Martodjojo (1984) merupakan Formasi Saguling, untuk menamai satuan yang sebelumnya adalah Formasi Citarum Bagian Atas yang ditulis oleh Sujatmiko (1972). Disusun berupa breksi berselang-seling dengan batupasir tufaaan (Brahmantyo, 2008). Diendapkan di lingkungan laut dalam, merupakan endapa turbidit pada kipas bagian atas, dan umurnya antara Akhir Miosen Awal-Miosen Tengah, atau sekitar 22, 5 juta hingga 15 juta tahun yang lalu.

Meskipun jarak tidak terlalu jauh antara curug Hawu dan Cukang Rahong, namun diperlukan waktu satu jam lebih. Jalur sangat menantang, karena didominasi oleh bongkah-bongkah jatuhan batu dalam ukuran sebesar bola sepak hingga mobil avanza. Kondisi demikian menylitkan peserta untuk menapaki setiap jengkal perjalanan, karena harus menaiki bongkah-bongkah batuan tersebut, baik dengan cara memanjat hingga harus merayap karena cukup licin. Bongkah-bongkah batu tersebut melampar sepanjang sungai, berasal dari hasi transporter atau dibawah oleh arus air yang deras, kemudian saling terkunci akibat bobotnya.

Bentukan-bentukan tersebut menjadi menarik, karena digerakan oleh kekuatan alam. Diantaranya hadir beberapa potholes, berupa seperti sumur dengan diameter antara 30 cm hingga 90 cm dengan variasi kedalaman yang beragam. Terbentuk oleh arus yang memutar membawa kerikil, sehingga mampu mengerosi batuan hingga terentuk ceruk-ceruk dalam.

Di Cukang Rahong peserta dihdapkan pada dinding terjal dan tegak. Cukang dalam bahasa Sunda berarti jembatan bambu yang dibangun diantara celah yang tidak terlalu lebar. Sedangkan rahong merujuk kepada sungai deras berbatu dan terjal. Di keterangan masyarakah kampung Rahong, jembatan tersebut terbuat dari bambu, dengan panjang tidak lebih dari 10 meter kemudian disusun secara sederhana menjadi titian. Konstruksinya sederhana, menggunakan struktur silang segitiga, untuk memperkuat dan mampu meanahan beban manusia yang melintas. Dalam foto lama yang bersumber dari Bandoeng en haar Hoogvlakt, sekitar tahun 1950-an, terlihat jembatan bambu yang dipasang di atas tebing terjal tersebut. Namun dalam keterangan warga, jembatan tersebut tidak lagi digunkan karena digantikan jembatan yang lebih baik di sekitar Cikahuripan.

Jembatan tersebut sangat dibutuhkan warga saat itu, sebagai sarana penyebrangan untuk kegiatan kerja ke ladang maupun lainya, menghubungkan antara Baranangsiang Cianjur ke Batujajar, Bandung. Dari sisi geologi, Cukang Rahong menjadi saksi bobolnya danau Bandung purba bagian barat. Semenjak dimulai proses pengeringan kurang lebih 16.000 tahun yang lalu, dinding breksi tesebut dierosi Ci Tarum. Proses yang sangat lama tersebut, akhirnya mampu membobol perbukitan antara Puncak Larang dan Pasir Kiara, mealui proses erosi ke hulu (brahmantyo, 2008).

Gerimis datang lagi sebagai tanda untuk menutup sesi kunjungan di Cukang Rahong. Peserta kemudian kembali ke lokasi pertemuan di kampung Rahong, Baranangsiang untuk menutup kegiatan hari ini. Ada dua lokasi yang tidak bisa dikunjungi, mengingat kondisi waktu dan alam yang mengharuskan menutup kegiatan di Cukang Rahong. Beberapa usulan dan umpan balik dari peserta pada saat penutupan, menyarankan agar kegiatan ini memperhatikan lebih mengenai safety, karena kegiatan petualang ini memiliki hazzard yang sangat tinggi. Seperti treking diantara bongkah-bongkah batu, diwajibkan menggunakan helm sebagai upaya mitigasi kecelakaan di lapangan. Selain itu sangatlah perlu didampingi tim medis, atau pengetahuan dasar bantuan gawat darurat dalam perjalanan ini, mengingat ancaman bahaya berkendara di jalan raya atau semi country road jalan berbatu dan licin. Selebihnya para peserta GEOBAIK2 merasa tertantang dan menikmati setiap langkah kegiatan ini, sebagai alternatif wisata dikala pandemi, untuk terus menggerakan aktivitas sesuai CHSE. (Deni Sugandi)

Brifing rencana perjalann dan safety selama kegiatan di Kota Baru Parahyangan
Partisipan menapaki breksi bobolnya Ci Tarum segmen Cukang Rahong, Saguling
Bongkah-bongkrah breksi yang tererosi oleh aliran sungai

Catatan Geobaik#1 Jompong

Dimulai pagi hari pada hari Sabtu, 9 Januari 2020, dimulai pada masa PPKM diperketat lagi. Kegiatan dilaksanakan menggunakan sarana kendaraan roda dua. Kegiatan dibuka dilokasi pertemuan sekitar SPBU Pasteur kemudian bergerak ke titik pertemuan ke-dua disekitar perbukitan Lagadar, Margaasih, Kabupaten Bandung Barat.

Deni Sugandi selaku pemandu geowisata, membuka kegiatan ini dengan memberikan penjelasan rencana perjalanan Geobaik#1. Perjalan wisata bumi ini menapaki kembali sejarah Danau Bandung Purba, melalui jejak pembobolan Ci Tarum di Curug Jompong dan menemukan kembali batas Danau Purba Bandung disebelah Bandung bagian barat.

Kegiatan diikuti oleh lebih dari 12 orang, berasal dari pegiat wisata, mahasiswa, praktisi wisata hingga pemandu wisata. Geobaol adalah kegiatan wisata bumi, untuk mengupas sejarah alam, hasil pembentukan alam hingga proses yang masih berlansung hingga kini. Dikemas dalam seri petulangan menggunanakan media roda dua bermotor (motor), diinisiasi oleh perkumpulan Pemandu Geowisata Indonesia.

Bandung merupakan kota yang muncul diatas gelombang air (danau). Seperti logo lama kota Bandung, dituliskan Ex Undis Sol yang berarti mentari muncul di atas gelombang (air), dicanangkan pada saat pendirian Bandung menjadi gemente atau setinggkat kotamadya pada 1 April 1906. Menandakan kota yang berdaulat, mampu mengurus dirinya sendiri secara administratif dan pemnafaatan sumber daya alama.

Penyebutan badan air tersebut diusulkan oleh walikota Bandung pertama, B. Coops bersama Dewan Kota. Usulan tersebut didasari oleh beberapa pendapat ahli geologi pada saat itu, bahwa cekungan Bandung pernah digenangi air.

Genangan air tersebut adalah Danau Bandung Purba, keberadaanya kini telah hilang karena telah surut. Setidaknya dibutuhkan waktu 16 ribu tahun lebih menjadi kering, kemudian ditempati peradaban. Cekungan Bandung ditaksir terbentuk pada Kuarte Akhir (Katili, 1963), akibat pergeseran aktivitas volkanik dari selatan ke utara. Akibatnya dataran tinggi Bandung dikelilingi oleh perbukitan dan gunungapi Kuarter di utara dan selatan, dan batuan karbonat umur Tersier di sebelah barat, yaitu perbukitan karst Citatah.

Bukti penggenangan cekungan tersebut, bisa dilihat dari bukti endapan danau (lakustrin). Terdiri dari lapisan lempung lunak, dan pasir padat dengan ketebalan yang bervariasi. Batuan dasarnya adalah lapisan batuan volkani Tersier (Dam, 1990). Dalam data pengeborannya, menunjukan pembentukan danau tersebut terjadi sekitar 126.000 tahun yang lalu, berupa batuan klastika gunungapi dan sedimen danau.

Bukti sejarahnya pengeringannya kemudian menjadi tema di kegiatan pertama Geobaik, mencari titik bobolnya Danau Bandung Purba. Perjalanan pertama diarahkan ke situs tapakbumi Gunung Lagadar 897 m dpl. Terletak di lereng sebelah timur, dikawasan perumahan Pasanggrahan Lagadar, Margaasih, Kabupaten Bandung. Terlihat singkapan yang baik berupa hasil galian kegiatan penambangan batu-pasir. Disusun oleh batuan beku berkomposisi dasitik, dicirikan dengan warna putih sedikit abu-abu dan telah lapuk. Berupa bongkah, kerikil hingga tuf. Dari lokasi ini bisa melihat bukti batuan intrusi berumur 4 juta tahun yang lalu.

Lokasi kunjungan ke-dua adalah Curug Jompong. Merupakan air terjun dialiran Ci Tarum, dan terletak persis di dua kabupaten, Bandung Barat dan Kabupaten Bandung. Tepatnya berada di Pataruman, Cihampelas, Kabupaten Bandung. sedikit ke arah hilir, masuk ke wilayah Selacau, Batujajar, Kabupaten Bandung Barat. Merupakan segmen Ci Tarum bagian barat, mengerosi perbukitan intrusi batuan beku.

Saat ini alirannya surut karena telah dialihkan ke terowongan kerbar Nanjung. Sehigga bila berkesempatan hadir pada saat kemarau, menyingkapkan celah-celah dalam hasil erosi air. Bentuknya bermacam-macam, seperti kolam-kolam yang terbentuk oleh kekuatan arus air, hingga ditemuinya beberapa pothole. Bentukan alam tersebut menandakan bahwa arus Ci Tarum disegmen Curug Jompong deras, dengan debit air tinggi.

Kegiatan ditutup di dataran tinggi Bukit Gantole Lintang Panggun, Cililin. Dari titik ini partisipan diajak berdiskusi, mengupas kembali hasil kunjungan ke Lagadar dan Curug Jompong. Kegiatan ditutup tepat pukul 16.00 WIB, setelah beberapa saat berteduh di sekretariat Bukit Gantole. Ditutup sambil menyantap hidangan di Rumah Makan Manapa, Cihampelas, Cililin.

Peserta Geobaik#1 Jompong di jembatan Nanjung
Penjelasan di depan terowongan kembar Nanjung
Batuan intrusi umur 4 juta tahun, dierosi Ci Tarum
Berbagi pengalaman bersama opah Felix di Curug Jompong
Interpretasi cekungan Bandung di Bukit Gantole Cililin