Kaki gunung sebelah timur Tangkubanparahu, memiliki cerita bumi dan sejarah sistem pertahanan militer perang dunia ke-2. Jalan dari utara ke selatan, penghubung Subang-Bandung. Jalur sempit yang mengikut tekuk lereng G. Tangkubanparahu, dan berkelak-kelok menanjak mengikuti kontur perbukitan.
Lerengnnya disusun piroklastik, dan lava membentuk perbukitan yang melandai ke arah timur. Gunungapi ini mulai membangun dirinya sejak 90 ribu tahun yang lalu, menghasilkan aliran lava ke arah Ciater. Terlihat tiga perbukitan intrusi yang kini menjadi menara pandang perkebunan teh Ciater. Ditafsir gunungapi kerucut sinder, umurnya lebih tua dari yang menjadi saksi pembentukan G. Tangkubanparahu.
Disebelah baratnya, dilalui jalan Raya Subang-Bandung. Tentara Kerajaan Belanda (KNIL), membut sistem pertahanan yang memanfaatkan celah sempit Cingasaahan. Membangun bungker (pilbox), untuk menahan laju pasukan Jepang yang masuk melalui Kalijati Subang. Setelah dua hari pertempuran hebat, 7 Maret 1942 KNIL menyerah dan Jepang mengusai Bandung. Mengakhiri kekuasaaan kolonial di Jawa dan sebagain besar Indonesia.
Mari temui jejak letusan G. Tangkubanparahu, perbukitan intrusi G. Malang-Palasari. Peran kontur tekuk lereng yang digunakan sebagai basis pertahanan militer KNIL Belanda di sekitar Cipangasahan, Ciater.
Hari/Tanggal Sabtu, 3 Agustus 2024
Waktu 07.00 WIB sd. 13.00 WIB
Titik Pertemuan Gerbang Tangkubanparahu https://maps.app.goo.gl/kU5o14fb8dMcvCqv9
Syarat dan ketentuan Kegiatan probono, bersifat mandiri (transport, logistik) dipersiapkan sendiri. Disarankan menggunakan motor/roda dua laik jalan.
Tentang Geourban Diinisiasi oleh PGWI, menjalin jejaring lokal, menggali tafsir tapakbumi dan syiar geowisata.
Telah dilaksanakan kegiatan dengan tema geowisata, di aula ruang publik, kantor Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Jawa Barat (7/6, 2024). Pertemuan ini difasilitasi oleh Bidang Destinasi Pariwisata, melalui kehadiran langsung Kepala Bidang Destinasi Pariwisata, Disparbud Jabar yaitu ibu Ani Widianti. Acara dimulai pukul 16.30 WIB hingga 18.00 WIB. Di tempat yang sama dalam waktu sebelumnya, telah di launching oleh Kadis Parbud Jabar. Pelatihan dan Sertifikasi Pemandu Geowisata di lima Kabupten/Kota Jawa Barat, mulai tanggal 19 Juni di Kab. Pangandaran hingga tutup bulan.
Dalam kesempatan ini hadir para narasumber, mewakili para penulis geowisata. Diantaranya hadir Deni Sugandi, penulis buku Kaldera Sunda: Jejak Plinian di Pringan (2024), Gangan Jatnika penulis buku Lingkung Gunung Bandung#1 (2024). Sebagai penanggap diskusi adalah hadir T Bachtiar, penulis dan pegiat geowisata. Kegiatan ini sebagai upaya sosialisasi geowisata Jawa Barat, yang diinisiasi oleh asosiasi Pemandun Geowisata Indonesia (PGWI), bekerja sama dengan Disparbud Jawa Barat.
Kegiatan dilaksanakan di ruang publik, kantor Disparbud Jawa Barat. Dihadiri oleh lebih dari 50 orang, dari unsur para pegiat, pemandu, pengelola destinasi wisata hingga dari kampus.
Diskusi dibuka oleh Deni Sugandi selaku moderator, memberikan tema atau batasan diskusi tentang geliat geowisata di Jawa Barat. Melalui penerbitan karya intelektual penyusunan buku, tentang geowisata diseputaran Cekungan Bandung. Geowisata adalah aktifitas wisata yang berlandaskan tentang sejarah bumi, fitur bentang alam, hingga proses dinamik bumi yang sedang terjadi kini. Deni menambahkan bahwa saat ini geowisata telah memiliki nilai ekonomi, melalui pemberdayaan lokal sebagai pemilik wilayah.
Deni memberikan gambaran tentang buku Kaldera Sunda, sebagai bukti letusan gunungapi. Melalui buku tersebut, Deni menelusuri kembali jejak-jejak bukti material letusan.
Dalam pemaparan singkat, T Bachtiar menyampaikan bahwa narasi tentang kebumian telah banyak ditulis. Baik melalui penerbitan buku, artikel, hingga aktivitas yang bertemakan tentang geowisata. Narasi-narasi tersebut telah dibunyikan oleh para pegiat, seperti yang dilakukan Bachtiar melalui komunitas Geotrek Matabumi.
Menurut Bachtiar, narasi tersebut sebagai dasar dalam kegiatan geowisata. Digunakan oleh para pemandu, untuk mempresentasikan bentang alam, hingga proses bumi yang terus berlangsung hingga kini. Sehingga Bachtiar menegaskan bahwa pemerintah, melalui dinas pariwisata tidak perlu repot-repot membuat kajian karena data sudah disediakan oleh pegiat dan komunitas geowisata.
Diskusi dilanjutkan oleh paparan singkat dari Kabid Destinasi Pariwisata, yang mengatakan begitu pentingnya pengelolaan sampah di destinasi geowisata. Ibu Ani Widiani tidaklah begitu setuju dengan objek wisata dadakan, seperti pengemasan wisata melalui bentuk platform yang dihiasi oleh tulisan-tulisan ataupun bentuk yang kurang mendukung. Karena menut Ani, alam sudah memberikan keindahannya sehingga di objek wisata tidak perlu lagi dipasang seperti bentuk kupu-kupu atau lain sebagainya. Begitu juga dengan pengelolaan di destinasi taman bumi (Geopark) di Jawa Barat, Nia menegaskan perlunya pengelolaan dan perencanaan pembangunan destinasi yang baik. “Saya dulu bertugas di Bappeda Jabar, sehingga tahu betul pentingnya pengelolaan destinasi” tegasnya.
Penyaji berikutnya mengetengahkan gunung-gunung yang melingkupi Cekungan Bandung. Ganggan Jatnika menguraikan upaya menulis, melalui pengumpulan data, hingga mengkompilasinya menjadi satu buku. Buku ini merupakan edisi pertama yang memuat sebagian gunung yang ada di luar lingkar Cekungan Bandung, sebutannya.
Sebagai penutup dalam diskusi, Deni memberikan catatan bahwa perlu penggalian narasi-narasi yang berkaitan dengan geowisata. Baik dilakukan perorangan, komunitas hingga perlunya dukungan lembaga khususnya pemerintahan. Selebihnya adalah perlunya dukungan pemerintah, agar para pegiat geowisata ini bisa diberikan tempat untuk mendorong pergerakan ekonomi melalui wisata berbasis kebumian.
Kegiatan geowisata Bandung bagian selatan, masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bandung ini diinisiasi oleh perkumpulan Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI), Dewan Pengurus Wilayah Bandung Raya. Kegiatan ini terbuka untuk umum yang menaruh minat khusus dengan ilmu kebumian populer, sejarah budaya. Dilaksanakan secara berkala, dalam rangkain aktiviasi jejaring, menggali potensi geowisata Cekungan Bandung dan sarana belajar kepemanduan di PGWI.
Pelaksanaan geowisata ke Gunung Padang Ciwidey, dibuka terlebi dahulu dengan kegiatan daring (19/7, 2021) melalui pertemuan virtual. Kegiatan ini sebagai sarana penjelasan umum, hingga rencana teknis pemberangkatan. Materi yang disampaikan oleh Deni Sugandi, selaku pemandu geowisata, bersama narasumber lainya. Berkaitan sejarah disampaikan oleh Gangan Jatnika, dan Sodikin Kurdi. Pertemuan awal ini berguna untuk persiapan kegiatan lapangan, termasuk apa saja dan bagaimana kegitan geowisata ke Bandung selatan ini dilaksanakan.
Mengambil titik pertemuan di sekitar Soreang (21/7, 201). Dihadiri oleh 21 orang peserta dengan latar belakang yang beragam. Komunitas pegiat wisata, guru geografi, komunitas budaya Sunda, pemandu geowisata hingga komunitas jalan-jalan di Bandung. Kegiatan dimulai pukul 07.00 WIB, menggunakan modra transpotasi roda dua, menuju statsiun Ciwidey. Bangunan cagar budaya ini merupakan bukti kejayaan jalur keretaapi Soreng-Ciwidey yang dibangun pemerintah kolonial, dalam upayanya mempersingkat jarak distribusi hasil perkebunan dari Ciwidey ke kota Bandung. Dibuka 1924 melalui beberapa statsiun, mengikuti kontur Ci Widey yang berkelok-kelok. Dalam pembangunan jalur kereta api pada masa itu, menuntut kemampuan teknis, diantaranya adalah teknik yang berkaitan dengan pembuatan struktru jembatan besi. Kemampuan rekayasa teknis ilmu sipil kolonial, hingga kini masih bisa disaksikan di lokasi kunjungan ke-dua.
Jembatan Rancagoong yang membentang barat-timur, melewati Ci Widey dengan panjang kurang lebih 100 meter. Dibangun di atas struktur beton dengan menggunakan rangka besi melengkung. Dibangun sebagai sarana penghubung perkebunan dengan jalur distribusi perdagangan di Bandung selatan. Namun pelayanan jasa transportasi kereta api harus tutup awal tahun 80-an, karena kalah bersaing dengan kendaraan roda empat yang semakin menggeliat. Karena tidak bisa lagi menutup biaya operasional, jalur kereta api Soreang-Ciwidwey akhirnya ditutup.
Kunjungan berikutnya adalah ke Gunung Padang, di Rawabogo, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung Barat. Wilayah tinggian perbukitan yang dikelilingi oleh pohon tegak pinus, kemudiand dimanfaatkan oleh masyarakat, melalui pengelolaan tani mandiri perkebunan kopi. Wilayahnya berbatasan antara Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung. Sejak penciptaan daratan Jawa bagian barat 30 juta tyl, (Gunung) Nagara Padang Rawabogo di Ciwidey hadir belakangan. Berupa intrusi batuan beku, sekitar Plistosen Akhir atau sekitar 1.8 juta tyl. Saat ini bongkah-bongkah batuan lava bertebaran dan lapuk berwujud ragam bentuk, menata wajah perbukitan ini menjadi wilayah sakral, tempat bersemayamnya sejarah Sunda.
Deni Sugandi dan Zarindra memberikan penjelasan dari sisi fisik, bahwa perbukitan Gunung Padang merupakan sebuah tubuh batuan beku yang mengalami pelapukan. Dicirikan dengan bongkah-bongkah batuan yang menempati wilayah sebelah timur, dengan bentuknya yang menjulang tinggi. Kemudian di bagian tengah punggungan perbukitan ini, didapati bongkah-bongkah batu yang menyerupai kepala binatang melata hingga bentuk mamalia besar seperti gajah. Acara ditutup dengan makan siang bersama, bekal yang sebelumnya telah dibawa dari rumah masing-masing. Kegiatan Geourban#1 ini adalah berupaya menyampaikan pesan, potensi wisata bumi dan sejarah berdampingan. Langkah selanjutnya mengaktivasi kegiatan wisata kebumian dan budaya melalui pengemasan paket wisata yang berkelanjutan, termasuk mendorong warga lokal sebagai pemilik wilayah, memiliki porsi peningkatan ekonomi melalui kegaitan pariwisata alam.