Bertepatan dengan perayaan hari raya Imlek, biasanya diasosiasikan dengan langit runtuh melalui bulir-bulir air hujan. Mitos demikian dilalui oleh para partisipan Geourban, menapaki kembali peradaban budaya Sunda abad ke-16 akhir di Priangan timur. Kegiatan dilaksanakan di penutup bulan, tanggal 29 Januari 2025. Merupakan aktivitas menyibak alam dan budaya ke-31, melalui aktivitas jalan-jalan wisata bumi. Kegiatan yang diinisiasi oleh Asosiasi Pemandu Geowisata Indonesia, dengan tujuan membuat jejaring dan mengungkap narasi lokal yang berkaitan dengan wisata bumi.
Diikuti oleh para pegiat konten, wisata dan fotografer berangkat ke bagian timur Bandung. Tepatnya sekitar Kabupaten Sumedang. Moda transportasi sepenuhnya menggunakan kendaraan roda dua, untuk memudahkan jangkauan hingga daya jelajah luas. Terpenting adalah kendaraaan ekonomis yang mampu diandalkan, dimiliki semua orang. Pengelolaan perjalanan seperti ini menjadi cara yang paling efektif, menghindari pergerakan perjalanan yang sering terkendala akibat saling tunggu.
Tema kegiatannya adalah mengupas tentang ruas Jalan Raya Pos saat penguasaan Daendels, kemudian menapaki kembali jaringan jalur kereta api Rancaekek-Tanjungsari di segmen Jatinangor dan Tanjungsari. Dilanjutkan melihat kembali sejarah Kerajaan Sumedanglarang abad ke-16 akhir, di masa pemerintahan Geusan Ulun antara 1579 hingga 1601. Melalui posisi pusat pemerintahan kerajaan Sumedanglarang, pada saat peralihan dari Pangeran Santri ke Geusan Ulun. Rentang waktu antara 1530 hingga 1601, diakhir penguasaan raja terakhir Sumedang Larang sebelum dilebur di bawah penguasaan Mataram.
**
Jelang pagi, langit sepenuhnya dikuasai awan tebal. Berkesan mendung, sehingga cahaya matahari hadir di balik bayang awan. Sedari malam udaranya lembab, seperti hujan akan menguasai sepanjang hari. Tetapi tidak menjadi halangan, partisipan hadir sesuai waktu yang telah dinjanjikan. Titik temu di SPBU Cinunuk, Ujungberung. Setelah brifing singkat, kemudian bergeraka ke Jatinangor, masuk ke wilayah Kabupaten Sumedang.
Selepas kampus Universitas Padjadjaaran, dilanjutkan ke arah timur, menapaki jalan raya yang diusahakan Daendels 215 tahun yang lalu. Sekitar 300 meter berbelok ke arah utara melalui jalan kampung sekitar Cikuda. Jalanannya mulai menyempit, melalui labirin rumah-rumah warga. Aksesnya merupakan gang sempit yang diperkirakan merupakan jalur rel kereta api di masa lalu. Keberadaan relnya sudah tidak ditemui, karena sebagian besar telah ditutup oleh rumah hunian warga atau sudah hilang. Dilanjutkan ke arah utara, sedikit terjal dan berbelok tajam hingga tiba di mulut jembatan. Berupa struktur bangunan yang terlihat masih kokoh, hingga mampu melampaui jamannya. Masyarakat menyebutnya adalah jembatan Cincin atau jembatan Cikuda, karena bentuk lingkar penyangga bagian bawahnya melengkung. Jembatan ini adalah sisa kejayaan industri transportasi kereta api di masa Kolonial, menghubungkan Rancaekek ke Tanjungsari, Sumedang.
Jembatan kokoh yang disangga oleh kolom-kolom menancap di bawah, mengangkangi Ci Kuda, sungai yang berhulu di lereng tenggara G. Manglayang. Di bawahnya ditempati ladang dan sawah warga, kemudian diutaranya adalah kompleks makam tua. Penampilannya megah dan masih bertahan hingga kini. Keberadaanya bersaing dengan Apartemen yang begitu angkuh menutup arah pemandangan G. Geulis-Jarian. Jembatan penghubung Jatinangor-Cikuda ini terletak di Desa Hegarmanah, Kabupaten Sumedang. Merupakan bagian dari jaringan kerja Staat Spoorwagen Verenigde Spoorwegbedrijf, sudah hadir 1918. Saat ini dimanfaatkan sebagai sarana lintasan warga, memotong jalur dari Cikuda ke kampus UNPAD.
Untuk menuntaskan telusur jaringan rel kereta api segmen Jatinangor, dilanjutkan mengunjungi stasiun terakhir di kota Tanjungsari. Lokasinya berada di Tanjungsari, atau sekitar 5 km dari jembatan Cikuda. Keberadaan stasiun in telah berubah menjadi sarana ruang pertemuan umum, namun bentuk dan struktur bangunannya tidak berubah.
Jaringan rel kereta api ini digunakan sebagai sarana angkut hasil perkebunan, dari kawasan perkebunan Tanjungsari, hasi karet Jatinangor, Cijeruk yang dikirim ke Bandung melalui stasiun Rancaekek. Melewati tiga halteu (stasiun), Lebakjati, Warungkalde hingga berakhir di Rancaekek. Diperkirakan jalur ini mati seiring dengan kedatangan Jepang pada 1942, mengangkut batang besi rel untuk kebutuhan perang.
Dilanjutkan ke arah timur, bertandang ke struktur bangunan yang berbentuk atap melengkung, dan memanjang arah timur barat. Panjang struktur tersebut sekitar 12 meter, lebar lebih dari 4 meter. Hanya memiliki satu pintu, lebar 1,5 meter dengan tinggi 2 meter lebih. Sekilas tampak seperti bekas gudang, namun bila dilihat secara detail berkesan memiliki fungsi lain. Diperkirakan merupakan bagian dari sistem pertahanan militer. Berada di jalur raya Tanjungsari, sekitar 300 meter ke arah selatan. Keberadaan struktur bangunan ini mirip dengan bentuk bunker, biasa dipergunakan dalam sistem pertahanan militer.
Mengingat penting nya jalur Sumedang-Bandung, kemungkinan merupakan sistem pertahanan militer. Digunakan sebagai tempat berlindung dari serangan udara, pada saat memasuki perang Asia Pasifik. Seperti yang telah diungkap oleh beberapa ahli sejarah militer, Sumedang memiliki perang sebagai pertahanan militer. Sebagai buffer zone, atau zona penyangga serangan musuh dari arah timur.
Keberadaan Tanjungsari,merupakan sub pertahanan Hindia Belanda. Sehingga jauh sebelum Hindia Belanda berkuasa, pada 25 September 181, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels merilis surat. Didalamnya adalah pemindahan dua ibukota, Kabupaten Bandung dari Krapyak, dialihkan 11 km ke arah utara. menempati posisi alun-alun kota Bandung saat ini. an Kabupaten ke-dua yang digeser adalah Parakanmuncang yang berada di Tarikolot Girang Cicalengka, sesuai dengan keterangan R.A. Kern. Digeser ke Andawadak berlokasi di Ciluluk, sebelah timur Tanjungsari.
Perjalanan dilanjutkan ke arah timur, memasuki sekitar Cadas Pangeran. Selepas Cigendel, ditandai dengan hutan pinus merkusii, jalannya bercabang dua. Satu mengarah ke utara, disebut jalan atas, dan satu lagi mengikuti gawir terjal disebut jalan bawah. Dua jalur tersebut kemudian bersatu kembali di sekitar Ciherang, setelah menempuh panjang sekitar 1,7 km.
Mengambil jalan atas, jelang turun dipercabangan Ciherang didapati prasasti. Disematkan pada dinding tegak, pada batuan breksi vulkanik. Isinya menyebutkan nama yang bertanggung jawab pembangunan Jalan Raya Pos segmen Cadas Pangeran, dan durasi waktu pengerjaan. Dengan demikian diperkirakan jalan atas ini merupakan jalur awal yang dikerjakan 1811 sampai 1812. Kemudian seratus tahun kemudian, dibuka jalur bawah. Dengan alasan untuk menghindari tanjakan dan turunan terjal, sehingga awal tahun 90-an ditingkatkan dengan teknik kantilever, sistem jembatan gantung.
Hanjuang dan Konflik Sumedang dengan Cirebon
Jelang siang, partisipan tiba di Sumedang Utara, tepatnya di Situs Pohon Hanjuang. Peninggalan bersejarah berkaitan dengan sepenggal cerita Sumedang Larang. Menurut juru pelihara Abah Apud, tahun 2020 kondisinya tidak terawat. Sehingga setelah dipercaya bertugas memelihara dan melayani kunjungan, Apud (80 tahun) sedikit demi sedikit menata menjadi lebih baik. Keberadaanya tidak dijelaskan apakah situs ini dikelola melalui dana bantuan pemerintah, atau yayasan. Namun keberadaan situs ini menjadi penting, untuk mengaitkan dengan perjalanan kerajaan Sumedang di masa lalu.
Di dalam ruangan terbuka tanpa atap ukuran 4 x 5 meter, didapati dua batang pohon Hanjuang berdaun warna hijau. Ditempatkan di salah satu sudut ruangan, dibagian tengah merapat pada dinding di bagian barat. Ditata sedemikian rupa, dengan batas menggunakan batubata yang disusun, kemudian ditutup oleh batu. Dengan demikian keberadaannya menjadi perhatian utama, karena di setiap sisi ruangan ditanam Hanjuang dengan daun berwarna merah.
Belum bisa dipastikan, apakah pohon Hanjuang tersebut merupakan hasil dari pohon yang ditanam oleh Jayaperkasa. Bila keterangan papan informasi menuliskan pohon hanjuang bersejaran ditanam oleh Sang Hyang Hawu, atau disebut juga Mbah Jayaperkosa (beberapa sumber ditulis Jaya Perkasa, Jaya Prekosa), kurang lebih 1585. Maka umur pohon tersebut hampir 440 tahun dimasa kini. Bisa jadi pohon tersebut ditanam ulang, karena dalam rentang waktu yang sangat panjang tersebut, tergelar banyak peristiwa bersejarah yang menata wajah Priangan, khususnya Sumedang. Baik dalam kondisi pusat kota yang berpindah-pindah, penguasaan VOC, kolonial Belanda, hingga perang kemerdekaan Indonesia. Jadi bisa saja sebatang pohon tersebut menjadi abai, dan tidak lagi mendapatkan perhatian.
Situs sejarah ini berada di Dusun Pangjeleran, Desa Padasuka, Kecamatan Sumedang Utara. Pohon tersebut menjadi tanda catatan sejarah, dituliskan dalam Babad Sumedang. Kemudian dituliskan dalam Pupuh Sinom, karya maestro Mang Koko Koswara.
Kisah singkatnya pohon Hanjuang sebagai simbol sebuah janji, Jayaperkasa terhadap rajanya Geusan Ulun. Bila daunya layu menandakan ia mati dimedan laga, tetapi sebaliknya bila tumbuh subur menandakan menang perang. Seiring waktu terjadi pertempuran di tapal batas Sumedang, atau di sekitar Sukatali (Hikayat Sumedang, De Indische Courant, A. Ter Haghe, 12 Juli 1941). Diceritakan bahwa pertempurannya memakan banyak yang mati, sehingga mata air di dekatnya berubah menjadi merah.
Pohon Hanjuang atau biasa disebut andong merah (cordyline fruticosa), menjadi simbol bagi budaya Sunda. Tanaman yang dianggap memiliki fungsi sebagai sawen tolak bala. Tumbuhan yang dianggap keramat, mampu menepis gangguan kekuatan gaib dan wabah penyakit. Biasanya diikat diiringi ritual doa dan disematkan pada tempat tertentu di dalam maupun di luar rumah. Selain itu digunakan sebagai penanda seperti batas ladang, kebun, pagar rumah antar kepemilikan yang berbeda. Jika dikaitkan dengan wabah penyakit, biasanya digunakan sebagai pembatas dan jarak agar tidak terjangkit penyakit. Dari sisi medis, tanaman ini bisa dimanfaatkan sebagai obat tradisional, seperti TBC paru, asmat, diare hingga sakit kepala.
Dalam situasi kemelut dan tidak menentu, bayang-bayang serangan dari Cirebon. Geusan Ulun memindahkan ibu kota dari Kutamaya, ke dataran tinggi Dayeuhluhur. Pemindahan tersebut daam kondisi tergesa-gesa hingga lupa dengan perjanjian denga Jayaperkasa. Akibatnya akan menjadi konflik diujung kepemimpinan Geusan Ulun sebagai raja di Sumedanglarang.
Dalam upaya pemindahan ibu kota, dalam rangka menghindari serangan Girilaya dari Cirebon, Geusan Ulun harus menempuh perjalanan dengan menggunakan jalan kaki. Dalam keterangan yang ditulis oleh Haghe (1941), dalam pencariannya tempat harus singgah dibeberapa lokasi. Tempat yang dipilih harus memenuhi persyaratan, diantaranya tersembunyi dari pantauan musuh, mampu melihat arah pasukan penyerang dari segala arah. Pencarian dilanjutkan ke arah timur, dataran tinggi yang berada di Ganesa, sebelah timur Kutamaya.
Lokasi yang akan dituju bisa ditafsirkan mendekati posisi pusat kerajaan pada masa Prabu Guru Aji Putih. Pusat kerajaan Tembong Agung, terletak di Citembong Girang, Kecamatan Ganeas, sumedang. Bila ditarik garis, kurang lebih 4 km. dari Citembong Girang, ke Dayeuhluhur. Dalam keterangan selanjutnya, menyebutkan bahwa putra sulung Prabu Aji Putih, yaitu Batara Tuntang Buana atau dikenal Tajimalela, berkelana ke beberapa tempat. Diantaranya menyebutkan wilayah yang menjadi rujukan Geusan Ulun.diantaranya Gunung Merak, Gunung Pulosari, Gunung Puyuh, Gorowong, Ganeas, Gunung Lingga dan tempat lainya. Dengan demikian, pengetahuan tersebut diperkirakan menjadi referensi penentuan tempat pemindahan ibu kota.
Dalam keterangan penelitian bay Suryaningrat (1983), pada masa pemerintahan Geusan Ulun, terdapat 44 Kandaga atau kepala rakyat, terdiri dari 26 Kandaga Lange (Kepala Wilayah), dan 18 umbul dengan cacah sekitar 9000 jiwa umpi. Dengan demikian tidaklah mungkin seluruh rakyatnya turut serta dalam kepindahan. Jadi diperkirakan hanya jabatan tinggi, keluarga yang terkait dan pendukungn lainya saja yang turut pindah. Sedangkan masyakarata yang tersebar di wilayah Sumedanglarang masih ditempat semula.
Bila dilihat dari peta google maps, didapat jarak tempuh 12,4 km. Dari Kutamaya Sumedang Selatan, ke arah timur melalui Cihonje, Gunasari. Kemudian dilanjutkan mendaki Gorowong, Sukawening. Mendaki lereng utara G. Calangcang-Kareumbi. Kemungkinan Geusan Ulun menerima kandidat lokasi selain Dayeuhluhur, namun karena waktu yang begitu sempit sehingga diputuskan untuk menggeser jauh ke arah timur.
Akses dari Kutamaya ke arah timur, ke daerah Gorowong. Kemudian dilanjutkan dengan berjalan melalui Cikadu, merupakan lembah yang dalam. Jalan setapak sejajar dengan sungai, yang mengarahkan mendaki perbukitan hingga tiba di Dayeuhluhur. Jalur tersebut merupakan jalan lama yang pernah digunakan warga sejak dulu, sebelum dibukanya jalur baru. Jalur jalan lebar, melalui Pasir Datar. Jalan yang baru saja ditingkatkan menjadi beton, untuk membuka akses dari kampung Gorowong ke Dayeuhluhur.
Dayeuhluhur merupakan pegunungan yang memanjang utara-selatan, disusun oleh batuan gunungapi. Dalam peta Geologi Lembar Bandung (Silitonga, 2003), disebutkan sebagai Hasil Gunung Tua Tak Teruraikan. Disusun oleh breksi gunungapi, lahar dan lava berselang-seling (Qvu). Menandakan bahwa punggungan mulai dari utara, sekitar Cibungur hingga puncak G. Bongkok adalah bagian dari sistem gunung api purba. Bila ditarik lagi ke arah selatannya, didapati lingkar kaldera G. Calangcang 1667 m dpl. gawir kalderanya berupa setengah lingkaran dari barat ke timur, terbuka ke arah utara.
Dengan demikian kuat dugaan, endapan gunugapi berupa laharik yang menyusun punggungan Dayeuhluhur berasal dari G. Calangcang. Merupakan sistem kompleks gunungapi purba Kareumbi-Puncakanjung-Calangcang. Dari pembagian fasiesnya, Dayeuhluhur merupakan fasies medial (Bogie & Mackenzie, 1998), bagian lereng utara dari pusat letusan.
Dari titik tinggi ini memberikan keuntungan lebih, diantaranya posisinya terlindungi oleh tinggian. Kemudian dari titik tinggi ini bisa memantau pergerakan musuh yang datang dari utara, dan menjadi benteng alami. Dengan demikian pemilihan Dayeuhluhur sebagai tempat pemerintahan, berdasarkan posisi geografis.
Sepeninggalan Geusan Ulun pada 5 November 1608, kemudian kekuasaanya dibagi dua ( Euis Thresnawati S. 2011). Diberikan kepada Pangeran Rangga Gede, putra sulung dari Nyimas Gedeng Waru dari istri pertamanya. Melanjutkan pusat pemerintahannya di Dayeuhluhur. Versi lain ada yang menunjukan di Canukur. Kemudian hasil dari putra Ratu Harisbaya, Pangeran Suriadiwangsa yang menempati ibu kota di Tegalkalong. Akibat dualisme kepemimpinan ini, berdampak kepada stabilitas politik, menyebabkan beberapa wilayah di bawah Kerajaan Sumedang kemudian melepaskan diri. Seperti Karawang, Ciasem. Pamanukan, dan Indramayu. Sehingga wilayahnya menjadi kecil, meliputi Sumedang, Bandung, Sukapura, dan Parakanmuncang. Pada 1620, Sumedanglarang taklut sepenuhnya di bawah Kesultanan Mataram.
Di sebelah selatan Dayeuhluhur, dibawah lereng G. Gedogan 1039 m dpl. disemayamkan Sang Hyang Hawu atau Mbah Jayaperkosa. Di bawah naungan tegakan pohon kayu, hutan tropis. Elevasinya lebih tinggi dibandingkan dengan makam raja, berada jauh di bagian bawah lereng perbukitan. Dari parkiran utama, kemudian mendaki melalui jalan warga. Menapaki tangga yang telah disediakan, hingga memasuki gerbang makam. Jaraknya kurang lebih 900 meter, mengikuti kontur perbukitan. Memasuki gerbang, kemudian disambut oleh vegetasi hutan hujan tropis, dan beberapa fauna yang masih bisa dilihat. Menandakan hutan makam tersebut tidak secara langsung dikonservasi. Berbeda dengan makam Geusan Ulun yang tertutup menggunakan atap. Makam Mbah Jayaperkosa ini dibiarkan terbuka. Ditata dengan menggunakan tumpukan batuan andesit, dengan tanda berupa batu berbentuk kolom. Sekelilingnya ditutupi oleh pagar besi, setinggi 2 meter.
Dilingkungan pemakaman ini, disediakan surau sederhana dan air untuk wudhu. Memberikan kesempatan kepada para peziarah untuk melaksanakan tawasulan, doa ucap syukur untuk berkah para pendahulu dan kesejahteraan untuk yang masih hidup.


Tautan video Geourban#31 Dayeuhluhur
https://www.youtube.com/watch?v=t0XxQPAtAl0&t=734s