Catatan Geourban#24 Panyandaan

Lerengnnya melampar hingga batas jalan raya Ujungberung. Merupakan tekuk lereng aliran dan piroklastik PraSunda dan Sunda, hingga dibatasi oleh dataran rendah ke arah selatan. Dibagian utaranya merupakah blok naik Sesar Lembang segmen Batuloceng.

Lereng tersebut disusun oleh aliran lava tebal G. Prasunda dan Sunda. Kemudian ditutup oleh piroklatik yang telah lapuk. Seiring waktu tererosi kuat, membentuk lembahan ditoreh air dan membentuk sungai-sungai. Alirannya bergeraka ke utara, kemudian masuk menjadi badan air disebut Danau Gegerhanjuang. Merupakan bagian dari sistem Danau Bandung Purba bagian timur, yang mengalami pengeringan. Dalam peta lama F. de Haan (1911), danau tersebut mendekati susut dan ditempati oleh rawa disebut Muras. Melampar dari batas tekuk lereng Ujungberung, hingga ke arah selatan hingga batas aliran Ci Tarum.

Disebut Muras Gegerhajuang, bagian dari sistem danau Bandung Purba. Segmen rawa ini menempati dataran rendah dengan elevasi 678 m dpl. Membentuk rawa (muras), membentang dari utara sekitar jalan raya Ujungberung, kearah selatan hingga dibatas jalan raya Baleendah-Ciparay.

Kondisi demikian menyebabkan hunian berada di sebelah utara, menghindari rawa. Lingkungan tersebut mengundang hadirnya malaria. Selain itu rawa bukannlah tempat yang tidak ideal untuk mendirikan rumah, karena kondisi permukaanya yang mudah amblas. Termasuk sulitnya mendapatkan air layak minum. Sehingga hunian dan peradaban bergeser ke arah utara, relatif lebih aman, sumber daya alam melimpah dan lebih sejuk.

Lahan yang subur, menarik juragan perkebunan Andries de Wilde merintis perkebunan kopi di utara Ujung Berung jauh sebelum jalan Raya Pos Daendels dibuat. Pembuatan jalan tersebut bertujuan menggerakan distribusi pengiriman kopi dari priangan pedalaman hingga ke Batavia melalui Cikao Bandung Purwakarta. Sedangkan jalur distribusi ke arah timur, didistribusikan di gudang kopi di Karangsambung. Lokasi tersebut kini jembatan Ci Manuk di perbatasan Sumedang dan Majalengka atau sekitar Tomo.

Kondisi alam demikian, mendorong budaya menyebar ke arah utara atau sekitar Cimenyan. Kehadiran peradaban tersebut, dikuatkan dengan keterangan dari catatan perjalanan Bujangga Manik. Diyakini kebudayaan disekitar utara muras tersebut hadir sejak abad ke-16. Dicirikan dengan temuan situs budaya dan kepercayaan masyarakat lokal tentang sebaran patilasan.Tinggalan budaya berupa pekuburan tua dengan ciri seperti circle stone (batu gelang). Tersebar di Pasir Panyandaan, Cimenyan hingga berbatasan dengan Caringintilu, Kabupaten Bandung di bagian baratnya.

Kebudayan lama tersebut hidup di atas endapan batuan gunungapi purba. Disusun lava dan piroklasatik. Aliran lavanya mebentuk struktur berlembar, akibat proses pembekuan dan kondisi geologi. Dibeberapa keterangan lama, menyebutkan bentuk demikian adalah wujud dari struktur bangunan (candi?). Struktur kekar lembar (sheeting joint), dimanfaatkan sebagai penghias bangunan pemerintahan, seiring rencana pemindahan ibukota Hindia Belanda ke Bandung.

Bukti endapan aliran lava masih terlihat jelas, di Curug Batu Templek, Cisanggarung dan di Sentak Dulang. Dua lokasi kegiatan penambangan, yang sudah dibuka sejak jama kolonial.  Bukti penggunaan batuan tersebut dicatatkan Haryoto Kunto (1986), pondasi Gedung Sate menggunakan batuan yang diambil dari kawasan ini. Batuannya idelal, keras dan memiliki struktur berlembar sehigga disebut struktu sheeting joint, atau kekar lembar. Terbentuk demikian akibat pelepasan beban penutup, sehingga terbentuk rekahan yang mendatar. Dimanfaatkan dengan cara mencongkel rekahan tersebut dan digunakan sebagai pondasi hingga sebagai estetik bangunan.

Asal-usul lava tersebut bersumer dari kegiatan letusan guungapi purba, hadir jauh sebelum Danau Bandung Purba terbentuk. Dalam Peta Geologi Lembar Bandoeng (Geologische Kaart van Java), disusun oleh Bemmelen (1934) menyebutkan litologinya merupakan batuan gunungapi tua. Kemudian didetailkan dalam pemetaan stratigrafi gunungapi oleh Soetoyo dan Hadisantono (1992), merupakan aliran lava hasil letusan gunungapi PraSunda (Prs), kemudian ditutupi oleh produk gunungapi berikutnya yaitu G. Sunda (Sl). Berupa lava andesit abu-abu gelap, porfiritik dengan fenokris plagioklas, piroksen dan sedikit mineral bijih dalam masa dasar gelas dan mineral halus.

Di Pasir Panyandakan, menerus hingga Sontak (sentak?) Dulang, merupakan produk gunungapi PraSunda. Lava ini dianggap paling tua karena kontak langsung dengan batuan sedimen umur Tersier (Soetoyo dan Hadisantono, 1992).

Kebutuhan sumber daya alam tersebut, seiring dengan rencana pemindahan ibu kota Hindia Belanda. Dari Batavia atau Jakarta saat ini ke dataran tinggi Bandung. Arsitek pembangunannya adlaa Silors, duduk sebagai kepala Dinas Bangunan Kotapraj (Gemeentelijk Bouwbedrijf). Tuga utamanya adalah merancang dan emmbangun kompleks bangunan pusat instansi pemerintahan Hindia Belanda di Kota Bandung.

Tambang batu di utara Arcamanik turut menyumbangn pembangunan kota, diantaranya adalah pembangunan gedung Departemen Pekerjaan Umum, Kantor Pusat PTT, Departemen Kehakiman, Departemen Pendidikan dan Pengajaran, Departemen Keuangan dan seterunya. Semuanya dibangun dalam satu kompleks, sejajar ke arah utara dari Gedung Sate saat ini.

Mendaki ke arah utara, menunggangi punggungan Pasanggrahan. Setelah melewati SD Cikawari, jalanan terus menanjak. Pemandangan terbuka luas kesegala penjuru, dihiasi ladang warga yang semakin mendesak ke wilayah Perum Perhutani.bentang alamnya berupa punggungan perbukitan. Sebagian besar wilayahnya ditempati oleh perkebunan warga, pemilikan lahan pribadi. Melampar dari timur ke barat, menempati sebagian besar lereng G. Palasari hingga sebelah timur berbatasan dengan G. Manglayang.

Hanya beberapa tinggian, berupa puncak-puncak bukit yang ditempati oleh tinggalan budaya. Menandakan nenek moyang sudah memandukan bentang alam dan dataran tinggi sebagai tempat yang sakral.

Dalam laporan Rohtpletz hasil kompilasi dari beberapa laporan terdahulu, menuliskan penemuan tinggalan budaya serta situs-situs prasejarah megalitik. Dituliskan di perbukitan titik triangulasi KQ 273, menyebutkan ditemukan beberapa serpih obsidian. Rothpletz menuliskan Künstliche Steilböschungen (vor allem bei Kuppen), diterjemahkan puncak bukit dengan lereng yang curam. Bentuk alam yang memanfaatkan tinggian, kemudian ditata sedemikia rupa. Dalam keterangannya disebutkan juga didapati situs makam pra-Islam (Präislamitische Grabanlagen).

Titik tersebut terdapat di sebelah utara dari kompleks Pondok Pesantren Baitul Hidayah. Berupa kuburan lama yang disusun oleh batuan andesit-basal, tersedia melimpah disekitar perbukitan. Disusun oleh batuan membundar sebesar kepalan tangan hingga bola sepak, kemudian ditemui juga batu ceper yang diduga didatangkan dari sekitar Sentak Dulang. Lokasi penambangan Batu Templek yang berada di sebelah selatannya.

Dalam laporan Johan Arief dalam artikel Misteri Danau Bandung (https://fitb.itb.ac.id/misteri-danau-bandung/), disebut situ Panyadaan 1. Satu situs lagi berada di sebelah timur disebut Situs Panyandaan 2. Dalam keterangannya merupakan temapt palitas atau tilem.moksa Eyang Sri Putra Mahkota Raden Mundingwangi, putra dinasti ke-8 dari Raja Sunda.

Berjalan ke arah utara, ditemui punggungan perbukitan yang ditempati bongkah-bongkah batuan yang telah lapuk. Warga menyebutnya Batu Buta, atau batu dengan ukuran besar. Menempati bagian puncak punggungan bukit, tersebar memanjang dari utara ke selatan. Ukurannya beragam, mulai dari ukuran sebesar kelapa hingga mendekati ukuran mobil. Di sebelah timurnya yang dipisahkan oleh lembah, didapati kuburan tua. Masyarakat menyebutnya Makam Waliyullah Eyang Jaya Dirga. Dalam laporan Rothpletz merupakan gundukan tanah berbentuk elips, disusun oleh batuan gunungapi. Ukuran panjang sekitar 4,8 meter, dan lebar 3.4 meter. Dalam laporan Johan Arif (2024), didapati empat mehir dari batuan andesit disetiap sudut gundukan tanah.

Sebelah selatan dari Batu Buta berupa hamparan ladang warga. Didapati batuan obsidian, melimpah dipermukaan tanah. Ukurannya sangat beragam, mulai dari ukuran koin hingga kerakal dan tersebar dipermukaan. Lahannya sebagian besar pemilikan pribadi, kemudian diusahakan menjadi perkebunan palawija hingga sayuran.

Keberadaan fragmen obsidian tersebut menjadi tanda tanya besar, bagaimana bisa tersebar di dataran tinggi daerah Panyandaan. Apakah lokasi ini menjadi jalur perlintasan pengangkutan batuan obsidian? atau malahan menjadi tempat pengerjaan membentuk bongkah menjadi alat untuk berburu. Karena fragmen yang didapati disekitar wilayah ini tidak berbentuk mikrolitik, seperti mata tombak, panah atau alat untuk menyayat/pisau. Sebagian besar fragmen yang dikumpulkn berupa fragmen serpih yang diduga merupakan sisa atau sampah produksi pengerjaan alat batu.

Keberadaan fragmen obsidian ini tentunya menarik, selain pernah dilaporkan sebelumnya oleh Rothpletz pada akhir pendudukan kolonial. Hingga kini masih bisa ditemui, seperti pada laporan hasil penelusuran budaya obisidian di utara Bandung. Seperti yang ditelursuri oleh Anton Ferdianto (2012), melaui penelitian Balar Arkeologi Bandung. Melaporkan sebaran obsidian sebagian bear berada di utara Bandung. Diantaranya ada 14 titik yang mengandung temuan obsidian seperti di segmen Dago Pakar, Pasir Soang, daerah Cikebi, Kawasan Cimenyan termasuk Pasir Panyandaan.

Seperti yang diungkapkan pada hasil penelitian sebelumnya. Keberadaan sebaran batu obsidian ini ditemukan tidak hanya disebelah utara Bandung, tetapi menyebar hingga kawasan karst Citatah hingga Bukit Karsamanik.

Keberadaan fragmen obsidian yang melimpah di sekitar Pasir Panyandaan, menjadi tanya tanya besar. Bagaimana batuan tersebut berasal, kenapa tersebar begitu banyak dan mudah ditemui dipermukaan perkebunan. Apakah dibawa oleh peradaban lama, kemudian dimanfaatkna menjadi alat batu? Apakah Dago Pakar merupakan satu-satunya tempat pembauatan perkakas batu? Temuan tersebut menjadi menarik untuk dijawab melaului penelitian lanjutan.

Pemaparan di Batunyusun
Keterdapatan obsidian di sekitar Pasir Panyandaan yang melimpah
Pelapukan pada batuan di Pasir Panyandaan
Kuburan yang diduga praIslam di Pasir Panyandaan

Catatan Geourban#10 Palintang

Matahari beranjak dari batas horison, diiringi cuca cerah. Langit biru dihiasi awan berarak, tertiup angin ke arah barat. Kondisi cuaca baik tersebut mengantarkan kegiatan Geourban ke-10 di daerah tinggi Pasir Kunci. Dari titik tinggi ini bisa melihat bentang alam Bandung Raya, dicirikan dengan bentuknya seperti baskom terbalik. Disebelah barat terlihat jajaran perbukitan intrusi G. Lagadar-Sela Cau. Perbukitan intrusi batuan beku di Cimahi Utara. dengan umurnya pembentukannya lebih dari 4 juta tahun. Kemudian bila melemparkan mata ke arah selatan, terlihat punggungan G. Koromong-Geulis yang menghubungkan antara Baleendah disebelah timur, dan Ciparay disebelah barat. Dibagian belakang punggungan perbukitan itrusi tersebut, terlihat megah G. Malabar. Kemudian sedikit ke arah timur, terlihak kerucut-kerucut kelompok gunungapi Garut.

Sebelum Bandung lahir, disebelah timur wilayahnya disebutkan dalam peta lama sebagai Oedjoengbroeng. Dibagi dua wilayah utara dan selatan pada saat di bawah pengaruh Mataram, kemudian batas administrasinya ditata ulang menjadi wilayah timur dan barat seiring pembukaan jalan Raya Pos (1810). Sebagian besar wilayahnya saat itu meliputi kota Bandung dan Ujunberung saat ini.  Pembukaan sarana jalan utama yang mengbungkan timur-barat Jawa, mendorong industri  dan budidaya kopi. Pembangunan jalan Raya Pos melalui priangan tengan karena alasan ekonomi, yaitu mengangkut produk pertanian kopi di wilayah Priangan (Hartatik, 2018).

Kegiatan Geourban ke-10 ini adalah melanjutkan tema di Geouban sebelumnya. Di Geourban ke-9 menelusuri kembali jejak Muras Gegerhanjuang, hingga ke dataran rendah Ciparay sampai batas Ci Tarum. Jauh sebelum kota Bandung bergeser dari tepi Ci Tarum (Krapyak) ke sebelah utara, telah hadir peradaban disebelah timur disebut Ujungberung (Widjaya, 2009). Penguasa wilayahnya diatur dalam sistem pemerintahan daerah setingkat bupati. Dipati Ukur menjabat adipati di Tatar Ukur dan menjabat sebagai bupati wedana di Priangan (1627-1733), mengalami nasib yang malang. Ia harus menanggung pencopotan sebagai bupati wedana dan hidup berpindah-pindah, setelah adanya perselisihan dengan Mataram (Lismiyati, 2016). Jejak pelariannya selain di Culanagara, Gunung Leutik ke sekitar Ciparay, bergeser ke arah utara. Diperkirakan berada di sekitar  perbukitan yang diapit oleh Ci Panjalu dan Ci Patapaan, sekitar wilayah kampung Palintang saat ini.

Kegiatan diikuti oleh belasan partisipan, dengan latar belakang beragam. Pegiat wisata, pemerhati lingkungan, pelajar, akademisi hingga pemandu wisata. Titik pertemuan dimulai di sekitar dataran tinggi Ujungberung, di Kampung Wisata Pasir Kunci di Pasirjati, Kecamatan Ujungberung. Fasilitas destinasi wisata yang dikelola oleh pemerintah kota Bandung, melalui Dinas Parwisata Kota. Destinasi berupa amfiteater yang diperuntukan untuk kegiatan wisata budaya, diantaranay seni tradisi Benjang dan sebagainya. Dari titik ini, kegiatan dibuka dengan penyampaian tetang rencana perjalanan. Dikegiatan Geourban ke-9 ini menapaki kembali sejarah peradaban Sunda Klasik, diantarnya penemuan arca dari budaya pendukung polinesia, higga Sunda Klasik. Diantaranya penemuan arca bentuk membundar khas budaya polinesia, hingga praIslam berupa arca Hindu-Budha.

Disekitar dataran tinggi Ujungberung, dilereng sebelah barat G. Manglayang, diusahakan menjadi wilayah budidaya kopi. Dikerjakan oleh Andreas de Wilde, seiring dengan pembukaan pembukaan jalan Raya Pos 1810. Jalan raya yang dibangun oleh penguasaan koloni Inggris di Hindia Belanda, degan tujuan membukan jalur ekonmi di priangan tengah. Titik kunjungan terakhir adalah mengunjungi situs budaya sekitar Palintang atas, berupa patilasan.

Di wisata Pasir Kunci, Deni Sugandi memberikan pengantar mengenai Cekungan Bandung. Dari titik terlihat Bandung bagian timur, didominasi oleh dataran rendah aluvial. Ditempati oleh pesawahan yang melampar dari barat ke timur. Dari sebelah utara dibatasi oleh kaki gunung Manglayang, kemudian di sebelah selatannya dibatasi oleh Ci Tarum. Wilayah tersebut merupakan sisa pengeringan pascaDanau Bandung Purba. Danau yang terbentuk setidaknya sekitar umur Kuarter, kemudian mulai mengering antaran 20.000 hingga 16.000 tahun yang lalu (Dam, 2004). Dalam proses pengeringan tersebut, meyisakan rawa yang luas, disekitar wilayah Ujungberung saat ini. Batas bagian timurnya adalah sekitar Cibiru, sebelah baratnya sekitar Cijambe. Rawa tersebut disebut Muras Gegerhanjuang. Gan-Gan Jatnika turut memberikan penafsirannya, mengenai budaya yang lahir didataran Bandung bagian timur. Gan-Gan menjelaskan tentang  sejarah pelarian Dipati Ukur, mulai dari perbukitan di Balendah, hingga berlanjut ke sekitar dataran tinggi Palintang. Diantaranya adalah lokasi yang akan dikunjungi, yaitu situs budaya Patapaan.

Dari titik Pasir Kunci, bila melemparkan arah ke sebelah utara, terlihat dua kercut G. Palasari dan G. Manglayang. Dua gunungapi yang pernah aktif kemudian padam. Dicirikan dengan endapan material berupa piroklastik, tuff dan lava di sekitar lereng gunung tersebut. Dititik kunjungan kedua adalah melihat kembali sejarah pembentukan dan letusan G. Manglayang. Dari tepi jalan penghubung Ujungberung ke Palintang, merupakan titik terbaik untuk melihat bentang alam dua gunung tersebut. Dari titik ini Deni menjelaskan bagaimanan G. Manglayang terbentuk. Gunungapi umur Kuarter ini setidaknya terbentuk melalui dua fase kejadian, sebut saja pembentukan Manglayang Tua, dan Manglayang Muda. Dua fase tersebut bisa dilihat dari bentuknya, berupa satuan punggungan kaldera G. Manglayang, dan satuan kerucut G. Manglayang.

Gunungapi tersebut saat ini telah dorman, atau sudah tidak lagi menunjukan aktivitasnya. Bila ditarik garis memanjang antara barat ke timur, menunjukan angka 2,3 km. Angka tesebut menandakan bahwa G. Manglayang merupakan masuk kedalam klasifikasi kelas kaldere, yaitu gunungapi yang memiliki radius kawah lebih dari 2 km. punggungna perbukitan kalderanya terlihat di sebelah utara, membentuk tapal kudar ke arah tenggara. Sedangkan di tengah-tengahnya tumbuh kerucut gunungapi generasi ke-dua, berupa kerucut yang disusun oleh perselingnan lava dan piroklastik. Bisa dipastikan bahwa G. Manglayang tersebut merupakan gunungapi tipe stratovolkano, dengan dua kali sejarah pembentukan. Bukti hasil letusannya bisa disaksikan hingga kini, terutama di bagian lereng sebelah timur.

Didukung oleh kondisi iklim, dataran tinggi dan tanahnya yang subuh hasil pelapukan material letusan G. Manglayang. Gunungapi hadir sejak Plistosen, kemudian menghancurkan dirinya melalui dua suksesi letusan Manglayang Tua dan Manglayang Muda (Silitonga, 1973). Jejaknya berupa punggungan kaldera, dan kerucut Manglayang. Material letusannya berupa perselingan piroklastik dan lava yang diendapkan disekitar pusat letusan. Lavanya mengalir mengisi lembah-lembah yang dierosi sungai diataranya Ci Panjalu.

Didapati aliran lava yang mengisi lembah sekitar Ciporeat. Berupa aliran lava yang telah membeku, kemudian membentuk struktur kekar lembar. Strukur tersebut dikenali dengan bentuknya yang berlembar, menandakan adanya tekanan dari atas pada saat pembekuan magma. Disebut dengan proses kontraksi, membeku dengan cara cepat. Di sekitar Curug Orok yang mengalir di (sungai) Ci Panjalu, sekitar Ciporeat masih bisa disaksikan aliran lava tersebut. Ketebalannya sekitar 10 meter, berupa dinding lava yang terkekarkan. Aliran lava yang mengisi Ci Panjalu tersebut kemungkinan merupakan produk letusan efusif G. Manglayang. Namun tidak diketahui apakaha hasil letusan G. Manglayang Tua atau Muda, sehingga perlu penelitian lebih lanjut untuk mengupas kegiatan volkanime gunungapi yang menaungi Ujungberung.

Di lokasi Curug Orok ini, mengalirlah sumber-sumber mata air dari rekahan-rekahan lava. Debitnya tidak berkurang, bersih dan tidak berbau, menandakan mata air ini bersih. Tipe sumber mata air adalah sumber mata air kontak (contact spring), airtanah dangkal yang mengalir melalui dua litologi yang berbeda. Bagian atasnya berupa endapan piroklastik sebagai bidang akifer, dan bagian bawahnya adalah lava. Dengan demikian air tersebut muncul melalui rekahan-rekahan lava, karena batuan tersebut pejal tidak memiliki porositas. Bagi masyarakat, sumber mata air tersebut dimanfaatkan sebagai air minum, dengan cara ditampung menggunakan bak-bak penampung secara komunal. Kemudian dialirkan melalui pipa-pipa mengikuti kontur, dialirkan hingga jauh ke arah lereng. Disekitar Cigending air tersebut kemudian ditampung dan diangkut oleh truk tangki, kemudian didistribusikan dan dijual menjadi air bersih.

Menurut warga disekitar sumber mata air tersebut, sebagin besar tanahnya telah dikuasai oleh pengusaha air bersih. Terutama di daerah mata air produktif, seperti mata air dicurug orok. Penguasaan lahan tersebut sebagai upaya menjaga pasokan air, untuk kebutuhan bisnis air bersih tersedia.

Beranjak ke arah utara menapaki tanjakan Palintang. Rombongan kemudian berhendi diisekitar persimpangan antara jalan Palintang dan jalan kontrol perkebunan ke arah Palalangon. Dititik tinggi sekitar 1100 m dpl. merupakan titik elevasi ideal untuk penanaman kopi. Seperti yang dituliskan pada peta lama, sedikit ke arah barat dikenali beberapa nama yang berasosiasi dengan kegiatan industri dan budidaya kopi. Pohonnya kini sudah tidak ada, karena diganti dengan komoditas lainya. Diperkirakan disekitar Legok Nyenang merupakan komplek perkebunan kopi lama. Diantaranya nama-nama yang menyebutkan kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan industri kopi, seperti nama Pasirpamoyan. Menandakan tempat untuk menjemur kopi. Berikutnya penamaan Panggeteran, Pangmayaran.

Perkebunan kopi di Ujungberung utara, merupakan bagian dari industri ditingkat Keresidenan Priangan yang dikelola swasta Meskipun banyak disebutkan bahwa pengusaha-pengusaha swasta mulai menanam tanaman eksport pada tahun 1870-an sebagai konsekuensi dari penerapan Politik Ekonomi Liberal, namun di Keresidenan Priangan partisipasi perusahaan swasta sudah dimulai sejak awal abad ke-19. Sejak dekade pertama abad ke -19 kopi ditanam di tanah-tanah pribadi, yaitu di Ujungberung (Kabupaten Bandung), Gunung Parang, dan Ciputri (Kabupaten Cianjur). (Muhsin, 2017). Dikerjakan oleh Andries de Wilde dengan luas wilayahnya meliputi sebagian besar Bandung raya. Jejak kopi di Ujungberung utara masih bisa ditelusuri diantaranya melalui toponimi di peta Java. Res. Preanger Regentscahppen (1906). Dipeta tersebut  menuliskan nama-nama yang berasosiasi dengan industri dan perkebunan kopi saat itu.

Lokasi kunjungan ke-tiga adalah ke salah satu situs budya disekitar Palintang atas. Situs budaya tersebut merupakan patilasan, berupa tiga makam yang dinaungi oleh pohon kayu Rasamala. Situs Patapaan tersebut terletak persis disebelah barat SD Palintang Jaya, berupa puncak perbukitan yang diapit oleh Ci Patapaan dan Ci Panjalu. Menuju lokasi tersebut bisa melalui Kampung Palintang, maupun melalui jalur setapak di sebelah lapang volley.

Situs ini dipercaya sebagai tempat yang pernah disinggahi pada masa pelarian Dipati Ukur. Menurut warga setempat, situ Patapaan atau Demah Luhur ini menjadi tempat strategis di jalur lama. Jalur tersebut merupakan sarana jalan setapak pada masa itu, menghubungkan Oedjoengbroeng selatan ke utara, melewati celah yang diapit oleh G. Palasari disebelah barat, dan G. Manglayang di sebelah timur.

Perjalanan Geourban ditutup diwarung sekitar PTPN XIII. Warung sederhana yang menyajikan kue balok di Cipanjalu. Kegiatan ini diinisiasi oleh perkumpulan Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI), bersifat probono. Bertujuan menggali wisata alternatif kebumian, sarana belajar bersama dan koneksi jejaring lokal upaya menggali potensi geowisata kota Bandung.

Interpretasi di Pasir Kunci
Interpretasi cekungan Bandung dari Pasirkunci Ujungberung
Dengan latar G. Manglayang
Sunggoro menjelaskan budidaya kopi disekitar Palintang atas
Peserta di Curug Orok. CI Panjalu
Penjelasan di Curug Orok di Ci Panjalu, aliran lava G. Manglayang
Penjelasan sejarah Dipati Ukur dalam berbagai versi, disampaikan oleh Gan Gan
Dipatilasan Demah Luhur, Palintang