Catatan Geourban#36 Tenjolaut

Dalam kegiatan penelusuran sejarah Sumedang Larang, dibagi ke dalam beberapa kali perjalanan. Dibungkus dalam wisata bumi, menapaki kembali hubungan antara dinamika bumi, sejarah manusia yang hadir di atasnya dan ekologi yang berkembang. Dalam kesemapatan wisata bumi kali ini, mendatangi tempat yang pernah menjadi puseur dayeuh atau ibukota Sumedang Larang. Pusat pemerintahan kabupaten, saat berada di bawah kekuasaan Mataram Islam. Lokasi yang dikunjungi adalah sekitar Tenjolaut, Desa Padaasih, Kecamatan Conggeang.

Tenjo adalah melihat atau memandang,  sehingga menarik makna tenjolaut adalah satu tempat yang bisa melihat laut. Seperti yang diterapkan pada Dusun Tenjolaut, Desa Padaasih, Sumedang.

Dari beberapa keterangan, makna tersebut bisa diartikan dalam dua pengertian. Makna toponiimi yang pertama seperti yang diuraikan di atas, sedangkan arti kedua bisa disejajarkan dengan genang lkaut dimasa lalu. Lautan yang luas yang terbentuk dimasa lalu, saat sebagian besar Sumedang berada di bawah permukaan laut.

Bukti Tenjolaut di Desa Padaasih perah di bawah laut gambarkan dalam Peta Lembar Geologi Arjawinangun (Djuri, 2011). Menuliskan bahwa sebagian besar Padaasih, disusun oleh Anggota Batulempung Formasi Subang. Diendapkan pada saat kondisi laut dangkal, dengan kemungkinan adanya napal yang ikut teredapkan. Pengendapannya menghasilkan batulempung berlapis, dengan tebal 2900 meter. Selaian memiliki narasi sejarah lahirnya wilayah, Pasir Tenjolaut merupakan bukti bahwa sebagian besar Sumedang masih tenggelam di bawah laut. Seiring waktu, akibat kegiatan tektonik akhirnya terangkat ke permukaan, hingga setinggi 326 meter dpl.

Masyarakat menyebutnya Bukit Pasir Putih. Bukit yang biasa disebut pasir dalam bahasa Sunda, tetapi dalam makna disini berarti butir pasir. Sehinga diartikan bukit yang disusun pasir dan berwarna cenderung putih karena kontras dibandingkan lingkungan sekitarnya.

Berupa perbukitan, bagian dari lereng G. Tampomas di arah baratnya. Sehingga perbukitan ini posisinya lebih tinggi dan landai ke arah timur. Kondisi topografi demikian, menjadi tinggian yang terbuka ke arah timur dan utara. Sehingga pendiri dusun Tenjolaut masih bisa menyaksikan garis pantai utara, sekitar Indramayu. Sedangkan Cirebon tertutup oleh kerucut G. Cereme.

Bukit Pasir Putih Tenjolaut atau Pasir Tenjolaut (pasir adalah bukit), seiring waktu tererosi oleh air. Diaantaranya mengali sungai-sungai yang mengalir dari barat ke timur. Seperti Ci Bodas yang berada di sebelah selatan Tenjolaut. Kemudian Ci Pelang yang bergabung dengan Ci Paray di Batukarut. Sungai-sungai tersebut mengerosi batuan yang sifatnya mudah lapuk, sehingga terbentuk lembah-lembah dan jurang yang dalam. Dampak erosi yang terus terjadi hingga kini, diantaranya perubahan bentuk lahan, air cenderung keruh dan pendangkalan sungai. Longsor terjadi di dusun Batukarut, Desa Padaasih. Terjadi pada 22 November 2022 melalui laman sosial media desa https://www.instagram.com/p/ClQZnvPytm8/?utm_source=ig_web_copy_link&igsh=MzRlODBiNWFlZA== Dampaknya adalah hampir 30 hektar sawah tidak mendapatkan pengairan.

Akibat batuan penyusunnya dalah batulempung berlapis, menyebabkan sering terjadinya gerakan tanah. Seperti yang terlihat di Pasir Tenjolaut, membentuk bidang longsor setengah lingkaran. Mekanisme gerakan tanahnya adalah nendatan, bergerak lambat akibat kenaikan muka air tanah. Selain itu sifat batuan ini memiliki permeabilitas yang buruk, tidak mampu meloloskan air. Sehingga beberapa sungai akan meluap, bila terjadi hujan besar dihulu.

Keterdapatan sumber mata air diwilayah ini, berasal dari daerah imbuhan di sebelah barat. Merupakan dataran tinggi dan perbukitan, lereng G. Tampomas. Batuannya disusun oleh endapan vulkanik, sehingga memiliki sifat batuan pembawa air. Syarata inilah salah satu alatan pemindahan kerjaan Sumedang Larang abad ke-17.

Tenjolaut merupakan dataran rendah, dikelilingi oleh pesawahan. Pada abad ke-17 akhir, menjadi ibu kota Kabupaten Sumedang, pada saat pemerintahan Raden Bagus Weruh. Dinobatkan menjadi bupati Sumedang 1633 – 1656, dengan gelar Rangga Gempol II. Ibu kota pemerintahannya dialihkan dari Timbangante ibu kotanya di Tegalluar (saat ini Kabupaten Bandung) ke Tenjolaut, Conggeang, Sumedang.

Pengalihan pusat pemerintahan tersebut, merupakan kelanjutan penangkapan Dipati Ukur pada 1633 di Gunung Lumbung Cililin. Dari wilayah inilah Rangga Gempol II memerintah, melanjutkan kekuasaan Kabupaten Sumedang yang dipimpin Rangga Gede.

Dampak lainya dari pemberontakan Dipati Ukur, 1633 Agung dan penerusnya Amangkurat I, mereorganisasi wilayah priangan. Dengan mempersempit wilayah Sumedang dengan membagi wilayahnya menjadi kabupaten pemekaran. Diantaranya Kabupaten Bandung, Sukapura dan Parakanmuncang.

Selain itu, melalui kebijaksanaan Amangkurat I pada 1641 (suksesi dari Sultan Agung) menghapus fungsi Bupati Wedana. Sehingga Rangga Gempol II, memiliki jabatan yang sama dengan bupati lainya. Kondisi demikian yang menyebabkan Rangga Gempol II kecewa, hingga 1656 mengundurkan diri. Dilanjutkan oleh puteranya bergelar Pangeran Panembahan, diangkat menjadi Rangga Gempol III. Tokoh kontroversial yang ingin mengembalikan Sumedang sebagai kerajaan berdaulat.

Dari informasi kepercayan masyarakat, penamaan Tenjolaut berhubungan dengan kondisi bentang alam. Menurut cerita orang tua, kawasan ini sebelumnya pernah ditempati laut dalam. Sedangkan pendapat lainya, dari lokasi ini bisa melihat patai utara, di balik G. Ciremai. Keberadaan bukti laut dalam, bisa ditemui di bukit Pasir Putih Tenjolaut di Blok Jukut. Berupa perbukitan yang disusun oleh Anggota Batulempung Formasi Subang (Tms). Berupa batulempung mengandung lapisan batugamping napalan abu-abu tua, batugamping. Setempat ditemukan sisipan batupasir glukonit hijau (Djuri, 2011).

Selain itu, sekitar wilayah ini ditempati pesawahan yang luas. Menempati hampir semua bagian Conggeang. Total luas wilayah Conggeang sekitar 65,36 km2 (BPS Sumedang, 2016). Pembukaan sawah sudah dilakukan, saat Sumedang berada di bawah kekuasaan Mataram (1620). Dengan cara alih teknologi orang-orang Banyumas ke Conggeang, dan perluasan sawah disertai pembangunan sistem irigasi, seiring dengan pembukaan lahan. Mengkonversi hutan menjadi sistem sawah. Ekstensi sawah tersebut sebagai strategi penguatan pangan, dilakukan Mataram dalam mendukung ekspansi wilayah ke Jawa bagian barat.

Situs Patilasan Bupati Sumedang, Rangga Gempol II di Tenjolaya, Padaasih.
Bongkah lava di jalan menuju Pasir Tenjolaut.
Pasir Tenjolaut, disusun batulempung.
(sungai) Ci Pelang yang mengerosi batulempung Formasi Subang.

Catatan Geourban#32 Ganeas Sumedang

Dalam laporan prakiraan cuaca, sebagian besar langit Sumedang dibawah sergapan hujan ringan. Terbukti saat rombongan Geourban mendekati kota ini, langit sepertinya ditaungi awan tebal. Temperatur sejuk, mengantarkan kegiatan ini dari pagi hingga jelang sore. Untuk mendapatkan reportase dalam bentuk video, bisa dilihat ditautan https://www.youtube.com/watch?v=U9c54fYwE-w

Sesuai dengan pernjajian di grup Whatsaap, memilih lingkar Binokasih sebagai titik perjumapaan. Selain mudah dijangkau dan dipahami, tugu ini menjadi batas terluar sebelah timur sebelum memasuki pusat kota Sumedang. Tugu yang dihiasi oleh mahkota Binokasih, simbol penerus kerajaan Sunda abad ke-16. Pada abad tersebut Kesultanann Banten semakin mendesak kerajaan Sunda yang berkedudukan di Pakuan Pajajaran (Bogor), hingga runtuh.

Jelang keruntuhan kerajaan tersebut, Raja Sunda terakhir mengirim empat utusan disebut Kadaga Lante.Tujuaanya adalah menyerahkan simbol kerajaan Sunda, agar dilanjutkan oleh Kerajaan Sumedanglarang. Diantaranya adalah mahkota Binokasih, sebagai penegas suksesi kerajaan penguasa sebagian besar Tatar Sunda. Momen inilah yang digunakan oleh raja terakhir Sumedang, untuk menyatakan kerajaan Sumedang berdaulat. Hingga kelak, sekitar 41 tahun kemudian takluk di bawah Kesultanan Mataram, sehingga Sumedang berstatus kabupaten.

Binokasih membawa rombongan Geourban ke masa kejayaan kerajaan Sumedanglarang. Dalam kegiatan sebelumnya https://pgwi.or.id/2025/01/30/catatah-geourban31-dayeuhluhur/ mengupas satu penggalan waktu, raja terakhir Sumedanglarang. Dalam kegiatan ini menggunakan kendaraan roda dua, diikuti oleh pegiat wisata, pemandu dan peminat budaya. Kendaraan melesat menembut jalan raya Sumedang, mengarah ke utara dan memotong kota. Terlihat samar-samar satu bentuk perbukitan yang menaungi kota Sumedang, dari G. Kacapi kemudian berbelok ke arah timur.

Melewati Desa Margamukti, Kecamatan Cisarua. Melalui jalanan yang menhubungkan ke Desa Ciuyah. Jalanan kelas kabupaten, membujur dari timur ke barat. Tidak lebih dari sepeminuman teh, melampaui Cirwaru dan perbukitan Pasir Ciwaru. Jalanan menyempit membelah kampung, kemudian tiba di tinggian Ciuyah. Berupa lembah yang dipotong oleh Ci Uyah. Kiri dan kanannya ditempati hamparan sawah, tumbuh subur sepanjang masa. Sebelah barat terlihat jajaran perbukitan, dihuni oleh vegetasi lebat. Hutan tersebut berfungsi sebagai daerah tangkapa air, sehingga kawasan ini tdak pernah kekeringan.

Tujuan pertama adalah fenomena mataair Ciuyah, Ds. Ciuyah. Terletak diantara sawah warga, sebelah utara dari kantor Desa. Jarak dari jalan raya desa menuju lokasi sekitar 500 meter, melaui salura irigasi. Dilakukan dengan berjalan kaki, sejajar dengan anak sungai hingga lokasi yang akan dituju. Dari pertengahan perjalanan, terlihat lembah yang dipotong sungai, memberikan indikasi adanya pola kelurusan yang dilalui sungai. Dalam laporan tim Badan Geologi KESDM (Saputra drr., 2023), survey seismisitas Gempa Sumedang 31 Desember 2023. Menemukan perkiraan sesar melalui survey lapangan dan morfotektonik. Mengintepretasi adanya pola sesar naik berarah relatif barat-timur, terpotong oleh sesar mendatar berarah timurlaut-baratdaya. Buktinya terlihat kehadiran cermin sesar sebagai sesar mendatar pada badan sungai. Kajian tersebut menindaklanjuti survey Pusat Air Tanah dan Geologi Lingkungan, Badan Geologi. Mengkonfirmasi keberadaan sumber mata air asin di tinggian Desa Ciuyah.

Keberadaan mataair ini diduga sebagai air yang terperangkap apda batuan sedimen, muncul kepermukaan karena diberi jalan oleh retakan pada batuan. Akibat adanya tekangan dari bawah, pembukaan celah yang memungkinkan naiknya fluida ke permukaan. Disebut mata air formasi atau mata air yang berasosiasi dengan batuan sedimen (connate water).

Dalam fisografis pulau Jawa, Sumedang merupakan bagian dari Zona Bogor (Martodjojo. 1984). Zona ini meliputi sebagian besar Sumedang, merupakan perbukitan lipatan yang terbentuk dari batuan sedimen laut dalam. Sehingga diperkirakan sebagian besar Sumedang masih berada di dasar laut. Seiring waktu diendapkan batuan sedimen laut dalam, berupa batupasir-batulempung pada Miosen Tengah hingga Miosen Akhir atau sekitar 23-15 juta tahun yang lalu. Seiring dengan pengendapan batuan sedimen, terdapat cekungan yang menjebak air laut pada saat itu. Pada umur Pliosen terjadi pengangkatan, diakibatkan oleh tektonik. Mengakibatkan pendangkalan dan pensesaran, seperti yang diduga hadirnya sesar Ciuyah.

Mata air tersebut muncul ke permukaan, berasosiasi dengan sesar. Air yang berada jauh di kedalaman lebih dari 1000 meter di bawah permukaan, disebut air formasi (connate water). Debitnya tidak terlalu besar, rasanya asin dan tidak mengindikasikan kenaikan temperatur. Merupakan rembesan, dicirikan dengan munculnya gelembung. Tingkat kegararamannya mendekati air laut, dengan pH 6,7 (Survey PAGTL, 2023).

Di lokasi tersebut ditemukan dua sumur, dibuat oleh pemilik lahan dengan tujuan untuk kegiatan ritual atu pengobatan. Dari informasi warga, lokasi ini sering dikunjungi pada waktu tertentu, sebagai sarana penyembuhan dari penyakit. Beberapa pengunjung melaksanakan niat untuk mandi atau sekedar membersihkan diri. Dengan demikian pemilik lahan memasang kain penutup warna putih, disekeliling sumur mata air Ciuyah. Bahkan beberapa pengunjung menyempatkan mengambil air, sebagai sarana penyembuhan.

Perjalanan ke arah timur, menemui situs Batukuya, Ds. Cimara. Blok batuan yang jatuh dari puncak Pasir Pabeasan. mengendap di sawah warga. Akibat pelapukan, membentuk seperit kura kura. Menurut warga, batu tersebut menjadi penghias alam namun ada juga yang mempercayai sebagai situs ritual.

Berada diantara sawah warga, Desa Cimara, Cisarua, Sumedang. Disebut kuya atau kura-kura dalam bahasa nasional, karena mirip dengan binatang reptil tersebut. Dicirikan dengan adanya rumah atau batok seperti kubah, dan kepala yang menjulur keluar.

Dari ukurannya cukup besar, panjang sekitar 2 meter, dan lebar 1 meter. Tingginya tidak lebih dari 90 cm. Dari sekilas pengamatan, disusun oleh batuan beku. Sumbernya diperkirakan dari bukit yang berada di sebelah tenggara dari Pasir Pabeasan. Akibat kegiatna pelapukan tingkat lanjut, mementuk blok batuan yang jatuh kemudian mengendap diantara pesawahan. Sebagian besar telah mengalami pelapukan, membentuk rekahan-rekahan. Batuan penyusunnya bagian dari Pasir Pabeasan, ditaksir sebagai batuan intrusi batuan beku. Warna batuan abu-abu cerah, mengindikasikan jenis andesitik.

Dari keterangan warga, keberadaan batu Kuya ini awalnya ada di atas perbukitan. Kemudian pindah ke arah lereng, diantara sawah warga. Posisinya berada sekitar 50 meter dari jalan Desa Cimara.

Mendaki ke arah barat, mendekati puncak Pasir Pabeasan. Didapati singkapan batuan beku tebal, tegak dan tetutupi oleh hutan bambu. Berupa perbukitan intrusi batuan beku, membentuk gawir terjal setinggi 10 meter. Berupa lava tebal yang telah mengalami pelapukan dan terdeformasi. Membentuk struktur kekar lembar dan bidang-bidang rekahan. Diantaranya didapat ceruk yang dipercayai sebagai sarang macan, atau disebut liang meong. Ukuran lubangnya memiliki lebar sekitar 1 meter dan tinggi 1,5 meter, berupa lorong kecil. Keberadaanya kini ditutup oleh warga, dengan cara ditimbun dengan menggunakan tanah yang diambil dari sekitar gua. Menuju lokasi tersebut, melaui pesawahan warga, kemudian mendaki mengikuti kontur lereng hingga kearah puncak perbukitan.

Di bagian puncak perbukitan tersebut, ditemui situs Pasir Pabeasan. Situs yg kepercayaan/agama nenek moyang. Berupa batu tegak, disusun diantara bongkahan batuan. bentuk demikian bisa ditafsirkan sebagai matu menhir.

Perjalan dilanjutkan ke arah selatan, menyeberangi Ci Peles di daerah Cibangkong. Kemudian dilanjutkan ke arah jalan raya Wado, berbelok ke arah timur dan mengambil jalan desa Cibogo. Pintu masuk berada diobjek wisata Bale Citembong Girang, dilanjutkan berjalan kaki sekitar 15 menit ke arah selatan.

Keberadaa situs Pasir Kabuyutan, masuk ke dalam wilayah Desa Ganeas. Disebut Situs Kabuyutan Citembong Girang. Sistem religi nenek moyang, berupa susunan batuan dengan berbagai ukuran. Ditata menyerupai altar. Menurut warga sudah digunakan oleh raja Sumedang pertama, sekitar abad ke-8. Berada dilereng perbukitan, dicirikan dengan keberadaan pohon beringin Ficus benjamina yang tinggi menjulang. Diperkirakan umurnya ratusan tahun, dengan akar yang menjalar kesegala arah.

Keberadaan pohon beringin selalu dikaitkan dengan tempat sakral. Dibeberapa kebudayaan dipercaya sebai tempat tinggal roh nenek moyang, memiliki keukuatan mistis sehingga sering digunaan sebagai tempat ritual.

Lokasi penutup berkunjung ke Situs Batu Guling. Desa Kaduwulung. Ditemui beberapa blok batuan, berupa breksi lahar hasil kegiatan gunungapi. Dari keterangan warga, batuan tersebut dijatuhkan dari perbukitan Dayeuhluhur. Dengan tujuan untuk menghancurkan pasukan Cirebon yang berusaha menyerang dari arah timur. Terjadi pada saat penyerangan Cirebon ke Dayeuhluhur, pada tahun 1585. Blok batuan tersebut digulingkan, kemudian mengendap disekiar Desa Kaduluwung, menjadi situs disebut Batu Gulung.

Blok batuan beku berbentuk kuya (kura-kura)
Situs Pasir Pabeasan
Situs Kabuyutan Citembong Girang

Catatan Singkat Geourban#26 Palasari

Ujungberung diintepretasikan hadir jauh sebelum Daendels membuat jalan Raya Pos 1810-1811. Dengan demikian sudah ada budaya yang hadir di sebelah Bandung Timur.  Merujuk peta lama, Kaart van de Priangse landen ofwel een gedeelte van de noordkust van Java, 1600. Menyebutkan hadirnya wilayah di sebelah utara Parakanmuncang.

Kunjungan pertama adalah menapaki aliran lava di Ci Panjalu. Lokasinya terletak di Cilengkrang utara, sejajar dengan jalan Palalangon, Kabupate Bandung. Jalan yang menghubungkan Cigending atau Alun-alun Ujungberung ke utara, melalui Palintang. Dialiran sungai tersebut didapati dua air terjun, sebelah utaranya adalah Curug (air terjun) Orok, mendekati ke arah Jembatan Cipanjalu. Kemudian ke arah hilinya disebut Curug Kacapi. Dilokasi ini didapati sumber mata air, dari rekahan batuan lava. Disebut mata air kontak, terbentuk akibat kontak antara lapisan akuifer dengan lapisan impermeable pada bagian bawahnya. Air mengalir pada batuan piroklastik yang memiliki porositas, bersifat meloloskan air. Kemudian mengalir di atas batuan lava dan keluar melalui biidang-bidang rekahan.

Sungai tersebut merupakan lembah yang dialasi oleh batuan lava berwarna abu-abu gelap. Berupa lava tebal dengan struktur kekar kolom. Di Curug Kacapi membentuk dinding tegak yang diperkirakan merupakan struktur sesar minor. Batuannya berupa lava tebal, dengan struktur kekar lembar. Batuannya cenderung berwarna hitam, menandakan pengaruh kualitas air yang tercemar berat. Mengingat Ci Panjalu hulunya di Cilengkrang, bagian dari Daerah Aliran Sungai Ci Tarum.

Jalan tersebut memisahkan dua batuan penyusun yang berbeda. Disebelah timurnya merupakan produk hasil kegiatan letusan gunungapi Manglayang. Kemudian disebelah baratnya adalah endapan dari kegiatan kegunungapian Prasunda-Sunda dan Tangkubanparahu. Soetoyo dan Hadisantono (1992), menguraikan stratigrafi gunungapi blok Cimenyan-Cilengkrang, disusun oleh endapan kegiaatan gunungapi Prasuda-Sunda-Tangkubanparahu. Produknya diantaran tuff, piroklastik dan aliran lava.

Umurnya sekitar Pleistosen, seperti yang disampaikan dalam hasil penelitian Kartadinata (2005). Endapan yang hadir di sektiar lereng selatan G. Palasari, adalah hasil dari empat fase letusan gunungapi di sebelah utara. Yaitu produk letusan Prasunda, kemudian Sunda, Tangkubanparahu Tua dan fase terakhir adalah G. Tangkubanparahu Muda.

Lava yang tersingkap sangat masif/tebal, dierosi sungai dan membentuk ari terjun. Arah alirannya dari utara ke selatan, memotong lava masih dengan struktur berlembar. Dalam penelitian Naufal Fajar Putra (2021), dimasukan kedalam Satuan Aliran Lava 3 Cisanggarung, mendetailkan hasil penelitian Soetoyo dan Hadisantono (1992) dalam satuan aliran lava Sunda (Sl).

Arah alirannya dari utara ke selatan, sehingga sumber lava di Curug Orok masuk ke dalam Satuan Aliran Lava dari hasil kegiatan letusan penutup pembentukan kaldera Sunda.  Dari keterangan di atas, bisa dipastikan batuan di Curug Orok dan Curug Kacapi merupakan batuan beku, hasil kegiatan letusan efusif G. Sunda. Melalui mekanisme aliran lava, mengisi lembah antara G. Palasari-Cilengkrang dan G. Manglayang. Diendapkan miring ke utara, mengikuti topografi sumber aliran.

Strukturnya berlembar, menandakan pada saat lava dialirkan dan membeku. Seiring waktu kehilangan pembebanan dibagian atas, sehingga membentuk struktur berlembar. Struktur yang terbentuk pada batuan berlembar dan mendatara/ horisontal sejajar dengan arah tekanan. Penghilangan pembebanan bisa terjadi karena proses erosi, sehingga material penutup hilang. Kekar lembar di Curug Orok dan Kacapi karena dierosi oleh aliran sungai.

Beralih lokasi kedua, ke arah hulu Ci Panjalu di lereng G. Palasari. Gunung dengan kerucut khas yang hampir mendekati angka dua ribu meter dpl. Menjulang tinggi dan berada pada sistem sesar Lembang segmen timur. Tingginya 1857 meter dpl., berhawa sejuk dan sering tertutup kabut. Kawasannya berada di Perum Perhutani Bandung Utara, sedangkan secara administratif berada di dua desa, Girimekar dan Cipanjalu.

Jalur pendakian terpendek melalui sisi sebelah timur. Diantara punggungan G. Kasur-Manglayang dan G. Palasari, melalui jalan Palintang. Ditempuh sekitar 1.3 km, dengan pertambahan ketinggian sekitar 330 meter, antara lokasi awal pendakian hingga puncak. Dalam pembagian fasies gunung, pendapat Boogie dan Mckenzie (1998). Pendakian dimulai pada fasies proksimal, dengan keterdapatan lava, bresi tuff, hingga tuff lapili. Sedangkan pendakian dari pos awal hingga puncak tidak mendapati sebaran batuan tersebut.

Dengan demikian G. Palasari tidak bisa digolongkan sebagai gunungapi, walaupun memiliki morfologi kerucut. Keberadaanya duduk dijalur Sesar Lembang segmen timur. Mudrik Daryono menyebutkan, panjang sesar tersebut adalah 29 km, mula dari Cilengkrang dibagian timur, kemudian memanjang ke arah timur hingga sekitar ngamprah. Sedangkan pendapat lainya, seperti Iyan Haryanto (2024), melalui pola pengaliran sungai, ekspresi morfologi dan bukti lapangan di tol Cisumundawu membuktikan lain. Iyan memperkirakan jalur Sesar Lembang ini bisa mencapai 40 hinggga 45 km. menerus diutara G. Manglayang hingga Sumedang timur.

Di puncak G. Palasari didapati bidang datar, dengan ukuran kurang lebih 10 x 10 meter. Membentuk persegi hampir kotak, terdiri dari dua pelataran. Dari keketerangan warga, bahwa dahulu masih ada tumpukan batu namun kini sudah sudah hilang. Alasan hilangnnya susunan batuan tersebut tidak pernah ada yang tahu.

Bila merujuk kepada hasil penelitian Dani Sujana (2019), menempatkan tinggian seperti gunung atau perbukitan yang menjulang, dimanfaatkan sebagai simbol sakral dan suci. Baik dari kebudayaan megalitik, menerus hingga kebudayaan Sunda klasik. Diwujudkan dengan cara membangun situs-situs keagamaan, seperti punden berundak. Keberadaanya tentunya perlu penelitian lebih lanjut, mengingat G. Palasari memiliki peranan penting, mengingat di lereng utara ditempat kebuayaan batu loceng. Di bagian selatannya merupakan peradaban Arcamanik, dicirikan dengan peninggalan arca bercorak Hindu.

Dengan demikian perlu untuk menggali dalam bentuk penelitian, dan kajian yang lebih mendalam tentang objek wisata bumi di Ujungberung utara.

Catatan Singkat Geocamp#2 Jatigede

Udara masih dikungkung hawa dingin, menandakan ujung dari musim penghujan memasuki musim kemarau. Kabut menempati perbukitan, dan seiring waktu sirna oleh cahaya pagi. Tepat pukul tujuh pagi, para para peserta sudah siap untuk berangkat dari titik kumpul jalan Pacuan Kuda, Arcamanik Bandug. Diikuti oleh empat orang, badan pengelola pariwisata Kabupaten Sumedang, mahasiswa geologi, dosen, senior pemandu wisata, hingga pelaku wisata bumi. Di Desa Jembarwangi, bergabung dari kelompok Mengenal Alam dan Objek Geologi (Laladog), Majalengka, menggenapkan total peserta adalah 15 orang. Kegiatan Geocamp ini dilaksanakan dua hari, 7 dan 8 Mei 2022, menyusuri sejarah bumi dan budaya, di sekitar Jembawangi, dan Jatigede, Kabupaten Sumedang.

Dalam berita masih diinformasikan bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Sumedang selatan dan sekitar Tanjungsari dan Cadaspangeran. Di Cadas Pangeran didapati beberapa titik longsoran (1/5, 2022), tepatnya di rest area Cigendel, Kecamatan Pamulihan. Tiga warung longsor akibat tebing penahan roboh, seiring hujan deras yang menerpa kawasan ini. Gerakan tanah di sekitar Cadas Pangeran terjadi akibat batuan penyusunnya dalah voklanik tua berupa breksi lepas yang terereosi, kemudian gradien lereng yang curam sehingga mampu mengupas tanahpenutup (top soil). Selain itu akibat curah hujan tinggi yang mengakibatkan air menyusup menjadi bidang gelincir. Dilaporkan hanya kerugian harta benda, tanpa ada korban manusia.

Kondisi demikian diuraikan di Peta Zona Rawan Gerakan Tanah, Kabupaten Sumedang, diterbitkan oleh Badan Geologi Kementerian ESDM. Kawasan Cadas Pangeran memiliki potensi kerentanan gerakan tanah tinggi, akibat curah hujan tinggi dan erosi kuat. Kisaran kemiringan lereng antara agak terjal hingga hampir tegak. Kemudian vegetasi penutupnya telah hilang.

Ci Herang, sungai yang membelah dusun Ciherang, Cijambu meluap (3/5, 2022). Mengakibatkan kerusakan pada fasilitas wisata, dan merengut korban satu orang akibat terbawa arus banjir bandang. Kondisi demikian menandakan morfologi kawasan Sumedang rawan terhadap potensi bencana dari alam. Selain itu pembangunan fasilitas wisata tidak memperhatiakan kondisi geologi, sehingga habis tersapu banjir bandang dalam waktu singkat. Dilaporkan telah hilang satu orang, dalam peristiwa Banjir Bandang di Desa Cijambu. Kegiatan Geourban#2 Jatigede, diantaranya menyoal kondisi demikian, dengan cara menerawang kembali ke masa lalu, dari tatanan geologi hingga kondisi geografi.

Geocamp adalah kegiatan geowisata yang dibalut dalam aktifitas penelurusuran dan kemping, bermaksud menapaki bencana geologi yang bisa ditumbulkan oleh kondisi geologi, sejarah bumi hingga sejarah masa pendudukan kolonial. Diinisiasi oleh perkumpulan Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI), berkerja sama dengan biri perjalanan wisata Java Exotic Trail, dan pengelola campervan Pasir Nini, Pajagan. Penelurusan ini adalah upaya mengenalkan alam Sumedang, dalam aktivitas geowisata kepada masyarakat, khususnya kawasan Jatigede, Sumedang melalui ilmu kebumian, sejarah dan ilmu budaya.

Perjalanan dibuka melalui brifing awal oleh Deni Sugandi, selaku pemandu geowisata. Memaparkan rencana kegiatan selam dua hari, 7 dan 8 Mei 2022.  Diantaranya mengunjungi kawasan Cadas Pangeran, Perbukitan Malati, Lembah Cisaar Jembarwangi, hingga kunjungan ke blok sesar anjak sekitar poros Jatigede.

Bertolak  dari kota Bandung pagi hari saat jalanan masih lenggang saat suasana lebaran. Berangkat  menelusuri jalan raya pos, dari Ujung Berung, Jatinangor, kemudian menuju Cadas Pangeran. Beranjak ke lorong waktu periode pendudukan kolonial, bisa disaksikan di jalan yang berliku-liku menembus perbukitan batuan keras di Cadas Pangeran.Dikerjakan satu tahun, 1811-1812 dengan cara membobok perbukitan menggunakan alat-alat sederhana, diupah sangat rendah (Marihandono, 2008). Diperkirakan ditebus oleh hilannya 5.000 nyawa pekerja paksa (Ananta Toer, 2005).

Kunjungan pertama adalah di Cadas Pangeran, persis di persimpangan jalan lama dan baru. Terdapat patung Pangeran Wiranata Koesomah Dinata (1791-1828), dikenal dengan Pangeran Kornel. Penggambaran patung tersebut, memperlihatkan Pangeran Kornel sedang bersalaman dengan Willem Daendels, dengan gestur tubuh seakan-akan penolakan. Adegan tersebut Pangeran Kornel menyalami Gubernur Jenderal Hindia Belanda terebut dengan tangan kiri, tangan kanannya memegang keris. Penggambaran melalui patung tersebut belum tentu mewakili peristiwa sebenarnya. Pertemuan Gubernur Jenderal Daendels dan Pangeran Kusumadinata IX (1761-1828) tidak tertulis dalam arsip mana pun, termasuk juga dalam laporan Daendels sendiri kepada Menteri Perdagangan dan Koloni Van der Heim (Marihandono, 2008).

Kunjungan selanjutnya adalah mengunjungi titi tinggi di sekitar Cijeungjing-Cipicung, atau sebelah utara poros Jatigede. Titik ini merupakan lokasi terbaik untuk mengamati geo circle, bentuk konsentris yang diduga sebagai hasil tumbukan meteor 4 juta tahun yang lalu. Terlihat Pasir Cariang di sebelah utara, bersama Pasir Malati yang mengapit lembah Cisaar. Kemudian di sebelah barat dari Pasir Malati, terlihat kecurut bukit Gunung Agung, berupa intrusi andesit.

Kunjungan selanjutnya adalah melihat koleksi fosil, hasil temuan masyarakat di Desa Jembarwangi. Diantaranya molar, hingga tulang paha mamalia besar, ditemukan disekitar sebelah timur desa, berbatasan dengan lereng Pasir Malati. Koleksi tersebut kini tersimpan baik didalam lemari, di ruangan khusus yang disediakan oleh pemerintah desa. Namun koleksi fosil tersebut belum dideskripsi, sebatas penemu dan lokasi saja. Dengan demikian perlu penataan, baik koleksi yang telah ada, maupun koleksi dilapangan. Menurut Odon, selaku tim yang ditunjuk oleh pemerintah desa untuk mengkoordinasi temuan fosil di Desa Jembawangi, hanya sebatas mencatat hasil temuan masyarakat. Temuan-temuan tersebut ada dimasyarakat, namun dihimbau untuk tidak diperjual belikan, jelas Odon selaku pelaksana satuan tugas kepurbakalaan desa. Pada tahun 2018 hingga 2019, telah dilaksanakan kegaitan ekskavasi belalai Stegodon di lembah Cisaar, menandakan bahwa Cisaar saat itu dalam kondisi rawa yang dihuni oleh mamalia besar. Diantaranya banteng, stegodon, hingga buaya. Koleksi tersebut hingga kini tersimpan dalam bentuk fragmen, di kantor desa.

Kegiatan penutup adalah mengunjungi di kawasan Blok Sangiang, Desa Pajagan, Sumedang. Berbeda dengan kunjungan sebelumnya yang bertemakan sejarah paleotogi, di kawasan ini memiliki sejarah geologi yang menarik. Di Blok Sangiang didapati perbukitan yang hampir tegak, berupa punggungan bagian dari sistem sesar Baribis. Punggungan tersebut merupakan perbukitan terlipat dan tersesarkan, disusun oleh breksi volkanik. Peristiwa pembentukan sesar Baribis berkaitan erat dengan strutur geologi lainya yang  beada di selatan. Sehingga pola struktru yang berkembang dapa tmenjelaskan genesa pembentukan sesar tersebut (Hartono, 1999).

Dari titik camping ground Pasir Nini, Blok Sangiang, Desa Pajagan, dapat memandang perbukitan yang memanjang dari barat ke timur. perbukitan tersebut merupakan bagian dari sistem sesar Baribis. Membentang dari Rangkasbitung, Bogor, Subang, Sumedang hingga ke arah timur di Bumiayu. Total panjang kurang leibh 40 km, merupakan bagian dari Zona Bogor bagian timur, daerah antiklinorium dengan arah sumbu lipatan barat-timur (van Bemmelen, 1949). Selain sesar regional yang berkembang di Blok Sangiang, didapati juga sesar-sesar lokal yang terlihat jelas di lembah Blok Sangiang. Diantaranya sesar yang berarah selatan-utara, satu kelurusan dengan Dam Jatigede. Bila melakukan pengamantan di jembantan Eretan, terlihat jelas tegasan selatan-utara yang dierosi oleh Ci Manuk.

Blok Sangian saat ini telah menjadi destinasi wisata minat khusus kebumian, diantaranya tersedia campervan area di Pasir Nini, dan wisata bumi di lembah Blok Sangiang, serta airterjun yang mengalir dari perbukitan terlipat Curug Breksi Cilandak dan Curug Mulud. Destinasi ini dikelola melalui kerjasama LMDH desa Pajagan, dan pengelolaan tanah pribadi. Di titik camp area Pasir Nini, menyuguhkan panorama poros Jatigede di sebelah selatan, dan perbukitan sistem sesar Baribis yang dibelah oleh Ci Manuk. Lokasi tepat untuk memahami sejarah bentang alam, sekaligus sebagai area wisata kembali ke alam. (DS)