Jelang pagi matahari masih bersahabat, namun beranjak siang langit Bandung utara bersalin gelap. Awan hujan menggelayut selepas dzuhur, seperti ingin mencurahkan bebannya. Hujan sekilas dibawa angin saat kami bernaung di warung, kemudian dilanjutkan ke pokok pembahasan mengenai latar bangunan militer kolonial di Pasirmalang,
Bentuknya memanjang mengikuti punggungan perbukitan, panjang fasadnya kurang lebih 30 meter. Berupa struktur bangunan yang memiliki dua tangga dari arah selatan, kemudian bagian atasnya datar. Kemungkinan di bagian atasnya berdiri senjata altileri anti pesawat udara. Di bagian utaranya dipagari oleh beton, sejajar dan memanjang mengikut tepian gawir sekitar 20 meter. Disetiap sisinya tesedia tangga yang mengarahkan ke bagian atap, area terbuka yang mampu melihat kesegala arah mata angin. Disetiap sisi bangunan didapati ruangan kotak memanjang, dilengkapi satu pintu, dan dua lubang ventilasi. Dindingnya sangat tebal, kurang lebih 120 centimeter. Dicor menggunakan beton, dengan tulangan besi dibagian atapnya. Sehigga bisa diduga bahwa fasilitas ini disebut bungker, atau tempat persembunyian pada saat serangan musuh melalui udara. Beton tebal tersebut diperkirakan mampu menyerap energi bom udara, walaupun tidak ada tanda-tanda bekas ledakan hasil serangan musuh.
Secara geografis bungker ini didirikan diatas tinggian Sukamulya, bagian dari blok naik Sesar Lembang. Barangkali kalau vegetasi yang hilang, akan telihat jelas dataran tinggi Cicalung Lembang di sebelah utara, dibatasi oleh tinggian G. Putri dan G. Sukatinggi. Sedangkan melihat ke arah selatannya dalah Cekungan Bandung. Tidak ada informasi yang memadai mengenai sejarah pendirian benteng ini, hanya di beberapa sumber menuliskan angka tahun 1922. Selebihnya adalah misteri gelap yang menyelimuti, kapan dan untuk apa benteng ini didiran di tinggian Sesar Lembang.
Dalam penyebutan benteng mungkin kurang tepat, mengingat fungsinya bukan sebagai pertahanan dari musuh. Benteng militer biasanya digunakan sebagai markas batalyon dan tempat penyimpanan perlatan perang dan logistik. Sedangkan struktur bangunan di Pasirmalang lebih tepat disebut sebagai bungker. Fasilitas militer tersebut dibangun seiring kebutuhan sistem pertahanan pasukan KNIL, menjelang masuknya tentara Jepang pada 1942.
Kolonial sudah mempersiapkan strategi pertahanan, sekitar wilayah kota Bandung. Sehingga fasilitas-fasilitas militer ini tersebar ditinggian perbukitan dan gunung yang melingkupi kota. Secara geografis. Diperkirakan pembangunan bungker-bungker yang berfungsi sebagai pos pengamatan, sekaligus untuk menempatkan altileri anti pesawat udara. Didirikan oleh KNIL pada masa interbellium atau masa antar perang antara 1918 hingga 1939, atau menjelang pecahnya perang dunia ke-2. Setelah lepas dari perang dunia ke1, kekaisaran Jepang muncul sebagai negara kuat di Asia. Sehingga kolonial Belanda menduga akan datang ke Hindia Belanda, dengan tujuan mencari sumber daya alam. Dalam masa persiapan perang tersebut, pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan dokumen Prinsp-Prinsip Pertahanan 1927, kebijakan yang mendukung strategi militer Hindia Belanda pada saat itu. Diantaranya angkatan darat dan laut harus mampu menjaga keamanan negeri koloni Hinda Belanda.
Dari keterangan diatas kemungkinan KNIL mendirikan bungker-bungker anti pesawat udara dan pos pengamatan sejak 1920-an. Seiring pemindahan pusat militer Hindia Belanda ke Bandung. Dalam keterangan buku lama Militaire aardrijskunde En statistiek van Nederlandsch Oost Indie, 1919 menuliskan, sistem pertahanan Hindia Belanda memanfaatkan dataran tinggi dan perbukitan yang memagari cekungan Bandung. Diperkirakan keberadaan bungker-bungker ini turut mengendalikan jalannya pertempuran, saat tentara kekaisaran Jepang datang melalui Ciater Subang pada 5-7 Maret 1942.
Selepas dari bunker Pasirmalang, dilanjutkan ke geotapak ke-dua pertemuan dua sungai. Tepat di tepi gawir Langensari-Pasirsela, mengalirlah Ci Gulung bagian dari DAS Ci Kapundung. Sungai yang hulunya dari Cikole, penggabungan dari sungai-sungai kecil. Diantaranya Ci Putri, Ci Kukang, Ci Bogo, dan Susukan Legok. Airnya relatif deras, mengalir di atas aliran lava tebal produk letusan efusif G. Tangkubanparahu. Lidah lavanya menerus hingga berhenti di Curug Dago. Dalam stratigrafi yang disusun Nasution (2004), aliran lava tersebut hasil produk Gunung Tangkubanparahu Tua dan Muda, umur 40.000 tahun yang lalu. Dari tinggian Langensari, terlihat lembah yang sangat dalam, mengalir diantara G. Putri mengalir ke arah selatan. Dari data peta topografi RBI (2001), memperlihatkan aliran Ci Gulung mengerosi dasar blok naik Sesar Lembang, mengalir ke arah timur. Dalam tafsiran sistem sesar, menandakan aliran sungai tersebut berbelok akibat pergeseran dari sesar normal ke sesar geser mengiri.
Geotapak ke-tiga adalah melihat fitur batuan beku ekstrusif tersebut tersingkap dikawasan wisata Maribaya Natural Hot Springs Resort. Berupa breksi lava (auto breccia) bagian flow top dicirikan vesikular, berwarna hitam menandakan basal. Disebagian tempat ditemui juga struktur entablature, berupa struktur kekar kolom yang tidak beraturan tegak.
Debit airnya deras dan keruh mengingat sungai ini menangkap sedimentasi pertania di hulu, kemudian dibawa hingga ke arah hilir. Sedikit ke hilir dari lokas wisata ini, didapati Curug Cikawari. Aliran Ci Kawari yang berhulu di G. Buleud dan G. Bukittunggul bagian barat. kualitas airnya relatif lebih jernih, mengingat sungainya melalui area huta produksi PT Perhutani (Persero) KPH Bandung Utara. Ci Kawari dan Ci Gulung kemudian bertemu di Curug Omas, bersatu dengan Ci Kapundung. Ci Kapundung kemudian mengalir ke selatan sejauh 28 kilometer, membelah kota Bandung. Muaranya di sekitar Dayeuh Kolot, bertemu dengan Ci Tarum.
Kegiatan ditutup diacara buka bersama, di Travel Tech Ciburial Bandung Utara. Dalam penutupan acara, peserta berdiskusi bahwa bentang alam bisu, bila tidak dibunyikan dalam bentuk penafsiran bumi. Dengan demikian kegiatan Georuban berusaha menyuarakan suara bumi, dengan tujuan memahami bagaimana bumi bekerja; lava yang mengalir dari kegiatan letusan gunungapi; arah aliran sungai yang dipengaruhi oleh struktur sesar; dan terakhir adalah upaya strategi militer kolonial memanfaatkan bentang alam Bandung utara, sebagai benteng pertahananan dengan membangun bungker-bungker dan pos pengamatan militer di sepanjang punggungan Sesar Lembang.