Catatan Geourban#32 Ganeas Sumedang

Dalam laporan prakiraan cuaca, sebagian besar langit Sumedang dibawah sergapan hujan ringan. Terbukti saat rombongan Geourban mendekati kota ini, langit sepertinya ditaungi awan tebal. Temperatur sejuk, mengantarkan kegiatan ini dari pagi hingga jelang sore. Untuk mendapatkan reportase dalam bentuk video, bisa dilihat ditautan https://www.youtube.com/watch?v=U9c54fYwE-w

Sesuai dengan pernjajian di grup Whatsaap, memilih lingkar Binokasih sebagai titik perjumapaan. Selain mudah dijangkau dan dipahami, tugu ini menjadi batas terluar sebelah timur sebelum memasuki pusat kota Sumedang. Tugu yang dihiasi oleh mahkota Binokasih, simbol penerus kerajaan Sunda abad ke-16. Pada abad tersebut Kesultanann Banten semakin mendesak kerajaan Sunda yang berkedudukan di Pakuan Pajajaran (Bogor), hingga runtuh.

Jelang keruntuhan kerajaan tersebut, Raja Sunda terakhir mengirim empat utusan disebut Kadaga Lante.Tujuaanya adalah menyerahkan simbol kerajaan Sunda, agar dilanjutkan oleh Kerajaan Sumedanglarang. Diantaranya adalah mahkota Binokasih, sebagai penegas suksesi kerajaan penguasa sebagian besar Tatar Sunda. Momen inilah yang digunakan oleh raja terakhir Sumedang, untuk menyatakan kerajaan Sumedang berdaulat. Hingga kelak, sekitar 41 tahun kemudian takluk di bawah Kesultanan Mataram, sehingga Sumedang berstatus kabupaten.

Binokasih membawa rombongan Geourban ke masa kejayaan kerajaan Sumedanglarang. Dalam kegiatan sebelumnya https://pgwi.or.id/2025/01/30/catatah-geourban31-dayeuhluhur/ mengupas satu penggalan waktu, raja terakhir Sumedanglarang. Dalam kegiatan ini menggunakan kendaraan roda dua, diikuti oleh pegiat wisata, pemandu dan peminat budaya. Kendaraan melesat menembut jalan raya Sumedang, mengarah ke utara dan memotong kota. Terlihat samar-samar satu bentuk perbukitan yang menaungi kota Sumedang, dari G. Kacapi kemudian berbelok ke arah timur.

Melewati Desa Margamukti, Kecamatan Cisarua. Melalui jalanan yang menhubungkan ke Desa Ciuyah. Jalanan kelas kabupaten, membujur dari timur ke barat. Tidak lebih dari sepeminuman teh, melampaui Cirwaru dan perbukitan Pasir Ciwaru. Jalanan menyempit membelah kampung, kemudian tiba di tinggian Ciuyah. Berupa lembah yang dipotong oleh Ci Uyah. Kiri dan kanannya ditempati hamparan sawah, tumbuh subur sepanjang masa. Sebelah barat terlihat jajaran perbukitan, dihuni oleh vegetasi lebat. Hutan tersebut berfungsi sebagai daerah tangkapa air, sehingga kawasan ini tdak pernah kekeringan.

Tujuan pertama adalah fenomena mataair Ciuyah, Ds. Ciuyah. Terletak diantara sawah warga, sebelah utara dari kantor Desa. Jarak dari jalan raya desa menuju lokasi sekitar 500 meter, melaui salura irigasi. Dilakukan dengan berjalan kaki, sejajar dengan anak sungai hingga lokasi yang akan dituju. Dari pertengahan perjalanan, terlihat lembah yang dipotong sungai, memberikan indikasi adanya pola kelurusan yang dilalui sungai. Dalam laporan tim Badan Geologi KESDM (Saputra drr., 2023), survey seismisitas Gempa Sumedang 31 Desember 2023. Menemukan perkiraan sesar melalui survey lapangan dan morfotektonik. Mengintepretasi adanya pola sesar naik berarah relatif barat-timur, terpotong oleh sesar mendatar berarah timurlaut-baratdaya. Buktinya terlihat kehadiran cermin sesar sebagai sesar mendatar pada badan sungai. Kajian tersebut menindaklanjuti survey Pusat Air Tanah dan Geologi Lingkungan, Badan Geologi. Mengkonfirmasi keberadaan sumber mata air asin di tinggian Desa Ciuyah.

Keberadaan mataair ini diduga sebagai air yang terperangkap apda batuan sedimen, muncul kepermukaan karena diberi jalan oleh retakan pada batuan. Akibat adanya tekangan dari bawah, pembukaan celah yang memungkinkan naiknya fluida ke permukaan. Disebut mata air formasi atau mata air yang berasosiasi dengan batuan sedimen (connate water).

Dalam fisografis pulau Jawa, Sumedang merupakan bagian dari Zona Bogor (Martodjojo. 1984). Zona ini meliputi sebagian besar Sumedang, merupakan perbukitan lipatan yang terbentuk dari batuan sedimen laut dalam. Sehingga diperkirakan sebagian besar Sumedang masih berada di dasar laut. Seiring waktu diendapkan batuan sedimen laut dalam, berupa batupasir-batulempung pada Miosen Tengah hingga Miosen Akhir atau sekitar 23-15 juta tahun yang lalu. Seiring dengan pengendapan batuan sedimen, terdapat cekungan yang menjebak air laut pada saat itu. Pada umur Pliosen terjadi pengangkatan, diakibatkan oleh tektonik. Mengakibatkan pendangkalan dan pensesaran, seperti yang diduga hadirnya sesar Ciuyah.

Mata air tersebut muncul ke permukaan, berasosiasi dengan sesar. Air yang berada jauh di kedalaman lebih dari 1000 meter di bawah permukaan, disebut air formasi (connate water). Debitnya tidak terlalu besar, rasanya asin dan tidak mengindikasikan kenaikan temperatur. Merupakan rembesan, dicirikan dengan munculnya gelembung. Tingkat kegararamannya mendekati air laut, dengan pH 6,7 (Survey PAGTL, 2023).

Di lokasi tersebut ditemukan dua sumur, dibuat oleh pemilik lahan dengan tujuan untuk kegiatan ritual atu pengobatan. Dari informasi warga, lokasi ini sering dikunjungi pada waktu tertentu, sebagai sarana penyembuhan dari penyakit. Beberapa pengunjung melaksanakan niat untuk mandi atau sekedar membersihkan diri. Dengan demikian pemilik lahan memasang kain penutup warna putih, disekeliling sumur mata air Ciuyah. Bahkan beberapa pengunjung menyempatkan mengambil air, sebagai sarana penyembuhan.

Perjalanan ke arah timur, menemui situs Batukuya, Ds. Cimara. Blok batuan yang jatuh dari puncak Pasir Pabeasan. mengendap di sawah warga. Akibat pelapukan, membentuk seperit kura kura. Menurut warga, batu tersebut menjadi penghias alam namun ada juga yang mempercayai sebagai situs ritual.

Berada diantara sawah warga, Desa Cimara, Cisarua, Sumedang. Disebut kuya atau kura-kura dalam bahasa nasional, karena mirip dengan binatang reptil tersebut. Dicirikan dengan adanya rumah atau batok seperti kubah, dan kepala yang menjulur keluar.

Dari ukurannya cukup besar, panjang sekitar 2 meter, dan lebar 1 meter. Tingginya tidak lebih dari 90 cm. Dari sekilas pengamatan, disusun oleh batuan beku. Sumbernya diperkirakan dari bukit yang berada di sebelah tenggara dari Pasir Pabeasan. Akibat kegiatna pelapukan tingkat lanjut, mementuk blok batuan yang jatuh kemudian mengendap diantara pesawahan. Sebagian besar telah mengalami pelapukan, membentuk rekahan-rekahan. Batuan penyusunnya bagian dari Pasir Pabeasan, ditaksir sebagai batuan intrusi batuan beku. Warna batuan abu-abu cerah, mengindikasikan jenis andesitik.

Dari keterangan warga, keberadaan batu Kuya ini awalnya ada di atas perbukitan. Kemudian pindah ke arah lereng, diantara sawah warga. Posisinya berada sekitar 50 meter dari jalan Desa Cimara.

Mendaki ke arah barat, mendekati puncak Pasir Pabeasan. Didapati singkapan batuan beku tebal, tegak dan tetutupi oleh hutan bambu. Berupa perbukitan intrusi batuan beku, membentuk gawir terjal setinggi 10 meter. Berupa lava tebal yang telah mengalami pelapukan dan terdeformasi. Membentuk struktur kekar lembar dan bidang-bidang rekahan. Diantaranya didapat ceruk yang dipercayai sebagai sarang macan, atau disebut liang meong. Ukuran lubangnya memiliki lebar sekitar 1 meter dan tinggi 1,5 meter, berupa lorong kecil. Keberadaanya kini ditutup oleh warga, dengan cara ditimbun dengan menggunakan tanah yang diambil dari sekitar gua. Menuju lokasi tersebut, melaui pesawahan warga, kemudian mendaki mengikuti kontur lereng hingga kearah puncak perbukitan.

Di bagian puncak perbukitan tersebut, ditemui situs Pasir Pabeasan. Situs yg kepercayaan/agama nenek moyang. Berupa batu tegak, disusun diantara bongkahan batuan. bentuk demikian bisa ditafsirkan sebagai matu menhir.

Perjalan dilanjutkan ke arah selatan, menyeberangi Ci Peles di daerah Cibangkong. Kemudian dilanjutkan ke arah jalan raya Wado, berbelok ke arah timur dan mengambil jalan desa Cibogo. Pintu masuk berada diobjek wisata Bale Citembong Girang, dilanjutkan berjalan kaki sekitar 15 menit ke arah selatan.

Keberadaa situs Pasir Kabuyutan, masuk ke dalam wilayah Desa Ganeas. Disebut Situs Kabuyutan Citembong Girang. Sistem religi nenek moyang, berupa susunan batuan dengan berbagai ukuran. Ditata menyerupai altar. Menurut warga sudah digunakan oleh raja Sumedang pertama, sekitar abad ke-8. Berada dilereng perbukitan, dicirikan dengan keberadaan pohon beringin Ficus benjamina yang tinggi menjulang. Diperkirakan umurnya ratusan tahun, dengan akar yang menjalar kesegala arah.

Keberadaan pohon beringin selalu dikaitkan dengan tempat sakral. Dibeberapa kebudayaan dipercaya sebai tempat tinggal roh nenek moyang, memiliki keukuatan mistis sehingga sering digunaan sebagai tempat ritual.

Lokasi penutup berkunjung ke Situs Batu Guling. Desa Kaduwulung. Ditemui beberapa blok batuan, berupa breksi lahar hasil kegiatan gunungapi. Dari keterangan warga, batuan tersebut dijatuhkan dari perbukitan Dayeuhluhur. Dengan tujuan untuk menghancurkan pasukan Cirebon yang berusaha menyerang dari arah timur. Terjadi pada saat penyerangan Cirebon ke Dayeuhluhur, pada tahun 1585. Blok batuan tersebut digulingkan, kemudian mengendap disekiar Desa Kaduluwung, menjadi situs disebut Batu Gulung.

Blok batuan beku berbentuk kuya (kura-kura)
Situs Pasir Pabeasan
Situs Kabuyutan Citembong Girang

Geourban# 25 Sanghyanglawang

25-23 juta tahun yang lalu, kawasan Citatah merupakan pulau-pulau yang disusun koral dan binatang laut.Lautan dangkal yang menyerong ke baratdaya hingga ke teluk Palabuhanratu. Sedangkan batas pantainya berada di tinggian Pangalengan saat ini, sedangkan di sebelah selatannya dipagari gunungapi bawah laut.

Sekitar 15 juta tahun kemudian, sebagian daratan Jawa bagian barat terangkat. Muncul di atas gelombang laut melalui kegiatan tektonik. Didorong oleh pergerakan lempeng benua Indo-Australia, dari selatan ke utara dan menyusup di bawah Jawa sekitar 7 cm per tahun. Kondisi demikian menyebabkan sebagian besar perbukitan karst Citatah naik hingga 700 meter dpl, kemudian terlipat dan tersesarkan. Terbentuklah struktur bagian dari sistem sesar Cimandiri, segmen zona gempa Cimandiri-Saguling, diiringi pergeseran gunugapi api dari jajaran selatan ke arah utara. Sekitar 1,8 juta tahun kemudian, lahirlah jajaran gunugapi modern yang menghiasi dan memberikan berkah.

Dinamika bumi tidak berhenti, terus bergerak hingga kini. Menata wajah bumi tanpa henti, melalu peristiwa gempat, gunungapi meletus, hingga gerakan tanah. Dalam kegiatan Geourban ke-25, di penutup akhir tahun 2024. Mengundang untuk berparisipasi, menggali fitur dan rahasia bumi, dalam kegiatan geowisata di Citatah. Menapaki kembali ragam rona di kawasan perbukitan karst Citatah. Intrusi batuan beku Cisampih, fosil binatang laut di Pasir Balukbuk, dan gua karst di Sanghyang Lawang, Cipatat, KBB.

Hari/Tanggal
Minggu, 22 Desember 2024

Waktu
07.00 WIB sd. 12.00 WIB.

Titik Pertemuan (Meeting point)
Tebing 125 Citatah, Padalarang, KBB

https://maps.app.goo.gl/iZcXDJ7Dic3iJjmK9

Pendaftaran dan konfirmasi kehadiran
081322605025 Nanang, 087700290444 Tommy

Inisiasi
Diselenggarakan melalui kolaborasi Asosiasi Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI), Asosiasi Pemandu Wisata Gunung (APGI) Dewan Pengurus Prov. Jawa Barat, Pramuka Wana Bakti dan Forum Pemuda Peduli Karst Citatah.

Catatan Geourban#24 Panyandaan

Lerengnnya melampar hingga batas jalan raya Ujungberung. Merupakan tekuk lereng aliran dan piroklastik PraSunda dan Sunda, hingga dibatasi oleh dataran rendah ke arah selatan. Dibagian utaranya merupakah blok naik Sesar Lembang segmen Batuloceng.

Lereng tersebut disusun oleh aliran lava tebal G. Prasunda dan Sunda. Kemudian ditutup oleh piroklatik yang telah lapuk. Seiring waktu tererosi kuat, membentuk lembahan ditoreh air dan membentuk sungai-sungai. Alirannya bergeraka ke utara, kemudian masuk menjadi badan air disebut Danau Gegerhanjuang. Merupakan bagian dari sistem Danau Bandung Purba bagian timur, yang mengalami pengeringan. Dalam peta lama F. de Haan (1911), danau tersebut mendekati susut dan ditempati oleh rawa disebut Muras. Melampar dari batas tekuk lereng Ujungberung, hingga ke arah selatan hingga batas aliran Ci Tarum.

Disebut Muras Gegerhajuang, bagian dari sistem danau Bandung Purba. Segmen rawa ini menempati dataran rendah dengan elevasi 678 m dpl. Membentuk rawa (muras), membentang dari utara sekitar jalan raya Ujungberung, kearah selatan hingga dibatas jalan raya Baleendah-Ciparay.

Kondisi demikian menyebabkan hunian berada di sebelah utara, menghindari rawa. Lingkungan tersebut mengundang hadirnya malaria. Selain itu rawa bukannlah tempat yang tidak ideal untuk mendirikan rumah, karena kondisi permukaanya yang mudah amblas. Termasuk sulitnya mendapatkan air layak minum. Sehingga hunian dan peradaban bergeser ke arah utara, relatif lebih aman, sumber daya alam melimpah dan lebih sejuk.

Lahan yang subur, menarik juragan perkebunan Andries de Wilde merintis perkebunan kopi di utara Ujung Berung jauh sebelum jalan Raya Pos Daendels dibuat. Pembuatan jalan tersebut bertujuan menggerakan distribusi pengiriman kopi dari priangan pedalaman hingga ke Batavia melalui Cikao Bandung Purwakarta. Sedangkan jalur distribusi ke arah timur, didistribusikan di gudang kopi di Karangsambung. Lokasi tersebut kini jembatan Ci Manuk di perbatasan Sumedang dan Majalengka atau sekitar Tomo.

Kondisi alam demikian, mendorong budaya menyebar ke arah utara atau sekitar Cimenyan. Kehadiran peradaban tersebut, dikuatkan dengan keterangan dari catatan perjalanan Bujangga Manik. Diyakini kebudayaan disekitar utara muras tersebut hadir sejak abad ke-16. Dicirikan dengan temuan situs budaya dan kepercayaan masyarakat lokal tentang sebaran patilasan.Tinggalan budaya berupa pekuburan tua dengan ciri seperti circle stone (batu gelang). Tersebar di Pasir Panyandaan, Cimenyan hingga berbatasan dengan Caringintilu, Kabupaten Bandung di bagian baratnya.

Kebudayan lama tersebut hidup di atas endapan batuan gunungapi purba. Disusun lava dan piroklasatik. Aliran lavanya mebentuk struktur berlembar, akibat proses pembekuan dan kondisi geologi. Dibeberapa keterangan lama, menyebutkan bentuk demikian adalah wujud dari struktur bangunan (candi?). Struktur kekar lembar (sheeting joint), dimanfaatkan sebagai penghias bangunan pemerintahan, seiring rencana pemindahan ibukota Hindia Belanda ke Bandung.

Bukti endapan aliran lava masih terlihat jelas, di Curug Batu Templek, Cisanggarung dan di Sentak Dulang. Dua lokasi kegiatan penambangan, yang sudah dibuka sejak jama kolonial.  Bukti penggunaan batuan tersebut dicatatkan Haryoto Kunto (1986), pondasi Gedung Sate menggunakan batuan yang diambil dari kawasan ini. Batuannya idelal, keras dan memiliki struktur berlembar sehigga disebut struktu sheeting joint, atau kekar lembar. Terbentuk demikian akibat pelepasan beban penutup, sehingga terbentuk rekahan yang mendatar. Dimanfaatkan dengan cara mencongkel rekahan tersebut dan digunakan sebagai pondasi hingga sebagai estetik bangunan.

Asal-usul lava tersebut bersumer dari kegiatan letusan guungapi purba, hadir jauh sebelum Danau Bandung Purba terbentuk. Dalam Peta Geologi Lembar Bandoeng (Geologische Kaart van Java), disusun oleh Bemmelen (1934) menyebutkan litologinya merupakan batuan gunungapi tua. Kemudian didetailkan dalam pemetaan stratigrafi gunungapi oleh Soetoyo dan Hadisantono (1992), merupakan aliran lava hasil letusan gunungapi PraSunda (Prs), kemudian ditutupi oleh produk gunungapi berikutnya yaitu G. Sunda (Sl). Berupa lava andesit abu-abu gelap, porfiritik dengan fenokris plagioklas, piroksen dan sedikit mineral bijih dalam masa dasar gelas dan mineral halus.

Di Pasir Panyandakan, menerus hingga Sontak (sentak?) Dulang, merupakan produk gunungapi PraSunda. Lava ini dianggap paling tua karena kontak langsung dengan batuan sedimen umur Tersier (Soetoyo dan Hadisantono, 1992).

Kebutuhan sumber daya alam tersebut, seiring dengan rencana pemindahan ibu kota Hindia Belanda. Dari Batavia atau Jakarta saat ini ke dataran tinggi Bandung. Arsitek pembangunannya adlaa Silors, duduk sebagai kepala Dinas Bangunan Kotapraj (Gemeentelijk Bouwbedrijf). Tuga utamanya adalah merancang dan emmbangun kompleks bangunan pusat instansi pemerintahan Hindia Belanda di Kota Bandung.

Tambang batu di utara Arcamanik turut menyumbangn pembangunan kota, diantaranya adalah pembangunan gedung Departemen Pekerjaan Umum, Kantor Pusat PTT, Departemen Kehakiman, Departemen Pendidikan dan Pengajaran, Departemen Keuangan dan seterunya. Semuanya dibangun dalam satu kompleks, sejajar ke arah utara dari Gedung Sate saat ini.

Mendaki ke arah utara, menunggangi punggungan Pasanggrahan. Setelah melewati SD Cikawari, jalanan terus menanjak. Pemandangan terbuka luas kesegala penjuru, dihiasi ladang warga yang semakin mendesak ke wilayah Perum Perhutani.bentang alamnya berupa punggungan perbukitan. Sebagian besar wilayahnya ditempati oleh perkebunan warga, pemilikan lahan pribadi. Melampar dari timur ke barat, menempati sebagian besar lereng G. Palasari hingga sebelah timur berbatasan dengan G. Manglayang.

Hanya beberapa tinggian, berupa puncak-puncak bukit yang ditempati oleh tinggalan budaya. Menandakan nenek moyang sudah memandukan bentang alam dan dataran tinggi sebagai tempat yang sakral.

Dalam laporan Rohtpletz hasil kompilasi dari beberapa laporan terdahulu, menuliskan penemuan tinggalan budaya serta situs-situs prasejarah megalitik. Dituliskan di perbukitan titik triangulasi KQ 273, menyebutkan ditemukan beberapa serpih obsidian. Rothpletz menuliskan Künstliche Steilböschungen (vor allem bei Kuppen), diterjemahkan puncak bukit dengan lereng yang curam. Bentuk alam yang memanfaatkan tinggian, kemudian ditata sedemikia rupa. Dalam keterangannya disebutkan juga didapati situs makam pra-Islam (Präislamitische Grabanlagen).

Titik tersebut terdapat di sebelah utara dari kompleks Pondok Pesantren Baitul Hidayah. Berupa kuburan lama yang disusun oleh batuan andesit-basal, tersedia melimpah disekitar perbukitan. Disusun oleh batuan membundar sebesar kepalan tangan hingga bola sepak, kemudian ditemui juga batu ceper yang diduga didatangkan dari sekitar Sentak Dulang. Lokasi penambangan Batu Templek yang berada di sebelah selatannya.

Dalam laporan Johan Arief dalam artikel Misteri Danau Bandung (https://fitb.itb.ac.id/misteri-danau-bandung/), disebut situ Panyadaan 1. Satu situs lagi berada di sebelah timur disebut Situs Panyandaan 2. Dalam keterangannya merupakan temapt palitas atau tilem.moksa Eyang Sri Putra Mahkota Raden Mundingwangi, putra dinasti ke-8 dari Raja Sunda.

Berjalan ke arah utara, ditemui punggungan perbukitan yang ditempati bongkah-bongkah batuan yang telah lapuk. Warga menyebutnya Batu Buta, atau batu dengan ukuran besar. Menempati bagian puncak punggungan bukit, tersebar memanjang dari utara ke selatan. Ukurannya beragam, mulai dari ukuran sebesar kelapa hingga mendekati ukuran mobil. Di sebelah timurnya yang dipisahkan oleh lembah, didapati kuburan tua. Masyarakat menyebutnya Makam Waliyullah Eyang Jaya Dirga. Dalam laporan Rothpletz merupakan gundukan tanah berbentuk elips, disusun oleh batuan gunungapi. Ukuran panjang sekitar 4,8 meter, dan lebar 3.4 meter. Dalam laporan Johan Arif (2024), didapati empat mehir dari batuan andesit disetiap sudut gundukan tanah.

Sebelah selatan dari Batu Buta berupa hamparan ladang warga. Didapati batuan obsidian, melimpah dipermukaan tanah. Ukurannya sangat beragam, mulai dari ukuran koin hingga kerakal dan tersebar dipermukaan. Lahannya sebagian besar pemilikan pribadi, kemudian diusahakan menjadi perkebunan palawija hingga sayuran.

Keberadaan fragmen obsidian tersebut menjadi tanda tanya besar, bagaimana bisa tersebar di dataran tinggi daerah Panyandaan. Apakah lokasi ini menjadi jalur perlintasan pengangkutan batuan obsidian? atau malahan menjadi tempat pengerjaan membentuk bongkah menjadi alat untuk berburu. Karena fragmen yang didapati disekitar wilayah ini tidak berbentuk mikrolitik, seperti mata tombak, panah atau alat untuk menyayat/pisau. Sebagian besar fragmen yang dikumpulkn berupa fragmen serpih yang diduga merupakan sisa atau sampah produksi pengerjaan alat batu.

Keberadaan fragmen obsidian ini tentunya menarik, selain pernah dilaporkan sebelumnya oleh Rothpletz pada akhir pendudukan kolonial. Hingga kini masih bisa ditemui, seperti pada laporan hasil penelusuran budaya obisidian di utara Bandung. Seperti yang ditelursuri oleh Anton Ferdianto (2012), melaui penelitian Balar Arkeologi Bandung. Melaporkan sebaran obsidian sebagian bear berada di utara Bandung. Diantaranya ada 14 titik yang mengandung temuan obsidian seperti di segmen Dago Pakar, Pasir Soang, daerah Cikebi, Kawasan Cimenyan termasuk Pasir Panyandaan.

Seperti yang diungkapkan pada hasil penelitian sebelumnya. Keberadaan sebaran batu obsidian ini ditemukan tidak hanya disebelah utara Bandung, tetapi menyebar hingga kawasan karst Citatah hingga Bukit Karsamanik.

Keberadaan fragmen obsidian yang melimpah di sekitar Pasir Panyandaan, menjadi tanya tanya besar. Bagaimana batuan tersebut berasal, kenapa tersebar begitu banyak dan mudah ditemui dipermukaan perkebunan. Apakah dibawa oleh peradaban lama, kemudian dimanfaatkna menjadi alat batu? Apakah Dago Pakar merupakan satu-satunya tempat pembauatan perkakas batu? Temuan tersebut menjadi menarik untuk dijawab melaului penelitian lanjutan.

Pemaparan di Batunyusun
Keterdapatan obsidian di sekitar Pasir Panyandaan yang melimpah
Pelapukan pada batuan di Pasir Panyandaan
Kuburan yang diduga praIslam di Pasir Panyandaan

Catatan Singkat Geourbang#22 Ciater

Celah Sempit Ciater, saksi Keruntuhan Kolonial Belanda.

Hadir kurang 12 partisipan yang turut serta dalam kegiatan Geourban ke-22, di titik pertemuan di alun-alun Lembang (3 Agustus 2024). Tema kegiatan Geourban kali ini menapaki kembali, sejarah militer kolonial, menjelang pecahnya perang Pasifik Raya. Dihadiri oleh para pegiat, pemandu geowisata, mahasiswa pariwisata, hingga direktur salah satu pusat kebudayaan Perancis di Bandung. Kegiatan dibuka pukul 07.00 WIB, di alun-alun Lembang. Deni Sugandi membuka acara, sekaligus menyampaikan rencana kegiatan selama setengah hari. Mengunjungi tinggian G. Putri, Bungker militer KNIL, dan ke titik pertempuran Tjiaterstelling. Kegiatan menggunakan moda transportasi roda dua, bersifat mandiri dan probono. Dengan tujuan membukan jejaring lokal, inisiatif objek/tapak bumi geowisata dan sarana untuk belajar pemanduan geowisata.

Di sekitar kawasan Ciater, merupakan perkebunan teh. Hadir sejak masa Kolonial, mengisi lembah dan perbukitan di lereng G. Tangkubanparahu. Sejauh mata memandang adalah hamparan permadani hijau, melampar hingga berbatasan dengan Jalan Cagak. Di timurnya dibatasi oleh jajaran perbukitan kelompok sistem gunungapi purba Cupunagara. Ke arah timur, telihat bentuk kerucut khas G. Canggak. Diinterpretasi oleh ahli geologi Belanda, adalah sistem gunungapi yang terbentuk satu umur dengan G. Sunda. Sehingga kelompok perbukitan di timur, bukan hasil pembentukan sistem gunungapi tetapi diinterpretasi sebagai runtuhan saja (struktur). Sedakang dalam peneltian Sutikno Bronto (2004), merupakan sistem Kaldera Cupunagara-Bukanagara Umur Tersier.

Titik terbaik untuk mengamati bentangalam tersebut, di puncak G. Putri. Di keterangan Rudi Dalimin H. (1994), disusun oleh batuan gunungapi umur tua. Diperkirakan satu umur dengan pembentukan G. Sunda. Dengan demikian bisa ditafsirkan bahwa Gunung Putri merupakan tinggian bagian dari kaldera Sunda (mungkin Prasunda). Generasi ke-dua dari sistem gunungapi Sunda-Tangkubanparahu.

Dari tinggian Gunung Putri merupakan titik terbaik untuk mengamati bentang alam, dataran tinggi lembang, cekungan Bandung dan jajaran perbukitan Sesar Lembang yang membentang timur-barat. Titik tinggi inilah menjadi strategis untuk mengamati segala kegiatan yang melewati puncak pass Ciater di pintu masuk wisata G. Tangkubanparahu. Ke arah selatannya, melandai mengikuti lembahan yang dalam, dierosi Ci Hideung. Dengan demikian, puncak G. Putri menjadi penting, sebagai pagar pertahanan militer, terutama untuk menghalau pesawat udara tempur musuh yang akan memasuki Bandung.

KNIL membangun bungker-bungker, terutama didaerah tinggi. Dengan maksud berfungsi sebagai pengendali ruang gerak musuh bila memasuk Cekungan Bandung. Dicatatkan dalam informasi lokal, didapati dua bungker di sekitar Lembang. Sedangkan masyarakat menyebut benteng Cikahuripan (Jayagiri), dan benteng Gunung Putri. Penyebutan benteng tidaklah tepat, karena bentuk bangun dalam stretegi militer setelah Perang Dunia ke-dua sudah berubah. Fungsi benteng menjaga dari luar untuk tidak masuk, sedangkan bungker lebih ke fungsi teknis.

Bungker di Gunung Putri dan Cikahuripan, diperkirakan dibangun pada saat rencana perpindahan ibu kota Hindia Belanda dari Jakarta ke Bandung. Dimulai dengan perpindahan pusat produksi mesiu di Kiaracondong, kemudian pembangunan gedung-gedung pemerintahan diantaranya Gedung Sate, pusat militer di Cimahi. Dengan demikian perlu membuat sistem pertahanan militer. Dengan cara membangun bungker-bungker yang menempati tinggian utara-barat dan selatan Bandung, dibangun sekitar 1890-an.

Penempatan bungker ditinggian strategis, terbuka ke segala arah tetapi tersembunyi. Seperti pembangunan bungker di Gunung Putri, yang memanfaatkan puncak perbukitan yang tertutup oleh vegetasi. Agar tidak mudah dikenali, pembangunan bungker dengan cara menggali, membuat struktur dari beton kemudian ditutup kembali. Sehingga hanya bagian lubang tembak saja yang terlihat sebagian besar strukturnya ditimbun kembali oleh tanah. Bungker tersebut dibuat menggunakan struktur beton, menggunakan tulangan besi baja. Ketebalannya rata-rata satu meter, dengan harapan mampu menahan serangan bom yang dijatuhkan melalui pesawat udara. Pintunya terbua dari baja tebal, dua lapis. Kemudian jendelannya hanya satu baris saja, dengan tujuan membatasi lemahnya struktur bangun. Panjangnnya sekitar 20 meter, terbagi menjadi beberapa ruang yang berfungsi sebagai pusat komando, penyimpanan mesiu dan tempat istirahat para personel.

Kemudian diutaranya merupakan sesar anjak akibat kompresional, disebut Tambakan Ridge. Tebentuk akibat gerak tektonik dari Indo-Australia yang menyusup di bawah lempeng benua Eurasia. Bergerak 7 cm pertahun, mengakibatkan sebagian besar Jawa bagian selatan naik. Subduksi menghasilkan jajaran gunungapi di bagian selatan, tumbuh di umur Tersier dan padam. Jalur gunungai modern bergeser ke arah utara, yang kini bisa dikenali dengan bentuknya yang mencirikan gunungapi muda. Berupa puncakan berbentuk kerucut, menandakan gunungapi tersebut terus membangun dirinya hingga kini. Termasuk di dalamnya adalah G. Tangkubanparahu.

Gunungapi termuda dari sistem gunungapi Sunda, Gunungapi Tankgubanparahu mernupakan gunungap api aktif. Produknya tersebar hingga 20 km lebih, berupa aliran lava dari kegiatan letusan sekitar 40 ribu tahun yang lalu. Buktinya masih bisa disaksikan hingga kini, membentuk struktur yang menarik. Fitur aliran lava yang didsebut Pahoehoe, membentuk seperti tali yang dipilin. Berada di bantaran Ci Kapundung, sekitar Kordon yang masuk ke dalam wilayah Taman Hutan Raya Djuanda.

Sumber letusannya adalah G. Tangkubanparahu. Menaungi sebagian besar dataran tinggi Ciater, yang dibelah oleh jalan poros utara-selatan. Jalan provinsi yang menghubungkan Kota Subang di utara, ke dataran tinggi Lembang di bagian selatannya. Jalannya meliak-liuk mengikuti tekuk lereng gunung, melalui beberapa sungai musiman. Diantaranya sungai-sungai yang berhulu di Kawah Domas, yaitu Ci Pangasahan, bagian dari Daerah Aliran Sungai Ci Punagara. Sungai terpanjang di Kabupaten Subang, berhulu di Cipabeasan, Bukanagara, Cisalak, Subang utara.

Ci Pangasahan menjadi saksi kunci, serangan tetara kekasaran Jepang di Ciater. Peristiwa invansi militer yang mampu merebut dataran tinggi Ciater dalam waktu singkat. Diawali pertempuran Laut Jawa, pada awal bulan Februari 1942. Armada kapal laut Jepang, mampu mengungguli kapal perusak gabungan sekutu. Akibanyanya jalan menuju pantai utara terbuka lebar.

Tepat pada tanggal 1 Maret 1942, terjadi pendaratan tentara Jepang seretak dibeberapa tempat, di Batavia, Indramayu dan sekitar Tuban. Diantranya di pelabuhan nelayan Eretan. Pelabuhan kecil yang tidak masuk dalam sistem pengamantan militer Belanda saat itu, sehingga intelejen Jepang memilih lokasi pendaratan ini. Pergerakan infanteri tentara Jepang sangat efektif, bergerak cepat dan senyap. Sehingga hanya menggunakan peralatan perang yang mudah dibawa, seperti sepeda. Kendaraan roda dua ini memungkinkan pergerakan menyusup yang cepat, menguasai Pelabuhan Pesawat Udara Kalijati di utara Subang.

Diperlukan waktu tidak lebih dari satu jam, untuk mengusai Lapangan Kalijati. Dilanjutkan bergerak ke arah selatan menyusuri jalan raya Ciater, sebagai pintu masuknya Jepang ke Bandung. Di sekitar jembatan Ci Pangasahan, KNIL menempatkan beberapa bungker yang menghadap ke arah utara. Dilengkapi dengan mortir, dan senjata otomatis 50 mm, dengan tujuan menghadang pergerakan tentara Jepang dari arah Jalancagak. KNIL memanfaatkan lereng terjal dan celah sempit untuk menjegal tentara Dai Nipon. Namun strategi militer Jepang lebih waspada, dengan mengerahkan kompi-kompi kecil, menapaki lahan terbuka perkebunan teh. Bergerak secara acak, menyergap bungker (pillbox) KNIL, sehingga mudah ditaklukan.

Dalam keterangan saksi kadet KNIL yang selamat, menceritakan ada 72 tentara KNIL yang ditawan Jepang, kemudian diikat dalam lingkaran. Sekitar 500 meter dari arah barat jalan raya (Ciater), dan 150 meter ke arah hulu Ci Pangasahan, tawanan tersebut ditembaki senapan mesin otomatis. Untuk memastikan tewas, tentara Jepang tidak segan menusukan bayonet kepada tubuh KNIL yang telah roboh. Tiga orang terluka, selamat dan menceritakan kembali lokasi pembantaian tersebut. Sebagian besar KNIL yang tewas dalam pertempuran tersebut, dimakamkan di Ereveld Pandu.

Christope Direktur IFI berbagi kisah, sistem pertahanan militer di PD2 Perancis.

Geourban#22 Ciater

Kaki gunung sebelah timur Tangkubanparahu, memiliki cerita bumi dan sejarah sistem pertahanan militer perang dunia ke-2. Jalan dari utara ke selatan, penghubung Subang-Bandung. Jalur sempit yang mengikut tekuk lereng G. Tangkubanparahu, dan berkelak-kelok menanjak mengikuti kontur perbukitan.

Lerengnnya disusun piroklastik, dan lava membentuk perbukitan yang melandai ke arah timur. Gunungapi ini mulai membangun dirinya sejak 90 ribu tahun yang lalu, menghasilkan aliran lava ke arah Ciater. Terlihat tiga perbukitan intrusi yang kini menjadi menara pandang perkebunan teh Ciater. Ditafsir gunungapi kerucut sinder, umurnya lebih tua dari yang menjadi saksi pembentukan G. Tangkubanparahu.

Disebelah baratnya, dilalui jalan Raya Subang-Bandung. Tentara Kerajaan Belanda (KNIL), membut sistem pertahanan yang memanfaatkan celah sempit Cingasaahan. Membangun bungker (pilbox), untuk menahan laju pasukan Jepang yang masuk melalui Kalijati Subang. Setelah dua hari pertempuran hebat, 7 Maret 1942 KNIL menyerah dan Jepang mengusai Bandung. Mengakhiri kekuasaaan kolonial di Jawa dan sebagain besar Indonesia.

Mari temui jejak letusan G. Tangkubanparahu, perbukitan intrusi G. Malang-Palasari. Peran kontur tekuk lereng yang digunakan sebagai basis pertahanan militer KNIL Belanda di sekitar Cipangasahan, Ciater.

Hari/Tanggal
Sabtu, 3 Agustus 2024

Waktu
07.00 WIB sd. 13.00 WIB

Titik Pertemuan
Gerbang Tangkubanparahu
https://maps.app.goo.gl/kU5o14fb8dMcvCqv9

Syarat dan ketentuan
Kegiatan probono, bersifat mandiri (transport, logistik) dipersiapkan sendiri. Disarankan menggunakan motor/roda dua laik jalan.

Tentang Geourban
Diinisiasi oleh PGWI, menjalin jejaring lokal, menggali tafsir tapakbumi dan syiar geowisata.

Catatan Coaching Clinic Paket Geowisata Batch#1

Waktu menunjukan pukul tujuh lebih dua puluh menit, beberapa peserta telah hadir. Sebagian masih dalam perjalanan, mengingat menuju lokasi pertemuan harus melewati jalur padat Dago. Tepat pukul 07.30 WIB, kegiatan dimulai dengan pembukaan singkat. Kegiatan dilaksanakan mengambil dua tempat, G. Batu dan di kegiatan kelas di Travel Tech, Ciburial Dago Bandung. Diikuti oleh 16 orang peserta, dengan latar pegiat wisata, tour operator, pemandu geowisata, hingga pelaku wisata. Bergabung di kegiatan Coaching Clinic Penyusunan Paket Geowisata, dilaksanakan pada tanggal 22 Juli 2024.

Kegiatan ini diinisiasi oleh asosiasi Pemandu Geowista Indonesia (PGWI), tindak lanjut kegiatan pasca sertifikasi di lima kabupaten/kota, di bulan Juni 2024. Bertujuan untuk membuka jejaring pelaku geowisata, tur operator dan pasar/user geowisata. Dengan demikian diharapkan para partisipan mampu memahami bagaimana caranya membuat tema, menyusun itinerary dan menghitung biaya produksi paket tour geowisata.

Pelaksanaan kegiatan ini bukan satu arah, sehingga membuka peluang kepada partisipan lain untuk menyampaikan pendapat. Secara formal dipandu oleh Deni Sugandi, menyampaikan teknis penyusunan tema, memilih tema serta memaknai tema tersebut menjadi cerita dalam penyusunan paket geowisata. Herdi Heryadi menyampaikan trend pariwisata, mengemas paket hingga menentukan pasar yang dituju. Disampaikan dalam suasana diskusi, sehingga para partisipan bisa berpendapat dengan tujuan menyusun materi paket geowisata.

Lokasi pertemuan persis di bawah G. Batu Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Perbukitan yang memanjang timur-barat, memisahkan dataran tinggi Bandung dan Lembang. Bagian dari Zona Sesar Lembang. Lokasi pertemuan ditetapkan di sini, dengan maksud lebih dekat dengan lokasi kunjungan stop site pertama.

Kegiatan dibuka di Gunung Batu Lembang. Tapak bumi yang paling dikenal di Bandung Utara, karena memiliki sejarah bumi. Deni Sugandi, selaku ketua pelaksana coaching ini, menyampaikan rencana kegiatan. Diantaranya mengunjungi dua titik tapak bumi geowisata, untuk meberikan gambaran produk geowisata.

Deni menyampaikan tema-tema dalam geowisata, dengan cara penunjukan langsung “barang” geowisata dilokasi. Dengan demikian para partisipan mampu menggali product knowledge, termasuk makna melalui interpretasi. Dengan demikian para partisipan dapat memahami, bagaimana caranya menempatkan objek geowisata ke dalam materi penyusunan paket geowisata. Geowista bukan kegiatan wisata berbasis geologi, tetapi menggunakan ilmu kebumian secara umum. Termasuk kearifan budaya, keunikan kebudayaan yang dipengaruhi bentang alam. Produk budaya yang khas dan unik sehingga keberadaan masyarakat lokal. Selebihnya adalah interpretasi hubung kait kondisi bumi, masyarakat yang menempati ruang-wilayah yang diekspresikan melalui produk budaya.

Itinerary yang dibuat bisa berupa kunjungan ke objek geowisata, dikaitkan dengan konteks yang masih berhubungan dengan tema. Kemampuan seperti ini layak untuk dituliskan dalam itinerary, karena menjadi haknya konsumen. Selebihnya adala kemampuan interpretasi para pemandu geowisata, melalui koridor narasi yang telah ditetapkan di itinerary.

Di Lapangan Deni menyampaikan salah satu sejarah bumi di dataran tinggi Lembang. Gunung Batu Lembang dalam tafsir geosain, merupakan bagian dari zona Sesar Lembang, Memanjang dari timur ke barat, sekitar 29 km. Penelitian sebelumnya sekitar 20 km., meliputi Maribaya di segmen timur, hingga ke sekitar Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat. Di Gunung Batu, Deni menyampaikan bahwa objek geowisata ini menarik untuk diusung dalam tema tentang mitigasi. Bisa juga melihat tema lainya, mengenai bahaya Zona Sesar Lembang.

Tema tersebut tentunya harus didahului oleh pengetahuan tentang objek geowisata. Tidak saja satu, tetapi beberapa lokasi kunjungan dengan keunikan yang berbeda. Kemudian disusun dalam satu tema paket geowisata.

Pemilihan judul menjadi penting, sebagai kaitan bagi para calon konsumen geowisata untuk menentukan pilihan. Dengan demikian diperlukan tata cara yang tepat, bagaimana caranya menentukan judul menarik. Setidaknya harus mengandung variabel kekinian/aktual, dan menjadi trending topic. Dengan demikian judul bisa menjadi pintu masuk (click and bait), menuju pemilihan paket oleh konsumen.

Seperti yang dituturkan oleh Herdi Heryadi selaku narasumber, menyampaikan tren pariwisata secara umum. Dalam penyampaiannya tren pariwisata mengarah kepada perjalanan wisata yang berbasis pengalaman unik. Dengan demikian paket geowisata menjadi salah satu unggulan wisata yang bisa menjadi unggulan ke depan. Langkah-langkah menuju ke sana, diantaranya harus mengandung “nilai’ keunikan, memiliki muatan edukasi serta konservasi. Value tersebut tidak perlu diperintahkan dalam paket, tetapi bisa di “attach” menjadi aktivitas. Berikutnya harus mampu memberikan pengalaman yang mengesankan, melalui interpretasi dan kegiatan fisik seperti hiking. Diharapkan mampu memberikan dampak terhadap ekonomi lokal, diantaranya memanfaatkan sumber daya lokal hingga jasa lokal.

Dalam penyampaian berikutnya, Herdi mendorong partisipan untuk memanfaatkan sosial media influencer. Termasuk mengoptimalkan konten menarik disertai foto dan video. Selanjutnya perlu untuk fokus pada narasi/story telling yang kuat. Terutama yang bisa menghubungkan dengan calon pelanggan, secara emosional. Buatlah testimoni dari wisatawan terdahulu, sehingga mampu meningkatkan kepercayaan konsumen.

Buatlah kampanye pemasaran yang terarah. Menyasar segmen yang tepat dengan memanfaatkan basis data dan sesuai target konsumen. Misalnya menyasar konsumen yang perhatian kepada isu lingkungan, petualangan, atau peminat kebudayaan. Kemudian tambahkan nilai layanan, dengan cara seperti personalisasi itinerary (tailor made), disediakan pemandu ahli tematik, hingga pelayanan akses eksklusif ke lokasi. Dengan demikian bila menjalankan variabel di atas, harga penawaran berada di lini paling atas atau premium.

Dalam penjelasan penyusunan itinerary, Herdi menyarankan untuk mengidentifikasi keunggulan dan kelemahan itinerari. Dengan demikian kekurangan tersebut bisa ditutupi oleh kelebihan paket tersebut. Seperti tema yang lebih spesifik, yang belum pernah digarap oleh BPW. Walaupun memiliki tantangn tinggi, namun mampu untuk diwujudkan.

Buatlah itinerary yang bersifat khusus, dengan tematik tertentu. Khusus untuk menyasar konsumen yang ingin diistimewakan. Berbeda dengan paket-paket reguler, sehingga bisa menciptakan pasar. Walaupun bermain di niche market, tetapi ada pula konsumen yang ingin diperlakukan seperti ini. Dengan demikian harga jual secara eksplisit dan implisit jauh lebih tinggi. Terutama bila berhadapan dengan BPW, seharusnya mampu memiliki harga jual yang tinggi.

Hal yang jauh lebih penting adalah peran kolaborasi dengan lokal. Pengalihdayaan kekuatan ke lokal jauh akan lebih efektif, karena mereka memahami serta akses yang tepat. Dengan demikian geowisatawan dapat pengalaman yang autentik, termasuk pemberdayaan lokal.

Sebagai penutup disampaikan kegiatan diskusi yang disampaikan secara santai. Beberapa partisipan turut mengelaborasi beberapa hal yang menjadi tema utama. Sebagai penutup, Deni menyampaikan bahwa value dalam penyusunan paket geowisata sangat penting. Kekuatan tersebut menjadi penentu bagi konsumen, untuk menetapkan pilihan paket. Selebihnya adalah upaya untuk mempertahankan kualitas paket geowisata, termasuk upaya upgrading bila paket geowisata. Selain memberikan pengalaman baru, menentukan segmen pasar hingga nilai yang seharusnya lebih tinggi dari paket geowisata reguler..

Foto besama partisipan di G. Batu Lembang
Penyampaian materi oleh Herdi
Studi kasus pemaketan geowisata oleh Gangan Jatnika
Teknik interpretasi oleh Yossi

Catatan Singkat Geourban#21 Jatiluhur

Dalam kegiatan Geourban ke-21, melawat di sekitar Purwakarta (21 Juli 2024). Wilayah yang dilalui oleh Ci Tarum. Sungai yang membelah kota dan kabupaten di Jawa Barat. Diantaranya dimanfaatkan menjadi sumber energi terbarukan, melalui pembangunan tiga waduk buatan. Diantaranya Saguling wilayah Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Cianjur. Kemudian Cirata, dan terakhir waduk Jatiluhur yang masuk ke Purwakarta.

Stop site yang dikunjungi adalah dermaga penyeberangan Talibaju, Cikaobandung. Kemudian ke titik ke dua, batukorsi-batupeti di Desa Sukamanah. Kemudian kunjungan terakhir ke G. Parang. Ketiga tempat tersebut memiliki potensi yang bisa dimanfaatkan melalui aktivitas geowisata. Cerita sejarah perjalan kopi di abad ke-17, didominasi kepentingan dagang yang dimonopoli oleh VOC dari 1756 hingga 1780. Stop site selanjutnya berkunjung ke batuan sedimen Formasi Jatiluhur yang ditafsirkan tinggalan budaya, dan perbukitan intrusi batuan beku. Tiga stop site yang dikunjungi, bagian kecil dari potensi geowisata di Purwakarta.

Jauh sebelum Republik Indonesia lahir, Purwakarta masih menjadi bagian dari Kabupaten Karawang. Wilayahnya mencakup sebagian besar bagian utara Ciasem (saat ini Subang), dan ke arah selatan sekitar Wanayasa saat ini. Daerah ini berada di dataran tinggi di lereng G. Burangrang yang menaungi sebagian besar wilayah Purwakarta bagian selatan saat ini. Wilayah Wanayasa telah ada sejak abad ke-17, dalam bentuk kerajaan di bawah wilayah Pajajaran. Bahkan satu abad sebelumnya, keberadaan penyebutan Karawang dituliskan dalam catatan Bujangga Manik.

Kota yang selama ditafsir sebagai “kota tua”, memiliki pengertian yang berbeda. Ditafsirkan melalui sumber lain, menyebatukan purwa adalah yang pertama, dan karta yang bermakna sejahtera. Dengan demikian bisa ditafsirkan sebagai kota yang mengutamakan kesejahteraan. Tafsir demikian bisa diselaraskan dengan pemindahan ibu kota Karawang Timur, ke tempat yang lebih baik dari sisi jarak ke dan dinilai lebih kondusif.

Perjalanan pembentukan wilayah Purwakarta hadir setelah kemerdekaan, sebelumnya merupakan daerah Karawang Timur dari Kabupaten Karawang. Ibukotanya di Wanayasa, di bawah lereng G. Burangrang. Gunungapi yang ditafsirkan sebagai anak gunungapi, dari sistem gunungapi Sunda-Tangkubanparahu. Seiring waktu, tanahnya yang subur mampu menarik industri perkebunan kopi di abad ke 17, seiring dengan sistem Tanam Paksa. Pengerahan sistematis ini , mendorong kawasan Wanayasa menjadi sentra penghasil kopi setelah Kabupaten Cianjur pada masa tersebut. Namun bukti-bukti pendirian ibukota Kabupaten Karawang Timur di Wanayasa tidak terlihat. Menandakan pusat pemerintahan ibu kota hanya bersifat sementara. Salah satu alasan penempatan ibukota di Wanayasa, karena wilayah tersebut dikenal dengan penghasil kopi terbesar. Menjadi ibu kota kabupaten Karawang Timur pada 1821 hingga 1829. Menjelang 1830 digeser ke arah utara, disebut Sindangkasih.

Pemindahan tersebut dipicu oleh kondisi sosial, dampak dari sistem tanam paksa pada 1847, mendorong pergolakan sosial. Dipicu oleh ketidak adilan, upah rendah dan korupsi di tingkat pemerintahan saat itu, mengakibatkan terjadinya pemberontakan pekerja keturunan Tionghoa. Terjadi pada 1831, dari Wanayasa hingga ke batas Karawang-Purwakarta saat ini. Pemberontakan ini menjadi alasan pemindahan ibu kota ke Purwakarta sekarang. Semata-mata karena kondisi sosial, dan lebih ke pengamanan wilayah melalui pengamanan kekuatan militer saat itu.

Di dermaga perahu penyeberangan Talibaju, Cikaobandung, merupakan jalur penting dalam pengangkutan kopi pada abad ke-17. Cikaobandung merupakan gudang penyimpanan kopi, hasil panen dari beberapa tempat di Kabupaten Bandung saat itu. Sebelumya dikumpulkan terlebih dahulu di gudang kopi di Wanayasa. Keberadaan gudang kopi tersebut masih ada, dimanfaatkan menjadi Sekolah Dasar Negeri I Wanayasa. Bangunan tersebut adalah satu-satunya peninggalan sejarah, bukti industri kopi yang menjadi primadona pertanian di Hindia Belanda.

Hasil panen di wilayah berada di wilayah Preanger-Regentschappen, atau Kabupaten Priangan. Pemandangan yang menawan, didominasi tanah hasil pelapukan gunungapi. Sehingga tanahnya subur, dan memiliki pupuk alami dari batang pohon yang telah lapuk kemudian menjadi kompos. Perkebunannya di atas rata-rata 1200 meter, dengan udara sejuk serta tanah yang luas menjadikan wilayah ini sebagai perkebunan kopi terbaik pada masa tersebut.

Perkebunan kopi tersebar di wilayah Kabupaten Bandung saat itu. Diantaranya di wilayah Sumedang, Bandung utara dan selatan, Limbangan, Sukapura dan Sumedang. Wilayah dataran tinggi, masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bandung saat itu.

Sebagai pemain tunggal perkebunan kopi, Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC perlu menjaga kestabilan hasil perkebunan kopi, dan mencari keuntungan dari hasil produksi kopi. Sehingga dikeluarkan perjanjian yang mewajibkan kaum pribumi untuk menanam kopio dan hasilnya harus diserahkan kepada pihak VOC. Dikenal dengan Koffestelsel (sistem kopi), atau tanam paksa penanaman kopi oleh pada pribumi.

Pengangkutan kopi dari Priangan pedalaman ke Batavia diinisiasi oleh Gouverneur Generaal van Vereenigde Oostindische Compagnie, Mattheus de Haan (1725-1729), dan Bupati Bandung Tumenggung Anggadireja I (1704-1747). Dikenal dengan koffie transport, pengangkutan kopi dengan menggunakan hewan beban seperti kerbau atau sapi. Dibutuhkan waktu antara 60 hingga 72 hari pengangkutan, dengan moda transportasi seperti ini.

Semua hasil panen kemudian diangkut ke gudang kopi di Wanayasa. Setelah terkumpul kemudian diteruskan ke gudang kopi di Cikaobandung, Purwakarta. Jaraknya sekitar 33 km, menggunakan pedati yang ditarik oleh sapi. Dari dermaga kemudian diteruskan menggunakan perahu layar tunggal ke Batavia, melalui Ci Tarum. Mattheus de Haan meminta agar pada tenaga kerja (kuli), membawa kopi dari Bandung, Parakanmuncang, dan Sumedang ke Gudang Kopi Cikao, yang dibangun pada 1744.

Kunjungan berikutnya ke Batukorsi-Batupeti di Kampung Ciputat, Desa Kutamanah. Blok batuan sedimen yang tererosi kuat, membentuk kotak-kotak yang terpisah. Masyarakat mempercayai merupakan hasil kerja manusia di masa lalu, dikaitkan dengan mitos Sangkuriang dan Dayang Sumbi.

Keberadaanya terletak di batas pantai waduk Jatiluhur di sebelah utara. Bisa diakses melalui Kampung Ciputat, kemudian dilanjutkan jalan kaki melalui hutan bambu. Bila dari wisata Jatiluhur, bisa menggunakan perahu sewaan. Keberadaan singkapan batuan sedimen ini berada di wilayah warga, yang sebagian besar telah menjadi perkebunan. Sebagian lagi berada di garis pantai waduk, berupa bentuk seperti kursi.

Dalam berita daring, disebutkan bahwa situs tersebut diduga sebagai tinggalan budaya megalitik, hingga budaya tinggal kerajaan Sunda. Bahkan menurut ketua Rukun Warga di Ciputat, menuturkan bahwa situs tersebut dipercaya menjadi tempat bertemunya Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Cerita rakyat yang berkembang di masyarakat Sunda lama, khususnya di Cekungan Bandung yang mengaitkan dengan sejarah terbentuknya G. Tangkubanparahu. Namun dalam keterangannya, Sangkuriang gagal mempersunting karena ternyata Dayang Sumbi adalah ibu kandungnnya. Sehingga batu berbentuk kursi adalah tempat duduk para tamu, dan peti adalah harta bawaan yang dibawa dalam acara pernikahan.

Dalam peta Geologi Lembar Cianjur (Sudjatmiko, 1972). Tuliskan bagian dari Formasi Jatiluhur, Umur Miosen Tengah. Bila diperhatikan dengan seksama, batuan tersebut berlapis menandakan batuan sedimen. Seiring waktu terangkat akibat kegiatan tektonik, kemudian lapuk oleh kondisi cuaca dan temperatur. Batuan berlapis tersebut disusun oleh perselingan batulempung, batupasir kuarsa, dan batugamping pasiran (Tms).

Bila dilihat dari angkasa, memperlihatkan struktur sejajar membentuk bujursangkar. Menandakan hasil kegiatan struktur yang membentuk rekahan sedemikian rupa. Seiring waktu terjadi erosi dan pelapukan yang menyebabkan bentuknya seperti bongkah batu berbentuk kotak. Sedangkan bentuk kursi di tepi pantai, merupakan bentuk blok batuan yang tererosi oleh gelombang air waduk pada bagian bawahnya. Seiring waktu membentuk seperti batu jamur karena bagian atas lebih kuat (resisten).

Kunjungan terakhir adalah ke G. Parang, melalui Plered. Merupakan perbukitan intrusi batuan beku dangkal. Seiring waktu tersingkap membentuk kerucut yang menjulang tinggi. tingginya sekitar 963 meter dpl. disusun oleh andesit (Ha). Perbukitan tersebut kini aktif menjadi tujuan wisata minat khusus. Pemanjatan menggunakan teknik via ferrata. Berupa besi panjang, yang digunakan sebagai alat bantu pendakian. Kegiatan ditutup dengan pengukun Asosiasi Pemandu Geowisata Dewan Pengurus Wilayah Purwakarta Raya.

G. Parang dari basecamp Badega.
Batupasir kuarsa, perselingan dengan batulempung Fm. Jatiluhur.
Batupeti yang disusun batuan sedimen lapuk, Formasi Jatiluhur.
Pengukuhan PGWI DPW Purwakarta Raya.

Pelatihan dan Sertifikasi Pemandu Geowisata Fasilitasi Program PSKK 2024

Kegiatan Pelatihan dan Sertifikasi diinisiasi melalui progam Pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Kerja(PSKK) melalui anggaran BNSP Tahun 2024.

Mempercepat pengakuan industri dan sektor terhadap tenaga kerja bersertifikat kompetensi.
Memfasilitasicalon tenaga kerja/tenaga kerja untuk mendapatkan sertifikat kompetensi melalui Pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Kerja oleh LSP .
Mengoptimalkan pelaksanaan sertifikasi kompetensi kerja oleh LSP yang berorientasi pada permintaan industri tehadap tenaga kerja kompeten yang memiliki sertifikat kompetensi.
Memfasilitasi kerjasama LSP dengan dunia usaha/industri dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja kompeten bersertifikat kompetensi.

Progam ini dirteruskan melalui Lembag Sertifikasi Pemandu Pramuwisata Indonesia (LSP Pramindo), bekerja sama dengan Asosiasi Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI). Berjumlah 120 peserta, melalui jaringan organisasi ke lima kota dan kabupaten. Diantaranya Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat. Kabupaten Majalengka, Kabupaten Bogor, Kabupaten Pangadaran. Dalam jaringan Geopark Nasional maupun ispiring. Dilaksanakan di sepanjang bulan Juni 2024, dengan pelaksanaan bekerja sama dengan Dinas Pariwisata danBudaya Provinsi Jawa Barat, dilanjutkan dinas pariwisata di tingkat daerah.

Sertifikasi pemandu geowisata memiliki banyak kepentingan, di antaranya:

Profesionalisme: Sertifikasi menegaskan bahwa seorang pemandu wisata memiliki kualifikasi dan kompetensi yang diperlukan untuk memberikan pengalaman wisata yang berkualitas kepada wisatawan. Ini membangun kepercayaan dalam industri pariwisata dan meningkatkan reputasi pemandu tersebut.

Standar Keselamatan: Pemandu wisata bersertifikasi telah menerima pelatihan dalam aspek-aspek keselamatan yang relevan, seperti pertolongan pertama dan evakuasi darurat. Hal ini penting untuk memastikan keselamatan wisatawan selama perjalanan.

Pengetahuan Lokal: Pemandu wisata yang disertifikasi cenderung memiliki pengetahuan mendalam tentang destinasi wisata yang mereka pandu. Mereka dapat memberikan informasi yang akurat dan menarik tentang sejarah, budaya, alam, dan tempat-tempat menarik lainnya yang dikunjungi.

Menjaga Lingkungan: Sebagian besar sertifikasi pemandu wisata juga mencakup aspek-aspek keberlanjutan dan pelestarian lingkungan. Pemandu yang disertifikasi dilatih untuk memimpin tur secara bertanggung jawab, meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan, dan mempromosikan praktik-praktik ramah lingkungan kepada wisatawan.

Pembangunan Karier: Sertifikasi dapat membuka peluang karier yang lebih luas bagi pemandu wisata, termasuk kesempatan untuk bekerja dengan agen perjalanan yang lebih besar, perusahaan penerbangan, atau kru kapal pesiar yang menuntut standar tertentu dari pemandu mereka.

Peningkatan Daya Saing: Di pasar yang semakin kompetitif, memiliki sertifikasi dapat membedakan seorang pemandu dari yang lain. Ini dapat membantu pemandu tersebut menarik lebih banyak klien dan meningkatkan daya saingnya dalam industri pariwisata.

Perlindungan Konsumen: Wisatawan yang menggunakan jasa pemandu yang bersertifikasi memiliki jaminan bahwa mereka akan menerima layanan yang memenuhi standar tertentu. Ini memberikan perlindungan tambahan bagi konsumen dan mengurangi risiko pengalaman wisata yang buruk.

Pelatihan dan Sertifikasi Pemandu Geowisata 2024

Asosiasi Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI), menyelengarakan pelatihan skema Pemandu Geowisata dan sertifikasi (BNSP). Dilaksanakan pada bulan Juni 2024. Lokasi di Jawa Barat.

Tempat dan waktu
19 Juni 2024. TIC SBKSDA Resor Cagar Alam Pangandaran
22-23 Juni 2024. Tahura Ir. Djuanda, Dago, Bandung
29 Juni 2024. Kantor Dinas Parbud Majalengka
30 Juni 2024. Kabupaten Bogor

Syarat

  1. Minimal usia 18 tahun (KTP)
  2. Minimal SMA sederajat (Ijazah terakhir)
  3. (file) CV dan Pasfoto latar merah 3×4 cm
  4. Memiliki sertifikat pelatihan Pemandu Geowisata atau
  5. Bukti kerja sebagai Pemandu Geowisata 3 tahun

Pendaftaran
Investasi Rp. 500.000.

Termasuk
Konsumsi, materi-trainer, sertifikat pelatihan, fasilitas pelatihan, dan sertifikasi BNSP skema pemandu geowisata.

Tidak termasuk
Akomodasi, transportasi selama kegiatan

Kuota pendaftar terbatas, ditutup sampai tanggal 10 Juni 2024. Bila kuota terpenuhi, pendaftaran ditutup.

Informasi:
Bandung 0813-22393930

Peradaban Tambora Sebelum Letusan 1815

Tayangan ulang Syiar Geowisata, tentang Peradaban sebelum letusan Tambora 1815. Disampaikan oleh Ikhsan Iskandar (PGWI DPW Tambora).

Sudah tidak terbantahkan bahwa letusan Tambora pada 1815, mengarahkan sejarah peradaban. Bukan hanya peristiwa dunia yang dipengaruhinya, namun higga peristiwa di panggung dunia. Dampak dari hasil bawaan kegiatan letusan gunungapi kelas plinian. Namun dalam keterangan dan penelitian yang telah digali, jarang mengungkapkan peradaban sebelum letusan besar tersebut.

Dalam kesempatan program kegiatan Syiar Geowisata, melalui acara dalam jaringan/online mengetengahkan sajian peradaban Tambora sebelum letusan 1815. Disampaikan oleh Ikhsan Iskandar, anggota PGWI Dewan Pengurus Tambora.

Materi (PDF): Peradaban Tambora PRaletusan 1815