Catatah Geourban#31 Dayeuhluhur

Bertepatan dengan perayaan hari raya Imlek, biasanya diasosiasikan dengan langit runtuh melalui bulir-bulir air hujan. Mitos demikian dilalui oleh para partisipan Geourban, menapaki kembali peradaban budaya Sunda abad ke-16 akhir di Priangan timur. Kegiatan dilaksanakan di penutup bulan, tanggal 29 Januari 2025. Merupakan aktivitas menyibak alam dan budaya ke-31, melalui aktivitas jalan-jalan wisata bumi. Kegiatan yang diinisiasi oleh Asosiasi Pemandu Geowisata Indonesia, dengan tujuan membuat jejaring dan mengungkap narasi lokal yang berkaitan dengan wisata bumi.

Diikuti oleh para pegiat konten, wisata dan fotografer berangkat ke bagian timur Bandung. Tepatnya sekitar Kabupaten Sumedang. Moda transportasi sepenuhnya menggunakan kendaraan roda dua, untuk memudahkan jangkauan hingga daya jelajah luas. Terpenting adalah kendaraaan ekonomis yang mampu diandalkan, dimiliki semua orang. Pengelolaan perjalanan seperti ini menjadi cara yang paling efektif, menghindari pergerakan perjalanan yang sering terkendala akibat saling tunggu.

Tema kegiatannya adalah mengupas tentang ruas Jalan Raya Pos saat penguasaan Daendels, kemudian menapaki kembali jaringan jalur kereta api Rancaekek-Tanjungsari di segmen Jatinangor dan Tanjungsari. Dilanjutkan melihat kembali sejarah Kerajaan Sumedanglarang abad ke-16 akhir, di masa pemerintahan Geusan Ulun antara 1579 hingga 1601. Melalui posisi pusat pemerintahan kerajaan Sumedanglarang, pada saat peralihan dari Pangeran Santri ke Geusan Ulun. Rentang waktu antara 1530 hingga 1601, diakhir penguasaan raja terakhir Sumedang Larang sebelum dilebur di bawah penguasaan Mataram.

**

Jelang pagi, langit sepenuhnya dikuasai awan tebal. Berkesan mendung, sehingga cahaya matahari hadir di balik bayang awan. Sedari malam udaranya lembab, seperti hujan akan menguasai sepanjang hari. Tetapi tidak menjadi halangan, partisipan hadir sesuai waktu yang telah dinjanjikan. Titik temu di SPBU Cinunuk, Ujungberung. Setelah brifing singkat, kemudian bergeraka ke Jatinangor, masuk ke wilayah Kabupaten Sumedang.

Selepas kampus Universitas Padjadjaaran, dilanjutkan ke arah timur, menapaki jalan raya yang diusahakan Daendels 215 tahun yang lalu. Sekitar 300 meter berbelok ke arah utara melalui jalan kampung sekitar Cikuda. Jalanannya mulai menyempit, melalui labirin rumah-rumah warga. Aksesnya merupakan gang sempit yang diperkirakan merupakan jalur rel kereta api di masa lalu. Keberadaan relnya sudah tidak ditemui, karena sebagian besar telah ditutup oleh rumah hunian warga atau sudah hilang. Dilanjutkan ke arah utara, sedikit terjal dan berbelok tajam hingga tiba di mulut jembatan. Berupa struktur bangunan yang terlihat masih kokoh, hingga mampu melampaui jamannya. Masyarakat menyebutnya adalah jembatan Cincin atau jembatan Cikuda, karena bentuk lingkar penyangga bagian bawahnya melengkung. Jembatan ini adalah sisa kejayaan industri transportasi kereta api di masa Kolonial, menghubungkan Rancaekek ke Tanjungsari, Sumedang.

Jembatan kokoh yang disangga oleh kolom-kolom menancap di bawah, mengangkangi Ci Kuda, sungai yang berhulu di lereng tenggara G. Manglayang. Di bawahnya ditempati ladang dan sawah warga, kemudian diutaranya adalah kompleks makam tua. Penampilannya megah dan masih bertahan hingga kini. Keberadaanya bersaing dengan Apartemen yang begitu angkuh menutup arah pemandangan G. Geulis-Jarian. Jembatan penghubung Jatinangor-Cikuda ini terletak di Desa Hegarmanah, Kabupaten Sumedang. Merupakan bagian dari jaringan kerja Staat Spoorwagen Verenigde Spoorwegbedrijf, sudah hadir 1918. Saat ini dimanfaatkan sebagai sarana lintasan warga, memotong jalur dari Cikuda ke kampus UNPAD.

Untuk menuntaskan telusur jaringan rel kereta api segmen Jatinangor, dilanjutkan mengunjungi stasiun terakhir di kota Tanjungsari. Lokasinya berada di Tanjungsari, atau sekitar 5 km dari jembatan Cikuda. Keberadaan stasiun in telah berubah menjadi sarana ruang pertemuan umum, namun bentuk dan struktur bangunannya tidak berubah.

Jaringan rel kereta api ini digunakan sebagai sarana angkut hasil perkebunan, dari kawasan perkebunan Tanjungsari, hasi karet Jatinangor, Cijeruk yang dikirim ke Bandung melalui stasiun Rancaekek. Melewati tiga halteu (stasiun), Lebakjati, Warungkalde hingga berakhir di Rancaekek. Diperkirakan jalur ini mati seiring dengan kedatangan Jepang pada 1942, mengangkut batang besi rel untuk kebutuhan perang.

Dilanjutkan ke arah timur, bertandang ke struktur bangunan yang berbentuk atap melengkung, dan memanjang arah timur barat. Panjang struktur tersebut sekitar 12 meter, lebar lebih dari 4 meter. Hanya memiliki satu pintu, lebar 1,5 meter dengan tinggi 2 meter lebih. Sekilas tampak seperti bekas gudang, namun bila dilihat secara detail berkesan memiliki fungsi lain. Diperkirakan merupakan bagian dari sistem pertahanan militer. Berada di jalur raya Tanjungsari, sekitar 300 meter ke arah selatan. Keberadaan struktur bangunan ini mirip dengan bentuk bunker, biasa dipergunakan dalam sistem pertahanan militer.

Mengingat penting nya jalur Sumedang-Bandung, kemungkinan merupakan sistem pertahanan militer. Digunakan sebagai tempat berlindung dari serangan udara, pada saat memasuki perang Asia Pasifik. Seperti yang telah diungkap oleh beberapa ahli sejarah militer, Sumedang memiliki perang sebagai pertahanan militer. Sebagai buffer zone, atau zona penyangga serangan musuh dari arah timur.

Keberadaan Tanjungsari,merupakan sub pertahanan Hindia Belanda. Sehingga jauh sebelum Hindia Belanda berkuasa, pada 25 September 181, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels merilis surat. Didalamnya adalah pemindahan dua ibukota, Kabupaten Bandung dari Krapyak, dialihkan 11 km ke arah utara. menempati posisi alun-alun kota Bandung saat ini. an Kabupaten ke-dua yang digeser adalah Parakanmuncang yang berada di Tarikolot Girang Cicalengka, sesuai dengan keterangan R.A. Kern. Digeser ke Andawadak berlokasi di Ciluluk, sebelah timur Tanjungsari.

Perjalanan dilanjutkan ke arah timur, memasuki sekitar Cadas Pangeran. Selepas Cigendel, ditandai dengan hutan pinus merkusii, jalannya bercabang dua. Satu mengarah ke utara, disebut jalan atas, dan satu lagi mengikuti gawir terjal disebut jalan bawah. Dua jalur tersebut kemudian bersatu kembali di sekitar Ciherang, setelah menempuh panjang sekitar 1,7 km.

Mengambil jalan atas, jelang turun dipercabangan Ciherang didapati prasasti. Disematkan pada dinding tegak, pada batuan breksi vulkanik. Isinya menyebutkan nama yang bertanggung jawab pembangunan Jalan Raya Pos segmen Cadas Pangeran, dan durasi waktu pengerjaan. Dengan demikian diperkirakan jalan atas ini merupakan jalur awal yang dikerjakan 1811 sampai 1812. Kemudian seratus tahun kemudian, dibuka jalur bawah. Dengan alasan untuk menghindari tanjakan dan turunan terjal, sehingga awal tahun 90-an ditingkatkan dengan teknik kantilever, sistem jembatan gantung.

Hanjuang dan Konflik Sumedang dengan Cirebon
Jelang siang, partisipan tiba di Sumedang Utara, tepatnya di Situs Pohon Hanjuang. Peninggalan bersejarah berkaitan dengan sepenggal cerita Sumedang Larang. Menurut juru pelihara Abah Apud, tahun 2020 kondisinya tidak terawat. Sehingga setelah dipercaya bertugas memelihara dan melayani kunjungan, Apud (80 tahun) sedikit demi sedikit menata menjadi lebih baik. Keberadaanya tidak dijelaskan apakah situs ini dikelola melalui dana bantuan pemerintah, atau yayasan. Namun keberadaan situs ini menjadi penting, untuk mengaitkan dengan perjalanan kerajaan Sumedang di masa lalu.

Di dalam ruangan terbuka tanpa atap ukuran 4 x 5 meter, didapati dua batang pohon Hanjuang berdaun warna hijau. Ditempatkan di salah satu sudut ruangan, dibagian tengah merapat pada dinding di bagian barat. Ditata sedemikian rupa, dengan batas menggunakan batubata yang disusun, kemudian ditutup oleh batu. Dengan demikian keberadaannya menjadi perhatian utama, karena di setiap sisi ruangan ditanam Hanjuang dengan daun berwarna merah.

Belum bisa dipastikan, apakah pohon Hanjuang tersebut merupakan hasil dari pohon yang ditanam oleh Jayaperkasa. Bila keterangan papan informasi menuliskan pohon hanjuang bersejaran ditanam oleh Sang Hyang Hawu, atau disebut juga Mbah Jayaperkosa (beberapa sumber ditulis Jaya Perkasa, Jaya Prekosa), kurang lebih 1585. Maka umur pohon tersebut hampir 440 tahun dimasa kini. Bisa jadi pohon tersebut ditanam ulang, karena dalam rentang waktu yang sangat panjang tersebut, tergelar banyak peristiwa bersejarah yang menata wajah Priangan, khususnya Sumedang. Baik dalam kondisi pusat kota yang berpindah-pindah, penguasaan VOC, kolonial Belanda, hingga perang kemerdekaan Indonesia. Jadi bisa saja sebatang pohon tersebut menjadi abai, dan tidak lagi mendapatkan perhatian.

Situs sejarah ini berada di Dusun Pangjeleran, Desa Padasuka, Kecamatan Sumedang Utara. Pohon tersebut menjadi tanda catatan sejarah, dituliskan dalam Babad Sumedang. Kemudian dituliskan dalam Pupuh Sinom, karya maestro Mang Koko Koswara.

Kisah singkatnya pohon Hanjuang sebagai simbol sebuah janji, Jayaperkasa terhadap rajanya Geusan Ulun. Bila daunya layu menandakan ia mati dimedan laga, tetapi sebaliknya bila tumbuh subur menandakan menang perang. Seiring waktu terjadi pertempuran di tapal batas Sumedang, atau di sekitar Sukatali (Hikayat Sumedang, De Indische Courant, A. Ter Haghe, 12 Juli 1941). Diceritakan bahwa pertempurannya memakan banyak yang mati, sehingga mata air di dekatnya berubah menjadi merah.

Pohon Hanjuang atau biasa disebut andong merah (cordyline fruticosa), menjadi simbol bagi budaya Sunda. Tanaman yang dianggap memiliki fungsi sebagai sawen tolak bala. Tumbuhan yang dianggap keramat, mampu menepis gangguan kekuatan gaib dan wabah penyakit. Biasanya diikat diiringi ritual doa dan disematkan pada tempat tertentu di dalam maupun di luar rumah. Selain itu digunakan sebagai penanda seperti batas ladang, kebun, pagar rumah antar kepemilikan yang berbeda. Jika dikaitkan dengan wabah penyakit, biasanya digunakan sebagai pembatas dan jarak agar tidak terjangkit penyakit. Dari sisi medis, tanaman ini bisa dimanfaatkan sebagai obat tradisional, seperti TBC paru, asmat, diare hingga sakit kepala.

Dalam situasi kemelut dan tidak menentu, bayang-bayang serangan dari Cirebon. Geusan Ulun memindahkan ibu kota dari Kutamaya, ke dataran tinggi Dayeuhluhur. Pemindahan tersebut daam kondisi tergesa-gesa hingga lupa dengan perjanjian denga Jayaperkasa. Akibatnya akan menjadi konflik diujung kepemimpinan Geusan Ulun sebagai raja di Sumedanglarang.

Dalam upaya pemindahan ibu kota, dalam rangka menghindari serangan Girilaya dari Cirebon, Geusan Ulun harus menempuh perjalanan dengan menggunakan jalan kaki. Dalam keterangan yang ditulis oleh Haghe (1941), dalam pencariannya tempat harus singgah dibeberapa lokasi. Tempat yang dipilih harus memenuhi persyaratan, diantaranya tersembunyi dari pantauan musuh, mampu melihat arah pasukan penyerang dari segala arah. Pencarian dilanjutkan ke arah timur, dataran tinggi yang berada di Ganesa, sebelah timur Kutamaya.

Lokasi yang akan dituju bisa ditafsirkan mendekati posisi pusat kerajaan pada masa Prabu Guru Aji Putih. Pusat kerajaan Tembong Agung, terletak di Citembong Girang, Kecamatan Ganeas, sumedang. Bila ditarik garis, kurang lebih 4 km. dari Citembong Girang, ke Dayeuhluhur. Dalam keterangan selanjutnya, menyebutkan bahwa putra sulung Prabu Aji Putih, yaitu Batara Tuntang Buana atau dikenal Tajimalela, berkelana ke beberapa tempat. Diantaranya menyebutkan wilayah yang menjadi rujukan Geusan Ulun.diantaranya Gunung Merak, Gunung Pulosari, Gunung Puyuh, Gorowong, Ganeas, Gunung Lingga dan tempat lainya. Dengan demikian, pengetahuan tersebut diperkirakan menjadi referensi penentuan tempat pemindahan ibu kota.

Dalam keterangan penelitian bay Suryaningrat (1983), pada masa pemerintahan Geusan Ulun, terdapat 44 Kandaga atau kepala rakyat, terdiri dari 26 Kandaga Lange (Kepala Wilayah), dan 18 umbul dengan cacah sekitar 9000 jiwa umpi. Dengan demikian tidaklah mungkin seluruh rakyatnya turut serta dalam kepindahan. Jadi diperkirakan hanya jabatan tinggi, keluarga yang terkait dan pendukungn lainya saja yang turut pindah. Sedangkan masyakarata yang tersebar di wilayah Sumedanglarang masih ditempat semula.

Bila dilihat dari peta google maps, didapat jarak tempuh 12,4 km. Dari Kutamaya Sumedang Selatan, ke arah timur melalui Cihonje, Gunasari. Kemudian dilanjutkan mendaki Gorowong, Sukawening. Mendaki lereng utara G. Calangcang-Kareumbi. Kemungkinan Geusan Ulun menerima kandidat lokasi selain Dayeuhluhur, namun karena waktu yang begitu sempit sehingga diputuskan untuk menggeser jauh ke arah timur.

Akses dari Kutamaya ke arah timur, ke daerah Gorowong. Kemudian dilanjutkan dengan berjalan melalui Cikadu, merupakan lembah yang dalam. Jalan setapak sejajar dengan sungai, yang mengarahkan mendaki perbukitan hingga tiba di Dayeuhluhur. Jalur tersebut merupakan jalan lama yang pernah digunakan warga sejak dulu, sebelum dibukanya jalur baru. Jalur jalan lebar, melalui Pasir Datar. Jalan yang baru saja ditingkatkan menjadi beton, untuk membuka akses dari kampung Gorowong ke Dayeuhluhur.

Dayeuhluhur merupakan pegunungan yang memanjang utara-selatan, disusun oleh batuan gunungapi. Dalam peta Geologi Lembar Bandung (Silitonga, 2003), disebutkan sebagai Hasil Gunung Tua Tak Teruraikan. Disusun oleh breksi gunungapi, lahar dan lava berselang-seling (Qvu). Menandakan bahwa punggungan mulai dari utara, sekitar Cibungur hingga puncak G. Bongkok adalah bagian dari sistem gunung api purba. Bila ditarik lagi ke arah selatannya, didapati lingkar kaldera G. Calangcang 1667 m dpl. gawir kalderanya berupa setengah lingkaran dari barat ke timur, terbuka ke arah utara.

Dengan demikian kuat dugaan, endapan gunugapi berupa laharik yang menyusun punggungan Dayeuhluhur berasal dari G. Calangcang. Merupakan sistem kompleks gunungapi purba Kareumbi-Puncakanjung-Calangcang. Dari pembagian fasiesnya, Dayeuhluhur merupakan fasies medial (Bogie & Mackenzie, 1998), bagian lereng utara dari pusat letusan.

Dari titik tinggi ini memberikan keuntungan lebih, diantaranya posisinya terlindungi oleh tinggian. Kemudian dari titik tinggi ini bisa memantau pergerakan musuh yang datang dari utara, dan menjadi benteng alami. Dengan demikian pemilihan Dayeuhluhur sebagai tempat pemerintahan, berdasarkan posisi geografis.

Sepeninggalan Geusan Ulun pada 5 November 1608, kemudian kekuasaanya dibagi dua ( Euis Thresnawati S. 2011). Diberikan kepada Pangeran Rangga Gede, putra sulung dari Nyimas Gedeng Waru dari istri pertamanya. Melanjutkan pusat pemerintahannya di Dayeuhluhur. Versi lain ada yang menunjukan di Canukur. Kemudian hasil dari putra Ratu Harisbaya, Pangeran Suriadiwangsa yang menempati ibu kota di Tegalkalong. Akibat dualisme kepemimpinan ini, berdampak kepada stabilitas politik, menyebabkan beberapa wilayah di bawah Kerajaan Sumedang kemudian melepaskan diri. Seperti Karawang, Ciasem. Pamanukan, dan Indramayu. Sehingga wilayahnya menjadi kecil, meliputi Sumedang, Bandung, Sukapura, dan Parakanmuncang. Pada 1620, Sumedanglarang taklut sepenuhnya di bawah Kesultanan Mataram.

Di sebelah selatan Dayeuhluhur, dibawah lereng G. Gedogan 1039 m dpl. disemayamkan Sang Hyang Hawu atau Mbah Jayaperkosa. Di bawah naungan tegakan pohon kayu, hutan tropis. Elevasinya lebih tinggi dibandingkan dengan makam raja, berada jauh di bagian bawah lereng perbukitan. Dari parkiran utama, kemudian mendaki melalui jalan warga. Menapaki tangga yang telah disediakan, hingga memasuki gerbang makam. Jaraknya kurang lebih 900 meter, mengikuti kontur perbukitan. Memasuki gerbang, kemudian disambut oleh vegetasi hutan hujan tropis, dan beberapa fauna yang masih bisa dilihat. Menandakan hutan makam tersebut tidak secara langsung dikonservasi. Berbeda dengan makam Geusan Ulun yang tertutup menggunakan atap. Makam Mbah Jayaperkosa ini dibiarkan terbuka. Ditata dengan menggunakan tumpukan batuan andesit, dengan tanda berupa batu berbentuk kolom. Sekelilingnya ditutupi oleh pagar besi, setinggi 2 meter.

Dilingkungan pemakaman ini, disediakan surau sederhana dan air untuk wudhu. Memberikan kesempatan kepada para peziarah untuk melaksanakan tawasulan, doa ucap syukur untuk berkah para pendahulu dan kesejahteraan untuk yang masih hidup.

Pungngungan perbukitan Dayeuhluhur, memanjang utara-selatan, dengan kerucut G. Bongkok.
Makam Jaya Perkasa, di puncak Dayeuhluhur

Tautan video Geourban#31 Dayeuhluhur
https://www.youtube.com/watch?v=t0XxQPAtAl0&t=734s

Geouban# 30 Jayamekar

G. Bandera merupakan bagian dari puncak-puncak yang berada di sebelah utara Waduk Saguling. Bentuknya berupa perbukitan yang memanjang baratdaya-timurlaut, mulai dari Jayamekar hingga Cikande. Dari peta Rupa Bumi Indonesi/RBI Lembar Padalarang (2000), menuliskan beberapa puncak. Disebelah timur puncak G. Bakung 816 m dpl., G. Puter 889 m dpl., Pasir Lampegan 868 m dpl. kemudian masih berjajar ke arah timur dengan posisi lebih tinggi G. Pancalikan 963 m dpl., G. Halimun 972 m dpl. kemudian melandai ke arah barat. Ditempati Pasir Sopak 856 m dpl., dilanjutkan Pasir Cibuntu 856 m dpl.

Jajaran perbukitan tersebut bagian dari Rajamanda Ridge, atau punggunga Rajamandala. Sejajar dengan jalan raya penghubung Bandung-Cianjur di Citatah, Padalarang. Jalan raya ini membelah perbukitan karst, yang disusun oleh batuan karbonat. Ditafsirkan sebagai karang penghalang/barrier reef (Siregar, 2005) yang diendapak sejak Oligosen Akhir hingga Miosen Awal, sekitar 25-15 juta tahun yang lalu.

Sedangkan kelompok G. Bendera yang berada disebelah selatannya, disusun oleh sedimen klastik gunungapi. Satuan batuannya disusun oleh hasil pengendapan dilaut dalam, seiring waktu terangkat hingga 670-900 m dpl. dpl., lebih. Buktinya tersingkap berupa batulanau dan batupasir tebal di Cikande, hasil kegiatan perlipatan serta tersesarkan. Ke arah selatannya, sekitar Cigintung, ditemui sisa penambangan yang menyinkapkan endapan gunugapi umur Kuarter. Tebal dan membentuk perbukitan, kemudian melandai ke arah selatan.

Mari temui bukti pebukitan terlipat, melalui pengamatan di puncak G. Bendera. Bukti endapan laut dalam di Cikande dan hasil letusan gunungapi berupa endapan awan panas (ignimbrite) di Cigintung. Hasil letusan gunungapi kelas plinian, mengalirkan awan panas sejauh 19 km dari pusat letusan (Pyroclastic density currents). Akibat temperatur tinggi hingga lebih dari 500 derajat celcius, kemudian terelaskan (welded).

Hari/Tanggal
Sabtu, 1 Februari 2025

Waktu
08.00 WIB sd. 13.00 WIB

Titik pertemuan (meeting point)
Geotheather Hawu-Pabeasan, Cidadap, Padalarang

https://maps.app.goo.gl/DFsof9faAExBjxPv5

Syarat dan ketentuan
Kegiatan bersifat mandiri dan probono, dipersilahkan mengatur moda transport (disarankan roda dua). Mohon dipersiapkan kelengkapan kondisi cuaca, kegiatan hiking dan kebutuhan pribadi lainya.

Tentang Georuban
Berjalan sejak 3 tahun yang lalu, oleh Asosiasi Pemandu Geowisata Indonesia. Menginisiasi, menggali wisata bumi, melalui narasi, interpretasi dan membuka jaringan silaturahmi lokal.

Catatan Singkat Geourban#26 Palasari

Ujungberung diintepretasikan hadir jauh sebelum Daendels membuat jalan Raya Pos 1810-1811. Dengan demikian sudah ada budaya yang hadir di sebelah Bandung Timur.  Merujuk peta lama, Kaart van de Priangse landen ofwel een gedeelte van de noordkust van Java, 1600. Menyebutkan hadirnya wilayah di sebelah utara Parakanmuncang.

Kunjungan pertama adalah menapaki aliran lava di Ci Panjalu. Lokasinya terletak di Cilengkrang utara, sejajar dengan jalan Palalangon, Kabupate Bandung. Jalan yang menghubungkan Cigending atau Alun-alun Ujungberung ke utara, melalui Palintang. Dialiran sungai tersebut didapati dua air terjun, sebelah utaranya adalah Curug (air terjun) Orok, mendekati ke arah Jembatan Cipanjalu. Kemudian ke arah hilinya disebut Curug Kacapi. Dilokasi ini didapati sumber mata air, dari rekahan batuan lava. Disebut mata air kontak, terbentuk akibat kontak antara lapisan akuifer dengan lapisan impermeable pada bagian bawahnya. Air mengalir pada batuan piroklastik yang memiliki porositas, bersifat meloloskan air. Kemudian mengalir di atas batuan lava dan keluar melalui biidang-bidang rekahan.

Sungai tersebut merupakan lembah yang dialasi oleh batuan lava berwarna abu-abu gelap. Berupa lava tebal dengan struktur kekar kolom. Di Curug Kacapi membentuk dinding tegak yang diperkirakan merupakan struktur sesar minor. Batuannya berupa lava tebal, dengan struktur kekar lembar. Batuannya cenderung berwarna hitam, menandakan pengaruh kualitas air yang tercemar berat. Mengingat Ci Panjalu hulunya di Cilengkrang, bagian dari Daerah Aliran Sungai Ci Tarum.

Jalan tersebut memisahkan dua batuan penyusun yang berbeda. Disebelah timurnya merupakan produk hasil kegiatan letusan gunungapi Manglayang. Kemudian disebelah baratnya adalah endapan dari kegiatan kegunungapian Prasunda-Sunda dan Tangkubanparahu. Soetoyo dan Hadisantono (1992), menguraikan stratigrafi gunungapi blok Cimenyan-Cilengkrang, disusun oleh endapan kegiaatan gunungapi Prasuda-Sunda-Tangkubanparahu. Produknya diantaran tuff, piroklastik dan aliran lava.

Umurnya sekitar Pleistosen, seperti yang disampaikan dalam hasil penelitian Kartadinata (2005). Endapan yang hadir di sektiar lereng selatan G. Palasari, adalah hasil dari empat fase letusan gunungapi di sebelah utara. Yaitu produk letusan Prasunda, kemudian Sunda, Tangkubanparahu Tua dan fase terakhir adalah G. Tangkubanparahu Muda.

Lava yang tersingkap sangat masif/tebal, dierosi sungai dan membentuk ari terjun. Arah alirannya dari utara ke selatan, memotong lava masih dengan struktur berlembar. Dalam penelitian Naufal Fajar Putra (2021), dimasukan kedalam Satuan Aliran Lava 3 Cisanggarung, mendetailkan hasil penelitian Soetoyo dan Hadisantono (1992) dalam satuan aliran lava Sunda (Sl).

Arah alirannya dari utara ke selatan, sehingga sumber lava di Curug Orok masuk ke dalam Satuan Aliran Lava dari hasil kegiatan letusan penutup pembentukan kaldera Sunda.  Dari keterangan di atas, bisa dipastikan batuan di Curug Orok dan Curug Kacapi merupakan batuan beku, hasil kegiatan letusan efusif G. Sunda. Melalui mekanisme aliran lava, mengisi lembah antara G. Palasari-Cilengkrang dan G. Manglayang. Diendapkan miring ke utara, mengikuti topografi sumber aliran.

Strukturnya berlembar, menandakan pada saat lava dialirkan dan membeku. Seiring waktu kehilangan pembebanan dibagian atas, sehingga membentuk struktur berlembar. Struktur yang terbentuk pada batuan berlembar dan mendatara/ horisontal sejajar dengan arah tekanan. Penghilangan pembebanan bisa terjadi karena proses erosi, sehingga material penutup hilang. Kekar lembar di Curug Orok dan Kacapi karena dierosi oleh aliran sungai.

Beralih lokasi kedua, ke arah hulu Ci Panjalu di lereng G. Palasari. Gunung dengan kerucut khas yang hampir mendekati angka dua ribu meter dpl. Menjulang tinggi dan berada pada sistem sesar Lembang segmen timur. Tingginya 1857 meter dpl., berhawa sejuk dan sering tertutup kabut. Kawasannya berada di Perum Perhutani Bandung Utara, sedangkan secara administratif berada di dua desa, Girimekar dan Cipanjalu.

Jalur pendakian terpendek melalui sisi sebelah timur. Diantara punggungan G. Kasur-Manglayang dan G. Palasari, melalui jalan Palintang. Ditempuh sekitar 1.3 km, dengan pertambahan ketinggian sekitar 330 meter, antara lokasi awal pendakian hingga puncak. Dalam pembagian fasies gunung, pendapat Boogie dan Mckenzie (1998). Pendakian dimulai pada fasies proksimal, dengan keterdapatan lava, bresi tuff, hingga tuff lapili. Sedangkan pendakian dari pos awal hingga puncak tidak mendapati sebaran batuan tersebut.

Dengan demikian G. Palasari tidak bisa digolongkan sebagai gunungapi, walaupun memiliki morfologi kerucut. Keberadaanya duduk dijalur Sesar Lembang segmen timur. Mudrik Daryono menyebutkan, panjang sesar tersebut adalah 29 km, mula dari Cilengkrang dibagian timur, kemudian memanjang ke arah timur hingga sekitar ngamprah. Sedangkan pendapat lainya, seperti Iyan Haryanto (2024), melalui pola pengaliran sungai, ekspresi morfologi dan bukti lapangan di tol Cisumundawu membuktikan lain. Iyan memperkirakan jalur Sesar Lembang ini bisa mencapai 40 hinggga 45 km. menerus diutara G. Manglayang hingga Sumedang timur.

Di puncak G. Palasari didapati bidang datar, dengan ukuran kurang lebih 10 x 10 meter. Membentuk persegi hampir kotak, terdiri dari dua pelataran. Dari keketerangan warga, bahwa dahulu masih ada tumpukan batu namun kini sudah sudah hilang. Alasan hilangnnya susunan batuan tersebut tidak pernah ada yang tahu.

Bila merujuk kepada hasil penelitian Dani Sujana (2019), menempatkan tinggian seperti gunung atau perbukitan yang menjulang, dimanfaatkan sebagai simbol sakral dan suci. Baik dari kebudayaan megalitik, menerus hingga kebudayaan Sunda klasik. Diwujudkan dengan cara membangun situs-situs keagamaan, seperti punden berundak. Keberadaanya tentunya perlu penelitian lebih lanjut, mengingat G. Palasari memiliki peranan penting, mengingat di lereng utara ditempat kebuayaan batu loceng. Di bagian selatannya merupakan peradaban Arcamanik, dicirikan dengan peninggalan arca bercorak Hindu.

Dengan demikian perlu untuk menggali dalam bentuk penelitian, dan kajian yang lebih mendalam tentang objek wisata bumi di Ujungberung utara.

Catatan Geourban#24 Panyandaan

Lerengnnya melampar hingga batas jalan raya Ujungberung. Merupakan tekuk lereng aliran dan piroklastik PraSunda dan Sunda, hingga dibatasi oleh dataran rendah ke arah selatan. Dibagian utaranya merupakah blok naik Sesar Lembang segmen Batuloceng.

Lereng tersebut disusun oleh aliran lava tebal G. Prasunda dan Sunda. Kemudian ditutup oleh piroklatik yang telah lapuk. Seiring waktu tererosi kuat, membentuk lembahan ditoreh air dan membentuk sungai-sungai. Alirannya bergeraka ke utara, kemudian masuk menjadi badan air disebut Danau Gegerhanjuang. Merupakan bagian dari sistem Danau Bandung Purba bagian timur, yang mengalami pengeringan. Dalam peta lama F. de Haan (1911), danau tersebut mendekati susut dan ditempati oleh rawa disebut Muras. Melampar dari batas tekuk lereng Ujungberung, hingga ke arah selatan hingga batas aliran Ci Tarum.

Disebut Muras Gegerhajuang, bagian dari sistem danau Bandung Purba. Segmen rawa ini menempati dataran rendah dengan elevasi 678 m dpl. Membentuk rawa (muras), membentang dari utara sekitar jalan raya Ujungberung, kearah selatan hingga dibatas jalan raya Baleendah-Ciparay.

Kondisi demikian menyebabkan hunian berada di sebelah utara, menghindari rawa. Lingkungan tersebut mengundang hadirnya malaria. Selain itu rawa bukannlah tempat yang tidak ideal untuk mendirikan rumah, karena kondisi permukaanya yang mudah amblas. Termasuk sulitnya mendapatkan air layak minum. Sehingga hunian dan peradaban bergeser ke arah utara, relatif lebih aman, sumber daya alam melimpah dan lebih sejuk.

Lahan yang subur, menarik juragan perkebunan Andries de Wilde merintis perkebunan kopi di utara Ujung Berung jauh sebelum jalan Raya Pos Daendels dibuat. Pembuatan jalan tersebut bertujuan menggerakan distribusi pengiriman kopi dari priangan pedalaman hingga ke Batavia melalui Cikao Bandung Purwakarta. Sedangkan jalur distribusi ke arah timur, didistribusikan di gudang kopi di Karangsambung. Lokasi tersebut kini jembatan Ci Manuk di perbatasan Sumedang dan Majalengka atau sekitar Tomo.

Kondisi alam demikian, mendorong budaya menyebar ke arah utara atau sekitar Cimenyan. Kehadiran peradaban tersebut, dikuatkan dengan keterangan dari catatan perjalanan Bujangga Manik. Diyakini kebudayaan disekitar utara muras tersebut hadir sejak abad ke-16. Dicirikan dengan temuan situs budaya dan kepercayaan masyarakat lokal tentang sebaran patilasan.Tinggalan budaya berupa pekuburan tua dengan ciri seperti circle stone (batu gelang). Tersebar di Pasir Panyandaan, Cimenyan hingga berbatasan dengan Caringintilu, Kabupaten Bandung di bagian baratnya.

Kebudayan lama tersebut hidup di atas endapan batuan gunungapi purba. Disusun lava dan piroklasatik. Aliran lavanya mebentuk struktur berlembar, akibat proses pembekuan dan kondisi geologi. Dibeberapa keterangan lama, menyebutkan bentuk demikian adalah wujud dari struktur bangunan (candi?). Struktur kekar lembar (sheeting joint), dimanfaatkan sebagai penghias bangunan pemerintahan, seiring rencana pemindahan ibukota Hindia Belanda ke Bandung.

Bukti endapan aliran lava masih terlihat jelas, di Curug Batu Templek, Cisanggarung dan di Sentak Dulang. Dua lokasi kegiatan penambangan, yang sudah dibuka sejak jama kolonial.  Bukti penggunaan batuan tersebut dicatatkan Haryoto Kunto (1986), pondasi Gedung Sate menggunakan batuan yang diambil dari kawasan ini. Batuannya idelal, keras dan memiliki struktur berlembar sehigga disebut struktu sheeting joint, atau kekar lembar. Terbentuk demikian akibat pelepasan beban penutup, sehingga terbentuk rekahan yang mendatar. Dimanfaatkan dengan cara mencongkel rekahan tersebut dan digunakan sebagai pondasi hingga sebagai estetik bangunan.

Asal-usul lava tersebut bersumer dari kegiatan letusan guungapi purba, hadir jauh sebelum Danau Bandung Purba terbentuk. Dalam Peta Geologi Lembar Bandoeng (Geologische Kaart van Java), disusun oleh Bemmelen (1934) menyebutkan litologinya merupakan batuan gunungapi tua. Kemudian didetailkan dalam pemetaan stratigrafi gunungapi oleh Soetoyo dan Hadisantono (1992), merupakan aliran lava hasil letusan gunungapi PraSunda (Prs), kemudian ditutupi oleh produk gunungapi berikutnya yaitu G. Sunda (Sl). Berupa lava andesit abu-abu gelap, porfiritik dengan fenokris plagioklas, piroksen dan sedikit mineral bijih dalam masa dasar gelas dan mineral halus.

Di Pasir Panyandakan, menerus hingga Sontak (sentak?) Dulang, merupakan produk gunungapi PraSunda. Lava ini dianggap paling tua karena kontak langsung dengan batuan sedimen umur Tersier (Soetoyo dan Hadisantono, 1992).

Kebutuhan sumber daya alam tersebut, seiring dengan rencana pemindahan ibu kota Hindia Belanda. Dari Batavia atau Jakarta saat ini ke dataran tinggi Bandung. Arsitek pembangunannya adlaa Silors, duduk sebagai kepala Dinas Bangunan Kotapraj (Gemeentelijk Bouwbedrijf). Tuga utamanya adalah merancang dan emmbangun kompleks bangunan pusat instansi pemerintahan Hindia Belanda di Kota Bandung.

Tambang batu di utara Arcamanik turut menyumbangn pembangunan kota, diantaranya adalah pembangunan gedung Departemen Pekerjaan Umum, Kantor Pusat PTT, Departemen Kehakiman, Departemen Pendidikan dan Pengajaran, Departemen Keuangan dan seterunya. Semuanya dibangun dalam satu kompleks, sejajar ke arah utara dari Gedung Sate saat ini.

Mendaki ke arah utara, menunggangi punggungan Pasanggrahan. Setelah melewati SD Cikawari, jalanan terus menanjak. Pemandangan terbuka luas kesegala penjuru, dihiasi ladang warga yang semakin mendesak ke wilayah Perum Perhutani.bentang alamnya berupa punggungan perbukitan. Sebagian besar wilayahnya ditempati oleh perkebunan warga, pemilikan lahan pribadi. Melampar dari timur ke barat, menempati sebagian besar lereng G. Palasari hingga sebelah timur berbatasan dengan G. Manglayang.

Hanya beberapa tinggian, berupa puncak-puncak bukit yang ditempati oleh tinggalan budaya. Menandakan nenek moyang sudah memandukan bentang alam dan dataran tinggi sebagai tempat yang sakral.

Dalam laporan Rohtpletz hasil kompilasi dari beberapa laporan terdahulu, menuliskan penemuan tinggalan budaya serta situs-situs prasejarah megalitik. Dituliskan di perbukitan titik triangulasi KQ 273, menyebutkan ditemukan beberapa serpih obsidian. Rothpletz menuliskan Künstliche Steilböschungen (vor allem bei Kuppen), diterjemahkan puncak bukit dengan lereng yang curam. Bentuk alam yang memanfaatkan tinggian, kemudian ditata sedemikia rupa. Dalam keterangannya disebutkan juga didapati situs makam pra-Islam (Präislamitische Grabanlagen).

Titik tersebut terdapat di sebelah utara dari kompleks Pondok Pesantren Baitul Hidayah. Berupa kuburan lama yang disusun oleh batuan andesit-basal, tersedia melimpah disekitar perbukitan. Disusun oleh batuan membundar sebesar kepalan tangan hingga bola sepak, kemudian ditemui juga batu ceper yang diduga didatangkan dari sekitar Sentak Dulang. Lokasi penambangan Batu Templek yang berada di sebelah selatannya.

Dalam laporan Johan Arief dalam artikel Misteri Danau Bandung (https://fitb.itb.ac.id/misteri-danau-bandung/), disebut situ Panyadaan 1. Satu situs lagi berada di sebelah timur disebut Situs Panyandaan 2. Dalam keterangannya merupakan temapt palitas atau tilem.moksa Eyang Sri Putra Mahkota Raden Mundingwangi, putra dinasti ke-8 dari Raja Sunda.

Berjalan ke arah utara, ditemui punggungan perbukitan yang ditempati bongkah-bongkah batuan yang telah lapuk. Warga menyebutnya Batu Buta, atau batu dengan ukuran besar. Menempati bagian puncak punggungan bukit, tersebar memanjang dari utara ke selatan. Ukurannya beragam, mulai dari ukuran sebesar kelapa hingga mendekati ukuran mobil. Di sebelah timurnya yang dipisahkan oleh lembah, didapati kuburan tua. Masyarakat menyebutnya Makam Waliyullah Eyang Jaya Dirga. Dalam laporan Rothpletz merupakan gundukan tanah berbentuk elips, disusun oleh batuan gunungapi. Ukuran panjang sekitar 4,8 meter, dan lebar 3.4 meter. Dalam laporan Johan Arif (2024), didapati empat mehir dari batuan andesit disetiap sudut gundukan tanah.

Sebelah selatan dari Batu Buta berupa hamparan ladang warga. Didapati batuan obsidian, melimpah dipermukaan tanah. Ukurannya sangat beragam, mulai dari ukuran koin hingga kerakal dan tersebar dipermukaan. Lahannya sebagian besar pemilikan pribadi, kemudian diusahakan menjadi perkebunan palawija hingga sayuran.

Keberadaan fragmen obsidian tersebut menjadi tanda tanya besar, bagaimana bisa tersebar di dataran tinggi daerah Panyandaan. Apakah lokasi ini menjadi jalur perlintasan pengangkutan batuan obsidian? atau malahan menjadi tempat pengerjaan membentuk bongkah menjadi alat untuk berburu. Karena fragmen yang didapati disekitar wilayah ini tidak berbentuk mikrolitik, seperti mata tombak, panah atau alat untuk menyayat/pisau. Sebagian besar fragmen yang dikumpulkn berupa fragmen serpih yang diduga merupakan sisa atau sampah produksi pengerjaan alat batu.

Keberadaan fragmen obsidian ini tentunya menarik, selain pernah dilaporkan sebelumnya oleh Rothpletz pada akhir pendudukan kolonial. Hingga kini masih bisa ditemui, seperti pada laporan hasil penelusuran budaya obisidian di utara Bandung. Seperti yang ditelursuri oleh Anton Ferdianto (2012), melaui penelitian Balar Arkeologi Bandung. Melaporkan sebaran obsidian sebagian bear berada di utara Bandung. Diantaranya ada 14 titik yang mengandung temuan obsidian seperti di segmen Dago Pakar, Pasir Soang, daerah Cikebi, Kawasan Cimenyan termasuk Pasir Panyandaan.

Seperti yang diungkapkan pada hasil penelitian sebelumnya. Keberadaan sebaran batu obsidian ini ditemukan tidak hanya disebelah utara Bandung, tetapi menyebar hingga kawasan karst Citatah hingga Bukit Karsamanik.

Keberadaan fragmen obsidian yang melimpah di sekitar Pasir Panyandaan, menjadi tanya tanya besar. Bagaimana batuan tersebut berasal, kenapa tersebar begitu banyak dan mudah ditemui dipermukaan perkebunan. Apakah dibawa oleh peradaban lama, kemudian dimanfaatkna menjadi alat batu? Apakah Dago Pakar merupakan satu-satunya tempat pembauatan perkakas batu? Temuan tersebut menjadi menarik untuk dijawab melaului penelitian lanjutan.

Pemaparan di Batunyusun
Keterdapatan obsidian di sekitar Pasir Panyandaan yang melimpah
Pelapukan pada batuan di Pasir Panyandaan
Kuburan yang diduga praIslam di Pasir Panyandaan

Geourban#22 Ciater

Kaki gunung sebelah timur Tangkubanparahu, memiliki cerita bumi dan sejarah sistem pertahanan militer perang dunia ke-2. Jalan dari utara ke selatan, penghubung Subang-Bandung. Jalur sempit yang mengikut tekuk lereng G. Tangkubanparahu, dan berkelak-kelok menanjak mengikuti kontur perbukitan.

Lerengnnya disusun piroklastik, dan lava membentuk perbukitan yang melandai ke arah timur. Gunungapi ini mulai membangun dirinya sejak 90 ribu tahun yang lalu, menghasilkan aliran lava ke arah Ciater. Terlihat tiga perbukitan intrusi yang kini menjadi menara pandang perkebunan teh Ciater. Ditafsir gunungapi kerucut sinder, umurnya lebih tua dari yang menjadi saksi pembentukan G. Tangkubanparahu.

Disebelah baratnya, dilalui jalan Raya Subang-Bandung. Tentara Kerajaan Belanda (KNIL), membut sistem pertahanan yang memanfaatkan celah sempit Cingasaahan. Membangun bungker (pilbox), untuk menahan laju pasukan Jepang yang masuk melalui Kalijati Subang. Setelah dua hari pertempuran hebat, 7 Maret 1942 KNIL menyerah dan Jepang mengusai Bandung. Mengakhiri kekuasaaan kolonial di Jawa dan sebagain besar Indonesia.

Mari temui jejak letusan G. Tangkubanparahu, perbukitan intrusi G. Malang-Palasari. Peran kontur tekuk lereng yang digunakan sebagai basis pertahanan militer KNIL Belanda di sekitar Cipangasahan, Ciater.

Hari/Tanggal
Sabtu, 3 Agustus 2024

Waktu
07.00 WIB sd. 13.00 WIB

Titik Pertemuan
Gerbang Tangkubanparahu
https://maps.app.goo.gl/kU5o14fb8dMcvCqv9

Syarat dan ketentuan
Kegiatan probono, bersifat mandiri (transport, logistik) dipersiapkan sendiri. Disarankan menggunakan motor/roda dua laik jalan.

Tentang Geourban
Diinisiasi oleh PGWI, menjalin jejaring lokal, menggali tafsir tapakbumi dan syiar geowisata.

Catatan Geourban#9 Gegerhanjuang

“Sudah digali lebih dari 50 meter, namun airnya masih berbau dan berwarna kuning” jelas seorang ibu di perumahan di belakang Gedung Leger, Cisaranten Bina Harapan, Ujung Berung. Selian mengeluh masalah air, ibu tersebut menjelaskan bahwa sebelum menempati perumahan tersebut, harus menata tanah yang kelak didirikan perumahan di belakang Gedung Leged saat ini. Tanah rawa tersebut diurug menggunakan material barangkal setinggi dua meter. Menurut si Ibu, warga di perumahan di Jalan Golf Raya tersebut saat ini menggunakan sumber airtanah dari bantuan proyek perumahan KPBU perumahan Cisaranten Pusjatan. Kualitas airnya baik, didapat dari hasil pengeboran lebih dari 150 meter, hingga perlapisan batu pasir pembawa air (akuifer) pada Formasi Cibeureum. Formasi ini ditindih oleh Formasi Kosambi atau endapan danau disusun lempung pasiran, sehingga mengalirkan air dalam jumlah terbatas (akitar).

Pembangunan rusun BMN PUPR dan Keluhan warga airtanah yang tidak bisa dikonsumsi, dan tanah didominasi lempung merupakan ciri lingkungan rawa situ Pariuk. Sisa situ seluas kurang lebih 2 hektar, merupakan bagian dari sisa danau Moeras Gegerhanjuang, segmen timur pascadanau Bandung Purba. Terbentuk kurang lebih antara 20.000 hingga 16.000 tahun yang lalu, seiring dengan pengeringan Danau Bandung Purba (Dam, 1984).

Kegiatan Geourban ke-9 merupakan program kerja asosiasi Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI), berupaya menggali jejaring geowisata dan pemetaan potensi wisata alternatif kebumian. Kegiatan probono ini dilaksanakan hari Sabtu, 4 Februari 2023, dengan tujuan menelursuri kembali sisa-sisa danau, muras (rawa), dan kalimati (oxbow lake) dan sistem meander Ci Tarum. Dimulai tepat jelang siang, sekitar pukul 07.30 WIB. Mengambil titik pemberangkatan dari depan kantor Dirjen Binamarga, PUPR jalan A.H. Nasution. Total peserta adalah delapan orang, dengan latar belakang beragam dan profesi. Mulai dari pegiat pariwisata, pemilik biro perjalanan wisata, influencer hingga aktivis lingkungan.

Acara dibuka dengan penjelasan rencana perjalanan oleh Deni Sugandi, selaku pegiat geowisata dan pemandu geowisata. Menguraikan tema kegiatan, dan lokasi-lokasi yang menarik untuk dikunjungi dan diamati.

Total perjalanan adalah kurang lebih 17 km, dari utara ke selatan, mengikuti aliran Ci Pamokolan dan memotong utara-selatan di lingkar dalam Moeras Gegerhanjuang.

Moeras atau muras Gegerhanjuang adalah lingkungan rawa di dataran rendah, menempati sebagian besar Ujung Berung. Di sebelah utaranya dibatasi oleh kipas volkanik produk dari G. Manglayang. Kemudian ke sebelah timur disekitar Pangaritan atau Cibiru, dan dibagian selatannya dibatasi aliran Ci Tarum antara Ciparay-Bojongsoang. Deni memperlihatkan peta geologi awal yang disusun oleh Bemmelen (1954), terlihat batas morfologi dilihat dari pola sungai. Dari utara, atau hulu memperlihatkan pola sungai trelis, menandakan sungai-sungai yang berada dilereng gunung. Arusnya deras, dan erosinya vertikal, sehingga bila dilihat dari penampangnya membentuk huruf v. Bergerak jauh ke arah selatan, didataran rendah memperlihatkan sistem pola sungai meandering. Menadakan arus lemah, dan mengendapkan bahan-bahan yang diangkut dari hulu. Seiring waktu karena proses pengendapan, mengakibatkan kegiatan erosi yang dapat membelokan jalur sungai. Akibat erosi horisontal, pengendapan dan morfologi kemudian membentuk jalur sungai yang berkelok-kelok atau pola meander.

Kunjungan ke-dua adalah di sekitar Bojongsoang. Terlihat hamparan sawah seluas mata memandang. Dataran rendah yang didominasi oleh sawah dan balong luas (kolam), dipagari oleh rumah-rumah warga. Pada peta geologi disebutkan kawasaan ini merupan dataran rendah yang disusun oleh endapan danau (Silitonga, 1973). Dari pengamatan terlihat singkapan batu lempung, batu lanau dan batu pasir yang belum kompak, disebut Formasi Kosambi (Koesoemadinata dan Hartono, 1981).

Jelang matahari lebih tinggi, mengantarakan rombongna bermotor melintas Ci Tarum melaui Sasak Paris Rancatatang, Sapan Tegalluar. Jembatan gantung dengan struktur besi penyangga, menghubungkan antara Sapan Tegalluar di utara, ke Bantar Sari di sebelah selatannya. Turun dari jembantan tersebut, langsung berhadapan dengan kalimati (oxbow) Patrol dan Jelekong. Dua kalimati yang telah menjadi danau karena arah aliran dialihkan lurus secara lateral, oleh kegiatan penyodetan. Kurang lebih ada 14 kalimati (oxbow) disepanjang aliran Ci Tarum, dari Bojongsoang hingga Mangahang. Sungai tersebut mampu menampung air kurang lebih 1.2 juta meter kubik, sehingga cocok untuk digunakan sebagai embung untuk pertanian dan pesawahan dan sebagai kolam retensi saat sungai meluap.

Menurut warga Sumbersari, Ciparay, bahwa kegiatan penyodetan tersebut mempercepat aliran Ci Tarum dari hulu ke hilir. Namun menurut Pa Dedi, akibatnya sering terjadi pendangkalan, sehingga harus terus dilakukan pegerukan secara berkala. Dedi menyampaikan pengalamannya, saat musim hujan tinggi aliran meluap dan membawa lumpur sangat tebal.

Perjalanan dilanjutkan tapakbumi terakhir, ke Gunung Munjul, Manggahang, Baleendah. Menyusuri bantaran Ci Tarum dari Sapan ke arah barat hingga sekitar Manggahang. Dari penelusuran tersebut terlihat upaya pemerintah melalui satuan tugas kerja Citarum Harum, agar terjadi peningkatan kualitas lingkungan sungai. Masih ada beberapa sampah yang terbawa dari hulu, kemudian mengendap dibantaran sungai.

Gunung Munjul 685 m dpl. adalah perbukitan yang tumbuh dalam sistem intrusi batuan gunungapi Baleedah. Umurnya adalah Tersier, atau sekitar 3.2 sampai dengan 2.8 juta tahun yang lalu (Bronto drr., 2006). Dalam beberapa informasi warga lokal, disebutkan bahwa Gunung Munjul merupakan titik pertemuan antara Kian Santang dan Prabu Siliwangi. Mengenai benar atatu tidaknya, tentunya perlu kajian lebih dalam, berkaitan dengan data sejarah budaya. Pada tahun 2015, Gunung Munjul telah menerima status Cagar Budaya, sebagai situs yang dilindungi keberadaanya. Bila menggali informasi melalui daring, perlu berhati-hati untuk memaknai dengan Prasasti Munjul (batu tulis) di Kabupaten Pandeglang. Jadi antara Gunung Munjul Baleedah, dan Prasasti Munjul di sungai Cidanghyang Banten berbeda.

Bila membandingkan kembali peta lama Java. Res. Preanger Regentshcahppen, Blad H XXIII, Topographisch Bureau, Batavia, 1906. Menggambarkan meander Ci Tarum persis mengalir disamping Gunung Munjul disebelah utara. Kondisi saat ini, aliran berkelak-kelok tersebut telah hilang karena disodet. Sehingga jarak ke aliran Ci Tarum kurang lebih 850 meter ke arah utara (Peta RBI

Bila merujuk kepada pendapat Rien Dam, menuliskan dalam laporannya bahwa tinggi genangan (paras) tertinggi permukaan air Danau Bandung Purba adalah 690 m dpl. Sedangakan dalam peta RBI (2001).

Catatan Singkat Geourban#20 Sukatinggi

Sejak kemarin hujan membasahi lereng G. Tangkubanparahu. Awan hujannya terus menggelayut sejak pagi hingga jelang siang, seperti membayangi puncak gunung. Namun jatuh di hari minggu, 26 Mei 2024 cuacanya kembali normal serta cerah. Berkah bagi partisipan Geourban untuk menapaki kembali kuasanya G. Tangkubanparahu di utara Bandung. Acara ini diikuti oleh pegiat geowisata, influencer, pemandu dan mahasiswi pariwisata di perguruan tinggi Bandung.

Kegiatan menapaki tapak bumi kali ini, bertandang ke wilayah perkebunan teh Sukawana, di Parongpong Lembang. Perkebunan yang menempati sebagian besar lereng sebelah barat G. Tangkubanparahu. Tujuannya adalah melihat kembali, upaya kolonial membuka lahan hutan menjadi perkebunan. Selain itu ingin melihat, bagaimana gunungapi memberikan berkah kesuburan untuk industri perkebunan kolonial di Bandung utara.

Selanjutnya adalah menelusuri kembali jejak dan bukti letusan G. PraSunda-Sunda di sekitar perbukitan Sukatingg, Parongpong utara. Sebagai penutup berkunjung ke tubir kawah Upas, G. Tangkubanparahu. Melihat depresi kawah yang dibuka oleh letusan 90 ribu tahun yang lalu, dan bukti endapan letusan G. Tangkubanparahu Tua.

Perjalanan dimulai dari perempatan antara jalan masuk perkebunan teh Sukawana dan Jalan Kolonel Masturi. Nama yang disematkan pada jalan yang menghubungkan antara Cimahi utara ke Parongpong Lembang. Masturi adalah mantan Bupati Bandung pada 1967 hingga 1969. Merupakan bupati kedua dari latar belakang militer, praktik dwi fungsi disistem pemerintahan daera saat itu. Bertugas sebagai pemangku administrasi pelaksanaan pemerintahan daerah, sekaligus memiliki peran sebagai pemangku tugas pertahanan dan keamanan.

Masturi merupakan tokoh penting dalam sistem pengaman di daerah Pangalengan, mengingat kondisi politik setelah Gerakan 30 September menggoyang stabilitas keamanan negara. Selain itu Masturi mencetuskan sistem kerja Repeh Rapih Kertaraharja, menjadi semboyan pembangunan Kabupaten Bandung pada masa itu. Makna kata kertaraharja menyiratkan bahwa sebagian besar tanah di Kabupaten Bandung subur dan makmur.

Memasuki jalan makadam ke arah utara, disuguhi bentang alam khas dataran tinggi priangan. Berbukit-bukit dan membentuk tinggian yang dihiasi oleh hamparan hijau perkebunan teh. Pengelolaan lahannya milik negara, melalui PTPN VIII Sukawana, Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Dari data Badan Pusat Statistik mencatat, lahan negara tersebut seluas 86,832 hektar, menempatkan perkebunan ini menjadi perkebunan paling luas di Indonesia. Proporsi luas perkebunan teh mencapai 77.31 persen dari total area perkebunan teh di negeri ini. Seluas mata memandang tidak seluas hasil produksi teh khususnya di Jawa Barat. dilaporkan bahwa kini perkebunan teh mengalami penurunan produksi, termasuk program hilirisasi yang tidak berjalan dengan optimal, lahan terbatas, dan sebagainya (Basorudin, dkk., 2019).  Menurunnya hingga 90,324 ton, dari tahun 2013 hingga 2015. Padahal hasi teh perkebunan di Jawa Barat menempati total produksi hampir 68 persen produksi teh nasional.

Barangkali kondisi demikian mendorong kebijaksanaan untuk melepaskan sebagian lahan, disewakan kepada investor. Seperti kini yang terjadi di sekitar kawasan perkebunan, telah beralih fungsi menjadi wisata berbasis investor besar.

Dari titik ketinggian sekitar Karyawangi, Parongpong. Bentang Alamnya adalah perbuikitan yang itutupi  oleh perkebunan teh. Wilayahnya mendesak ke arah utara, mendekati lereng G. Tangkubanparahu atau sekitar Leuweung Tiis, masuk ke dalam wilayah konservasi. Dari peta sebaran batuannya, disusun oleh jatuhan piroklastik, berupa abu hingga ukuran kerikil. Material hasil kegiatan awal pembentukan G. Tangkubanparahu sekitar 90 ribu tahun yang lalu. batuan hingga abu gunungapi, seiring waktu kemudian lapuk yang diperkaya dengan unsur-unsur seperti magnesium da kalium. Unsur tersebut menghasilkan tanah yang subur. Dengan demikian, wilayah ini dipilih menjadi pengembangan kawasan perkebunan teh sejak kolonial, karena memiliki tanah yang ideal untuk perkebunan.

Perjalanan dilanjutkan menyusuri jalan kontrol perkebunan, didominasi makadam (berbatu). Di Sebagian tempat jalan tersebut membentuk ceruk, karena erosi air. Jalur ini menjadi jalan favorit pendakian santai dari Trek 11 Parongpong utara, ke puncak G. Tangkubanparahu. Selepas batas vegetasi antara perkebunan dan wilayah BKSDA.

Wilayah konservasi tersebut menyusut, akibat perubahan status menjadi Taman Wisata Alam G. Tangkubanparahu. Saat ini dikuasai oleh pihak swasta, melalui investor PT GRPP pada masa menteri MS Kaban. Luas wilayah pemanfaatnya hingga 231 Ha (Bapenda KBB, 2023), dengan waktu kontrak hingga 30 tahun. MS Kaban dijatuhi vonis 5 tahun penjara pada 2 Juli 2014, karena tindak pidana korupsi, karena perannya memberikan suap kepada sejumlah anggota DPR-RI serta pejabat kementerian.

Dari puncak G. Tangkubanparahu, atau lebih dikenal dengan Upas Sunrise bisa menyaksikan kawah ganda Upas-Ratu. Selain dua kawah utama, didapati juga kawah-kawah lainya yang duduk sebagai kawah pusat, seperti kawah Badak di sebelah barat timur kawah Upas. Dilaporkan pernah aktif pada 1935, berupa lapangan kawah dengan manifestasi permukaan berupa lubang solfatara. Saat ini bisa dilihat di sebelah pemancar TVRI.

G. Tangkubanparahu lahir di tengah-tengah kaldera Sunda. Tipenya adalah gunungapi gunung api strato, dicirikan dengan perselingan lava dan piroklastik yang membangun tubuh gunugapi tersebut. Titik tertingginya 2084 m dpl. berada di sebelah utaranya, sedangkan di bagian tengahnya ditempati komplek kawah pusat.

Bila berdiri di atas tubir kawah Upas, kemudian memandang ke arah timur. Terlihat jajaran kawah-kawah yang terbentuk dalam waktu yang berbeda. Di penelitian Nasution (2004), aktivitas G. Tangkubanparahu hadir sejak 62 ribu tahun yang lalu, letusannya adalah magmatik dan freatomagmatik. Tentunya proses pembangunan tubuh gunungapinya jauh sebelum itu, atau sekitar 90 ribu tahun yang lalu. Bukti letusannya adalah pembentukan kawah di luar lingkar Upas-Ratu ke arah barat. Saat ini ditempati oleh tower-tower relay dan pemancar milik perusahaan BUMN. Letusannya masuk dalam stratigrafi G. Tangkubanparahu Tua. Antara 90 ribu hingga 40 ribu tahun yang lalu (Nasution, 2004). Selanjutnya adalah pembentukan kawah pusat Upas sekitar 40 ribu tahun yang lalu, disusul oleh pembentukan kawah Ratu yang bergeser ke arah timur. Kawah ini terbentuk sekitar 10 ribu tahun yang lalu.

Seterusnya posisi kawah tersebut berpindah, dari barat ke timur. Hingga terbentuk kompleks kawah samping Domas-Jarian-Siluman-Jurig. Dengan demikian menandakan, adanya zona lemah atau rekahan yang berarah barat-timur. Akibat perpindahan pusat letusan tersebut, mengakibatkan G. Tangkubanparahu tidak pernah terbentuk kerucut.

Kegiatan ditutup dengan meluncurkan buku Kaldera Sunda: Letusan Plinian di Priangan (2024). Buku yang disusun sejak 2022, memuat cerita tentang bukti letusan G. PraSunda-Sunda dan G. Tangkubanparahu.

Menjelang kabut menggelayut di puncak gunung, partisipan bergegas turun melalui Sukawana. Jalan yang turun yang dilalui berbeda dengan jalan naik, sehingga bisa melihat perbedaan vegetasi pegunungan. Acara ditutup di lereng Sukawana, dengan harapan kegiatan ini menguakkan tabir bumi, menjadi narasi yang bisa digunakan untuk kegiatan interpretasi dan pemanduan geowisata.

Foto bareng di tubir kawah Upas, G. Tangkubanparahu.
Bidang perlapisan, memperlihatkan sikuen letusan G. Tangkubanparahu.

Peradaban Tambora Sebelum Letusan 1815

Tayangan ulang Syiar Geowisata, tentang Peradaban sebelum letusan Tambora 1815. Disampaikan oleh Ikhsan Iskandar (PGWI DPW Tambora).

Sudah tidak terbantahkan bahwa letusan Tambora pada 1815, mengarahkan sejarah peradaban. Bukan hanya peristiwa dunia yang dipengaruhinya, namun higga peristiwa di panggung dunia. Dampak dari hasil bawaan kegiatan letusan gunungapi kelas plinian. Namun dalam keterangan dan penelitian yang telah digali, jarang mengungkapkan peradaban sebelum letusan besar tersebut.

Dalam kesempatan program kegiatan Syiar Geowisata, melalui acara dalam jaringan/online mengetengahkan sajian peradaban Tambora sebelum letusan 1815. Disampaikan oleh Ikhsan Iskandar, anggota PGWI Dewan Pengurus Tambora.

Materi (PDF): Peradaban Tambora PRaletusan 1815

Catatan Singkat Geourban#19 Cigulung

Jelang pagi matahari masih bersahabat, namun beranjak siang langit Bandung utara bersalin gelap. Awan hujan menggelayut selepas dzuhur, seperti ingin mencurahkan bebannya. Hujan sekilas dibawa angin saat kami bernaung di warung, kemudian dilanjutkan ke pokok pembahasan mengenai latar bangunan militer kolonial di Pasirmalang,

Bentuknya memanjang mengikuti punggungan perbukitan, panjang fasadnya kurang lebih 30 meter. Berupa struktur bangunan yang memiliki dua tangga dari arah selatan, kemudian bagian atasnya datar. Kemungkinan di bagian atasnya berdiri senjata altileri anti pesawat udara. Di bagian utaranya dipagari oleh beton, sejajar dan memanjang mengikut tepian gawir sekitar 20 meter. Disetiap sisinya tesedia tangga yang mengarahkan ke bagian atap, area terbuka yang mampu melihat kesegala arah mata angin. Disetiap sisi bangunan didapati ruangan kotak memanjang, dilengkapi satu pintu, dan dua lubang ventilasi. Dindingnya sangat tebal, kurang lebih 120 centimeter. Dicor menggunakan beton, dengan tulangan besi dibagian atapnya. Sehigga bisa diduga bahwa fasilitas ini disebut bungker, atau tempat persembunyian pada saat serangan musuh melalui udara. Beton tebal tersebut diperkirakan mampu menyerap energi bom udara, walaupun tidak ada tanda-tanda bekas ledakan hasil serangan musuh.

Secara geografis bungker ini didirikan diatas tinggian Sukamulya, bagian dari blok naik Sesar Lembang. Barangkali kalau vegetasi yang hilang, akan telihat jelas dataran tinggi Cicalung Lembang di sebelah utara, dibatasi oleh tinggian G. Putri dan G. Sukatinggi. Sedangkan melihat ke arah selatannya dalah Cekungan Bandung. Tidak ada informasi yang memadai mengenai sejarah pendirian benteng ini, hanya di beberapa sumber menuliskan angka tahun 1922. Selebihnya adalah misteri gelap yang menyelimuti, kapan dan untuk apa benteng ini didiran di tinggian Sesar Lembang.

Dalam penyebutan benteng mungkin kurang tepat, mengingat fungsinya bukan sebagai pertahanan dari musuh. Benteng militer biasanya digunakan sebagai markas batalyon dan tempat penyimpanan perlatan perang dan logistik. Sedangkan struktur bangunan di Pasirmalang lebih tepat disebut sebagai bungker. Fasilitas militer tersebut dibangun seiring kebutuhan sistem pertahanan pasukan KNIL, menjelang masuknya tentara Jepang pada 1942.

Kolonial sudah mempersiapkan strategi pertahanan, sekitar wilayah kota Bandung. Sehingga fasilitas-fasilitas militer ini tersebar ditinggian perbukitan dan gunung yang melingkupi kota. Secara geografis. Diperkirakan pembangunan bungker-bungker yang berfungsi sebagai pos pengamatan, sekaligus untuk menempatkan altileri anti pesawat udara. Didirikan oleh KNIL pada masa interbellium atau masa antar perang antara 1918 hingga 1939, atau menjelang pecahnya perang dunia ke-2. Setelah lepas dari perang dunia ke1, kekaisaran Jepang muncul sebagai negara kuat di Asia. Sehingga kolonial Belanda menduga akan datang ke Hindia Belanda, dengan tujuan mencari sumber daya alam. Dalam masa persiapan perang tersebut, pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan dokumen Prinsp-Prinsip Pertahanan 1927, kebijakan yang mendukung strategi militer Hindia Belanda pada saat itu. Diantaranya angkatan darat dan laut harus mampu menjaga keamanan negeri koloni Hinda Belanda.

Dari keterangan diatas kemungkinan KNIL mendirikan bungker-bungker anti pesawat udara dan pos pengamatan sejak 1920-an. Seiring pemindahan pusat militer Hindia Belanda ke Bandung. Dalam keterangan buku lama Militaire aardrijskunde En statistiek van Nederlandsch Oost Indie, 1919 menuliskan, sistem pertahanan Hindia Belanda memanfaatkan dataran tinggi dan perbukitan yang memagari cekungan Bandung. Diperkirakan keberadaan bungker-bungker ini turut mengendalikan jalannya pertempuran, saat tentara kekaisaran Jepang datang melalui Ciater Subang pada 5-7 Maret 1942.

Selepas dari bunker Pasirmalang, dilanjutkan ke geotapak ke-dua pertemuan dua sungai. Tepat di tepi gawir Langensari-Pasirsela, mengalirlah Ci Gulung bagian dari DAS Ci Kapundung. Sungai yang hulunya dari Cikole, penggabungan dari sungai-sungai kecil. Diantaranya Ci Putri, Ci Kukang, Ci Bogo, dan Susukan Legok. Airnya relatif deras, mengalir di atas aliran lava tebal produk letusan efusif G. Tangkubanparahu. Lidah lavanya menerus hingga berhenti di Curug Dago. Dalam stratigrafi yang disusun Nasution (2004), aliran lava tersebut hasil produk Gunung Tangkubanparahu Tua dan Muda, umur 40.000 tahun yang lalu. Dari tinggian Langensari, terlihat lembah yang sangat dalam, mengalir diantara G. Putri mengalir ke arah selatan. Dari data peta topografi RBI (2001), memperlihatkan aliran Ci Gulung mengerosi dasar blok naik Sesar Lembang, mengalir ke arah timur. Dalam tafsiran sistem sesar, menandakan aliran sungai tersebut berbelok akibat pergeseran dari sesar normal ke sesar geser mengiri.

Geotapak ke-tiga adalah melihat fitur batuan beku ekstrusif tersebut tersingkap dikawasan wisata Maribaya Natural Hot Springs Resort. Berupa breksi lava (auto breccia) bagian flow top dicirikan vesikular, berwarna hitam menandakan basal. Disebagian tempat ditemui juga struktur entablature, berupa struktur kekar kolom yang tidak beraturan tegak.

Debit airnya deras dan keruh mengingat sungai ini menangkap sedimentasi pertania di hulu, kemudian dibawa hingga ke arah hilir. Sedikit ke hilir dari lokas wisata ini, didapati Curug Cikawari. Aliran Ci Kawari yang berhulu di G. Buleud dan G. Bukittunggul bagian barat. kualitas airnya relatif lebih jernih, mengingat sungainya melalui area huta produksi PT Perhutani (Persero) KPH Bandung Utara. Ci Kawari dan Ci Gulung kemudian bertemu di Curug Omas, bersatu dengan Ci Kapundung. Ci Kapundung kemudian mengalir ke selatan sejauh 28 kilometer, membelah kota Bandung. Muaranya di sekitar Dayeuh Kolot, bertemu dengan Ci Tarum.

Kegiatan ditutup diacara buka bersama, di Travel Tech Ciburial Bandung Utara. Dalam penutupan acara, peserta berdiskusi bahwa bentang alam bisu, bila tidak dibunyikan dalam bentuk penafsiran bumi. Dengan demikian kegiatan Georuban berusaha menyuarakan suara bumi, dengan tujuan memahami bagaimana bumi bekerja; lava yang mengalir dari kegiatan letusan gunungapi; arah aliran sungai yang dipengaruhi oleh struktur sesar; dan terakhir adalah upaya strategi militer kolonial memanfaatkan bentang alam Bandung utara, sebagai benteng pertahananan dengan membangun bungker-bungker dan pos pengamatan militer di sepanjang punggungan Sesar Lembang.

Penjelasan blok naik dan turun Sesar Lembang.
Penejlasan posisi titik bungker Pasirmalang.
Srutkur kekar kolom yang tersingkap di Curug Ci Gulung Maribaya.
Bungker Pasirmalang.

Geourban#13 Dayeuhkolot

Maskapai perdagangan Belanda atau VOC bangkrut dan dibubarkan 31 Desember 1799. Kendali perusahaan global pertama dunia tersebut jatuh ke pemerintahan Belanda, termasuk aset benteng, kapal dagang, dan sumber daya manusia. Pada waktu yang bersamaan, Belanda sedang berperang melawan Perancis, melalui perang Napoleon. Pertempuran di Eropa menentukan nasib di Hindia Belanda, 1808 Napoleon (Perancis) menduduki Belanda, secara otomatis Hindia Belanda di bawah kekuasaan Perancis antara 1808 hingga 1811. Kemudian 1809 Daendels diberikan tugas untuk memulihkan ekonomi pascakebangkrutan VOC, mengamankan pulau Jawa dari serbuan Inggris dan mengorganisasikan kembali sistem pemerintahan lokal.

Sebuah peristiwa sejarah dimasa lalu, menginspirasi Daendels membangun sarana jalan yang menghubungkan ujung barat pulau Jawa hingga ujung timur. 1809 Daendels melakukan inspeksi jalan, kemudian menuliskan rencananya di Karangsambung. Membangun jaringan jalan untuk kepentingan militer sejauh 1100 km.

Di Pulau Jawa bagian barat, jalur Jalan Raya Pos ternyata berbelok ke pedalaman priangan untuk tujuan tertentu. Kondisi geografis perbukitan, sungai dan lembah di pedalaman priangan menjadi tantangan yang lebih sulit. Padalah bisa saja jalan Raya Pos ini mengambil rute paling mudah melalu pantai utara yang lebih landai. Ada hal lain yang ingin dicapai Daendels pada saat itu.

Selepas Buitenzorg, jalannya menanjak membelah perbukitan Puncak Pass G. Gede-Pangrango. Dari Cihea Cianjur melintasi dua sungai dan dilanjutkan menuju Padalarang. Dari tiitk ini kemudian ditarik garis lurus barat-timur melalui Cimahi hingga Ujungberung. Dipertengahan jalan atau disekitar Ci Kapundung, Daendels memerintahkan perpindahan ibu kota kabupaten di Krapyak pada saat itu mendekati ke ruas Jalan Raya Pos. Penentuan dan perpindahan ibu kota tersebut berdasarkan pertimbangan berbagai aspek dan pertimgangan geografis.

Bandung lahir melaui surat keputusan 25 September 1810, seiring perpidahan ibu kota Kabupaten. Selepas cengkraman Inggris pada 1811-1816. Terjadi letusan katastropik G. Tambora 1815 yang menyebabkan udara dingin sepanjang tahun 1816 di Eropa, sehingga Napoleon kalah perang. 1816 Belanda kembali mengkoloni Hindia Belanda, termasuk Bandung. Bentang kota semakin diperluas dengan tujuan mengakomodir kegiatan politik dan ekonomi. Jelang tahun 1920-an menetapkan kota ini disiapkan menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda. Diantaranya pembangunan jaringan lintasan Kereta Api dan Trem ke Dayeuhkolot, namun tidak tuntas karena Belanda kembali diokupasi Jerman pada Perang Dunia ke-dua.

Dalam Geourban#13 Dayeuhkolot, melihat kembali jalur Jalan Raya Pos yang dibuat melintasi pusat kota Bandung saat ini. Apakah Daendels membuka jalan baru atau ada mengikuti jalur yang telah ada? kemudian pertimbangan apa saja yang mendorong perpindahan ibu kota lama di Krapyak. Bagaimana Bandung berkembang sejak kolonial hingga kedatangan penjajahan Jepang 1942? Apa peran Ci Kapundung dalam pementuan garis lintasan Jalan Raya Pos?. Mari temui kembali sejarah bumi dan budaya dalam aktivitas geowisata.

Hari/Tanggal
Sabtu, 27 Mei 2023

Waktu
07.30 WIB sd. 13.00 IB

Meeting point
Plaza Cikapundung, Jalan Ir. Soekarno

https://goo.gl/maps/EHPPgUs49Jt1ns4q6

Disklaimer
Kegiatan berfisat probono. Partisipan diharapkan menggungan kendaraan roda dua bermotor. Mengingat jarak tempuh cukup jauh.

Geourban
Diinisiasi oleh perkumpulan Pemandu Geowista Indonesia (PGWI). Bertujuan syiar geowisata kota, menyulam jejaring geowisata lokal, dan peningkatan kapasitas pemandu geowisata. Kegiatan bersifat probono, dari-oleh untuk kita melalui interpretasi dan berbagi informasi. Info: pgwi.or.id

#pgwi
#syiargeowisata
#geowisatacekunganbandung
#pemandugeowisata