Dari arah Bandung, kemudian memasuki kawasan Cikole. Seiring perjalanan mendaki mengikuti perbukitan, kiri dan kanan daerah ini semakin dikuasai oleh usaha wisata.. Kawasan hijau, bersalin rupa menjadi struktur bangunan, sedangkan tegakan Pinus merkusii hanya sekedar hiasan saja.
Selepas tanjakan Cikole, tiba di percabangan antara gerbang memasuki kawasan wisata G. Tangkubanparahu. Sedangkan ke arah utara, melandai memasuki wilayah Kabupaten Subang. Jalan nasional yang menghubungkan Lembang ke Jalancagak, kini lenggang. Warung-warung yang membatasi sepanjang jalan, kini hilang. Dibongkar pada awal bulan Agustus 2025, atas kebijakan gubernur Jawa Barat.
Sekitar 978 warung, dari perbatasan G. Tangkubanparahu, hingga Jalancagak telah “diamankan”. Alasanya karena bangunan tidak berizin, dan dianggap menyumbang potensi bahaya bencana longsor. Bangunannya didirikan merambah lereng, sehingga bisa berdampak bahaya. Bila alasan gubernur adalah berkaitan lingkungan, seharusnya berlaku juga kepada pengelola wisata lainya. Pengusaha besar yang menempati sebagian besar lereng timur G. Tangkubanparahu, seperti Astro Highland Ciater, The Ranch Ciater dan sebagainya. Penggunaan lahan menjadi bangunan, menyebabkan tertutupnya zona imbuhan air. Sehingga akan terjadi run off, bila hujan turun, dampaknya adalah banjir dikala musim hujan.
Jejak material letusan G. Tangkubanparahu, masih bisa disaksikan hingga kini. Berupa aliran piroklastik, berselingan dengan aliran lava. Gunungapi ini mulai tumbuh dan memperlihatkan aktivitasnya pada skala waktu geologi Holosen. Kurang lebih sekitar 10 ribu tahun yang lalu (Kartadinata, 2005), melalui kegiatan letusan yang terus berlangsung hingga kini. Di peta Kawasan Rawan Bencana (KRB), G. Tangkubanparahu skala 1:50.000. memperlihatkan arah aliran berupa aliran lava, gas beracun dan kemungkinan awan panas. Diperkirakan arah aliran materialnya ke sekitar Sagalaherang.
Bukti aliran lava, bisa disaksikan di Curug Badak, menjadi dasar aliran Ci Koneng. Sungai yang hulunya di lereng sebelah timur laut G. Tangkubanparahu. Mengalir ke arah selatan, kemudian bertemu dengan Ci Punegara. Di air terjun ini, terlihat lapisan lava tebal, diperkirakan setebal 30 meter lebih. Strukturnya masif dan sebagian terbentuk struktur kekar lembar. Membentuk tapal kuda, terbuka ke arah utara, memperlihatkan lava tebal di bagian atas, menindih batuan breksi piroklastik. Batuan pembawa air ini (akifer), dimanfaatkan pengelola wisata untuk mendapatkan air bersih. Ceruk terbentuk karena batuan bagian atas adalah lava, batuan keras yang resisten terhadap erosi. Kemudian membentuk ceruk, akibat batuan piroklastik yang mudah di erosi. Sehingga membentuk seperti gua-gua, dengan ketinggian antara 2-4 meter.
Lereng landai sebelah timur G. Tangkubanparahu yang subur. Selain mengundang ladang usaha bisnis saat ini, sudah menjadi incaran penguasaan kolonial di Priangan. Selepas tutupnya Perusahaan Hindia Timur Belanda atau VOC tahun 1799, akibat korupsi. Otomatis sebagian besar penguasaan wilayahnya jatuh ke kerajaan Belanda. Semenjak itulah kebijakan kolonialisme bukan lagi mencari keuntungan ekonomi melalui perdagangan rempah. Kolonial Belanda menyusun strategi, melalui usaha-usaha produksi dan hasil perkebunan. Sehingga antara tahun 1800 hingga 1870, sebagian besar hutan-hutan di lereng G. Tangkubanparahu bersalin menjadi perkebunan.
Dalam tulisan lama Short history of the Pamanoekan and Tjiassemlands (1838), menguraikan bahwa hutan Ciater dikonversi menjadi lahan perkebunan sejak penguasaan kolonial Inggris. Melalui surat keputusan Gubernur Jenderal Raffles, 22 Januari 1813, sebagian besar wilayah Krawang (Karawang raya) dijual kepada Muntinghe. Seorang warga Spanyol yang bertindak sebagai makelar tanah. Penguasaan lahan kemudian dijual kepada Shrapnell dan Ph. Skelton pada 1813. Pada tahun yang sama, lahirnya perusahaan swasta, Pamanoekan en Tjiasemlanden (P&T) lahir. Menggabungkan dua lahan, menjadi perkebunan terbesar di priangan pada saat itu. Luasnya kurang lebih sama dengan batas wilayah administrasi Kabupaten Subang saat ini.
Pada peta 1903, batas wilayahnya meliputi sebagian besar Subang saat ini. di sebelah utara dibatasi laut Jawa. Kemudian di bagian timur, berbatasan dengan Kesultanan Cirebon dan (sungai) Ci Punagara. Kemudian di selatan, dibatasi lereng G. Tangkubanparahu, dan bagian barat dipagari (sungai) Ci Lamaya.
Awal pembukaan lahan perkebunan, dikerjakan di sebelah utara Subang. Disekitar Sagalaherang, dicirikan dengan lahan yang memang ideal untuk pendirian pusat pengolahan hasil perkebunan. Di sebelah utaranya didapati mata air Cimutan, mengalir di Ci Kanyere. Terletak di lembah yang diapit oleh perbukitan, memanjang selatan-utara. di lembah ini didapati dua sumber mata air, dengan debit besar. Mengalir diantara rekahan batuan, dan endapan piroklastik. Sedangkan di bagian atasnya ditumbuhi oleh pohon bambu yang rindang dan lebat, menandakan ciri mata air yang sehat. Dari sumber mata air ini, ke arah pabrik pengolahan hasil perkebunan sekitar 1,3 km.
Dengan demikian, penempatan awal mula pusat administrasi dan pengolahan pada saat itu berada di Sagalaherang. Pada foto lama, Koffie Maalderij van de onderneming Tenger Agoeng in de Pamanoekan en Tjiasemlanden (1887), memperlihatkan bangunan administratur dan pusat pengolah kopi. Berupa bangunan yang didirikan di Sagalaherang. Beberapa informasi, pusat pengolahan hasil perkebunan tersebut, diperkirakan berada di lapangan Tengeragung. Lapangan olah raga sepak bola warga. Berupa dataran luas, berada sekitar 500 meter ke arah selatan dari Alun-Alun Sagalaherang saat ini.
Dalam foto tersebut nampak struktur bangunan, dengan latar berupa gunung Tangkubanparahu. Keberadaan Tengerangung, menjadi pusat administrasi pada awal perkembangan Pamanoekan en Tjiasemlanden/P&T. Diperkirakan kerajaan perkebunan Hofland bersaudara ini, selepa pembelian aset dari Ch. Forbes, W. F. Money, Micky Forbes, John Skelton, J. Steward, J. R. Thuring, dan Alex London.
Pada 11 November 1826, kepemilikan lahannya kemudian Ch. Forbes, Micky Forbes, dan J. Steward. Pengusaha dari Inggris ini, kelak menyerahkan asetnya melalui akad pembelian kepada John Erich Banck Thomas Benjamin Hofland & Peter William Hofland.
Pada 28 Oktober 1848, sahamnya semua diambil alih oleh Theodorus Benjamin Hofland, da Peter William Hofland (P.W. Hofland). Dua bersaudara keturunan Belanda. Kemudian pada tangal 1 November 1958, sepenuhnya dikuasai oleh P. W. Hofland. Pada tahun itulah perkiraan pemindahan seluruh operasi perkebunan, ke kota Subang saat ini.
Jejak kejayaan peninggalannya di Tengeragung nyaris lenyap, hanya menyisakan kerkhof. Pemakaman keluarga Hofland, di dataran tinggi Tengeragung. Di Lokasi ini masih bisa ditemui bangunan yang berfungsi sebagai monumen atau ruang pemakaman, tempat penyimpanan peti mati atau guci abu di dalam kripta/relung.
Satu-satunya struktur bangunan yang mencolok adalah kuburan istri dan anak Johannes Theodorus Hofland, anak kedua dari P.W. Hofland. Dimakamkan dengan nama Maria Elisabeth van Lawick van Pabst (lahir 25 Mei 1843, meningal 17 November 1871). Kemudian anaknya, Francis Theodore Hofland yang baru berusia empat bulan, lahir 29 Mei 1860 dan meninggal 29 Agustus pada tahun yang sama. Sepeningal istrinya, kemudian sang suami menikah kembali dengan emma Carolina Elisabeth Kunhardt. Johannes Theodorus Hofland, meningal pada tahu 1906.
Selain itu masih tampak empat tunggul tidak bernama, dan beberapa bentuk pondasi kuburan yang sudah rusak. Saat in kuburan tersebut dimanfaatkan warga menjadi ladang umbi, dan kuburan muslim warga. Sehingga struktur nisan kuburan keluarga Hofland, tampak tidak terurus. Sebagian telah hilang di bagian penanda nisannya, sehingga tidak ada informasi siapa dan kapan jasad yang dikuburkan disini.
Lawatan penutupan kegiatan Geourban, mengunjungi sumber mata air Cimutan. Mata air yang melimpah, dari dua sumber mata air. Terletak di lembah, sistem aliran Ci Kanyere, namun menurut warga, lahan mata air tersebut dimiliki perorangan. Sehingga sumber daya yang melimpah ini bukan lagi miliki desa yang bisa diolah secara kolektif. Dengan demikian warga sangat bergantung dari kebaikan pemilik lahan.
Sebagai penutup, mengunjungi rumah tua peninggalan kerajaan perkebunan P&T di Jagarnaek. Merupakan kampung yang berada di dalam wilayah administrasi Desa Cisaat, Ciater. Rumah tersebut saat ini terbengkalai, seperti kurang diurus. Menandakan rumah tersebut tidak lagi fungsi, selain jejak kejayaan perkebunan kopi di Jagarnaek. Penamaan tempat tersebut, diperkirakan disematkan oleh P.W. Hofland. Penguasa perusahaan perkebunan tersebut, ingin mengabadikan nama kelahirannya di Jagir Naik Poeran, negeri India.




