Jatuh di hari kerja, Selasa, 5 Agustus 2025. Waktu jelang pagi, saat sebagian besar warga Bandung selatan berlomba-lomba menuju pusat kota. Berdesakan memenuhi ruas jalan Gedebage, hingga jalan bypass Soekarno-Hatta Bandung menuju pusat kota. Kondisi demikian menjadi sarapan harian bagi warga Bandung yang kini menempati lingkar luar kota. Padatnya ruas jalan oleh ragam kendaraan, mengantarkan kami ke titik pertemuan di salah satu toko serba ada di sekitar Sapan. Pemilihan lokasi tersebut, berada di sebelah selatan dari batas Ci Tarum. Masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bandung, tepatnya di Sapan, Bojongemas, Ciparay.
Dalam pengantar kegiatan ini, Deni menguraikan rencana perjalanan. Mengupas kembali sebaran budaya obsidian Cekungan Bandung bagian selatan. Melihat kembali sumber obsidian di G. Kiamis seperti yang diuraikan oleh Neuman van Padang. Berupa laporan ilmiah pada pertemuan Fourth Pacific Science Congress di Jawa pada 1929. Menuliskan buku panduan Obsidian of Goeneng Kiamis untuk para peserta kongres ilmiah di kota Bandung pada saat itu. Petunjuk tersebut menjadi dasar penelusuran ulang, tentang keberadaan sumber obsidian di Cekungan Bandung.
Penunjuk waktu mengarahkan angka tujuh lebih tiga puluh menit, seiring dengan kedatangan para peserta terakhir yang bergabung. Terdiri dari lima orang, diantaranya Ali, Mili, Rosa, Andi dan Deni selaku pembawa narasi kegiatan ini. Sesuai dengan rencana kegiatan, masing-masing menunggangi kendaraan roda dua berbagai merek.
Hamparan sawah luas sekitar Ciparay, terbuka luas ke segala arah. Menandai perjalanan Geourban dimulai, bergerak dari Sapan ke arah selatan. Punggungan perbukitan tua membatasi tepi Bandung bagian selatan. Meskipun dalam selimut kabut, tetapi terlihat beberapa puncak yang menaungi sebagian besar Ciparay. Diantaranya G. Nini yang berdampingan dengan Bukitcula, sebelah barat. Dari lereng perbukitan tersebut, merupakan ruas jalan Raya Pacet yang menghubungkan Ciparay ke Kertasari.
Selepas alun-alun Ciparay hingga tiba di sekitar pasar Maruyung, Seratus meter lebih ke seltan dari pasar tradisional, didapati warung makan Lontong Barjah. Kudapan khas Ciparay, berupa potongan lontong disiram sebelah bumbu. Makanan khas yang disajikan untuk sarapan, telah hadir sejak 1953. Menurut pemilik warung, merupakan keturunan ke-tiga, tetap mempertahankan resep sejak lama. Berupa sebelah macam, dengan bahan dasar bumbu kacang dan santan. Selebihnya adalah racikan bumbu yang diturunkan dari generasi sebelumnya.
Perjalanan dilanjutkan melalui Kertasari, berupa jalanan menanjak hingga Pacet. Pemandangan bersalin rupa dari hunian warga, menjadi perkebunan yang memanfaatkan lereng terjal. Sebelah timur terlihat G. Rakutak, sistem gunungapi purba yang dibelah oleh lembah dalam. Di dalam lembah tersebut mengalirlah Ci Tarum ke arah utara, kemudian di Majalaya berbelok ke arah timur.
Memasuki dataran tinggi Kertasari, kemudian tiba di Cihawuk. Belok ke arah kiri melalui pemukiman warga. Sebagian telah dialasi beton, sebagian lagi berupa makadam hingga batas vegetasi perkebunan warga dengan hutan. Dalam peta lama dituliskan Poentjak Tjae (1928). Tinggian punggungan gunungapi yang memanjang dari selatan ke utara. Jalan tersebut menyambungkan dari Cihawuk, Kertasari di Kabupaten Bandung, ke Cibuniherang, Kabupaten Garut.
Sebagian besar berupa tanjakan dan turunan curam, menentukan jalur yang dilaluinya adalah memotong punggungan gunung. Sebagian besar warga menggunakan jalur ini sebagai jalan lintas, dari Kabupaten Bandung menuju Kabupaten Garut. Mengingat jalur yang memang memangkas jarak, terutama bagi warga yang akan berpergian ke arah Garut selatan ke Cikajang melalui Samarang.
Selepas jalan Puncakcae, disambut oleh portal kawasan geothermal. Dikelola oleh pihak swasta, Star Energy Darajat II. Merupakan kontrak operasi bersama dengan Pertamina Geothermal Energy Tbk. Jalanan lebar, memasuki kawasan objek vital milik negara.
Berupa lapangan kawah yang tersebar di lereng G. Cawene. Dari perhitungan dengan menggunakan bantuan google maps, didapat luas sekitar 8 Hektar. Didapati solfatar dan fumarol, dicirikan dengan uap panas yang keluar dari lubang. Sebelah barat daya, mendekati jalan menuju sumur eksplorasi, terlihat beberapa kolam yang telah disusun sedemikian rupa. Menandakan sumber mata air panas tersebut ditata, kemungkinan dialirkan ke wisata Darajat yang berada di sebelah timurnya.
Didapati juga bualan lumpur, menemukan mata air dangkal yang terkena proses hidrotermal. Jumlah lubang kawahnya bisa lebih dari tiga puluh, tersebar dari utara ke selatan, menempati bidang miring. Sebelah baratnya dibatasi oleh sungai, hulunya berasal dari utara lereng.
Pelancong Perancis, pernah bertandang ke Kawah Manuk pada 1836. Menceritakan kisahnya, harus bersusah payah menggunakan kereta berkudam malam hari. Kemudian dilanjutkan pagi hingga siang menuju kawah Manuk.
Dari Kawah Manuk, dilanjutkan ke kawasan wisata Darajat.Selepas matahari menunjam di ubun-ubun, udara terasa lebih dingin. Mengingat puncak Darajat di atas seribu meter di atas permukaan laut. Rombongan diarahkan ke arah barat, mengikuti jalan Darajat hinga tiba sekitar Padaawas. Tidak jauh dari jalan raya tersebut, didapati gudang pengepul dan pengolahan limbah bahan keramik milik warga. Termasuk diantaranya adalah timbunan batuan obsidian. Warga lokal menyebutnya batu celeng, mungkin karena warnanya gelap.
Di Bagian belakang adalah perkebunan milik warga, dihubungkan melalui jalan setapak. Sepanjang jalan setapak tersebut disambut oleh endapan piroklastik yang telah lapuk, diperkirakan akibat proses hidrotermal. Diantara perlapisan endapan tersebut, terlihapa sisipan obsidian dalam struktur fragmen. Dibeberapa tempat masih ditemui bongkah-bongkah obsidian, tersebar terpisah menempati dasar sungai kecil. Kemudian terlihat ceruk yang kini telah ditutupi vegetasi, sisa dari hasil kegiatan penambangan batu obsidian.
Gudang pengepulan terlihat batuan obsidian berbagai ukuran, dibungkus karung. Melimpah menjadi tumpukan. Bila dihitung sekilas, total keseluruhannya mampu diangkut oleh truk dobel dalam dua kali muatan.
Menurut pengelola pengepul, batu tersebut dimanfaatkan sebagai penghias pot tanaman, rumah atau nisan kuburan. Dengan cara fragmen batuan tersebut dihancurkan menggunakan alat penghancur batuan (crusher). Dijual perkilo dalam bentuk kerikil, kepada penjual material atau berdasarkan pesanan konsumen.
Keberadaan batu obsidian di sekitar Padaawas, Samarang, menegaskan sumber perkakas megalitik. Dalam laporan arkeologi Rothpletz, W. , Alte siedlungsplätze beim Bandung (Java) und die Entdeckung (1952), ditemukan alat dan serpih yang terbuat dari obsidian. Tersebar di sebagian besar Bandung bagian utara, dan sebelah selatan. Penyebarannya dikuatkan melalui peta sebaran budaya obsidian oleh Koeningswald, G.H.R. von, dalam laporan Das Neolithicum der Umgebung von Bandung: Tijdschrift voor Indiesche Taal-Land, on Volkenkunde, Deel Lxxv, Afl.3o,” 1935. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa sumber obsidian di budaya obsidian Cekungan Bandung berasal dari dua sumber. Sebelah timur di G. Kendan, dan sebelah selatannya berada di G. Kiamis, Samarang, Kabupaten Garut.
Kegiatan tambang dan pengambilan batu obsidian sekitar Rejeng, Padawans, secara terus menerus. Dapat mengakibatkan hilangnya sumber daya obsidian. Sehingga bukti keberadaan obsidian akan hilang selamanya. Sehingga perlu segera dibuat aturan penbangan batu obsidian, melalui upaya perlindungan.

