Jam baru beranjak tiga puluh menit lebih dari pukul tujuh. Kurang lebih 12 peserta telah hadir di parkiran dalam Babakan Siliwangi, semuanya mengendarai kendaraan roda dua. Selain efektif, cepat dan hemat, menghingdari jalanan macet jelang pagi di sekitar jalan Babakan Siliwangi, Bandung. Tempat ini ideal untuk titik pertemuan, mengingat tersedianya ruang publik dan sarana parkir yang leluasa. Sehingga cukup baik untuk memulai kegiatan geowisata kota. Geourban ini adalah aktivitas berbasis edukasi, mengungkap kembali rahasia alam, sejarah pembentukan bumi di sepanjang Ci Kapundung segmen Lebak Siliwangi higga Tamansari, Bandung.
Geourban ke-8 mengambil rute antara Lebak Siliwangi hingga Tamansari (4/9, 2022). Dibuka oleh Deni Sugandi, selaku penggagas Geourban sekaligus sebagai pemandu geowisata. Dimulai dengan penjelasan awal, rencana dan tujuan kegiatan. Tujuan pertama adalah mengunjungi prasasti yang dianggap sebagai tinggalan budaya abad ke-14, kemudina menyusuri sepanjang bantaran Ci Kapundung. Dilakukan dengan berjalan kaki, menyusuri rumah bertingkat yang saat ini dibangun dilereng Tamansari. Total perjalalan adalah 2,3 km, dilakukan berjalan kaki, menyusuri perumahan yang berkelak kelok, dihiasi oleh bagungan rumah susun hingga perhotelan dikawasan Cihampelas.
DAS ini mempunyai luas daerah tangkapan sekitar 43.439,04 Ha dengan panjang sungai sekitar 39 km dan kerapatan sungai 2,41 km/km2(BPDAS Citarum Ciliwung 2006). Luas totalnya yaitu 154 km2. Lebar Sungai Cikapundung dibagian hulu mencapai sekitar 6 meter dan terus melebar hingga sekitar 20 meter di bagian hilir.
Menurut penuturan warga Kampung Cimaung, Tamansari menyatakan bahwa dahulu sungai ini lebih lebar. Akibat pembangunan perumahan warga sejak tahun 1970-an, menggeser darata ke arah dalam, sehingga lebar sungai berkurang. Dampaknya adalah erosi dan luapan sungai pada saat hujan deras, dan membahayakan kesetabilan lereng disepanjang bantaran sungai.
Para partisipan yang hadir adalah pegiat wisata, pegiat cagar budaya, hingga pelaku pemandu wisata yang berdomisili di Bandung. Sesuai dengan tujuan kegiatan ini, membuka jaringan dan potensi geowisata di kota Bandung. Aktivitasnya adalah memperlihatkan keragaman alam, budaya disekitar bantaran Ci Kapundung segmen Tamansari, Bandung. Dalam kegiatan Geourban ke-8 ini, mengajak partisipan untuk melihat kembali bukti letusan katalismik G. Sunda, bukti endapan Danau Bandung Purba. Selain itu menunjukan keberadaan budaya pendukung pada masa Neolitik (prasejarah) dan Sunda Klasik. Sedangkan lapisan budaya berikutnya yang berkaitan dengan masa kolonial, tidak disajikan dalam kegiatan ini. Hal tersebut karena telah disajikan oleh komunitas pegiat sejarah sebelumnya.
Seperti yang telah diungkap oleh para peniliti arkeologi, menandaskan bahwa Ci Kapundung adalah sungai yang melahirkan tiga lapisan budaya. Mulai dari budaya prasejarah yang ditandari dengan penemuan arca Cikapundung disekitar Kebun Binatang Tamansari. Arca tersebut adalah tinggalan budaya pendukung Sunda Klasik yang diperkirakan hadir sekitar abad ke-14. Keberadaan arca tersebut, kini menjadi koleksi Museum Nasional di Jakarta. Ciri dan bentuknya merupakan perwujudan raja yang disajikan seperti dewa. Dengan demikian arca tersebut bisa dikelompokan ke dalam Tipe Pajajaran.
Lapisan budaya sebelumnya adalah perdaban prasejarah. Seperti yang ditunjukan oleh A.C dr Jong (1930), Koningswald (1935), Rohtplez (1972) melalui peta sebaran budaya mikrolit. Artefak tersebut berupa alat berburu yang terbuat dari bahan gelas volkanik atau obsidian. Ditemukan disekitar hulu Ci Kapundung, atau sekitar Bukit Kordon dan menyebar sebagian di arah timur Cileunyi. Posisi penemuannya berada di ketinggian lebih dari 725 m di atas permukaan laut/mdpl. Dengan demikia Rohtpletz menduga, bahwa ciri budaya yang berkembang tersebut adalah kelompok manusia prasejarah yang dipengaruhi oleh paras Danau Bandung Purba. Sehingga pendapat demikian menyiratkan bahwa manusia prasejarah yang hidup antara 5600 hingga 9500 BP (Yondri, 2005), masih menyaksikan Danau Bandung Purba.
Kunjungan pertama adalah melihat kembali tinggalan budaya di bantaran Ci Kapundung. Pemberitaan tahun 2010 menyebutkan, ada bukti prasasti yang dituliskan di atas batu andesit. Terletak di Kampung Cimaung, Tamansari Bandung. Dalam pemberitaan tersebut, menuliskan bahwa aksara yang ditoreh di atas batua beku tersebut adalah berasal dari abad ke-14 (voaindonesia.com, 2010). Seperti yang dinyatakan oleh Nandang Rusnanda dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Jawa Barat, bahwa tulisan tersebut menggunakan aksara Sunda Kuno. Berbeda dengan pendapat ahli Filologi Unpad yang menyatakan bahwa aksara di prasasti tersebut bukan aksara Sunda Kuno.
Dari titik ini bisa diamati bongkah-bongkah batuan andesit yang terendapkan diitempat ini. Bisa jadi budaya lama memanfaatkan sumber daya alam batuan keras ini, sebagai penanda budaya. Seperti yang ditunjukan oleh penemuan beberapa arca di sekitar Taman Sari atas, yang dibuat dari bahan yang mudah didapat, diantaranya batuan keras volkanik.
Setelah melepas lelah sesaat di warung, dilanjutkan dengan diskusi singkat mengenai bukti-bukti peradaban yang pernah hadir dibantaran Ci Kapundung. Diperkirakan masih ada beberapa tinggalan budaya yang belum ditemukan, mengingat Ci Kapundung merupakan sungai tua di dataran tinggi Bandung. Bisa saja belum ada penemuan baru, mengingat kegiatan penelitian arkeologi terkendala dengan sumber pendanaan dan urgensi. Sehingga penemuan arkeologi biasanya datang dari laporan masyarakat.
Kegiatan dilanjutkan menyusuri Ci Kapundung melalui jalan sempit yang mengarahkan ke utara. Jalanan cukup untuk melintas sepeda motor dan pejalan kaki, sehingga diperlukan kehati-hatian bagi para pengendara yang akan berpapasan. Jalan setapak ini menyusuri saluran irigasi yang dibuat untuk kebutuhan pengairan dan saluran drainase warga. Dibeberapa bagia tempat saluran terbuka tersebut menjadi septik tank terbuka oleh beberapa rumah warga, sehingga menimbulkan aroma bau. Hal demikian bisa dimengerti, akibat rumah yang dibangun ditahan miring tersebut sudah sempit dan tidak menyisakan ruang untuk pembangunan septik tank.
Selepas jalan Pelesiran, kemudian araha perjalanan berbelok ke arah timur. Mengikuti jalan yang mengarah ke apartemen Jardin. Rumah susun yang dibantun di atas tanah kurang lebih 11.000 m2 ini berhimpitan langsung dengan garis Ci Kapundung. Dalam pembangunannya, rusunami ini mengandung masalah, baik berkaitan dengan pemilikan lahan, hingga pengelolaan sumber air. Selain itu menghilangkan satu-satunya kolam pemandian masa kolonial Kolam Renang Cihampelas.
Bergerak terus ke arah utara, memperlihatkan singkapan batuan di sungai. Disusun oleh material yang lebih halus di bagian bawah, dan kasar di bagian atas. Menandakan sedimen danau Bandung Purba di segmen Lebak Siliwangi. Batuannya berstruktur breksi volkanik, hasil kegiatan letusan G. Sunda-Tangkubanparahu. Dalam peta geologi yang telah didetailkan, merupakan Formasi Cibeureum yang disusun oleh perulangan breksi dan tuff dengan tingkat konsolidasi yang rendah serta sisipan lava basal. Umurnya sekitar Plistosen Akhir hingga Holosen (Koesoemadinata dan Hartono, 1981). Dalam kesempatan ini Zarindra, selaku pemandu geowisata menambahkan bahwa kuasa sungai mampu mengangkut material volkanik dari hulu kemudian diendapkan di hilir.
Dari bantaran sungai disebelah timur Sabuga, terlihat endapan volanik ini dierosi oleh sungai. Dicirikan dengan jalur yang tererosi membentuk curugan kecil, dan menoreh batuan keras menjadi lajur air. Jalan setapak ini berakhir di Sabuga, kemudian berbelok ke kembali ke Babakn Siliwangi. Acara ditutup dengan penyampaian kesan yang didapat selama kegiatan ini berlangsung.