Catatan Geourban#11 Jayagiri

Kegiatan syiar geowisata di Cekungan Bandung ini dilaksanakna bertepatan dengan bulan ramadhan, pada hari Sabtu, 8 April 2023. Kegiatan ini mengupas rahasia bumi, peristiwa dinamika alam, hingga budaya yang menempati dataran tinggi Lembang. Kegiatan ke-11 ini mengambil tema Jayagiri, kawasan di sebelah utara kota Lembang, berada di lereng G.Tangkubanparahu sebelah selatan. Kawasan ini menarik untuk dikupas dalam kegiatan ini, mengingat beberapa dinamika bumi dan budaya yang berlangsung telah mengukir sejarah dunia. Diantaranya menapaki kembali akhir riwayat dan hasil karya Junghuhn sembilan tahun terakhir, antara 1855 hiingga meninggal 1865. Sekembalinya ke tanah Jawa Barat, Junghuhn diminta untuk membudidayakan kina selama sembilan tahun terakhir, hingga produksi kina menduduki peringkat pertama di dunia. Tujuan lainya adalah mengunjungi sumber mata air Cikahuripan, mengalir diantara dua litologi, dan mengunjungi rumah terakhir Junghuhn.

Geourban merupakan upaya syiar geowisata, menggerakan dan inisiatif jejaring sumber daya manusia di keorganisasian PGWI, hingga membangun ekosistem geowisata di Cekungan Bandung. diusahakan oleh perkumpulan Pemadu Geowisata Indonesia/PGWI, sejak 2020. Kegiatan ini bersifat probono (tidak dipungut biaya), bermaksud mengaikan jejaring lokal dengan industri pariwisata, melalui kemungkinan-kemungkinan pembuatan paket wisata dan pola perjalanan pariwisata sekitar dataran tinggi Bandung.

Kegiatan dibuka pukul 14.00 WIB di ruang aula sederhana, di kantor Desa Cikahuripan. Kurang lebih telah hadir 25 peserta dari berbagai latar belakang. Diantaranya mahasiswa pariwisata UPI, pegiat wisata, pemandu wisata, penulis, profesional hingga ibu rumah tangga. Hadir dalam kegiatan ini sejak pukul 08.00 WIB di kantor Desa Cikahuripan, Lembang. Kabupaten Bandung.

Dalam brifing awal kegiatan ini, Deni Sugandi selaku pemandu geowisata, menyampaikan rencana kegiatan. Diantaranya mengunjungi tapakbumi yang berkaitan dengan tema sejarah letusan G. Pra-Sunda-Sunda dan kina yang dibudidayakan di lereng sebelah selatan G. Tangkubanparahu oleh Junghuhn. Menapakai kembali jejak Junghuhn dalam lawatan ke-dua hingga akhir hayatnya. Junghuhn kembali ke Belanda setelah tetirah untuk berobat, kemudian kembali ke pulau Jawa pada 1855. Seiring tubuhnya yang digerogoti sakit menahun, ia diminta untuk mengembangkan budidaya Kina di dataran tinggi Priangan. Kunjungan selanjutnya ke sumber mata air kontak Cikahuripan, interpretasi morfologi Cekungan Bandung dan pembentukan gunungapi di utara di  makam panjang yang berada persis di jalur sesar Lembang. Kemudian melihat kembali bukti endapan awan panas Pra-Sunda dan G. Sunda, monumen Junghuhn dan terakhir ditutup di padepokan Pasiripis Jayagiri, Lembang.

Acara dibuka secara sederhana, dengan perkenalan setiap partisipan kemudian dilanjutkan dengan pemaparan singkat oleh Kang Dodi  selaku pegiat wisata Cikahuripan. Ia menyampaikan aktivitas wisata di Desa Cikahuripan, seperti kunjungan ke situ religi Makan Panjang di Pasirwangi, Mataair Cikahuripan yang mengalir diantara rekahan bongkah lava, hingga tapakbumi Batugantung di lembah imah seniman. Disambung oleh penjelasan ibu Nia yang menguraikan Usaha Kecil Menengah yang dikerjakan oleh warga Desa Cikahuripan, diantranya jenis-jenis kuliner hingga produksi makanan kemasan.

Dalam pemaparan awal, Deni memberikan gambaran geografis lokasi kunjungan. Desa Cikahuripan berada dijalan utama penghubung Cimahi-Lembang melalui jalan Kolonel Masturi. Delinasi desanya meliputi lereng selatan G.Tangkubanparahu, termasuk kawah utama gunungapi tersebut. Kemudian di sebelah selatannya persis berbatasan dengan jalur Sesar Lembang segmen Cihideung (Daryono. 2016). Masyarakat mengeluhkan bahwa desa ini hanya menjadi jalan pintas menuju destinasi pariwisata yang dikelola oleh kapital besar, seperti wisata Tangkubanparahu, glamping Cikole. Lembang Park and Zoo. Sehingga masyarakat bukan saja sebagai penonton, namun berharap mampu mendorong pariwisata berbasis masyarakat di Desa Cikahurpan. Harapan tersebut memiliki tantangan tersendiri, karena diapit oleh dua sumber potensi bencana geologi.

Sebelah utara diancam oleh kegiatan letusan gunungapi dan sebelah selatannya digoyang oleh potensi gempa Sesar Lembang. Sehingga desa ini mengikuti program Destana, Desa Tangguh Bencana, didampingi oleh Bandung Mitigasi Hub dan tim Pengabdian Masyarakat ITB. Kegiatannya berupa pendampingan melakui Pendekatan Pengurangan Risiko Bencana Berbasis komunitas. Kelembagaanya melalu Desa Tangguh Bencana (Destana), melalui rancangan yang dituangkan ke dalam Rencana Induk Desa Wisata Tangguh Bencana. Selain bahaya geologi yang mengancam warga Cikahuripan, desa ini menyajikan bentang alam yang menawan. Diantarnya dataran tinggi perbukitan, potensi perkebunan, dan posisi strategis geografis. Modal dasar ini dibuka dalam kegiatan Geourban.

Kunjungan pertama adalah melihat kembali sumber mata air di sebelah utara timur desa. Dilalui melalui perjalanan singkat dari kantor desa, menggunakan roda dua. Kemudian dilanjutkan berjalan kaki kurang lebih 10 menit menuruni lembah Ci Hideung. Terdiri dari dua mata air, dibagian bawah yang kini telah dibantun struktur bangunan beton, kemudian dibagian atas diantara perkebunan rakyat. Airya mengalir diantara celah batuan lava.

Disebut mata air Cikahuripan yang selalu mengalir walapun masuk dimusim kemmarau. Dodi menyampaikan pepatah orang tua “bilamna harga beras naik, maka mata air Cikahuripa kering”. Makna tersebut mengandung pemahaman bahwa sawah-sawah yang berada di dataran rendah Bandung, sangat bergantung kepada mata air disebelah utara. Sehingga bisa dipahami bilamana suplai air hilang, maka para petani tidak bisa bercocok tanam. Dampaknya harga kebutuhan pokok akan melambung naik. Pesan konservasi tersebut ditegaskan kembali oleh narasuber Fajar Lubis dari Brin. Ahli hidrogeologi tersebut memaparka perluanya konservasi di daerah hulu, agar sumber mata air Cikahurpan tidak terganggu. Fajar meyampaikan demikian, karena kekhawatirannya dengan pembangunan di hulu, seperti bangunan dan perubahan tata guna lahan akan mempengaruhi sumber mata air yang muncul di sekitar Cikahurpan.

Sumber mata air Cikahuripan mengalir diantara dua litologi, disebut mata air kontak. Di bagian atasnya adalah piroklakstik pembawa air (akifer), kemudian mengalir pada bidang datar berupa lava. Menurut Dodi, airnya mengalir baik walaupun memasuki kemarau. Ia menunjuk sumber mata air yang ada di bagian bawah, kini mengalirka debit air kecil, karena telah terjadi perubahan lahan dengan pembagunan fasilitas berupa bangunan tembok. Diduga pembangunan struktur beton tersebut menganggu sumber mata air. Dodi melukiskannya, airnya menjadi “pundung” atau marah karena diganggu.

Kunjunga ke-dua menuju Pasirwangi, perbukitan di sebelah selatan desa Cikahuripan. Lokasinya merupakan perbatasan antara Desa Cikahuripan dan Desa Gudang Cikahurpan. Lokasi pemakam umum, terletak persis di jalur sesar Segmen Cihideung. Dari titik tinggi ini bisa melihat bentang alam 360 derajat ke segala arah. Di utara berupa kerucut G. Burangrang-Tankubanparahu, dibagian lerengnya terlihat punggungan batas kaldera G. Sunda. Disebut punggungan perbukitan Sukatinggi, menjang antara Sukawana hingga G. Putri-Cikole Lembang.

Kunjungan terakhir adalah ke situs monumen Junghuhn di Jayagiri. Lahan yang berdiri di atas lahan seluas 2.5 Ha, dibawah pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat. Disebut Cagar Alam Junghuhn, didirikan sejak 21 Februari 1919. Memuat monumen peringatan Junghuhn, dan makan koleganya saat membudidayakan kina. Johan Eliza de Vrij meninggal pada 1862, dikuburkan di sebelah timur. Ahli farmakologi yang mendampingi Junghuhn dalam pengembangan obat kina, dan sekaligus sebagai penasehat proyek pembudidayaan Cinchonia di Bandung utara, Cinyiruan Bandung selatan.

Dalam linimasa sejarah kina, mulai dikenal sekitar 1630. Dibawa oleh para misionaris Spanyol yaitu cardinal Juan de Lugo ke daratan Eropa dari Amerika selatan. Kemudian pada 1852 J.F.Teysmann membawa jenis kina Cinchona calisaya. Dibudidayakan di Kebun pegunungan Cibodas (Kebun Raya Cibodas). Namun seiring waktu, pembudidayaanya tidak memberikan hasil yang baik, sehingga 1852 C.F. Pahud menugaskan Justs K. Hasskarl untuk mencari bibit kina dari Bolivia. 1854 ditanam di Cibodas dan Cinyiruan.

Junghuhn kembali ke pulau Jawa untuk kedua kali, setelah beberapa tahun tetirah untuk mengobati penyakitnya. 1855 F.W. Junghuhn sampai di Pulau Jawa.  membawa 139 tanaman asal biji yang berasal dari Belanda, jenis kina C. Calisaya var javanica. Kemudian pada 1855-1857 Pembukaan perkebunan kina di Cinyiruan, dan Junghuhn menjadi pengawas. Puncak karir Junghuhn adalah 1858-1862 Bersama Johan Eliza de Vrij seorang farmakolog, sebagai penasehat proyek cinchonia  membudidayakan kina Bandung utara, Cinyiruan.

Akibat penyakitnya yang menahun, pada 24 April 1864 Junghuhn meninggal dunia di Jayagiri Lembang. 1898 Johan Eliza de Vrij, dimakamkan dekat tugu Junghuhn

Menjelang kepergiannya menuju alam fana, Junghuhn pernah berujar, “Sahabku, tolong bukakan jendela itu. Saya ingin menyapa gunung, hutan untuk terakhir kalinya” ujar Junghuhn kepada sahabatnya Isaac Groneman. Rangkaian kalimat tersebut mengantarkan seorang penjelajah, kartografer, geolog, ahli botani, dan sastrawan ini kembali ke sang pemilik semesta.

Kegiatan ditutup di padepokan Pasiripis, Jayagiri, Lembang. Dipungkas oleh kegiatan buka bersama, sekaligus menutup kegiatan Geourban ke-12.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *